Pernah datang ke blitz Megaplex di Bandung? Jika belum pernah sebaiknya anda harus menyempatkan diri untuk datang, menikmati suasana dan kemudia menonton di dalam bioskopnya. Lalu kemudian anda pergi ke salah satu pesaingnya dan lakukan aktivitas yang sama dengan yang anda lakukan di Blitz. Yah kamu akan menemukan apa bedanya Blitz dan The Old Lady.
Bangku-bangku dan sofa-sofa yang sangat nyaman untuk menunggu sampai film yang kita inginkan diputar di Blitz bertebaran di lantai bawah dan lantai atasnya, begitu nyaman dan santai sambil sesekali waiter dari cafe di sana datang menawarkan beberapa menu ringan untuk dinikmati, belum cukup bagi anda penggemar musik terdapat db di mana anda dapat membuat album yang kamu sukai. Kalo di old lady, wah wah nunggu film kita bisa bisa harus ngapar-ngapar di lantai, sukur-syukur ada bangku din dong yang kosong sehingga kita bisa manfaatkan untuk duduk kalo ga mau yah pergi ke food court ato resto di sekitarnya.
Blizt sepertinya tahu benar expectasi anak-anak muda dan penonton dewasa seperti saya tentang bagaimana semestinya sebuah tempat menonton. Kombinasi hiburan dan pengalaman berkunjung ke sana sedikit banyak menciptakan sebuah apresiasi yang positif di mata target marketnya. Memang sih konsep ini bukan barang baru terutama di Jakarta, Cuma aneh juga di bandung baru mereka yang ngusung konsep ini (setidaknya yang benar benar terlihat dan dipublikasikan) padahal Old Lady sudah sangat-sangat lama bermukim di bandung.
Dalam bukunya M. Tracy dan Weiserman, The Discipline of market Leader, dijelaskan bahwa setiap pemimpin pasar harus memiliki senjata pamungkas atau fokus pasa salah satu dari tiga bisang yaitu operational execellent, customer intimacy dan product leadership. Nah gawatnya di Old Lady saya sama sekali tidak melihat mereka kuat dalam satu bidangpun. Berbicara soal harga, hampir semua film pukul rata harganya, yah paling-paling Nomat, sedangkan pesaingnya bahkan memberikan treatment harga khusus untuk film Indonesia selain hal-hal standart seperti Nomat. Customer intimacy, jauhhhhh. Saya benar-benar tidak habis pikir bagaimana hal ini bisa sangat berbeda, anda bahkan bisa rapat kecil dengan exclusive di area blizt untuk menunggu film di putar sedangkan di Old Lady? Bagaiman mungkin bisa menciptakan customer intimacy, untung mereka membuka tempatnya di daerah yang agak sulit di capai sehingga memang segmen menengah ke atas yang lebih banyak datang kalau saja hal ini terjadi di tengah kota?. Product leadership? Yah kalo Old lady gitu gitu ajah dari jaman satu ampe sekarang kali yah mungkin yang paling gress Cuma bisa beli tiket mulai jam 12 an buat jam berapa ajah di hari yang sama.
Loh saya ini siapa sih ha....ha kok usil ajah, yah namanya juga brandist (julukan kami di kantor buat orang branding). Saya pikir sudah saatnya Old Lady melakukan rejuvenasi baik dari sisi content, context maupun dari sisi infrastructure. Kenyamanan ketikan film sudah diputar memang sangat penting, Cuma point of sales ketika orang menunggu, mengantri, dan hal hal lainya sebelum menonton juga sangat penting. Ketika alternatif belom ada ok lah apa boleh buat, take it or leave it, Cuma ketika pesaing muncul ga bisa gitu lagi, innovation or die.
Dulu saya dan beberapa teman saya adalah pelanggan setia old lady, sekarang saya pelanggan setianya blitzMegaplex. Alasannya sederhana di Blitz saya bisa bersantai di sofa, ngobrol beberapa hal dan menikmati secangkir kopi yang langsung ditawarkan oleh seorang pelayan ketika menunggu film yang saya nantikan di putar.
Pertanyaannya apakah kelak jika Old Lady berubaha saya mau kembali kepangkuan kasihnya? Ya, asal mereka bisa mengerti keinginan hati saya dan para movie maniac lainnya. Instilah mereka bisa memahami Customer Insight target marketnya.
No comments:
Post a Comment