Pernah dengar persahaan yang tidak memberikan service pada konsumennya? Perusahaan apa saja, cobalah ingat apakah perusahaan itu tidak memberikan layanan yang dinamakan service. Saya kira kamu semua tidak akan pernah mendengarkan hal tersebut saat ini, baik itu perusahaan yang membidik konsumen yang niche sekalipun ataupun abang tukang bakso yang berjualan saban hari di waktu siang dan sore. Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena service adalah sesuatu yang sudah seharusnya ada pada perusahaan, istilah kerennya, service adalah komoditi dalam sebuah perusahaan.
Di harian sebuah surat kabar ada sebuah perusahaan yang mengiklankan produknya, dalam iklan perusahaan tersebut ada statement yang bertuliskan demikian, “kami memberikan service yang baik dan memuaskan”, saya sempat berpikir beberapa saat dan menanyakan pada diri saya sendiri, “service yang baik dan memuaskan?” begitulah semua perusahaan mengiklankan dan mengklaim produknya, kalau tidak siapa yang mau beli. Sebagus apapun Bank BCA, jika ketika anda datang disambut dengan muka ‘naga’ oleh pegawainya, saya berani bertaruh anda akan berpikir tentang menabung di bank yang lain, seandainya di bank lain tersebut menawarkan kualitas dan layanan yang baik.
Service sudah menjadi terminologi marketing yang bertahan cukup lama pada jamannya. Hampir tidak ada perusahaan yang melupakan hal satu ini, karena dari sinilah loyalitas konsumen bisa tercipta dan bertahan sekian lama bagi perusahaan. Michael Traecy dalam bukunya The Disiplin of Market Leader pun memasukan service excellent sebagai salah satu komponen kepemimpinan pasar selain cost leadership dan kepimimpinan dalam teknologi dan inovasi.
Cukupkah service ?, dulu iya, ketika persaingan sudah mulai berperang di dalam benak konsumen, dimana satu perusahaan dengan perusahaan yang lain mulai merumuskan strategi-strategi kreatif dan hebat, di mana pertempuran mulai diarahkan ke dalam pikiran konsumen seperti yang dikatakan Al ries “ perang pemasaran sebenarnya terletak di benak konsumen”, service adalah hal utama yang harus mendukung peperangan ini. Tetapi, ketika sudah terlalu banyak informasi yang datang menghampiri konsumen, ribuan iklan yang berjejal setiap hari, ribuan spanduk, foster terbentang dari kutub utara sampai kutup selatan dan ribuan macam service kreatif dan hebat yang ditawarkan produsen, cukupkah service? Kembali lagi pada tulisan awal, TIDAK. Semua sudah melakukan service dengan baik, service is only commodity now, without service, perjumpaan perusahaan anda dengan ‘kuburan’ akan sangat dekat jaraknya.
Lantas apa selanjutnya, Customer satisfaction adalah selanjutnya. Servive yang dilakukan sebuah perusahaan harus dapat mencapai apa yang dinamakan customer satisfaction. Sebagus apapun sebuah service, dirancanakan sedetail apapun atau menggunakan konsultan pemasaran yang paling terkenal sekalipun tanpa mencapai apa yang dinamakan customer satisfaction hal tersebut adalah sia-sia. Perusahaan anda hanya akan mendapatkan pepesan kosong dengan harga yang sangat mahal tentunya karena service bukanlah hal yang murah.
Bagaimana sebuah perusahaan dapat mencapai apa yang dinamakan customer satisfaction? Banyak sekali tentunya jalan yang ditempuh oleh sebuah perusahaan untuk mencapai hal ini. Starbuck, kedai kopi yang amat sangat fenomenal dan begitu terkenalnya seantero dunia, mengimplementasikan apa yang dinamaka experiental marketing dalam kedai kopinya di seluruh dunia. Ketka anda datang dan duduk di kedai kopinya, menikmati secangkir kopi yang bisa dikatakan cukup mahal, anda akan merasakan suatu suasana yang hangat dan nyaman diiringi alunan musik yang lembut. Tentunya pengalaman tiap orang beda, di sini saya hanya coba menggambarkan suatu strategi yang diciptakan Starbuck untuk menciptakan kepuasan konsumennya melalui apa yang dinamakan experiental marketing.
Terminogi experience saat ini adalah hal yang sangat mengundang perhatian dunia pemasaran. Joseph Pine II dan James Gilmore, dua pakar perintis experiential economy, mengidentifikasi bahwa penawaran yang diberikan oleh perusahaan kepada pelanggannya dapat berupa komoditi (commodities), barang (goods), layanan (services), dan pengalaman (experiences). Di sini, penekanan terhadap experience sangat kentara, di mana dengan penawaran yang melibatkan experience, harga dari sebuah produk akan menjadi priceless. Namun, sekali lagi, berbeda dengan pendapat beberapa ahli pemasaran yang sangat saya hormati, yang menyatakan bahwa konsep kepuasan konsumen tidak relevan lagi dan digantikan kosep customer experience, bagi saya konsep customer experience justru adalah bukti betapa semakin pentingnya apa yang dinamakan customer satisfaction.
Merek terbangun dan menjadi kokoh karena customer satisfaction, perusahaan seperti Microsoft menjadi sedemikian besar karena banyak orang yang puas dengan produknya, BMW menjadi merek pilihan karena konsumen pamakainya puas, BMW bisa menjadi representatif dirinya dan sebagainya. Karena semua itulah, saya berpendapat bahwa customer satisfaction is still good enough saat ini, konsep customer experience adalah tiang yang makin memperkokoh konsep ini, bukan sebagai bangunan baru yang menggantikan bangunan yang dinamakan customer satisfaction.
No comments:
Post a Comment