Jul 21, 2009

Salah kaprahnya Branding!

Di kalangan pebisnis, terutama bisnis yang masih tergolong konvensional, seringkali pemahaman mengenai proses pembangunan brand masih lemah. Selain kurangnya awareness mereka terhadap pentingnya pembangunan sebuah brand, mereka seringkali juga “salah kaprah” terhadap peran brand dalam perjalanan bisnis mereka. Hal inilah yang seringkali menghambat perkembangan perusahaan konvensional untuk memenangkan market, terutama menghadapi persaingan dengan para bisnis raksasa dari luar negeri yang sudah menjadikan brand sebagai ujung tombak penjualan produk mereka.

Tengok saja kiprah Unilever dan P&G yang selalu memegang pangsa pasar dominan dari kategori produk-produk mereka, sejak awal masa kemerdekaan mereka tidak pernah lepas dari program-program pembangunan brand. Mulai dari pemasangan poster-poster, iklan radio hingga iklan TV yang kini menjadi media paling berpengaruh di Indonesia, para raksasa bisnis tersebut tidak pernah berhenti membangun brand mereka.












sumber gambar:
herik.multiply.com/photos/album/11/iklan_jaman_dulu

forum.kafegaul.com/showthread.php

Lalu di sisi yang lain, para produsen lokal “megap-megap” menghadapi para raksasa bisnis ini. Memang begitu banyak faktor yang membuat para pemain lokal/nasional ini tidak mampu mengalahkan kiprah para perusahaan internasional. Salah satunya adalah permodalan, sistem distribusi yang kuat dan strategi marketing modern mereka, yaitu dengan mengedepankan pembangunan brand.

Terbukti bahwa tidak hanya brand internasional saja yang bisa sukses dari hasil jerih payah mereka membangun brand, tetapi brand lokal pun demikian. Sebut saja Cap Bintang Toedjoe dan Nyonya Meneer. Apa sebenarnya langkah pembangunan brand yang penting dan apa saja salah kaprah nya proses branding, silakan baca ulasannya berikut ini.

Di mana peran brand dalam perkembangan bisnis Anda?


Dalam “mendeliver” produk Anda kepada customer, dapat dilakukan 2 cara yaitu Push dan Pull. Aktivitas yang selama ini menjadi fokus bisnis konvensional hanya pada aktivitas Push, di mana biasanya para pemilik bisnis “mendorong” produk mereka kepada para konsumen. Contohnya adalah aktivitas mendistribusikan produk ke sebanyak mungkin toko-toko atau menciptakan sebanyak mungkin tenaga penjual untuk “menjajakan” produk Anda.

Tetapi di luar dari hal-hal tersebut, seringkali perusahaan konvensional tidak memikirkan langkah Pull yang melengkapi kekurangan langkah Push, yaitu langkah untuk “menggarap” para konsumen itu sendiri.

Kondisi pasar sekarang ini penuh dengan persaingan antar para pemain bisnis, hal inilah yang menjadi pemicu pengembangan strategi Pull, dimana produsen langsung memberikan informasi dan berkomunikasi kepada para konsumen, sehingga keputusan pembelian ada di tangan mereka sendiri (tidak lagi di tangan tenaga penjual seperti masa konvensional dulu).

Aktivitas yang memberi efek Pull, di mana konsumen sendirilah yang mencari produk adalah aktivitas pembangunan brand, di mana konsumen tidak hanya mengetahui, tetapi juga mengenal dengan baik, atau bahkan mencintai brand tersebut.

Berikut merupakan salah kaprah yang seringkali terjadi dalam pemahaman sebuah konsep pembangunan brand :

Brand adalah merk dagang
Salah satu aktivitas rutin yang sering saya lakukan adalah dengan mendamping para Brand Associate kami untuk melakukan perkenalan corporate kepada para calon klien. Berbagai karakter orang yang kami temui, dari mulai para staff, manager, profesional hingga pemilik bisnisnya sendiri. Begitu banyak kesalahan persepsi yang mereka miliki mengenai sebuah brand. Dan hampir sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa brand adalah merk dagang.

Brand yang berasal dari bahasa Inggris, memang kalau diterjemahkan adalah merk. Tetapi pengertian brand bukanlah sekedar merk/nama sebuah produk, melainkan sekumpulan nilai yang melekat pada produk tersebut.

Brand dibentuk dari begitu banyak elemen yang ada, seperti persepsi konsumen terhadap produk, keindahan desain packaging nya, wangi/rasa produknya, pelayan yang menjualnya, dll. Brand terlalu kompleks untuk disebut sebagai sebuah merk dagang.

“Ah.. kita mah belum perlu yang seperti ini… Hanya perusahaan besar yah kayaknya yang perlu gini-gini.”
Persepsi bahwa brand hanya perlu dibangun oleh perusahaan besar merupakan kesalahan terbesar ke-2. Karena perusahaan kecil bisa besar, dikarenakan adanya usaha untuk membesarkan sebuah brand. Singkat kata coba tanyakan hal ini kepada diri Anda sendiri : “Apa yang membuat Anda menilai sebuah produk/perusahaan adalah sesuatu yang besar?” Yup! Jawabannya adalah keterkenalannya. Kalau produk/perusahaan tersebut terkenal, pasti Anda akan memiliki persepsi bahwa produk/perusahaan tersebut lebih besar dibanding pesaingnya yang bahkan belum pernah kedengaran namanya. Jadi apakah Anda masih berpikir-pikir untuk membangun brand Anda mulai dari sekarang?

“wah kita udah terkenal nih mbak, ga perlu dibranding lagi!”
Branding adalah sebuah proses, bukan sebuah tujuan. Jadi seperti nya tidak ada kata berhenti untuk melakukan proses branding. Apakah Anda pernah melihat Unilever menghentikan aktivitas branding mereka? Tahapan aktivitas pembangunan brand dapat dilihat di bagan di bawah ini, di mana tahap pembangunan setelah brand tersebut mature/sukses adalah dengan memaintain/mempertahankan eksistensi brand tersebut, serta melakukan inovasi agar para konsumennya tetap loyal dan tidak meninggalkan brand tersebut.












“Kita mah jualnya ke distributor, nga ke konsumen langsung, jadi kayaknya ga perlu branding deh!”

Banyak orang yang beranggapan bahwa pembangunan brand hanya diperlukan oleh industri B2C saja. Hal ini tidaklah benar, karena industri B2B juga membutuhkannya. Salah satu contohnya adalah kasus Intel, walaupun Intel merupakan bisnis B2B, Intel terus melakukan aktivitas pembangunan brand. Hanya saja strategi pembangunan brandnya yang berbeda antara B2B dan B2C, di mana untuk B2B tidak hanya 1 jalur saja yang digunakan, tetapi dengan strategi multi-phase. Butuh tidaknya pembangunan brand tidak ditentukan dari apakah perusahaan tersebut B2B atau B2C, tetapi selama masih ada pesaing, butuh dilakukan aktivitas pembangunan brand, agar mempengaruhi konsumen untuk lebih memilih produk kita.

Tidak adanya pesaing juga tidak dapat diartikan dalam posisi aman, karena di tengah pertumbuhan bisnis yang kian “liar”, pesaing bisa muncul kapan saja, dan bisa saja saat itu Anda sudah terlambat membangun brand. Jadi bisa Anda simpulkan sendiri kan kapan Anda perlu mulai membangun brand Anda!

“Oh.. branding tuh yang kayak masang-masang iklan itu yahhh..”

Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa branding adalah advertising, atau branding adalah pasang iklan. Salah kaprah ini begitu besar, sehingga membuat para pelaku bisnis begitu saja melupakan pentingnya pembangunan brand. Branding tidak sama dengan memasang iklan. Memasang iklan adalah salah satu cara membangun brand, jadi tidak selalu aktivitas membangun brand itu adalah memasang iklan. Aktivitas lain seperti brand activation atau event juga merupakan aktivitas pembangunan brand, atau mengadakan talkshow dengan para konsumen, membuka account Facebook untuk produk kita, mencantumkan nama perusahaan kita menjadi signature di email kita, memakai kaos berlogo toko kita atau membujuk tetangga untuk membeli produk kita juga adalah aktivitas branding.

Jadi dalam melakukan aktivitas branding, jangan asal melakukan, atau asal pasang iklan karena orang marketing majalahnya udah nelponin terus. Buatlah sebuah perencanaan aktivitas sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan tentu saja sesuaikan dengan karakteristik produk dan budget Anda.

“wah kita ga ada dananya nih buat yang seperti ini”

Begitu banyak asumsi bahwa kegiatan branding adalah kegiatan yang butuh banyak biaya. Hal ini adalah salah. Program pembangunan brand dapat disesuaikan dengan berapapun budget yang Anda miliki. Sekalipun Anda tidak memiliki budget, Anda tetap bisa memanfaatkan source yang Anda miliki sendiri untuk memulai melakukan aktivitas pembangunan brand. Contohnya adalah WOM, aktivitas word of mouth tidak butuh biaya. Yang terpenting bukan biayanya, tetapi perencanaannya dan pelaksanaannya. Tentu saja besarnya biaya akan berimpact pada sejauh mana aktivitas Anda memberi dampak. Misalnya saja pemilihan media televisi dikatakan memakan biaya yang sangat besar, tetapi juga efeknya pun tidak main-main. Jadi Anda bisa menetapkan skala yang ingin Anda capai seperti apa, begitu pula alokasi pembiayaannya.

Sekarang ini strategi pembagunan brand melalui internet merupakan solusi bagi Anda yang memiliki pembiayaan terbatas. Bagi Anda yang sekarang ini telah melakukan berbagai aktivitas offline juga perlu melakukan aktivitas pembangunan brand di dunia online. Karena internet merupakan sebuah dimensi baru kehidupan manusia. Itulah mengapa di beberapa tahun terakhir ini, kami selalu menjadikan online strategies bagi klien-klien kami sebagai prioritas aktivitas pembangunan brand.

Semoga setelah membaca beberapa penjelasan di atas, Anda tidak lagi salah kaprah ya mengenai pentingnya pembangunan brand! Dan seperti 3 Mul yang sering diomongin orang :
  • Mulailah dari hal kecil (tidak perlu aktivitas berbudget besar jika kondisi keuangan Anda belum mampu)
  • Mulai dari sekarang
  • dan Mulailah dari diri sendiri (dari brand Anda tentunya!)
Bisnis = otak kiri + otak kanan


Selama ini bertemu dengan berbagai karakteristik pebisnis membuat saya belajar banyak. Satu kesimpulan besar, adalah mereka pebisnis yang sukses adalah seorang yang jenius! Dulu pada waktu masih menjadi mahasiswa dan berada di lingkungan orang-orang teknik, saya merasa bahwa orang teknik itu jenius banget yah!! Ya.. beberapa tahun setelah bergelut di bidang perekonomian dan bertemu dengan orang-orang yang mampu membangun bisnis dari nol hingga beromset besar membuat saya berubah pikiran. Saya rasa pebisnis adalah orang paling jenius dibandingkan profesi lainnya, dan kenyataannya mereka tidaklah harus bergelar S1, S2, S3 atau es teler…

Latar belakang opini saya tersebut adalah bahwa seorang pebisnis yang sukses tidak hanya mampu mengembangkan otak kiri mereka, yaitu berupa pengelolaan keuangan, jalur distribusi dan sistem stok barang, tetapi juga otak kanan mereka, berupa konsep produk atau jasa yang mereka tawarkan, kemampuan psikologi mereka dalam melakukan pendekatan baik kepada karyawan mereka sendiri atau bahkan kepada para konsumen. Sebelum bertemu dengan orang-orang di balik kesuksesan perusahaan raksasa tersebut, saya berasumsi bahwa “pasti ada para profesional di balik semua kesuksesan ini”, tapi ternyata saya salah, yang sebenarnya adalah “ada orang jenius di balik para pekerja profesional tersebut”.

Selama ini juga saya berkali-kali bertukar pikiran, melakukan berbagai diskusi dan studi dan bahkan sesekali merenung untuk mendapatkan “keyword” atas keberhasilan sebuah bisnis. Di awal langkah saya bergabung dengan perusahaan in-house brand and marketing ini, saya merasa kreativitas memegang peranan penting (maklum, waktu itu saya berada di divisi kreatif). Saya seringkali berasumsi bahwa dalam membesarkan sebuah brand/bisnis, kreativitas memegang peranan penting, bahwa pada saat sebuah produk berhenti untuk berinovasi, maka produk tersebut akan mati. Tetapi dengan berjalannya waktu, saya menemukan banyak elemen lain dalam bisnis. Bagaimana dengan pemasaran? Bagaimana dengan pengelolaan keuangan? Investasi perusahaan? Sistem internal atau bahkan pengelolaan SDM? Begitu banyak kunci bukan, yang harus dibuat “sempurna” untuk bisa menghasilkan sebuah bisnis yang sukses?

Lalu melangkah ke divisi Strategic Planning, saya merasa bahwa peran strategi sungguh kuat dalam menentukan kesuksesan bisnis, terutama yang berhubungan dengan visi perusahaan yang diterjemahkan dalam berbagai strategi jangka pendek perusahaan. Idealisme saya mengatakan bahwa kunci utama dalam sebuah perusahaan besar adalah kekuatan para profesional yang ada di dalamnya yang mampu menjalankan setiap rincian perencanaan menjadi nyata, baik yang menyangkut ke pengembangan internal perusahaan maupun mengenai pemasaran ke para target market. Lalu apakah selesai sampai di sana tanda tanya yang muncul?
Ternyata tidak! Karena strategi adalah sebuah barang onggokan sampah tanpa adanya kekuatan untuk membuat seluruh organisasi bergerak menjalankannya.

Lalu apa yang menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut? Orang-orang yang saya temui dan memegang peranan besar dalam bisnis mereka masing-masing memiliki 1 karakteristik yang sama. Mereka bisa mengantarkan bisnis menjadi besar, karena mereka adalah seorang pemimpin! Yup! Itu adalah jawabannya. Pemimpin atau Leader adalah “keyword” dari seluruh kesuksesan perusahaan. Leader atau CEO sebuah perusahaan adalah penggerak; mereka adalah bahan bakar yang membuat sebuah bisnis berjalan dan melangkah menuju tujuan bersama-sama. Itulah mengapa orang-orang yang berkompetensi menjadi CEO handal merupakan the most wanted person di dunia bisnis dan sudah menjadi sasaran langganan para head-hunter. Jawaban inilah yang memberikan pencerahan pada beberapa kasus yang kami tangani, bahwa beberapa perusahaan terkadang tidak menyadari hal tersebut. Mereka fokus pada pengembangan teknologi, produk, atau bahkan strategi marketing; mengeluarkan banyak uang untuk bisa bermimpi mengalahkan para pesaingnya. Tapi apakah mereka pernah mengevaluasi : sudah benarkah pemimpin perusahaan mereka menjalani fungsi kepemimpinan itu sendiri?

Saya rasa, begitu banyak perusahaan yang fungsi organisasinya masih lemah dan itulah akar dari ketidakberhasilan program-program yang diciptakan. Beberapa kasus dari Harvard Business Review yang sempat saya studi, menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan besar di dunia mengagendakan hal terpenting dalam perencanaan bisnis para pemegang saham adalah menentukan siapa CEO terbaik yang harus memimpin perusahaan mereka. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya sebuah leadership dalam sebuah bisnis. Para pemegang saham P&G pun memutuskan untuk meng-hire A.G. Lafley sebagai CEO mereka di tengah krisis pada pertengahan tahun 2000, karena berdasarkan career history, mereka yakin bahwa beliau adalah orang yang tepat dan berpengalaman dalam menyelematkan krisis perusahaan.

Pada artikel nya “What only the CEO can do” (HBR May 2009), A.G. Lafley menjelaskan 4 koridor utama pekerjaan CEO berdasarkan observasi Drucker :

1. Defining and interpreting the meaningful outside
Melakukan pengumpulan data outlook (internal dan eksternal perusahaan), melakukan analisa bisnis dan penyusunan strategi perusahaan (otak kiri)

2. Answering, time and again, the two part question : What business are we in and what business are we not in?
Mengamati peluang dan memanfaatkan peluang tersebut dengan berbagai inovasi, dengan tetap diimbangi pertimbangan analisa bisnis (kreativitas = otak kanan)

3. Balancing sufficient yield in the present with necessary investment in the future
Melakukan perencanaan investasi baik dalam hal keuangan, produk dan teknologi (otak kanan)

4. Shaping the values and standards of the organization
Penciptaan culture perusahaan dan berbagai pendekatan organisasional, termasuk di dalamnya penciptaan corporate values (kreativitas dan psikologi = otak kanan)

Bagi kami, pengalaman menangani perusahaan dengan skala yang beragam (tidak hanya skala besar) membuat kami memiliki lebih banyak input dalam menganalisa problem bisnis, tidak hanya dari sudut pandang yang ideal tetapi juga perusahaan yang masih dalam proses berkembang. Terkadang analisa kami menyatakan bahwa masalah utama seringkali terlihat bukan dari aktivitas pemasarannya, tetapi dari fungsi organisasinya, atau lebih buruknya lagi : tidak memiliki seorang pemimpin! Bagaimana dengan perusahaan Anda?

Sudahkah ada orang yang tepat dengan kemampuan otak kanan dan kirinya yang mampu membawa perusahaan Anda menjadi lebih baik?
Let Your Business Through It!


Masih terbayang jelas diingatan saya ketika pertama kali saya datang ke perusahaan yang memanggil saya untuk interview kerja dulu. Sampai di depan ruko saya masih merasa biasa-biasa saja, tapi ketika sampai di depan pintu masuk kantor, saya sempat terhenti, ragu. “Bener nggak ya ini kantornya?”, gumam saya dalam hati. Begitu masuk ke dalam, saya makin ragu saja “Maaan, kantor apaan nih??!”. Hahaa, bayangkan saudara-saudara…Kantor yang berada di lantai 2 tepat di atas toko Circle K, yang untuk kesan kita harus melewati gorong-gorong sempit, dengan luas ruangan hanya sekitar 10 x 5 m² dan karyawan tidak lebih dari 15 orang yang semuanya anak muda! Kalau Mama saya tahu sih pasti saya langsung disuruh pulang tanpa harus diinterview dulu segala!=D (Yah layaknya ibu-ibu pada umumnya, dia sangat menginginkan anaknya kerja di perusahaan besar dan ternama gitu deh!;p)

Lebih dari setahun waktu berlalu dari hari itu, dan lihatlah perusahaan itu seperti apa sekarang. Menempati sebuah rumah luas yang disulap jadi kantor yang sangat nyaman dan full facilities (computer & laptop untuk setiap orang, pastry, ruang tamu, ruang meeting, ruang berkumpul, meja bilyard, dll), ruangan masing-masing untuk setiap divisi, memiliki mobil operasional kantor, dengan karyawan lebih dari 30 orang yang berkualitas tinggi, plus Office Boy dan driver, dan jumlah klien besar yang bertambah hampir dua kali lipat dari tahun lalu. Hmmm…pertumbuhan bisnis yang sangat pesat jika kita lihat hanya dalam hitungan 1 tahunan. Hebat!

Well, itulah bisnis yang mampu mengembangkan dirinya semaksimal mungkin. Berapa banyak perusahaan yang harus gulung tikar hanya karena pertumbuhan bisnisnya sangaaaat lambat, bahkan nyaris tidak ada? Banyak say! Lha itu banyak PHK dimana-mana, apa sebabnya? Ya mungkin tidak sepenuhnya karena pertumbuhan bisnisnya mandek sih, tapi alasan ini mendominasi fenomena tersebut lho!

Sebelum lebih jauh saya tanya dulu deh, siapa yang tidak merencanakan, mengharapkan dan mengusahakan bisnis yang dimilikinya dapat tumbuh pesat waktu demi waktu? Berani potong kuping deh (eh, serem ah, berani jadi tajir saja! Hehee!;p), setiap pengusaha pasti menginginkan pertumbahan bisnis yang signifikan bagi perusahaannya. Karena pertumbuhan bisnis yang bagus tentu otomatis akan berkolerasi sangatsignifikan juga terhadap peningkatan profit…dan profit pastinya adalah tujuan dari setiap bisnis dimanapun!

Hhmm..lalu kenapa ya ada perusahaan yang mampu mengalami pertumbuhan bisnis yang ok sementara ada juga yang justru mandek dan berujung bangkrut? Layaknya manusia, bisnis juga harus melewati beberapa fase pertumbuhan donk. Nah menutur Larry E. Greiner, ada beberapa fase yang memang biasa dilewati oleh setiap perusahaan untuk peertumbuhan bisnisnya. Dalam Growth Phases of Greiner disebutkan enam fase pertumbuhan dan perkembangan organisasi (dalam hal ini bisnis).

1. Growth through creativity
Perusahaan yang baru merintis bisnisnya pasti mengalami fase ini di awal perjuangannya. Fase ini biasanya ditandai dengan komunikasi yang masih tidak formal, kerja keras dan pendapatan yang rendah. Dengan situasi seperti itu biasanya akan sangat memungkinkan munculnya masalah krisis kepemimpinan. Dibutuhkan sosok pemimpin dengan karakter yang kuat dalam fase ini. Disini pertumbuhan melalui kreativitas menjadi masa yang berkesan bagi para perintisnya. Kreativitas jelaas sangat dibutuhkan untuk dapat tumbuh dan berkembang, Kreatifitas disini jangan hanya disempitkan dengan design, seni dsj ya, tapi diterapkan ke semua hal dalam bisnis tersebut. Contohnya, selain kreatif dalam servis atau produk yang kita keluarkan, perusahaan juga harus kreatif menekan biaya operasional semaksimal mungkin namun dengan profit yang maksimal juga. Maunya! Hehee!

2. Growth through direction
Di fase ini perusahaan biasanya mengalami beberapa hal seperti ini, pertumbuhan yang mulai berkelanjutan, struktur organisasi yang fungsional, adanya akunting yang capable di bidangnya, capital management, budget yang lebih besar, dan standarisasi proses dalam bisnis tersebut. Fase ini bisa saja berakhir dan semua fase selanjutnya terhenti jika terjadi Krisis OtonomiHarus diperhatkan bahwa kata “direction” ini bisa saja memungkinkan timbulnya system “bossy”, sehingga karyawan tidak memiliki “otonomi” dalam melakukan tugasnya dengan cara yang mereka ketahui dengan pasti yang terbaik bagi keberhasilan tugas tersebut. Ini bukan hal yang sepele karena saat karyawan merasa dibatasai atau terlalu diatur oleh system yang tidak sesuai, maka memungkinkan pertumbuhan bisnis secara keseluruhan terhenti. Disinilah direction yang digunakan harus diusahakan berjalan se-smooth mungkin hingga dapat diterima oleh seluruh pihak yang terlibat. ‘Main cantik’ lah bahasa gaulnya sih!;p

3. Growth through delegation
Fase ketiga ini ditandai dengan karaketeristik perusahaan yang mulai menerapkan desentralisasi struktur organisasi, responsibilitas terhadap operasional dan tingkatan market, profit oriented, insentif keuangan, pengambilan keputusan didasarkan pada review per-periodic, seluruh top management terlibat tanpa pengecualian, dan komunikasi yang digunakan pun sudah formil. Sudah tambah baik kan pertumbuhannya di fase ini, tapi jangan sampai lupa kalau control yang tidak baik akan mampu menghentikan pertumbuhan perusahaan sampai di fase ini saja. Itulah sebabnya di fase ini masalah yang mungkin timbul adalah control yang kurang terhadap operasional bisnis secara keseluruhan. Ya karena banyak mendelegasikan itulah, seharusnya pimpinan memiliki control juga terhadap kinerja delegator tersebut, Jangan sampai jalan di tempat hanya karena salah mendelegasikan ya!

4. Growth through coordination and monitoring
Kalau fase yang satu ini lebih menekankan pada koordinasi dan monitoring. Semakin bertumbuhnya bisnis perusahaan, masalah yang akan muncul pun makin beragam dan kompleks saja. Itulah sebabnya dibutuhkan fase dimana koordinasi dan monitoring yang baik harus diterapkan dengan konsisiten. Fase ini biasanya ditandai dengan adanya formasi grup produk, dilakukan review dari rencana yang telah disetujui, pengeluaran perusahaan yang sangat besar, ROI sudah dapat dihitung (wiih, asik nih!;p), karyawan termotivasi oleh harapan adanya sedikit saja profit sharing, dll. Fase yang sudah bagus untuk pertumbuhan bisnis memang, namun tetap saja tidak boleh lengah karena pasti akan muncul masalah atau krisis yang memungkinkan perusahaan mandek atau bahkan turun level. Duh, semoga nggak terjadi ya!

5. Growth through collaboration
Whiiiiii…sudah sampai di fase ini saja nih! Selamat! Fase ini adalah masa dimana pertumbuhan perusahaan terlihat sangat jelas jika dibandingkan dengan fase awal tadi. Dalam fase ini bisanya juga ditandai dengan munculnya jalan pintas evolusioner yang baru untuk mengembangkan bisnis perusahaan, problem solving dengan acti0n, bukan wacana berlarut-larut, crossing tugas tiap tim, adanya staf support system desentralilasi, mekanisme control yang lebih simple, dilaksanakannya program pendidikan behavior setiap tim, sistyem informasi yang advance, disusunnya insentif tim, dll. Wah, bisa kita lihat ya kalau fase ini oke berat! Sangt menunjukkan pertumbuhan bisnis perusahaan sudah berada di titik hampir maksimal. Hampir lho..! Hehee! Karena lagi-lagi jika perusahaan tidak mampu memanage dengan baik, maka memungkinkan timbulnya krisis pertumbuhan (justru) di internal. Lihat indikasi fase ini? Belum tentu setiap karyawan dan managemen mampu mengikuti semua hal itu dan bisa melewati fase ini dengan baik.

6. Growth through extra-organizational solutions
Sebenarnya Growth Phase ini awalnya berakhir di fase kelima tadi, tapi kemudian Greiner menambahkan satu fase lagi. Fase terakhir ini benar-benar menunjukkan bahwa pertumbuhan bisnis perusahaan sudah sampai di batas tertinggi pertumbuhannya. Hohoo, gaya banget deh!;p Sesuai judulnya, extra-organizational solutions, dalam fase ini dibutuhkan solusi organisasi yang ekstra. Ekstra tinggi, ekstra baik, ekstra maju, ekstra inovatif, ekstra nekat (hehee!), dan ekstra-ekstra yang lainnya. Disini perusahaan muali berani melakukan merger dengan perusahaan lain, bermain dengan saham, membangun networks dengan banyak pihak yang berkepentingan di kemudian hari, dll. Intinya adalah bagaimana menemukan celah kekuatan tertinggi untuk sampai di pertumbuhan bisnis yang semaksimal mungkin, Memang benar kata pepatah yang bilang manusia itu tudak pernah merasa puas! =)

Tidak pernah ada cara instans dan mudah memang untuk mencapai titik tertinggi dalam bisnis. Disadari ataupun tidak, perusahan yang tumbuh instan pun sesungguhnya tetap saja melewati fase-fase di atas. Hanya saja bedanya, ada perusahaan yang paham betul fase-fase ini dan mengikutinya dengan sangat baik sebagai penyempurna pertumbuhannya kelak, ada juga perusahaan yang masa bodo (atau mungkin ‘bodo’ beneran?;p).

Perusahaan yang sempat saya ceritakan di awal tentunya sadar betul fase-fase ini dan menjalaninya dengan sabar. Terilihat kan dalam beberapa tahun bisnisnya mampu mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Yah walaupun jelas belum berada di fase terakhir, namun saya yakin perusahaan itu mampu melewati semua fase dengan sangat baik dan akan tiba di titik pertumbuhan yang diinginkan oleh managemen dan karyawannya. Dengan bangga, saya menyebutnya: kantor saya! =)
Result Oriented Management,
It’s Not a Nightmare for Us


Saya tipe orang yang sangat ‘menggilai’ berkumpul dengan teman-teman, baik itu teman kerja, teman kuliah, SMA, SMP, bahkan teman sedari TK pun masih saya jaga silaturahminya sampai sekarang. Menjadi lebih menyenangkan lagi karena topic obrolan kita setiap kali berkumpul tidak lagi hanya seputaran cinta, keluarga, ataupun pertemanan, tapi ditambah dengan topic pekerjaan. Karena semua dari kami mayoritas telah bekerja untuk orang lain (bukan wiraswasta maksudnya), sudah dipastikan cerita-cerita mengenai situasi kerja, sifat para atasan, corporate culture, dan curhatan mengenai pekerjaan tak pernah absen menjadi bahan obrolan kami.

“ Gw suka kesel deh kalau si bos ngasih gw tugas yang susaaah banget dan dengan manisnya bilang “Terserah gimana kamu caranya, yang penting saya mau besok tugasnya sudah selesai!”…ampun deh! Suka nggak mau tau proses, maunya hasil aja!”, ini curhatan salah satu teman SMP saya yang sekarang ini sedang bekerja di salah satu IT Consultant di Bandung. Entah hanya bermaksud menimpali atau memang curcol (curhat colongan) teman saya yang lain yang sekarang bekerja di salah satu koran harian umum di Bandung langsung nyerocos “ Iya tuh, udah gitu pas kita serahin hasilnya, dia protes, ngomel-ngomel karena hasilnya kurang memuaskan versi dia. Dia mah nggak pernah mau tahu kalau kita berusaha kemaksimal mungkin kaya orang gila, sampai nangis darah sampai nggak tidur semaleman untuk ngerjain itu. Don’t care with the process, just need the result! Dasar Result Oriented! Yang penting hasil, bukan proses!”. Saya sampai wondering, dia pasti mengalami hal yang seperti itu dari atasannya. Berapi-api banget!=D

Hmmm…saya sih jadi berpikir sendiri dalam hati, “atasan saya kaya apa ya? ‘paham’ seperti apa yang ‘dianut’ oeh kantor saya ya? Ngak pernah kepikiran sampai kesitu sih sebelumnya…”. Saya masih ingat dulu salah satu bos saya pernah “memarahi” tim activation kita, padahal event-nya sukses lho,tapi menurut beliau, dia ‘kecewa’ karena dia tahu proses yang terjadi selama persiapan hingga pelaksanaan, prosesnya kacau sekali. Menurut beliau, saat proses yang harus dijalani berjalan dengan baik, maka hasil sih pasti mengikuti. Makanya saya berpikir bahwa dia ‘proccess oriented’. Ah tapi dalam beberapa hal, beliau akan tetap marah jika prosesnya benar sementara hasilnya tidak seperti yang diinginkan. Lho, jadi gimana nih??

Heee…sebenarnya sih kalau kita mau membuka pikiran, apapun itu, mau result oriented atau process oriented, ya ujungnya pasti hasilnya harus bagus. Ya nggak make sense juga kan kalau prosesnya baguuus sekali, tapi hasilnya tidak ok. Buat apa? KJadi ya pada dasarnya semua perusahaan pasti menganut paham result oriented lah!=)

Eitz, sebenarnya apa sih result oriented management itu? Ya gampangnya adalah system manajemen yang menginginkan hasil maksimum dengan pengukuran yang jelas. Jadi kalau kamu dikasih tugas jadi marketing, pengukuran keberhasilan kamu sebagai marketing sudah ada ukiuran yang jelas. Misalnya dalam 1 minggu harus ada closing minimal 1 deal. Maka kamu akan lebih mudah melihat bagaimana caranya supaya hasilnya tercapai, manajemen juga jadi mudah mengukurnya, kalau tidak ada 1 closing bulan ini, ya bewrarti kamu gagal. Justru malah fair kan?

Tapi jangan salah, menerapakan result oriented management itu memerlukan beberapa tahapan, seperti yang disampaikan oleh Jan Schouten and Wim van Beers :

1. Set the target
Jangankan perusahaan, kamu saja pasti punya target dalam hidup kamu kan? Tidak ada perusahaan yang jalan dengan prinsip ‘go with the flow’, profit dan kemajuan perusahaan saja sudah masuk menjadi target/ tujuan perusahaan. Target akan memudahkan perusahaan untuk ‘melihat’ masa depan perusahaan dan menkadi penyemangat bekerja para karyawannya. Jadi di awal, jangan lupa untuk menentukan target apa yang ingin atau harus dicapai. Ini bisa merujuk pada tujuan jangka panjang perusahaan, jadi target jangka pendek atau target individu pun yang dibuat harus sejalan dengan hal tersebut.

2. Translating
Setelah target ditentukan, waktunya menerjemahkan tujuan perusahaan ke dalam tujuan Strategic Bussiness Units (SBU) dan juga tujuan individu. Maksudnya disini, tahap selanjutnya perusahaan harsu menyusun SBU yang sesuai atau berdasarkan tujuan perusahaan, nggak ‘masing-masing’. Begitu juga dengan tujuan divisi sampai tujuan individu sekalipun, semuanya harus berdasarkan tujuan perusahaan secara umum, tidak boleh bertentangan. Ya nggak akan lucu saja kan kalau perusahaan, manajemen, dan individu memiliki tujuan yang tidak ada hubungannya dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. Nggak nyambung! Bagaimana bis maju kalau begitu?=)

3. Result Oriented Agreements
Nah seperti sempat saya singgung di atas, hasil yang ingin dicapai sebaiknya memang memiliki pengukuran yang jelas. Tapi jelas saja tentu belum cukup. Banyak karyawan yang iya-iya saja saat atasannya menentukan taeget yang harus mereka capai, tapi saat pengukuran ternyata baru diketahui mereka lupa atau misperception dengan pengukuran yang dibuat. Maka dari itu, perusahaan selanjutnya harus membuat suatu result oriented agreement mengenai tujuan yang ingin dicapai tersebut. Agreement ini akan menjadi “buku besar” bagi perusahaan dan karyawannya. Dan karena semua pihak sudah ‘agree’, maka tidaka ada excuse sedikitpun untuk penyimpangan atau pelaksanaan yang tidak maksimal.

4. Implementation
Semua persiapan sudah tersusun dengan baik, maka apalagi langkah selanjutnya jika bukan implementasi. Setiap individu dalam perusahaan harus mampu mengaplikasikan semua tujuan dan target tersebut, menyetir dirinya sendiri dan memanage laporan yang harus diberikan pada perusahaan atau pada atasan. Tidak ada gunanya tujuan yang hebat, target yang tinggi, jika semuanya itu tidak dapat diterapkan di dunia nyata saat pelaksanannya. Baik divisi maupun individu yang in charge harus juga mampu mengarahkan dirinya untuk dapat melaksanakan tugas sebaik mungkin hingga dapat mencapai tujuan atau target. Jangan lupa juga selalu sempatkan untuk membuat laporan mengenai proses itu baik diminta ataupun tidak. Karena sesungguhnya laporan itu akan menjadi saksi mata ‘perjuangan’ kamu dan juga sebagai ‘alarm’ kamu.

5. Periodic appraisals, progress control.
Walaupun semua tujuan dan target sudah disusun bahkan sudah dilaksanakan, bukan berarti semuanya stop sampai disitu. Jangan pernah lupa untuk melakukan pengecekan laporan dan pengukuran secara periodic terhadap proses dan pencapaian hasilnya. Selain itu, selama implementasi tersebut jangan sampai tidak ada pengontrolan terhadap setiap progress yang ada. Kontrol yang baik akan menghindarkan kita dari kekeliruan atau ‘ketersesatan’ dari tujuan dan target yang ingin kita capai. Semua ini lebih menjadi ‘guardian’ kita untuk mencapai tujuan dan target yang telah ditetapkan. Selama ada yang menjaga dan mengingatkan, rasa-rasanya kemungkinan gagal sedikit sekali ya!=)

Jadi gimana, tidak salah kan jika perusahaan menganut system result oriented? Lagipula proses dan maknanya tidak ‘sekasar’ yang teman-teman saya utarakan di awal kan? Kalau yang kaya gitu sih saya juga bisa ngomel-ngomel dalam hati (walaupun kadang ada juga sih! Hehee!;p). Tapi sekarang kita jadi tahu kan bahwa pengertiannya bukan seperti itu dan proses-proses itu membuka mata kita bahwa it’s not a nightmare kok! Hehee!;p