Dec 26, 2007

Rekayasa itu perlu

Percaya nga percaya kita memang tidak bisa selalu jujur dalam berjualan, ya gimana nga.. masyarakat kita sudah terbentuk sedemikian rupa untuk lebih menyukai hal-hal baik yang bersifat semu dibandingkan hal buruk yang nyata. Contoh aja semua orang akan lebih suka hidung mancung dari pesek, jadi jangan salahkan banyak artis kita yang memancungkan hidungnya, itu kan tuntutan job.. lalu setelah mereka melakukan operasi itu dan berusaha untuk jujur balik lagi dicaci maki masyarakat.. jadi terkadang lebih baik bersikap tidak jujur dalam berjualan. Stop dulu jangan langsung jadi mencaci maki saya karena saya menyarankan hal yang buruk, karena saya masih punya contoh banyak dalam hal ini.

Saya akan lebih menjabarkan dalam hal naming, bahwa nama sebuah brand akan sangat mempengaruhi jalannya karir penjualan atau kesuksesan brand itu sendiri. Ok, kemarin saya sempat ngobrol dengan anak-anak kantor saya berkaitan dengan kasus baru yang masuk ke kantor. Ada 1 produk teh mahkota dewa yang menjual produknya dengan nama Mahkota Dewa, sedangkan produk yang sama percis dijual dengan brand lain bermerk Nature Life, and sudah pasti bisa ditebak kan.. kalau orang akan memilih yang berlabel Nature Life, kenapa? Karena pakai bahasa inggris, nga ndesooo… lebih gaya belinya, lebih bisa dipercaya, ya apa sajalah sebabnya, sebaiknya tanya ke diri kita masing-masing. Masalahnya bukan hanya produknya yang sama, tetapi juga penyajian packaging nya sama percis, malahan brand berbahasa inggris itu dijual DUA kali lipat, dan masih tetap dibeli orang.

Ternyata memang naming sangat dibutuhkan karena masyarakat kita, seperti yang sudah saya bilang di atas, lebih suka hal-hal yang berbau barat atau luar negri (walaupun produk tanah air) dibanding yang benar-benar asli Indonesia, mungkin tidak bisa disalahkan juga karena selama 30 tahun lebih produk dalam negri memang kalah jauh dengan produk luar, tetapi lain lagi dengan sekarang yang sudah maju pesat. Dalam kemajuannya yang sungguh pesat ini, produk dalam negri harus tetap berhati-hati dalam langkah-langkah pemasarannya, salah satunya dalam hal naming tadi. Mungkin salah satu kesalahan pemasaran brand Timor yang beridealisme Indonesia sekali itu, karena ia menggunakan nama Timor, di mana yang terbayang di benak masyarakat adalah MOBIL BUATAN INDONESIA, beda dengan merk Polytron yang buatan Indonesia tetapi menggunakan nama brand yang mirip dengan brand Jepang, sehingga yang terbayang yah.. TV BUATAN JEPANG, karena selama ini memang TV bagus selalu buatan Jepang.

Jangankan sebuah produk, untuk memasarkan artis saja harus ada brandnya seperti Jerry Yan yang bernama asli Yan Cheng Xu, biar kayak orang bule pake nama Jerry dan mudah diingat orang selain orang Taiwan/Cina yang terbiasa dengan pembacaan nama 3 suku kata; atau Yuni Shara yang ternyata Wahyu Setyaning Budi atau Inul yang adalah Ainur Rohimah.. ya beda banyak juga gpp asal masih mirip dikit.. yang penting bisa trend, tapi terbukti benar bahwa nama merk yang mereka pakai untuk pemasaran membangung persepsi yang baik, walaupun merekayasa jati diri nama pemberian ortu di kampung.. balik lagi pada idealisme masing-masing, tetapi jangan anggap remeh persepsi yang telah terbentuk di masyarakat, karena kita memang berjualan kepada masyarakat.

Ngelantur Marketing

Untuk brand baru, bagaimana caranya kita masuk kepasar yang sudah mature di mana market leader dan pemain nomor dua, tiga lainnya sudah sangat mengusai market tersebut, tingkat penetrasi produk sudah sangat tinggi dan komunikasi dari kompetitorpun sudah sangat gencar serta ditambah lagi posisitioning masing-masing brand competitor sudah sangat mapan dan menancap di benak konsumen?

Kira-kira inilah pertanyaan akhir pekan lalu yang ditanyakan klien saya kepada saya ketika sedang lunch bersama, sambil bercanda saya bertanya balik ke beliau, trus ngapain maksain masuk ke pasar itu pak? Ha……..ha, iya toh, penetrasi marketnya sudah sangat tinggi, katakanlah sabun mandi, masing-masing brand sudah memiliki positioning dan differensiasi masing-masing, komunikasinya juga sangat matang dan intensitasnya tinggal belum lagi sudah pasti masalah distribusi sudah pasti jauh unggul dalam banyak hal, wah ini sih mengirim kucing garong ke markas macan, canda saya. Nasibnya sudah hampir jelas, menghadap ilahi, kemudian kami tertawa berdua.

Saya jadi bertanya-tanya tapi memang cukup banyak brand baru yang muncul di dalam kondisi ini, kita ambil contoh sampo zinch, dengan penetrasi pasar yang sudah lebih dari 80 persen (hampir 80 persen penduduk sudah menggunakan sampo), dengan brand kompetitor yang luar biasa kuatnya dalam hal komunikasi, distribusi dan equitas mereknya toh Zinch masih saja berani masuk dengan iklan yang jor jor an dan differensiasi produk yang tidak terlalu unik juga, standart ajah menghilangkan ketombe. Nasibnya, kurang tahu saya sih sejujurnya, namun jika berasumsi dari komunikasi yang dilakukannya saat ini sepertinya brand ini mulai kehabisan nafas untuk terus meladeni serangan balik dari kompetitornya. Lantas bagaimana dan apa yang harus dilakukan sebuah brand masuk dengan kondisi seperti itu?

Pertama yang sangat perlu diperhatikan adalah visi dari brand yang ingin kita bangun dipasar? Jangka pendek atau mau hit and run? Sustainable atau temporary ajah? Kemudian kedua membangun core competency dan kapabilitas inti yang dimiliki brand, hal ini teramat sangat penting untuk kita mengetahui apakah kita memiliki cukup keunikan dan kapasitas untuk mendrive pasar membeli produk kita nantinya selain itu tentu merupakan ukuran nyata mengenai kemampuan kita kelak di pasar.

Dengan comparasi core competency ini kita kemudian dapat mencari insight dari pasar (kedua) apakah kemudian pasar dapat menerima keunikan yang kita bangun kelak di pasar. Dari sini juga kemudian (ketiga) kita membandingkan kapabilitas kita dalam menghadapi strategi-strategi yang akan kita dan pesaing kita luncurkan ketika di pasar. Ini baru bicara sampai membangun core compatency yang unik dan bisa diterima oleh target market kita, belum lagi kita berbicara strategic business unit yang harus dibangun agar semua objectives yang kita bangun bisa dicapai secara efektif dan efisien tentunya.

Sulit sekali yah sepertinya, 100 % yah. Tidak ada yang mudah dalam dunia pemasaran, sejauh orientasinya berakhir pada penjualan berarti jalan panjang dan sulit pasti akan dilalui karena tidak ada yang akan membiarkan kita menikmati market seorang diri.

Jadi saran saya kepada setiap orang yang bertanya mengenai sebuah keinganan untuk usaha atau meluncurkan produk baru, kita harus total baik dari sisi manusia, strategy, eksekusi, dan dukungan dananya. Hal terakhir yang saya sebutkan masih bersifat relatif walaupun sangat penting, tergantung produk apa yang ingin diluncurkan, namun tiga hal lainnya adalah mutlak, tidak ada tawar menawar, total atau mati.

Mengapa manusia saya letakan pertama dalam hal ini? Dari pengalaman saya sebagai konsultan branding, 90 persen kesuksesan sebuah brand berada di balik manusianya. Mereka inilah yang secara total dan kreatif membangun dan menyukseskan sebuah brand, sering sekali kita membaca dalam sebuah kondisi dimana sebuah perusahaan sedang sekarat tiba-tiba dengan bergantinya pimpinan dan tim yang dibangun perusahaan tersebut menjadi sangat sukses atau hal yang paling tidak bisa dipungkirin, produk mana yang sukses tanpa manusianya (yang handal tentunya)? Selalu ada manusia tangguh, pintar dan berkomitmen dibalik setiap kesuksesan merek. Strategy yang dibangun bisa saja sangat bagus dan brilian, di bantu oleh konsultan ternama tingkat dunia, namun ketika brand tersebut ditangani oleh manusia yang tidak handal, masalah cepat atau lamabat pasti akan menghampiri brand tersebut.

Karena hal ini pulahlah, sebagai brand konsultan saya dan tim selalu fokus pada mengolahan internal branding dan hebatnya dari semua klien yang perusahaan kami tangani masalah ini selalu muncul sebagai penyebab nomor satu yang akan menyebabkan penjualan dan ukuitas merek merosot dalam jangka panjang. Sales yang semu, begitulah saya suka menyebutnya, seperti bergairah dan menyenangkan dalam jangka pendek dan akan membuat kita menangis dalam jangka panjang. Pondasi manusia adalah segalanya dan karena itulah penting sekali untuk membangun hal ini. Sekali waktu rekan saya bercerita bahwa dia barusan saja berbicara dengan salah satu “konsultan” yang bercerita sukses membesar dua brand dan meningkatkan penjualannya ketika dia berada di perusahaan tersebut, namun kedua brand tersebut saat ini sudah di alam baka dan itu karena menurutnya “si konsultan” sudah tidak berada lagi di sana, wow what the hell **** is this? Sukses? Inilah salah satu bentuk kegagalan seorang konsultan, seharusnya ketika meninggalkan perusahaan tersebut dia mampu meninggalkan pondasi yang kuat terutama di manusianya sehingga tanpa harus membayar jasa si konsultan lagi mereka bisa menjalankan dan membangun brand tersebut.

Kedua adalah strategy, wah mambahas hal ini tentu sangat panjang namun intinya adalah setiap peluncuran produk baru perencanaan dari hulu ke hilir haruslah sangant matang apalagi bila produk yang diluncurkan bersifat masal dimana pesaing kuat maupun kecil berkerumun di dalamnya. Strategy ini harus dimulai dari bagaimana kita memetakan lanscape bisnis kita, menganalisis dengan cermat customer dan pesaing perusahaan dan kemudian menyusun strategic business concept perusahaan mulai dari penentapan target market yang tepat, posisitioning produk yang sesuai dan mendukung differensiasi produk sampai dan sampai ke pincitraan secara visual dan eksekusi lapangan yang tepat. Panjang sekali tentunya jika harus dibahas, namun every detail is important in business jika kita berbicara bisnis dalam jangka panjang dan membangun ekuitas merek yang kuat.

Ketiga adalah eksekusi. Nah ini yang paling repot apalagi bila bicara produk yang melibatkan tenaga lapangan (sales) yang banyak. Kadang dibeberapa perusahaan fungsi marketing dibedahkan dengan fungsi sales sehingga tidak jarang menyebabkan kontradiksi dan bukan tidak mungkin konfrontasi antara keduanya. Bagian marketing kadang merasa bagian sales tidak menjalankan strategi yang sudah dibikin dengan sangat baik dan berdasarkan hasil riset yang cukup mahal sedangkan bagian sales merasa bagian marketing hanya bisa duduk di meja tanpa mau mengerti kondisi lapangan sesunguhnya. Karena itulah khusus di eksekusi ini setiap komponen khusunya bagian marketing dan sales harus bisa duduk bersama, saling bertukar informasi guna menyusun strategi pasar bersama. Tentu tidak ada yang lebih baik pemikirannya dari yang lain karena konteks “lapangan” bagi kedua bagian ini sangat berbeda. Lapangan bagi marketing adalah competitive setting yang melibatkan banyak hal mulai dari geagrafi, demografis dan psikografis dan faktor lainnya yang akan mempengaruhi perusahaan, isitilahnya marketing menggunakan helicopter view untuk melihat lapangan, sedangkan sales melihat pasar lebih detail dengan wilayah yang lebih terbatas sehingga orang sales sangat tahu apa yang sedang terjadi lapangan (preman view).

Di atas baru bicara mengenai pembagian fungsi dalam eksekusi, belum pembagian kerja yang lebih detail dalam eksekusi yang kadang jauh lebih sulit karena berhubungan kembali dengan kedua hal diatas yang telah dibahas sebelumnya yaitu manusia dan strategy. Next time mungkin akan kita bahas lebih dalam lagi bagaiman eksekusi lapangan terbaik yang harus dikerjakan perusahaan untuk membangun brand dan penjualannya.

Terakhir dana, sifatnya sangat relatif dan kisah-kisah kesuksesan tanpa dan dengan dukungan dana tentu sangat banyak, kita akan berhasil dengan kedua opsi di atas dengan catatan ketiga hal yang kita bangun sebelumnya bisa berfungsi dengan maksimal dan berjalan mengarah pada kemajuan yang berkesinambungan.

Wah kali ini benar-benar ngelantur nih, panjang dan mungkin sedikit lompat-lompat, namun tulisan yang ringan ini mungkin bisa memberikan sedikit pencerahan bahwa membangun sebuah brand dan penjualan tidaklah segampang kita membangun bisnis. Yah membangun bisnis tentu saja sangat gampang, punya modal 1 juta buka ajah pecel lele, udah bisnis tuh namanya, namun ketika bicara profit dan merek nanti dulu, uang bukan syarat mutlak walaupun tentunya sangat membantu bilan ada namun manusia, strategy dan eksekusilah yang mutlak harus berjalan dengan baik.

The Love of Dove

Melanjutkan diskusi ngelantur singkat kemaren bersama teman kerja saya di area meeting baru kami, saya menyisipkan post singkat di salah satu milis, berkomentar tentang strategi Dove yang, saya nyaris tidak percaya kalau hampir semua orang membicarakannya. Entah hal ini sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, Dove bukan baru kemarin melancarkan strategi persahabatan itu : The Love of Dove. Tapi ada dua hal sebenarnya yang ingin saya bahas. Yang pertama : Oprah adalah suatu media yang menggemparkan, sangat menggemparkan dan saya tidak percaya kalau efeknya sebesar itu, seperti yang sebelumnya saya katakan bahwa sudah sejak beberapa waktu lalu (hitungan bulan) Dove memulai strategi persahabatan yang ia jalankan, tetapi sejak muncul di Oprah Show (Dove based on America, tentunya) baru setelah itu semua orang membicarakannya, ya termasuk teman kerja saya dan orang-orang di milis. Ternyata that Oprah really does work.. dan memang jarang sih ada hal-hal komersil in that show, tapi karena saya juga tidak menonton nya secara langsung, saya tidak bisa bercerita terlalu banyak, mungkin saya lebih banyak bercerita tentang dampaknya, karena saya memang yang terkena dampaknya.

Pertama kali saya menyadari Dove’s new brand activation, yaitu berupa pengangkatan sisi persahabatan common women, sebenarnya saya tidak terlalu terkejut juga sih, karena bagi saya sebagai seorang wanita, ini bukan hal yang benar-benar baru, dalam artian mengangkat persahabatan sebagai simbol dari kecantikan, di mana pada brand activation sunsilk girls day pun melakukan hal yang serupa hanya saja perbedaan target usia market. Tapi reaksi dari orang lain, ya mungkin teman kerja saya yang laki-laki dan orang-orang milis yang juga laki-laki beranggapan bahwa hal ini adalah hal yang baru, berbeda dan cerdas. Mau tidak mau sayapun jadi berpikir ulang tentang semuanya. Ternyata demikian, ini hal kedua yang ingin saya sampaikan. Bahwa ternyata memang tidak hanya unsur persabahatan dan cinta saja yang ingin ditampilkan dari momen ini, tetapi adanya kejujuran (begitu kata teman kerja saya) yang dalam from this activation, yaitu penggunaan common women. Ya.. boleh dibilang sih mungkin saja target market terutama para wanita, sudah cukup muak dengan melihat berbagai kecantikan (yang bagi diri mereka sendiri adalah semu) yang diombar ambir di layar kaca. Tubuh langsing putih, hidung mancung, rambut indah dan wajah bule, sepertinya tidak dapat lagi secara nyata menggambarkan makna sebuah kecantikan. Melalui Dove, makna sebuah kecantikan dijabarkan sebagai sebuah kecantikan hati melalui cinta dan persahabatan. Yah.. sekali lagi saya bilang, it is really touching, terutama bagi mereka yang ingin melihat kepada diri mereka sendiri, siapa dia dan seberapa cantikah dia?

Oh iya hampir lupa, ternyata ada tiga hal yang ingin saya sampaikan. Yang ketiga adalah Dove melakukan suatu pendekatan yang berbeda dikarenakan adanya kejenuhan terhadap suatu kondisi tertentu di pasar, dalam hal ini terpolanya penyampaian pesan kecantikan melalui artis atau endorser cantik fisik lainnya. Maka Dove melakukan pendekatan lain, secara emosional untuk menyiasati kejenuhan tersebut. Apabila suatu hari semua orang sadar bahwa pendekatan emosional merupakan hal yang sangat cerdas dan semua orang melakukan hal yang sama, ya.. sudah seharusnya ada pendekatan lain lagi yang dilakukan, karena tentu saja pasar telah kembali jenuh. So, the point is not about the emotional or physical or another side we get through, but it is about the innovation of strategy, new way of thingking..

Dec 12, 2007

Meramal Masa Depan

Inilah pekerjaan yang paling berbahaya dari brand consultan seperti saya, meramal masa depan. Membut prediksi mengenai apa yang akan terjadi di masa depan sehingga bisa membuat perhitungan yang tepat mengenai perkembangan dan strategi perusahaan berikutnya dan tentu memprediksi laju pertumbuhan perusahaan.

Bagaimana kita memprediksi masa depan bisnis kita? apa yang harus kita lakukan guna menghadapi masa depan bisnis di mana tingkat persaingan demikian ketat seperti saat ini? Pertanyaan ini iseng di tanyakan klien saya ketika sedang makan siang di sebuah restaurant dengan konsep melayu. Ah ha, ini dia nih pertanyaa yang jarang ditanyakan padahal mimiliki bobot yang luar biasa pentingnya bagi masa depan bisnis perusahaan. Dan kadang saya sering menemukan klien yang bahkan tidak peduli tentang masa depan, "yang deket-deket aja deh rex, ngapain mikirin 5 atau 10 tahun lagi" begitulah kira-kira komentar mereka, waduh buset dah. Tidak sedikit sih memang pengusaha dengan tipikal jangka pendek seperti itu, yang penting sebanyak mungkin untung, 5 tahun lagi? yah tutup ajah kalo udah kurang bersaing, buka lagi bisnis baru ha......ha.

Ok kembali lagi kepertanyaan di atas bagaimana memprediksinya terutama ditengah persaingan dan perubahan yang luar biasa cepat? yang terbaik sejauh ini menurut saya adalah perencanaan alternatif yang diambil dari competitive setting global saat ini dan kemudian dibuat beberapa alternatif prediksi. Dengan perencanaan alternatif, setiap perusahaan harus memaksakan dirinya mempelajari beberapa kemungkinan dengan beberapa pendekatan yang berbeda sehingga akan menghasilkan beberapa alternatif prediksi ke depannya.Banyak sekali metode yang dapat digunakan untuk mempelajari perubahan di masa depan dan banyak sekali ahli yang memberikan prediksi tentang masa depan dengan argumen data dan fakta versi mereka, dari sini perusahaan mengumpulkan semua prediksi dan metodenya untuk kemudian dipelajari dan dihasilkan beberapa alternatif versi seperti yang sudah dibahas di atas.

Mengapa hal ini yang terbaik, sejauh ini ada yang dinamakan forecasting, untuk menghasilkan prediksi di masa depan, namun pendekatan ini cukup berbahaya bila diterapkan pada pasar yang sangat cepat berubah, karena forecasting menghasilkan prediksi yang terlalu mengarah pada pembentukan satu alternatif pergerakan bagi perusahaan sehingga bila salah dalam melakukan forecasting perusahaan dengan serta merta akan menghadapi masalah besar apalagi perubahan yang terjadi benar-benar sama sekali baru dan diluar prediksi forecasting yang dihasilkan.

Ambil contoh IBM, di masalalu mereka merupakan pemain yang sangat kuat dalam main frame komputer dan mereka memperkirakan bahwa main frame akan semakin mendominasi kebutuhan teknologi pada masa depan dan menyampingkan perkembangan personal komputer. Ternyata personal komputer meledak hingga saat ini dan IBM, mereka telat untuk menikmati pasar yang demikian besarnya pada saat itu, untung mereka segera melakukan perubahan dengan membangun core competency bisnis mereka ke service bisnis (sebuah keputusan yang sangat tepat tentunya karena kemudian service business inipun berkembang sangat pesat). Dari contoh ini, jika saja IBM melakukan perencanaa alternatif denga terus mengamati pergerakan pasar mungkin saja saat itu mereka bisa menikmati kepemimpinan pasar pada personal komputer.

Atau untuk case Indonesia kita ambil contoh komunitas pembuatan sepatu di cibaduyut? apa yang terjadi dengan mereka saat ini, di mana konsumen yang dulunya berbondong-bondong datang untuk membeli sepatu sekarang menghilang sehingga industri ini semakin lama semakin lesu? Yah ini kasus sih kurang relevan membandingkan forecasting dengan perencanaan alternatif karena saya kurang yakin mereka bahkan melakukan forecasting mengenai pergerakan pasar di masa depan mereka, namun sekedar memberikan contoh betapa pentingnya alternatif dalam memprediksi masa depan, jika saja mereka mempelajari bahwa pergerakan pasar akan mulai mengarah ke FO Fo yang menawarkan pangalaman berbelanja yang lebih baik dengan kualitas dan harga yang juga bisa dikatakan baik dan serbuan produk import dan produsen perseorangan yang branded akan semakin menjamur mungkin mereka siap untuk melakukan tindakan yang inovatif dan antisifatif, misalanya terlebih dahulu membranded dengan kualitas yang bisa dijaga merek-merek sepatu di sana dan mendirikan showroom-showroom yang sifatnya co branding diantara sesama pemain sepatu cibaduyut dan mulai menggunakan konsep-konsep pemasaran modern dalam menjual sepatunya, mungkin saja pertumbuhan mereka tidak terlambat seperti sekarang ini.

Kembali lagi, Tentu dalam hal ini forecasting kemudian tidak menjadi kurang berguna, dengan kondisi bisnis yang stabil dengan pasar yang sudah mature, setidaknya dalam jangka pendek forecasting jauh lebih bisa memprediksi arah pergerakan pasar dengan tepat sehingga membuat konsentrasi perusahaan ajuh lebih fokus dibandingkan dengan perencanaan alternatif yang akan menyita konsentrasi perusahaan untuk membuat beberapa alternatif dan melakukan pemantuan secara berkala.

Bagaimana dengan kasus yang belum terjadi, let's say apa yang akan terjadi dengan industri pakaian di cihamplas 10 tahun ke depan? Bagaimana kita pelakukan perencanaan alternatif untuk memprediksi masa depan yang akan terjadi? Hal pertama yang penting untuk diketahui dalam melakukan perencanaan alternatif adalah melakukan studi mengenai competitive setting yang tentunya akan kita lanjutkan dilain kesempatan. Salam..





Bebek Naga

Membahas mengapa sebuah perusahaan yang dulunya sangat terkenal, very profitable dan memiliki klien yang sangat loyal dan banyak lantas kemudian menjadi perusahaan dengan kinerja yang buruk dan tidak menguntungkan lagi serta mulai ditinggalkan konsumen loyalnya jelas sangat menantang dan membuat keinganan untuk lebih dalam membahasnya selalu saja muncul dalam tensi tinggi. Banyak sekali contoh mengapa perusahaan yang dulunya sangat bagus seiring waktu menjadi perusahaan yang berkinerja buruk baik itu pemain lokal, regional maupun dunia sekalipun dan tentunya banyak sekali teori yang dikemukan mengapa hal tersebut kemudian terjadi seperti miss management, red ocean, marketing myopia dan sebagainya.

Saya tertarik dengan sebuah artikel yang saya baca di Harvard Business Review mengenai hal ini, secara umum apa yang dikemukan oleh penulisnya memberikan gambaran yang cukup lengkap mengapa perusahaan yang dahulunya bagus menjadi berkinerja buruk seiring berjalannya waktu. Dalam artikel Harvard business review yang berjudul Why Good Company Go Bad dijelaskan secara cukup mendalama oleh penulis empat sebab umum yang membuat hal tersebut bisa terjadi yaitu Strategic Frames becomes Blinders, process becomes routines, realtionship becomes shackles dan values becomes dogmas.

Pertama, Strategic frames becomes blinders, secara sederhana hal ini ingin mengambarkan bahwa salah satu penyebab mengapa perusahaan menjadi buruk adalah arogansi terhadap model yang dibuat oleh sebuah perusahaan yang seolah-olah model ini dapat menjawab apapun yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk terus perkemabang dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di pasar. Model yang baku dan diklaim dengan arogansi tinggi inilah yang membuat banyak perusahaan gagal memetahkan competitive setting dan perubahan yang cepat terjadi di dalam pasar baik itu yang menyangkut pasar itu sendiri ataupun perubahan prilaku yang melanda target market perusahaan. Perusahaan terlalu percaya diri dengan model dan strateginya sehingga mereka dibutakan oleh modelnya sendiri dan pada akhirnya ketika perubahan itu sudah terjadi segala sesuatunya menjadi terlambat.

Rasay penyebab pertama inilah yang paling memegang peranan penting dalam banyak kegagalan sebuah perusahaan mempertahankan kinerja dan memang jelas bukan hal yang mudah bagi perusahaan untuk memiliki komitmen terus berubah dan terus belajar mempelajari kondisi yang ada karena sudah terlanjur berada di comport zone yang seringkali membuat terlena dan menciptakan arigansi tersendiri bahwa apa yang sudah menjadi kerangka kebijakan strategi perusahaan adalah yang terbaik, buktinya perusahaan selalu untung melebihi target, mereka lupa bahwa yang kekal di dunia ini hanya satu hal yaitu perubahan.

Kedua, proses menjadi rutinitas semata. Sebab kedua ini memiliki peran yang sukup krusial bagi perusahaan yaitu mematikan kreativitas dan inovasi. Jika setiap hal berjalan secara rutin dan kemudian semua hal hanya menjadi rutinitas maka saya berani bertaruh apapun yang dihasilkan akan selalu sama dan unsur kreatifitas untuk mendorong terjadi inobasi-inovasi akan mati dengan sendirinya, padahal di dalam bisnis saat ini kreativitas dan inovasi adalah salah satu tools yang sangat-sangat penting untuk di ke depankan guna memenangi pasar.

Sebab kedua ini sering kali terjadi di perusahaan yang memang memiliki dominasi monopoli dan berbasis sumber daya alam, dengan dua hal tersebut lambat laun perusahaan menjadi lupa untuk terus berkreativitas dan berinovasi, toh tanpa kedua hal tersebut pesanan tetap datang dan cash tetap mengalir. Sehingga bila tiba-tiba muncul alternatif subtitusi ataupun keran-keran persaingan mulai dibuka perusahaan akan kelabakan dan bukan tidak mungkin potensi keuntungan yang ada ditelan oleh pesaingnya.

Ketiga hubungan yang dibangun baik itu dengan pagawai, pemegang saham, masyarakat dan konsumen malah menjadi belengu dan beban tersendiri bagi perusahaan. Kok bisa, coba kita ambil contoh perusahaan listri negara PLN, mengapa perusahaan yang memiliki monopoli, infrastruktur tersebar luas di Indonesia, pelanggan yang luar biasa banyaknya yaitu satu negara Indonesia yang berpenduduk 200 juta jiwa lebih memiliki hutang ke pertamina sampai 23 triliun? Apa artinya semua ini, rugikah PLN sehingga harus berhutang demikian banyak yang jika dijadikan ribuan mungkin pulusah kilometers uang tersebut harus ditumpuk? Inilah mungkin salah satu contoh bentuk hubungan yang membelengu yang tidak bisa dihindari oleh PLN sebagai perusahaan negara, mereka harus memberikan subsidi yang besar kepada konsumennya, menggaji karyawan dalam jumlah yang sangat banyak dan belum lagi menjadi komoditas politik.

Belengu hubungan ini tentu sangat berbahaya dan hanya bisa dijawab dengan manajamen professional yang lepas dari kepentingan apapun sehingga perusahaan bisa menjalankan bisnis secara tepat dan efektif dan memang biasanya menjadi penyakit badan usaha miliki negara dan perusahaan perorangan di mana peran nepotisme di dalamnya sangat tinggi dan tidak didasari oleh competency individunya.

Terakhir, nilai-nilai yang dianut hanya menjadi semacam panjangan dinding. Coba perhatikan jika kita datang ke perusahaan apapun, hampir setiap perusahaan memiliki nilai-nilai yang dituliskan, dipanjang dinding dengan disain grafis yang bagus, diberi kaca dan dibersikan setiap harinya. Namun, jika mau jujur berapa banyak yang memahami dan menjalanka nilai-nilai tersebut? Tulisan-tulisan tersebut hanya menjadi semacam dogma atau pajangan yah yang seklai waktu dibaca dan diterangkan ke orang yang bertanyanya, penerapannya nanti dulu.

Disebuah perusahaan saya membaca customer is number one, tapi pelayannya memasang muka seperti bebek naga ketika saya menanyakan beberapa informasi yang saya butuhkah, apanya yang customer is number 1? Yah sekali lagi hanya dogma belakah bukan menjadi nilai yang dicerminkan dalam sikap dan tindakan yang akhirnya membuat saya sebagai customernya kecewa dan tidak lagi tertarik untuk menggunakan jasa perusahaan tersebut.

Jangan Ngedisain

Wacana ini memang sudah lama terjadi, dan terkadang mengusik pemikiran saya. Beberapa waktu yang lalu bertepatan dengan hajatan besar industri periklanan di Bandung, yaitu Layang Kencana, saya dan teman-teman ikut serta menyelenggarakan Seminar yang mempertemukan dua industri yang sebenarnya saling berkaitan seperti selayaknya sahabat karib, tapi nampak tak saling mengenal : Branding dan Advertising itu sendiri – periklanan. Turut mengundang Bp. Sumardy, Om Bud dan Mas Glenn Marsalim.

Waktu hampir menunjukkan pkl 15.00 sore dan acara sebentar lagi selesai, tanpa unsur kesengajaan saya mendengar perbincangan beberapa rekan senior dalam industri periklanan (jangan salahkan saya kalau saya ikut mendengar, masalahnya mereka ngobrol di meja panitia, meja di mana saya memang sedang duduk dan minum air putih). Pembicaraan tersebut antara seorang mahasiswi S2 bidang komunikasi dan seorang tokoh periklanan yang pada waktu itu mewakili tim PPPI dari Pusat – Jakarta. Mereka memperbincangkan mengenai idealisme kosong para mahasiswa desain sekarang ini (dalam hal ini mungkin desain grafis atau yang berhubungan dengan periklanan). Sang mahasiswi S2 itu mengatakan bahwa ia sangat bingung, karena semakin hari mahasiswa desain semakin besar kepala dan memiliki idealisme yang mencerminkan egoisitas diri sendiri. Bahwa mereka yang bisa diakui memiliki talenta yang maksimal dalam hal desain sama sekali tidak memahami makna sebuah komunikasi. Secara garis besar dan nyata bahwa mereka hampir tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Makna-makna dasar komunikasi hampir tidak dikuasai sama sekali, antara lain perihal copy yang menyampaikan pesan, layout yang mudah dipahami dan yang paling mendasar adalah tujuan iklan itu dibuat. Lalu ia melanjutkan dengan berbagai keluhan lain bahwa mereka hanya mementingkan keindahan desain dan kreativitas yang dipaksakan. Lantaran sang mahasiswi terus berceloteh.. sang praktisi periklanan diam saja.. lalu tidak lama kemudian akhirnya menyambung dengan berbagai teori (yang kalau tidak salah dengar, tertulis di dalam buku terbitannya…..) bahwa komunikasi adalah inti dari semua hal tersebut, dan mahasiswa sekarang memang belum menguasai itu. Ia berpendapat bisa jadi tim pengajar tidak menanamkan hal tersebut secara benar.

Ya.. saya hanya mendengar sepotong dari pembicaraan mereka, dan setelah 2 minggu, yaitu hari ini, saya masih terusik dengannya. Saya sama sekali tidak memihak karena saya juga bingung harus memposisikan diri di sebelah mana, karena saya memang bukan keduanya. Saya bukan mahasiswa desain dan saya bukan praktisi periklanan. Tapi selama lebih dari 2 tahun berkutat di bidang branding, saya juga jadi ingin berkomentar. Memperhatikan perilaku peserta seminar yang diadakan waktu itu, yang sebagian besar adalah mahasiswa desain dan periklanan, mungkin wacana sang mahasiswi S2 ada benarnya. Setelah sempat ngobrol2 dengan beberapa peserta untuk menanyakan kritik dan masukan, mereka sepakat bahwa pembicaraan awal berkaitan dengan branding sangat berat dan rasanya bukan dunia mereka. Sedangkan pembicaraan berikutnya berkaitan dengan industri kreatif periklanan sangat menyenangkan dan memang “dunia” mereka. Terlintas di pikiran saya.. apakah branding sama sekali sampah yang membosankan buat mereka? Lantaran branding lah proses paling dasar yang harus dimengerti apabila ingin menguasai industri komunikasi, karena komunikasi adalah bagian dari branding dan iklan adalah bagian dari komunikasi dan desain adalah bagian dari iklan. Apakah pemetaan ini tidak tergambar di pikiran mereka? Ya mungkin kalau ternyata tidak, saya setuju dengan perkataan sang tokoh PPPI Pusat itu, kalau tenaga pengajarnya mungkin tidak menanamkan itu secara mendalam.

Haha.. akhirnya kalimat yang selalu saya ingat dari cuplikan pembicaraan mereka, kata sang mahasiswi S2 “Ya.. jangan ngedesain kalau ga ngerti esensinya, mana kalau dikritik ngomel lagi, mereka bilang saya ga ngerti desain!! walahhhh… “

PR yang Sexy

Mungkin terkadang kita sempat bertanya-tanya di benak kita masing-masing, apa yang membuat sebuah brand J.Co sebegitu terkenalnya, BreadTalk, Starbucks atau bahkan Rumah Mode. Sedangkan tidak pernah sekalipun anda lihat mereka beriklan di TV. Hal ini yang seringkali sebuah perusahaan melupakannya. Tidak lain keterkenalan mereka adalah peran dari PR atau public relations. Sebuah peran PR belum tentu harus dijabat oleh seorang wanita cantik nan seksi yang pandai melobi klien, lebih atau bahkan kurang dari itu yang terpenting adalah perannya. Siapapun bisa menjadi seorang PR dalam perusahaannya. PR tidak hanya sebatas jabatan tetapi sebuah konsep komunikasi. Seorang owner bisa menjadi PR bagi perusahaannya, hal ini yang dilakukan sebagian brand lokal yang saya sebutkan di atas. Seorang Satpam sekalipun bisa menjadi PR yang baik asalkan ia mengenal betul konsep peran serta PR kepada konsumen.

Dengan begitu banyaknya media yang tercipta setiap harinya dari yang konvensional hingga yang sangat ambient, terkadang peran PR menjadi dilupakan begitu saja. Apabila jabatan PR ada di dalam perusahaan, tugasnya tidak lain adalah menjadi perpanjangan tangan iklan atau seperti iklan berjalan. Sebenarnya konsep PR tersebut sama sekali salah. Seperti juga kata Al Ries dalam bukunya The Fall of Advertising and The Rise of Public Relations, PR memiliki perannya sendiri dalam proses komunikasi, dan apabila ingin dibandingkan peran komunikasi PR ini efeknya jauh lebih besar karena tidak bersifat pasif atau hanya dari satu sisi. Apabila kita lihat konsep komunikasi sebuah iklan sebenarnya pasif dan konsumen cenderung sudah skeptis terhadap berbagai penawaran yang ada, karena hanya berasal dari pihak ketiga dan “pasti hanya mencari untung”. Sedangkan komunikasi dari pihak PR bisa menjadi pendekatan yang smooth dan membuat orang untuk berpikir dua kali.

Sehingga pada dasarnya PR dan iklan adalah fungsi komunikasi yang sangat berbeda. Iklan bersifat satu arah dan menginformasikan berbagai keunggulan produk baik yang bersifat inovatif atau bila dibandingkan dengan produk lain. Sedangkan PR berfungsi untuk selalu merespon tanggapan baik negatif maupun positif dari masyarakat. PR bertanggung jawab untuk selalu menjawab dan memberi feed back, terutama pada keluhan-keluhan yang dirasakan masyarakat. Maka dari itu fungsi PR harus selalu tanggap dan kreatif dalam memberikan solusi masalah sehingga rumor yang kurang benar terhadap produk tidak begitu saja menyebar dengan cepat. Ada satu contoh kasus yang bisa jad disebabkan oleh adanya kegagalan fungsi PR. Kasus Mizone beberapa waktu yang dikatakan mengandung Natrium Benzoat yang berbahaya, tidak diantisipasi oleh fungsi PR secara cepat, mungkin juga karena ia asik beriklan above the line. Konferensi pers yang pada akhirnya diadakan sempat memberi selang waktu yang lama dengan tersebarnya isu membahayakan baik di media cetak atau internet. Pada selang waktu tersebut masyarakat sudah terlanjur berpersepsi bahwa hal itu benar karena tidak adanya bantahan secara langsung. Fungsi PR antara lain menangani hal-hal seperti ini, beda dengan VitaZone yang pandai memanfaatkan peluang, fungsi PR nya mengkomunikasikan dan menyebarkan berita serta rincian ingridients produk bahwa VitaZone tidak mengandung bahan pengawet sama sekali.

Jadi jangan lupakan fungsi yang satu itu di dalam perusahaan, karena bagaimanapun juga akan tetap efektif kalau manusia dikomunikasikan melalui manusia dibandingkan gambar dan tulisan. Hal ini menjad pertimbangan bahwa iklan dan PR berjalan saling mendukung dan harus tepat sasaran, sesuai communication objectives awal yang dirumuskan.

Alkisah si Aji Mumpung

Dalam kategori tertentu satu brand sangat mungkin bersifat sangat mendominasi. Sebut saja Coca Cola atau Starbucks. Siapa yang tidak kenal kedua brand tersebut? dan tanpa harus menyebutkan embel embelnya semua orang tahun Starbucks menjual kopi. Tetapi bukan tidak mungkin sebuah brand yang sudah sangat besar kehilangan kendali pimpinannya, hanya saja cara menanganinya harus tepat dan didukung sumber daya dan waktu yang tidak sedikit. Karena hal inilah yang dilakukan Coca Cola pada jamannya ia mengalahkan 7Up. Sebelum Coca Cola, selama 28 tahun 7Up merajai minuman ringan bersoda. Tetapi hal yang dilakukan Coca Cola sebagai the counter brand tepat dan didukung sumber daya yang maksimal, akhirnya dalam kurun waktu yang juga tidak sebentar Coca Cola berhasil mencapai posisi puncak. Kira-kira apa saja yang bisa menjadi kriteria pemilihan sifat counter brand supaya mampu menandingi the big brandnya? Tidak lain adalah diferensiasi yang mencolok. Sekarang sering kali kita menemui berbagai macam me too di mana-mana, dari BreadTalk yang ditiru habis-habisan dari mulai seragam penjualnya sampai bentuk roti atau sekedar piring belingnya. Ada juga yang menggunakan brand J.Do dengan anak kecil menampang di signage nya; dan banyak lagi. Tapi mau sampai kapan konsep me too dijalani? Hal-hal seperti ini hanya akan memperkuat the big brand, karena konsep serupa ikut di sebarluaskan oleh para me too, sedangkan masyarakat tetap tahu yang asli dan patut dikunjungi yang mana. Diferensiasi adalah nilai mutlak berdirinya counter brand.

Apabila anda melihat bahwa di J.Co donatnya berbentuk bulat, maka ciptakanlah donat bentuk segitiga; apabila gaya internasional yang dianut, pakailah gaya Jawa sebagai aksen interior; apabila warna dominan mereka orange, pakailah warna dominan yang lain; sehingga secara sadar masyarakat membedakan dan bisa memberi berbagai persepsi positif bahwa brand anda keluar dengan karakter brand anda sendiri. Jadi jangan asal jiplak dan membuang dana investasi pada sesuatu yang tidak orisinil. Aji mumpung hanya bersifat sementara, namanya juga mumpung……

Product Brand

Ada beberapa tujuan dalam mengganti sebuah package produk. Salah satu yang dilakukan Hi-Lo beberapa waktu lalu memang tidak kita ketahui bila diperhatikin secara seksama. Seperti produk-produk Tropicana Slim lainnya, strategi yang digunakan serupa, yaitu pada awalnya brand baru yang keluar diberi awalan Tropicana Slim, karena memang the umbrella brand nya sudah sangat kuat dan memiliki brand equity yang baik, baik dari segi produk maupun perusahaan.

Lalu lambat laun dari brand-brand kecil yang terlahir, mereka menginginkan brand tersebut lepas dari embel-embel Tropicana Slim dan menjadi besar secara mandiri, yang ke depannya diharapkan bisa sebesar Tropicana Slim dan punya sub brand lagi dan seterusnya. Tetapi memang hal ini sangat tidak mudah dilakukan, konsistensi akan visi perusahaan yang sedari awal basic pada kesehatan menjadi komitmen tersendiri dan dipandang positif oleh masyarakat.

Hal ini yang terjadi pada pergantian packaging Hi-Lo beberapa waktu lalu, yaitu hilangnya simbol Tropicana Slim secara dominan, hal ini dilakukan dalam waktu yang tepat, karena awareness Hi-Lo sudah sangat baik, hasil dari kerja keras konsistensi komunikasi di berbagai media above the line. Hi-Lo menjadi brand yang telah familiar di telinga masyarakat, sehingga ia berani untuk melepaskan atribut Tropicana Slim. Dengan desain yang lebih berani dan lebih “jualan” sepertinya Hi-Lo siap menghadapi banyaknya pesaing di bidang yang sama.

Noraknya Orang Indonesia

Dalam menyusun sebuah strategi berbisnis, kita diharuskan untuk mempelajari secara mendasar perilaku dan karakteristik masyarakat yang kita targetkan menjadi pihak konsumen. Hal ini sepertinya cukup dilakukan oleh beberapa restoran yang menggunakan konsep baru. Pertama kalinya restoran seafood berkonsep baru ini buka di Metro Marina, Jakarta.

Sebenarnya benar-benar tidak ada yang spesial dibandingkan dengan seafood lain, hanya saja beberapa titik berat “hal aneh” diciptakan sebagai pemicu word of mouth yang timbul di masyarakat. Di antaranya adalah para waiter nya yang menggunakan PDA sebagai alat pencatat dan yang kedua adalah persepsi harga murah yang diciptakan, apabila kita melihat ke daftar menunya memang harganya di bawah standar restoran seafood, tetapi setelah makanannya datang, rasanya ya memang sebanding, dari hal rasa dan porsi memang dengan harga lebih rendah tersebut menjadi masuk akal.

Tetapi yang bisa menjadi keunikan lagi adalah harga minumnya yang rata-rata di bawah 500 perak dan boleh nambah sesukanya. Hari gini ada yang harganya 150 perak.. kapan lagi…… walaupun cuma ternyata cuma karena es the yang boleh nambah-nambah terus, orang jadi lupa bahwa makanannya sedang-sedang saja dan porsi nya nga banyak. Keberhasilannya? Restoran tersebut menjadi pembicaraan banyak orang dan masuk liputan TV. Karena orang Indonesia sangat gemar hal-hal baru alias norak jadi nga gaul kalo nga coba yang lagi pembicaan orang banyak.

Restoran serupa dibuka di kota Bandung dengan brand nama yang berbeda, dengan konsep yang sama percis. Sama seperti di Jakarta, tapi kota Bandung adalah kota yang lebih kecil dan karakter orang nya lebih “ndeso” jadi tingkat ke “norak”an –dalam arti yang positif- jauh lebih besar. Restoran tersebut merap keuntunga di bulan-bulan awal openingnya. Tetapi waktu berjalan tanpa adanya peningkatan inovasi yang berarti, malahan kualitas dirasa menurun, dari perihal servis yang sepertinya tidak support karena terlalu banyaknya pengunjung, serving time yang lama dan suasana restoran yang tidak karuan ramainya membuat orang kurang nyaman dan kembali berpikir mengenai value yang didapatkannya.

Terlebih tersiar kabar bahwa harga beberapa item memang dinaikkan. Jadi seperti apa nasibnya nanti kita lihat saja. Yang jelas, controlling dan inovasi sangat diperlukan terlebih pada saat bran tersebut sedang dibuai oleh kejayaan nya; diferensiasi yang sudah sangat bagus yang dibangun pada awalnya malahan bisa terlupakan sama sekali. Memang terkadang masyarakat –selain norak- juga mudah mengingat yang buruk saja, ya.. begitulah orang Indonesia, seperti saya dan anda!

Rekayasa itu Penting

Percaya nga percaya kita memang tidak bisa selalu jujur dalam berjualan, ya gimana nga.. masyarakat kita sudah terbentuk sedemikian rupa untuk lebih menyukai hal-hal baik yang bersifat semu dibandingkan hal buruk yang nyata. Contoh aja semua orang akan lebih suka hidung mancung dari pesek, jadi jangan salahkan banyak artis kita yang memancungkan hidungnya, itu kan tuntutan job.. lalu setelah mereka melakukan operasi itu dan berusaha untuk jujur balik lagi dicaci maki masyarakat.. jadi terkadang lebih baik bersikap tidak jujur dalam berjualan. Stop dulu jangan langsung jadi mencaci maki saya karena saya menyarankan hal yang buruk, karena saya masih punya contoh banyak dalam hal ini.

Saya akan lebih menjabarkan dalam hal naming, bahwa nama sebuah brand akan sangat mempengaruhi jalannya karir penjualan atau kesuksesan brand itu sendiri. Ok, kemarin saya sempat ngobrol dengan anak-anak kantor saya berkaitan dengan kasus baru yang masuk ke kantor. Ada 1 produk teh mahkota dewa yang menjual produknya dengan nama Mahkota Dewa, sedangkan produk yang sama percis dijual dengan brand lain bermerk Nature Life, and sudah pasti bisa ditebak kan.. kalau orang akan memilih yang berlabel Nature Life, kenapa? Karena pakai bahasa inggris, nga ndesooo… lebih gaya belinya, lebih bisa dipercaya, ya apa sajalah sebabnya, sebaiknya tanya ke diri kita masing-masing. Masalahnya bukan hanya produknya yang sama, tetapi juga penyajian packaging nya sama percis, malahan brand berbahasa inggris itu dijual DUA kali lipat, dan masih tetap dibeli orang.

Ternyata memang naming sangat dibutuhkan karena masyarakat kita, seperti yang sudah saya bilang di atas, lebih suka hal-hal yang berbau barat atau luar negri (walaupun produk tanah air) dibanding yang benar-benar asli Indonesia, mungkin tidak bisa disalahkan juga karena selama 30 tahun lebih produk dalam negri memang kalah jauh dengan produk luar, tetapi lain lagi dengan sekarang yang sudah maju pesat. Dalam kemajuannya yang sungguh pesat ini, produk dalam negri harus tetap berhati-hati dalam langkah-langkah pemasarannya, salah satunya dalam hal naming tadi. Mungkin salah satu kesalahan pemasaran brand Timor yang beridealisme Indonesia sekali itu, karena ia menggunakan nama Timor, di mana yang terbayang di benak masyarakat adalah MOBIL BUATAN INDONESIA, beda dengan merk Polytron yang buatan Indonesia tetapi menggunakan nama brand yang mirip dengan brand Jepang, sehingga yang terbayang yah.. TV BUATAN JEPANG, karena selama ini memang TV bagus selalu buatan Jepang.

Jangankan sebuah produk, untuk memasarkan artis saja harus ada brandnya seperti Jerry Yan yang bernama asli Yan Cheng Xu, biar kayak orang bule pake nama Jerry dan mudah diingat orang selain orang Taiwan/Cina yang terbiasa dengan pembacaan nama 3 suku kata; atau Yuni Shara yang ternyata Wahyu Setyaning Budi atau Inul yang adalah Ainur Rohimah.. ya beda banyak juga gpp asal masih mirip dikit.. yang penting bisa trend, tapi terbukti benar bahwa nama merk yang mereka pakai untuk pemasaran membangung persepsi yang baik, walaupun merekayasa jati diri nama pemberian ortu di kampung.. balik lagi pada idealisme masing-masing, tetapi jangan anggap remeh persepsi yang telah terbentuk di masyarakat, karena kita memang berjualan kepada masyarakat.

4P vs 4C

Banyak pendapat yang bilang bahwa 4P yang adalah Product Price Place Promotion sudah tidak relevan lagi. Hal ini tidak lain dikarenakan adanya perkembangan teknologi yang dulunya ketiga elemen diferensiasi : konten, konteks dan infrastruktur adalah mutlak; sekarang tidak lagi. Ternyata dengan berkembangnya segi informasi, telekomunikasi, transportasi, teknologi, dll; sebuah perusahaan bisa saja fokus pada kontennya saja, konteksnya saja atau infrastrukturnya saja, sehingga dalam hal ini 4P memang sudah tidak relevan lagi.

Jadi apa sebenarnya 4C? 4C dijabarkan sebagai Customer Solution, Cost, Convenience dan Communication. Misalnya saja sebuah perusahaan agen buku impor yang tidak memiliki produk (karena ia mengambil produk dari para produsennya) dan tidak memiliki tempat (karena pembeli tidak datang ke tempatnya). Cara kerjanya mereka hanya mengirimkan list buku impor terbaru ke para pelanggannya dan para pelanggan akan memilih buku mana yang ingin mereka beli, lalu agen buku impor tersebut akan langsung mengirimkan buku yang dipesan ke rumah pelanggan dan pembayaran dilakukan dengan kartu kredit.
Benar-benar sebuah customer solution sempurna yang ditawarkan ke para pelanggan, dengan cost yang sangat minim (tidak butuh biaya transportasi, parkir, waktu, dll); kenyamanan yang tinggi karena bahkan dengan segala kemudahan tersebut para pelanggan masih diperbolehkan menghutang kartu kredit); dan yang terakhir adalah komunikasi yang dilakukan adalah dua arah, karena yang memesan secara langsung adalah pelanggannya dengan memilih buku yang ia inginkan, tanpa si agen harus letih menawarkan buku dengan segala kelebihannya tapi sama sekali tidak membuat pelanggan tertarik (seperti yang sering terjadi di toko buku konvensional).

Jadi anda percaya akan keberhasilan 4C? jangan semudah itu, kenali secara mendala bisnis dan kompetensi anda karena sampai kapanpun juga, selama masih ada warung di pinggir jalan, 4P masih akan sangat relevan, mengingat bangsa Indonesia yang cukup lama untuk mengimbangi perkembangan pasar dunia.

Creating Great Event Marketing

Dengan begitu massalnya komunikasi yang dilakukan melalui berbagai media massa, para masyarakat sebagai customer dari sebuah produk semakin merasa jenuh dan keterbatasan memorinya semakin membuat sulit mengingat keragaman produk, brand berikut dengan masing-masing pembedanya. Dalam strategi pemasaran sekarang EM dan MPR menjadi menjamur untuk mengantisipasi kejenuhan tersebut. EM yang kita ketahui sebagai Event marketing dan MPR sebagai Marketing Public Relations menjadi ujung tombak dalam berkomunikasi secara langsung dengan customer, karena hubungan yang terjadi adalah interaktif dan mendapatkan feedback langsung dari para customer, baik itu hal yang positif maupun negatif. Cara pengukurannya pun lebih mudah karena langsung terlihat respon yang dihasilkan dari para customer.

Event Marketing yang kian menjamur tidak dilakukan dengan sembarangan karena memakan biaya dan tenaga yang cukup besar, sehingga dalam proses perencanaannya sebisa mungkin matang dan tepat sasaran. Karena result dari sebuah EM akan sangat menentukan kredibilitas brand, hasil yang baik akan dengan cepat mengangkat popularitas brand dan hasil yang buruk akan membuat brand langsung terjun bebas di depan mata para customer.

Berikut di bawah ini beberapa pertimbangan yang perlu dipikirkan dalam perencanaan sebuah EM untuk mendapatkan hasil dan feedback yang maksimal.

1. The publicitySebuah event harus mengandung nilai berita/publisitas. Hal ini tidak lain untuk menarik word of mouth dan liputan/penjualan berita yang lebih mudah ke berbagai media. Nilai publisitas ini akan semakin lama menurun pada sebuah konsep event yang diulang, dalam artian kalau dulu sebuah event yang masuk MURI dianggap wahh.. skarang hanya akan mendatangkan ohh… karena semakin lama semakin banyak event yang masuk ke MURI, atau kalau dulu sebuah event dengan hadiah BMW sangat digandrungi orang, sekarang menjadi biasa saja karena banyak event yang melakukan hal tersebut. Nilai publisitas dapat diangkat dari ide konsep yang fresh dan mengundang rasa ingin tahu serta yang terpenting adalah ketertarikan para target pasarnya.

2. Audiensnya adalah the target market
Kembali lagi pada tujuan diadakannya EM adalah pada akhirnya menjual produk atau mengangkat brand di mata konsumennya, maka para audies yang turut serta dalam event tersebut mutlak harus para target marketnya. Audiens ini bisa berkembang, antara lain mengarah pula kepada para pemberi masukan dalam membeli produk kepada para target pasar, atau orang-orang yang dekat dengan target pasar. Seperti contohnya mobil Kijang mengadakan event yang melibatkan seluruh anggota keluarga, sebenarnya target pasar utamanya adalah para ayah, tetapi ibu dan anak-anak adalah para pemberi masukan dalam membuat keputusan membeli mobil.

3. Deep connection between product and eventAdanya hubungan antara produk dan event sangat penting untuk mengangkat positioning dari brand itu sendiri, yang paling simple misalnya Rinso mengadakan lomba bagi para anak-anak untuk bermain di tanah, lumpur, dll. Hal ini tidak lain untuk mengangkat positioning Rinso yang menjamin bahwa para ibu tidak perlu khawatir, karena bajunya akan bersih dicuci kembali dengan Rinso. Event yang tidak mengangkat aktivitas yang berhubungan dengan produk akan menjadi wasting dan tujuan akhirnya akan sulit dicapai.

4. Use the promotion dan yang terakhir tapi sama pentingnya dengan keseluruhan proses konsep sebelumnya adalah komunikasi yang tepat sasaran dari event tersebut. Jangan sampai konsep event yang sudah sebegitu baiknya, tidak sampai di telinga para audiensnya. EM tidak akan menjadi sukses seperti yang telah direncanakan.

Kenali Dulu Dong !!

Memilih market sebagai salah satu unsur menyusun strategi bisnis sama juga seperti memilih buah mangga di pasar. Harus dilihat-lihat jangan yang masih hijau muda, nanti asem; harus dicium-cium supaya dapat yang harum; harus dipegang-pegang supaya nga dapat yang bosok; dan yang terakhir harus ditimbang-timbang supaya pas dengan kebutuhan. Market share untuk ketepatan produk yang akan dipasarkan pun harus dilihat-lihat karakternya, dicium-cium prospeknya, dipegang-pegang kebiasaannya dan ditimbang-timbang kesesuaiannya.

Banyak persepsi yang beranggapan bahwa market size adalah yang segala-galanya : faktor terpenting dalam menentukan keberhasilan pemasaran dan penjualan produk ke depannya. Tapi tentu saja berkaitan dengan market, lebihhhhh dari itu, masih ada yang harus kita pikirkan, yang sering terlupakan, yang kita sebut dengan : market spend, market growth, competitive setting dan competitive advantage.

Jadi absolutely bukan sebuah kepastian apabila keuntungan terbesar akan diperoleh apabila market size-nya lah yang terbesar. Contoh saja kita ambil dari pertimbangan market spend. Apabila market sizenya bernilai 100 tapi setiap item-nya memiliki spend value 2, maka hasil akhir adalah 200. Sedangkan apabila kita menemukan kelompok market lain yang market size-nya hanya 50 tetapi memiliki spend value 5, maka hasil akhir adalah 250. Ternyata hasil yang lebih didapatkan tidak dari market size yang besar, tetapi ada pertimbangan spend value yang bisa didapatkan dari hasil pembelajaran terhadap karakter market tersebut. Langkah pembelajaran ini sangat penting, untuk mengetahui secara detil sifat dan pendekatan yang tepat yang dapat dilakukan, terlebih dalam menentukan market sebagai target utama pemasaran produk, apakah market tersebut membutuhkan produk yang dipasarkan.

Jangan terburu-buru, kenali dulu buah yang akan anda beli, lalu nikmati hasil terbaiknya.

Kampanye Anti Rokok

Beberapa hari yang lalu saya berkeliling Jakarta setelah sekian lama tidak mengunjungi kota kelahiran saya yang semakin hari semakin panas dan tidak karuan. Di setiap beberapa meter di berbagai spot baik pada area strategis maupun tidak banyak sekali himbauan-himbauan anti rokok yang juga sering kita temui tidak hanya pada media outdoor tetapi juga media dalam ruang, seperti di mal, kantor, dll. Dengan pemandangan yang tidak kalah sedikitnya pula : di mana-mana orang merokok dari rokok yang harganya melambangkan prestige sekelas direktur hingga rokok ketengan di warung pinggir jalan. Semua tampak menikmati racun dunia tersebut. Rokok milik siapa saja.

Pada kesempatan yang sama pula, saya sedang mencoba menyelesaikan seri 9 Elemen Marketing milik Bapak Jagoan Marketing yang satu itu : Hermawan Kertajaya, dan baru saja menyelesaikan seri Diferensiasi. Ada hal yang menarik yang bisa kita jadikan bahan pembahasan berkaitan dengan diferensiasi dan juga kampanye anti rokok yang sangat sulit untuk berhasil tersebut.

Ada dua tipe inovasi yang bersifat anti terhadap sebuah produk. Ada yang kita sebut sebagai preventive innovation dan ada juga yang dikenal sebagai non-preventive innovation. Kedua objective dari inovasi anti tersebut sama, yaitu pemberhentian terhadap konsumsi suatu produk. Hanya saja perbedaannya terletak pada proses melakukan aktivitas yang mencapai objective akhir tersebut.

Preventive innovation adalah kampanye anti yang bersifat informatif, baik menginformasikan fakta-fakta yang berkaitan dengan pengkonsumsian produk, atau informasi tentang efek buruk yang akan terjadi. Langkah preventive innovation ini bersifat jangka panjang dalam menghasilkan perubahan perilaku pada sasaran masyarakatnya. Langkah-langkah kampanye anti rokok yang selama ini dilakukan adalah yang sifatnya preventive innovation.

Non-preventive innovation adalah cara kampanye anti yang mencoba untuk memberikan alternatif atau solusi. Pasti anda sering mendengar adanya permen yang rasanya seperti rokok, atau cairan yang diteteskan pada filter rokok, sehingga si perokok tidak seratus persen merasakan kenikmatan rokok, atau inovasi-inovasi lain yang bersifat memberikan solusi bagi mereka yang ingin berhenti merokok. Sifat langkah non-preventive innovation ini bersifat lebih jangka pendek dan melakukan pendekatan yang lebih dapat diterima oleh masyarakat. Di mana inovasi diarahkan sebagai solusi bagi para perokok dengan memberi perhatian yang lebih bahwa berhenti merokok tidak semudah yang dikatakan berbagai announcement anti-rokok yang tersebar di mana-mana.

Berkaitan pula dengan berbagai inovasi produk yang bisa kita create untuk menciptakan demand dengan memanfaatkan suatu wacana tertentu dan yang sangat hangat sekarang ini berkaitan dengan kampanye anti-rokok tersebut. Sebegitu besarnya jumlah perokok yang ingin berhenti tetapi terlalu sedikitnya solusi yang bisa membantu mereka mungkin dapat menjadi peluang baru bagi bisnis anda.

Jadi Konglomerat di Kolam Cetek

Beberapa kali sering saya mendengar komentar seputar perkembangan industri hiburan di sepanjang ruas tol yang menuju ke arah Cipularang. Dari yang memang cukup awam dalam hal menganalisa sebuah perkembangan peluang bisnis-seperti ibu saya, sampai pada kenalan yang memang sering mengamati bidang tersebut. Mereka rata-rata berpendapat hal yang sama-yang sama pula dengan pendapat saya beberapa waktu yang lalu : kami sepakat bahwa memang peluang bisnis dalam hal tempat peristirahatan bisa dikatakan sebagai peluang bisnis baru yang cukup berkembang dan saya katakan relatif menjamur pada masa sekarang ini.
Malahan saking seringnya saya bolak balik Jkt-Bdg, saya makin bosan dan kurang tertarik dengan tempat-tempat baru yang dibuka di kanan-kiri jalan tol, semua menjual sesuatu yang sama percis (memang bisa saya katakan sama percis, karena saya tidak melihat hal apapun berkaitan dengan inovasi yang dikembangkan dari pelopornya –dengan icon Starbucks yang sangat menjual). Saya juga sebenarnya tidak terlalu tahu apakah pemiliknya sama atau hanya para followers yang punya banyak modal. Pada waktu itu kami semua sepakat bahwa tempat-tempat peristirahatan yang sudah sejak dulu dibuka, dan relatif kurang menjual dari segi gaya hidup tersebut perlahan-lahan akan cepat gulung tikar. Tapi ternyata bertentangan sekali dengan apa yang baru-baru ini saya alami sendiri.
Pada waktu saya akan ke Jakarta dengan menggunakan salah satu jasa travel, kami mampir ke tempat peristirahatan yang katanya sudah ketinggalan jaman tersebut. Karena memang saya tidak ingin ke toilet, jadi saya hanya diam di mobil dan memperhatikan situasi di sana. Ternyata ada yang membuat saya cukup kaget lalu tersenyum. Ternyata di tempat yang katanya memang tidak punya lifestyle tersebut, punya strategi yang cerdik. Entah hal ini memang merupakan satu strategi betulan yang dirancang sedemikian rupa oleh orang yang memang ahli di bidangnya atau hanya berupa inisiatif sederhana dari si pemilik yang orang biasa saja.
Tempat peristirahatan tersebut menyediakan kopi dan roti gratis bagi para sopir travel yang mampir di situ. Dan setelah saya perhatikan memang ternyata benar, ada banyak-atau semua mobil yang mampir di sana adalah mobil travel. Dari pengamatan saya di sana saya menarik kesimpulan bahwa tidak ada yang boleh menyatakan bahwa berkembangnya dunia lifestyle itu sendiri sama sekali tidak membunuh pasar manapun, karena sama sekali berada pada jalur yang berbeda. Dan pendekatan terhadap para sopir ini sangat efektif.
Mereka tentu saja akan sangat lebih sering-atau selalu mengajak penumpangnya turun untuk ke toilet di tempat peristirahatan tersebut dibandingkan dengan tempat-tempat baru yang memang bukan kelas mereka.Malahan saya sempat tertawa dalam sisa perjalanan memikirkan mungkin saja tingkat kestabilan pendapatan yang akan diperoleh lebih tinggi tempat peristirahatan sederhana tersebut yang makin jarang jumlahnya (didukung oleh meningkatnya industri transportasi travel Jakarta-Bandung) dibandingkan dengan tempat-tempat glamour yang menjamur itu. Memang nya berapa kali orang akan turun untuk isi bensin, ke toilet dan makan? Jadi hampir dapat dipastikan orang hanya akan mampir ke salah satu tempat glamour itu sekali saja dalam setiap perjalanan, dan ditentukan oleh keberuntungan pada kilometer ke berapa anak nya ingin buang air kecil.
Yah.. itu hanya asumsi dangkal saya saja.. tapi satu yang ingin saya share, bahwa jangan terlalu terbuai dengan suatu industri yang high class lantaran dengan alasan profit oriented, karena industri yang bergerak di pasar bawah juga bisa mendatangkan banyak keuntungan, hanya saja semua nya harus diimbangi dengan pemikiran strategi yang kreatif dan inovatif. Saya jadi ingat, penjual bebek goreng gaul di sebelah RS Borromeus di Bandung, menurut saya he’s really a great enterpreneur : jadi konglomerat di kolam cetek.

Just.. don't do it to your business!

Berapa lama sebenarnya kekuatan sebuah produk akan menjadi landasan utama persaingan dalam bisnis? Tidak terbatas pada bisnis apapun, produk memang sudah menjadi substansi utama untuk berjualan. Tetapi dalam perkembangan persaingan dan persepsi masyarakat yang juga semakin kompleks, diferensiasi produk sudah tidak sepenuhnya bisa diandalkan lagi, tetapi sifatnya mutlak. Karena apabila produk terus menerus diandalkan sebagai diferensiasi maka bisnis anda akan terjebak alias got association trap. Berkaitan dengan restoran misalnya, produk merupakan substansi yang mutlak untuk berjualan, karena baik dari skala pedagang kaki lima sampai yang sekelas hotel bintang 5, apa lagi yang dicari orang dan akan membuatnya kembali selain rasa enaknya si makanan yang dijual. Tapi ada yang dinamakan pula dengan elemen servis yang juga nga kalah pentingnya dengan si substansi mutlak produk. Malahan kalau bisa kita perhatikan atmosfer persaingan sekarang ini baik dari skala lokal sampai internasional, servis masih menjadi suatu elemen konsep yang dipersaingkan alias lomba unik2an.. baik dari yang ngampring sampe yang emang bisa kita akui servisnya jempolan dan bikin yang datang merasa nyaman.

Sebagai contoh simple skala lokal pedaganga kaki lima.. lagi-lagi saya harus ambil contoh pedagang kaki lima bebek goreng di dekat RS Borromeus di Bandung itu, si owner sekaligus pelayannya itu memang memberi atmosfer yang beda banget dengan pedagang2 bebek lainnya.. yang yahh.. okelah substansi mutlak nya memang enak dan sambelnya puedess nikmattt..... tapi di luar itu.. si owner sekaligus pelayan ini bisa menciptakan suasana yang ramai banget dan menjadikan waktu lama untuk menunggu (karena ramai banget) bisa terasa nga ngebosenin. Sang owner yang tampangnya emang lumayan itu sering ngajak bercanda pengunjung-pengunjungnya dengan gaya khas dia yang agak melambai dan manggil semua orang dengan sebutan ”say” itu... tapi ya... jujur aja gw akan datang lagi ke sana dan akan dengan senang hati merekomendasikan itu ke temen-temen dan keluarga gw.. tapi yang tentunya nga keberatan antri.

Contoh dengan skala yang internasional.. ada satu brand di Amerika Serikat bernama Hooters. Cikal bakal brandnya di usaha restoran juga dengan substansi mutlak produk yang kelasnya standar sampai enak, tergantung selera. Tapi dengan elemen servis unik di konsepnya, brand Hooters bisa menciptakan satu persepsi yang menjadi identitas nya sampai ia bisa melebarkan sayapnya ke bisnis lain yang memang nga nyambung sama bisnis resto. Jadi seluruh pelayan di restoran Hooters ini mengandalkan keseksian dan sensual mereka, ya tentulah para wanita-wanita, dengan kostum kaos putih dan celana/rok pendek yang ketat. Jangan pikir yang tidak-tidak, dan jangan sekali-sekali meniru konsep yang satu ini di negara tercinta kita ini, karena bukannya menciptakan brand asosiasi yang unik, tapi restoran anda akan dicap buruk dan didemo (atau dibakar???) massa, kata mereka sumber kemaksiatan. Ya memang budaya yang kita punya jauh berbeda dengan di AS sana, jadi ambil segi positifnya saja : unique selling point on service concept. Lanjut, jadi mereka mengasosiasikan Hooters itu dengan pelayanan yang unik dan seksi. Lalu beberapa waktu setelahnya, setelah asosiasi dengan baik tertanam di dalam benak masyarakat luas, maka tidak segan-segan ia menjajal bisnis baru di bidang penerbangan, dengan nama HootersAir. Ya tentu saja ketenaran asosiasi brand nya tidak terlupakan, para pelayan penerbangannya juga menggunakan atribut dengan konsep yang serupa, kaos putih ketat nan seksi.. dan memang nyeleneh nya konsep tersebut menjadi satu nilai jual yang tidak bisa diremehkan oleh para pesaingnya.

Oh ya saya punya satu contoh lagi, kali ini singkat saja ya. Mungkin juga sudah banyak yang membahas masalah ini, apalagi kalau bukan Blitz Megaplex yang sempat menggemparkan Bandung sampai Jakarta. Dengan konsep pelayanan bioskop yang akhirnya keluar dari pakem baju pramugari para pelayannya.. bisa menciptakan suasana yang sama sekali baru, dan hey.. everyone likes innovation, so do it with your own business.. tapi ingat sesuaikan dengan lingkungan dan karakter customer anda sendiri, jangan mentah-mentah mengadopsi konsep lain terutama dari latar belakang budaya yang sama sekali lain, seperti kasus Hooters, just don’t do it to your business ok !

Endoser Effect

Banyak pihak yang mencerca iklan Indomie 3 diva yang kampanye nya masih sering kita lihat di mana-mana. Saya juga sedikit bingung dengan berbagai pihak yang berpendapat berbeda dari saya itu.. tapi ya sudah semua orang punya pandangannya masing-masing, dan asik nya kita jadi bisa diskusi dan menemukan hal-hal baru yang bisa jadi pembelajaran.

Beberapa waktu lalu di salah satu milis periklanan saya juga sempat berdiskusi berkaitan dengan kasus 3 diva ini. Menurut saya penggunaan 3 endorser ini tidak bisa dikatakan tidak tepat. Ketiga diva ini memang sangat tepat untuk disejajarkan dengan persepsi Indomie yang telah tertanam di benak masyarakat Indonesia, yaitu Indomie (sekaligus 3 diva) adalah sosok yang sudah menjadi nomor 1 di kelasnya, memiliki kualitas yang paling diandalkan (persepsi lho..) dan merupakan generasi-generasi pelopor yang sudah mapan. Dan bukannya se simple itu tujuan dari penggunaan endorser selebriti dalam sebuah produk yang sudah nomor 1 di kelasnya? Yaitu memperkuat asosiasi yang tertanam dalam benak konsumen dengan adanya dukungan asosiasi yang serupa pada endorser tersebut.

Mungkin banyak yang berpikir bahwa iklan nya sama skali nga kreatif blah blah.. seberapa jauh sih penilaian kretifitas dalam iklan? Mungkin saja konsep iklan nya standar, tapi toh konsep penjualan dan strategi pemasarannya tetap bisa mempertahankan asosiasi yang tercipta di benak masyarakat luas. Iklan tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan aktivitas promosi/komunikasi yang dijalankan. Dan yang terpenting lagi ada baiknya si peng kritik bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia masih mengkonsumsi Indomie sampai saat ini. Siapa yang tidak makan Indomie? Walaupun dengan berbagai pilihan merk dan rasa dari merk lain, tapi salah satu yang tetap dibeli orang ya Indomie ini.

Balik lagi soal selebriti endorser, ya memang tidak semua produk harus diiklankan oleh seorang endorser, menyambung ngobrol2 saya dulu dengan Pak Handoko Hendroyono dari Matari Advertising, kita mendiskusikan seberapa penting endorser digunakan. Serupa dengan pendapatnya yang juga jadi materi diskusi seminar After Break With The Creative lalu bahwa tergantung dari tujuan iklan itu sendiri dan tentu saja posisi brand pada benak masyarakat, terlebih posisi modal dari produknya, kalau memang tidak memungkinkan yang tidak harus dipaksakan, karena masih banyak cara lain untuk mendongkrak brand tanpa harus bergantungan dengan ketenaran artis. Bila merk belum memiliki tingkat awareness yang tinggi, endorser selebriti bisa menjadi hal penting yang mendongkrak ketenaran merk. Tetapi apabila merk yang diiklankan sudah kuat atau bahkan pemimpin pasar ya sama seperti kasus Indomie di atas, bahwa tujuannya adalah memperkuat citra merk dengan didukung oleh citra selebriti yang serupa pula. Pemilihan endorser selebriti harus sangat hati-hati dan harus terus menerus dipantau perkembangannya, karena penggunaan endorser ini memiliki hal negatif apabila terjadi suatu kasus terhadap si endorser, nama merk akan terus terbawa-bawa. Jangan sampai penggunaan endorser malah menciptakan citra buruk dari produk.

Contoh kasus Pepsi yang sempat menggunakan Michael Jackson sebagai endorsernya karena ingin mendukung asosiasi muda, dinamis dan sensual. Sejak Michael mulai terlibat berbagai kasus, dengan sigap Pepsi memutuskan kisah cinta Michael sebagai icon nya.

Ada 4 kategori asosiasi merk yang diciptakan (David Aaker) Brand as a product, Brand as organization, Brand as a person, Brand as a symbol

Posisi penggunaan asosiasi merk yang dikaitkan dengan asosiasi endorser, seperti Indomie terdapat pada posisi brand as a person. Jadi tips untuk memilih endorser yang tepat bagi produk anda adalah memperhatikan kesesuaian sasaran pasar, positioning yang ingin dikomunikasikan dan citra merk saat ini dan yang akan diciptakan.

The Love of Dove

Melanjutkan diskusi ngelantur singkat kemaren bersama teman kerja saya di area meeting baru kami, saya menyisipkan post singkat di salah satu milis, berkomentar tentang strategi Dove yang, saya nyaris tidak percaya kalau hampir semua orang membicarakannya. Entah hal ini sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, Dove bukan baru kemarin melancarkan strategi persahabatan itu : The Love of Dove. Tapi ada dua hal sebenarnya yang ingin saya bahas. Yang pertama : Oprah adalah suatu media yang menggemparkan, sangat menggemparkan dan saya tidak percaya kalau efeknya sebesar itu, seperti yang sebelumnya saya katakan bahwa sudah sejak beberapa waktu lalu (hitungan bulan) Dove memulai strategi persahabatan yang ia jalankan, tetapi sejak muncul di Oprah Show (Dove based on America, tentunya) baru setelah itu semua orang membicarakannya, ya termasuk teman kerja saya dan orang-orang di milis. Ternyata that Oprah really does work.. dan memang jarang sih ada hal-hal komersil in that show, tapi karena saya juga tidak menonton nya secara langsung, saya tidak bisa bercerita terlalu banyak, mungkin saya lebih banyak bercerita tentang dampaknya, karena saya memang yang terkena dampaknya.

Pertama kali saya menyadari Dove’s new brand activation, yaitu berupa pengangkatan sisi persahabatan common women, sebenarnya saya tidak terlalu terkejut juga sih, karena bagi saya sebagai seorang wanita, ini bukan hal yang benar-benar baru, dalam artian mengangkat persahabatan sebagai simbol dari kecantikan, di mana pada brand activation sunsilk girls day pun melakukan hal yang serupa hanya saja perbedaan target usia market. Tapi reaksi dari orang lain, ya mungkin teman kerja saya yang laki-laki dan orang-orang milis yang juga laki-laki beranggapan bahwa hal ini adalah hal yang baru, berbeda dan cerdas. Mau tidak mau sayapun jadi berpikir ulang tentang semuanya. Ternyata demikian, ini hal kedua yang ingin saya sampaikan. Bahwa ternyata memang tidak hanya unsur persabahatan dan cinta saja yang ingin ditampilkan dari momen ini, tetapi adanya kejujuran (begitu kata teman kerja saya) yang dalam from this activation, yaitu penggunaan common women. Ya.. boleh dibilang sih mungkin saja target market terutama para wanita, sudah cukup muak dengan melihat berbagai kecantikan (yang bagi diri mereka sendiri adalah semu) yang diombar ambir di layar kaca. Tubuh langsing putih, hidung mancung, rambut indah dan wajah bule, sepertinya tidak dapat lagi secara nyata menggambarkan makna sebuah kecantikan. Melalui Dove, makna sebuah kecantikan dijabarkan sebagai sebuah kecantikan hati melalui cinta dan persahabatan. Yah.. sekali lagi saya bilang, it is really touching, terutama bagi mereka yang ingin melihat kepada diri mereka sendiri, siapa dia dan seberapa cantikah dia?

Oh iya hampir lupa, ternyata ada tiga hal yang ingin saya sampaikan. Yang ketiga adalah Dove melakukan suatu pendekatan yang berbeda dikarenakan adanya kejenuhan terhadap suatu kondisi tertentu di pasar, dalam hal ini terpolanya penyampaian pesan kecantikan melalui artis atau endorser cantik fisik lainnya. Maka Dove melakukan pendekatan lain, secara emosional untuk menyiasati kejenuhan tersebut. Apabila suatu hari semua orang sadar bahwa pendekatan emosional merupakan hal yang sangat cerdas dan semua orang melakukan hal yang sama, ya.. sudah seharusnya ada pendekatan lain lagi yang dilakukan, karena tentu saja pasar telah kembali jenuh. So, the point is not about the emotional or physical or another side we get through, but it is about the innovation of strategy, new way of thingking..

Pocari dan Adik Angkatnya

Di sebuah sore yang melelahkan ternyata saya harus mengalami shock berat. setelah beberapa waktu lalu mendengar tentang extra dan eren walahhh ada lagi yang bikin saya di satu sisi geli tapi di satu sisi jadi berpikir juga. Pada saat saya makan mi instan (makanan favorit gua) dan mencari acara TV yang bagus, ya terjadilah saya melihat iklan si mari sweat ini mungkin masih adik jauhnya si pocari, tapi walau mari mengaku adik jauh (hanya soal nama belakang sweat) tapi nyatanya mereka nampak kembar. dari baju kemasan, karakter air dan "peluh" nya hingga warna si biru putih pun ikutan di coreng-corengin. yah okey, memang sampai sekarang itu "bukan masalah"

Yang bikin saya bingung sekarang, entah memang semua orang seperti saya atau nga yah, karena sedari kecil mungkin ini bagian dari doktrinasi ayah saya yang selalu hanya merekomendasikan membeli barang dengan brand terbaik (dulu tajir -sekarang setelah belajar hidup sendiri boro2, makan mi instan aja pilih yang paling murah :P) sampai sekarang saya masih enggan (walau uang pas2an) untuk beli produk yang meniru seperti itu, saya benar2 akan prefer untuk pilih produk lain yang lebih murah yang beda sama skali dari si raja pasar itu dibanding harus beli produk yang saya tau hanya meniru si raja pasar (apa mungkin karena saya kerja di bidang kreatif jadi packaging promosi dan segalanya benar2 pengaruh buat saya untuk mengkonsumsi sesuatu) saya tidak tahu kalau "pasar" ternyata bertindak lain, bahwa it's ok to consume sang produk peniru.

saya jadi ingat sewaktu makan di "bu jawa" tempat makan murah banyak dan puas andalan anak-anak kos setempat, dijual banyak permen-permen ber merk -ya ampun i cant believe it- cola cola atau funta atau sprit, yah yang seperti itulah (kalau tidak salah ingat namanya seperti itu pokonya nyrempet dikiiiiittttt banget dari asilnya) dengan karakter tulisan dan warna yang SAMA PERCIS dengan aslinya, wakakakaa... sambil makan martabak goreng dan minum nutri sari kemanisan saya cekikikan sendiri dengan seorang teman, adaa ajaaa.. yang bikin saya tambah bingung lagi ada gitu yang beli???????

Beberapa bulan yang lalu saya sempat menulis tulisan singkat tentang saudara-saudara tiri produk-produk besar tersebut, dan mendapat beberapa tanggapan dari teman-teman milis periklanan lainnya. Tapi usaha para saudara tiri cola dan fanta atau apapun juga tidak stop saja sampai pada distribusi mereka yang gencar di beberapa lapisan masyarakat menengah bawah hingga menengah. Sekarang-sekarang ini, merekapun sudah mulai terjun pada kampanye TVC, dan yah.. boleh dibilang mereka benar-benar siap untuk bersaing pada pasar yang sebenarnya. Di satu sisi boleh saja timbul pertanyaan di benak kita masing-masing, bahwa benarkah sudah menjadi satu budaya yang di"aku"kan masyarakat kita tentang kemiripan identitas di segala bidang, ya salah satunya dalam kategori naming ini. Tapi ya.. kita benar-benar harus mengakui bahwa produk-produk tersebut memang mengakui bahwa produk-produk tiri tersebut memang diterima masyarakat.

Jadi.. boleh lah kita menarik temporary conclusion, bahwa daya konsumsi masyarakat kita masih banyak yang berkiblat pada rasa dan harga, dibandingkan dengan kualitas. Tetapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa tidak sedikit yang (seperti saya) merasa bahwa orisinalitas adalah yang utama (lantaran.. sambil menyangkal diri sendiri, saya konsumen barang-barang bajakan juga, haha.. ) Yah.. memang setiap produk yang dipasarkan pasti memiliki arahan pasar yang memang sudah tercipta dalam masyarakat. Bahwa.. lapisan masyarakat yang begitu kompleksnya menjadi peluang bagi kita semua..

Purple Ocean

Begitu banyak sumber dan para pakar yang sekarang ini terus menebarkan pemahaman ilmu untuk mencari peluang bisnis baru di area blue ocean atau bisa kita sebut sebagai sebuah pasar yang belum terjamah pebisnis/produk lain. Hal ini memang betul adanya, tetapi sebenarnya ada satu segi yang bisa kita masuki pula selain tetap diam dan terkikis di red ocean atau tergopoh-gopoh mencari modal untuk membuka blue ocean, yaitu the purple ocean.. area di antara red ocean dan blue ocean. Apa maksud the purple ocean?

Secara singkat kita tilik kasus C1000, di mana dia memasuki area pasar the purple ocean itu.. di mana satu area pasar yang jelas-jelas bukan red ocean (jenuh) tetapi telah teredukasi atau telah ada pemain yang lebih dulu membuka pasar blue ocean tersebut. Produk tersebut tentu saja You C 1000. Sebelumnya produk vitamin C cenderung diasumsikan orang lebih mendekati pada kategori obat, di mana bisa kita lihat perihal pendistribusian di berbagai supermarket, produk vitamin C, seperti Redoxon, Vitacimin, dll diletakan berdekatan dengan produk-produk kesehatan dan counter obat-obatan.

Tetapi secara baik sekali You C 1000 memposisikan produk vitamin C sebagai sebuah minuman yang bisa diminum kapan saja, dan menciptakan sebuah lifestyle tersendiri untuk mengkonsumsi vitamin C setiap harinya secara teratur. Dengan adanya penciptaan pasar yang baru, yaitu para masyarakat yang senang mengkonsumsi vitamin C sebagai sebuah minuman ringan (sehari-hari), maka terbentuklah apa yang disebut dengan the purple ocean.

Para konsumen di area ini telah teredukasi dengan baik tentang kategori produk dan menciptakan suatu ketergantungan terhadap penciptaan lifestyle itu sendiri, tetapi belum jenuh seperti di red ocean. Maka dengan terang-terangan, pihak Sido Muncul (SM) mengeluarkan suatu produk sejenis yang memang terinspirasi dari adanya produk You C 1000 (Kesuksesan You C 1000 pun menginspirasi Irwan Hidayat, Presiden Director PT. Sido Muncul, untuk melundurkan produk sejenis – SWA No.23/XXII/2-15 November 2006, halaman 74).

Hal semacam ini di satu sisi menjadi semacam penciptaan produk me too, tetapi dari segi bisnis hal ini merupakan satu kesempatan yang patut untuk dimanfaatkan, karena pasar yang dibidik telah teredukasi dengan baik sehingga tidak membutuhkan adanya pengeluaran budget tersendiri-yang tentunya tidak sedikit- untuk memperkenalkan kategori produk baru. Di lain sisi, pasar di kategori produk tersebut belum jenuh terhadap keragaman produk serupa. Terlebih di antara penciptaan ketergantungan para konsumen terhadap produk sejenis, produk pendatang (dalam hal ini C 1000) bisa menawarkan benefit yang serupa dengan harga yang lebih low. Jadi, bukan mustahil para konsumen berpindah bukan?

Tetapi hal ini tentu saja tidak didiamkan saja oleh You C 1000, karena penanaman brand orisinil dan eksklusivitas tetap bisa mempengaruhi pertimbangan para konsumen dalam mengkonsumsi produk. Jadi, baik bagi pemain pioneer atau pengikut, sama-sama harus memiliki strategi dan pemikiran yang jauh ke depan untuk tetap bisa bersaing dalam menjual produk mereka.

So.. start to think about that other ocean anyway..

Manusia itu Sulit

Tadi ketika asyik ngobrol melepas lelah sepulangnya dari kantor ada yang menanyakan kepada saya apa sih leadership itu dan bagaimana menjadi seorang leader yang baik. hmm pertanyaan yang benar-benar berat untuk menjelaskan dengan jawaban yang tepat.

Dengan santai gua jelaskan kepada sahabat gua tersebut bahwa kalo ingin secara teoritis, lebih jelas dan dilengkapi dengan contoh-contoh kepemimpinan mungkin ada baiknya dia membaca 22 irrutable laws of leadershipnya Jhon maxwell, membaca forbes dan buku-buku lainnya yang berhubungan dengan kepemimpinan. nah di semua literatur itu dijelaskan dengan sangat-sangat baik mengenai kepemimpinan.

Nah yang jadi masalah dia malah menanyakan bagaimana dengan yang gua rasakan dan jalani. wah berat nih, oke lah secara acak-acakan gua mungkin bisa sedikit berbagi cerita seperti apa sih kepemimpinan itu menurut pengalaman hidup gua tentunya. pertama buat gua seorang pemimpin itu harus mempunyai visi bagi seluruh komponen perusahaannya. seorang pemimpin harus bisa memikirkan akan dibawa kemana semua kompenen perusahaan dalam jangka panjang. mungkin secara sederhana bila kita bisa bermimpi tidak hanya untuk kebaikan diri kita sendiri tapi untuk kebaikan banyak orang, maka orang itu mungkin bisa disebut seorang pemimpin. kedua, seorang pemimpin buat gua harus mau belajar lebih banyak dari yang dipimpinnya. dengan kata lain, seorang pemimpin harus yang berilmu lebih baik dari yang dipimpinnya. saya teringat pesan guru mengaji saya ketika masih kecil, kalo ingin sholat berjamaah pilihlah imam yang paling baik ilmu agamanya agar ia bisa membimbing sholat dengan baik untuk mencapai impian kita semua mendapat ridho Allah. jadi di sini saya sekali ingin menekankan, pemimpin dalam bidang apapun ia harus memiliki ilmu yang seharusnya lebih baik dari yang ia pimpin.

Ketiga, seorang pemimpin harus mengalami kegagalan dalam hidupnya. nah loh aneh banget khan nih, cuma yah ini yang saya rasakan. banyaknya keberhasilan yang tertunda di masa yang lalu benar-benar memberikan pelajaran yang sangat tidak terharga yang bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih baik di masa sekarang. kegagalan dalam mengelolah team di masa lalu menjadikan kita belajar lebih banyak bagaimana mengelolahnya di masa sekarang dan masa depan dan kegagalan apapun selalu menjadi pelajaran yang sangat berguna. keempat, seorang pemimpin harus selalu menghargai dan mau mendengarkan orang-orang yang ia pimpim, kembali lagi pengalaman gua yang bisa membuat mengatakan hal ini, secara sederhana harusnya seorang pemimpin harus sering berterimakasih dengan seluruh orang yang ada di sekelilingnya, apapun bentuk sikap dan perlakukan orang-orang di sekitarnya baik itu yang positif ataupun yang negatif.

Apalagi yah, wah banyak banget deh syaratnya misalnya seperti harus menjadi pendengar yang baik, berani mengambil keputusan-keputusan yang strategis dan sulit, harus jadi pengayom yang baik, teman diskusi yang demokratis dan sebaginya-sebagainya. buanyakkkk banget khan, gua pikir itulah nikmatnya jadi seorang pemimpin, kita belajar banyak hal dalam hidup ini.Nah kalo ditanya apa yang tersulit ketika menjadi seorang pemimpin, buat gua hanya ada satu jawaban, manusia. entah mengapa hal inilah yang paling sulit yang pernah gua rasakan ketika memimpin, tidak ada ilmu yang tepat, tidak ada cara yang sama dalam menghadapi manusia satu dengan manusia yang lainnya dan tidak ada metode apapun yang bisa menjelaskan mengapa kadang orang bersikap mengjengkelkan, tidak professional, ambisius ataupun sikap-sikap lainnya. bikin stress deh pokoknya, sampe gua perbah mikir kok rasanya jualan itu gampang banget yah tapi kalo ngurusin manusia, busetttt minta ampun deh gua.

Bocah Gendeng dan Segmentasi

Saat lagi santai menikmati hidangan the manis hangat di teras seorang sahabat tiba-tiba datang dan bertanya kepada saya, eh rex segmentasi itu apa sih? Kebenaran sahabat saya ini masih kuliah, terhitung angkatan senior (-:, dan rada gendeng. Wah tumben nih tiba-tiba nanyain hal yang berhubungan dengan pelajaran, pikir saya. “ada apa nih, kok nanya pelajaran yang ga ada hubungan langsung dengan jurusan kamu?”.

Kemudian sahabat saya tersebut menceritakan bahwa sekarang ada mata kuliah pilihan dan kebenaran dia mengambil mata kuliah pemasaran, oh pantesan guman hati saya. Ok deh, saya coba jelaskan secara singkat makna dari segmentasi yang kamu tanyakan dengan sebuah pertanyaan. Kalo kamu punya sebuah produk atau service katakanlah, kemana dan kepada siapa kamu menjualnya? Wah tergantung dong rex, kalo misalnya gua punya mobil mewah yah gua bakal jual ke orang-orang yang kaya yang bisa membeli mobil tersebut, nah kalo gua jualnya Brownis, gua akan jual kekalangan ibu-ibu karena biasanya merekalah yang suka membeli makanan ringan seperti itu. Nah pertanyaan lagi nih, kenapa jual mobil mewah dengan orang kaya? Yah pertanyaan bego lo ah, yah karena itulah pasar mobil mewah??????? Nah kalo gitu dah ngerti khan apa itu segmen, tanya saya lagi. Oh iya juga yah he.......he, jawab teman saya tersebut.

Pada dasarnya makna dari segmentasi itu sangatlah sederhana yaitu kita mencoba memetahkan orang berdasarkan beberapa kategori tertentu menurut pandangan kita si empunya produk atau jasa. Dalam pengertian lain, beberapa pakar juga mengatakan bahwa segmentasi dalah cara kita memandang sebuah market dengan cermat dan kreatif sehingga implementasi strategi bisnis perusahaan dapat berjalan sesuai dengan visi, misi dan rencana perusahaan.

Secara teoritis ada 3 pendekatan segmentasi yang bisa dijalankan ole perusahaan dalam melakukan segmentasi bagi produk atau jasa mereka. Pertama adalah static attribute segmentation. Pendekatan ini penekanannya lebih kepada hal-hal yang bersifat static atau seperti apa adanya, sama sekali tidak menyentuh sisi human characteristic seperti sikap dan tingkah laku. Pandekatan ini biasanya didasarkan pada dua faktor yaitu geografis dan domografis (kelamin, umur dsb). Kedua, dynamic attribute segmentation. Pendekatan kedua ini mengakomodir sisi dari manusia dan juga memberikan gambaran yang lengkap tentang sikap dan tingkah laku seseorang dalam melakukan pembelian dan mengambil keputusan terhadap sebuah produk misalnya. Pendekatan ini biasanya didasarkan pada dua faktor yaitu psikografis dan behaviour. Ketiga adalah one to one segmentation, ini metode yang cukup hangat dibicarakan saat ini, dimana segmentasi dilakukan berdasarkan pribadi masing-masing orang.

Ketiga pendekatan diatas memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing tergantung bagaiman situasi persaingan, konsumen saat itu dan beberapa kondisi lainnya yang berpengaruh terhadap penjualan produk kita seperti aturan pemerintah dsb. Pendekatan pertama mungkin sangat cocok bila produk kita merupakan satu-satunya produk yang ada di pasaran karena ngapain juga capek-capek ngurusin tingkah laku pembelian, yang penting barang tersedia beres. Lain halnya kalo produk kita ternyata punya pesaing yang bejibun, bisa bisa modar kita kalo cuma ngandalin segementasi berdasarkan geografis ataupun demografis.

Gimana sudah cukup jelas? Tanya saya kepada sahabat saya tersebut. Hmm lumayan deh, trus pertanyaan terakhir nih friend, lanjut teman saya. Kalo gua mensegmen apa ajah yang harus gua perhatikan? Hmm, iya juga yah, yang ini penting juga. gini, sederhananya ada beberapa hal yang mungkin kamu perlu perhatikan, pertama segmen tersebut besar dan potensial untuk di garap kaga, ato kalopun niche market, potensi ke depannya bagus ga. Kedua kamu harus menganalysis dan menemukan segmen dengan metode yang sangat tepat, sehingga bisa terbaca dengan jelas prilaku dan karakteristik konsumennya bisa ditemukan dan di dapat dengan jelas. Ketiga, yah think the opposite lah, maksudnya coba pandang segmen kamu dengan cara yang berbeda dengan pesaing kamu, sehingga di situ kamu bisa lead dari competitor kamu.

Dasar bocah gendeng, orang lagi enak istirahat malah nanya-nanya segmentasi, Cuma ya semoga kamu ngerti deh.

Ngobrol Brand

Brand, apa sih sebenarnya brand itu? bertahun-tahun berbicara dengan banyak orang baik itu klien, calon karyawan, mahasiswa ataupu akedemisi sekalipun hampir semua jawaban yang saya dapatkan bias. dalam artian hampir tidak ada satupun yang bisa menjelaskan dengan bahasa yang sederhana dan dapat dimengerti apa itu sebenarnya brand. tentu semua jawaban yang saya dapatkan setelah didiskusikan memiliki argumen sendiri dan tentu tidak bisa dikatakan salah karena demiakianlah pengertian yang melekat selama ini di benak masing-masing orang dan juga kadang dalam prateknya hal tersebut berhasil.

Brand sebagai sebuah bahasa rasanya bukan lagi hal yang asing di masyarakat umum rasanya, tukang nasi goreng (kribo), tukang perkedel (perkedel bondon) dan bahkan tukang baso (bu lela) bahkan sudah mengerti dengan baik pentingnya sebuah brand sehingga mereka bisa membangun perusahaan demikian besar. lantas mengapa masih banyak sekali orang yang tidak dapat menjelaskan makna dari brand? it's easy to think but hard to say, demikianlah salah satu guru saya pernah memberi tahu saya permasalahan brand ini, dan memang 100 persen saya setuju dengan beliau karena itu saya merasa perlu membahas dari awal terlebih dahulu apa itu brand agar kedepannya kita bisa mengerti mengenai masalah-masalah brand lebih jauh.

Ok, bagaimana jika kita mulai dengan mengungkapkan sebuah kata, HONDA. apa yang terpikir di benak kita? kualitas tingga, hemat, harga jual tinggi, keren, purna jual yang memuaskan, suku cadang gampang, ada di mana-mana dan seterusnya. Bagaimana dengan BMW, keren, mewah, gaya hidup, mahal, eksklusif, orang kaya, style, kenyamanan, coll dan seterusnya. kalo The Valley, bandung, tempatnya indah, sejuk, mewah, nikmat.

Nah dari Honda, BMW, The Valley apa yang bisa kita tangkap? yah setiap nama tersebut memiliki arti atau nilai di benak masing-masing orang, ketika saya berpikir sal BMW hal di ataslah yang timbul, begitupun ketika teman saya saya tanyakan mengenai Honda, sehingga dari hal yang sederhana di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa brand adalah kumpulan nilai yang melekat pada sebuah produk.

Sederhana sekali bukan, bahkan hal sederhana ini kadang kala dijelaskan sampai ber bab bab di dalam buku yang pada kesimpulannya kita masih tidak bisa menangkap esensi dari apa yang kita baca. sekali lagi pada diskusi awal ini saya ingin mengatakan dan berharap pembaca dapat setuju bahwa brand adalah sekumpulan nilai. dan nilai inilah yang menjadi dasar keunggulan setiap produk dalam persaingan di pasar.tentu permasalahannya untuk mencreate nilai-nilai tersebut di pasar bukanlah permasalahn yang mudah, butuh strategy, dana dan sumber daya yang besar dan inilah yang kita namakan branding yaitu proses membangun brand yang akan kita bahas pada edisi berikutnya.

When Your Brand?

Suatu hari ada seorang sahabat yang bertanya kepada saya memang perlu yah melakukan branding? Paman gua ga ngerti yang namanya branding ajah bisa jadi “tajir” dan bisnisnya makin maju ajah tuh. Lagi pula branding itu khan menghabiskan dana ajah yang efeknya kalopun ada jangka panjang.

Hmmm dari dulu sampai hari ini, ga itu teman atapun pemilik perusahaan kalau sudah membicarakan topik yang satu ini kebanyakan selalu ajah berpendapat seperti itu, tapi memang kadang gua sendiri ga bisa menutup mata emang mereka maju tanpa perlu teori branding yang ini ataupun yang itu sehingga memang harus dicari cara yang tepat untuk mengatakan bahwa itu dulu, ketika persaingan tidak seketat sekarang, teman!

Oke lah, kemudian gua bertanya kepada sahabat gua tersebut, lo kalo mobil sukanya apa? “Honda.” Kenapa? “Soalnya gaya anak mudah banget deh”. Kalo ngerokok rokonya apa? “A mild.” Kenapa? “Soalnya rendah tar nya.” Nah sekarang kalo lo dikasih rezeki yang banyak sama Tuhan mau pergi kemana? “Singapura.” Kenapa? “Soalnya gua bisa belanja yang banyak di sana karena emang terkenal dengan orchad roadnya.” Trus semua barang dan tempat yang elo sebut itu elo tau dari mana? Ada yang dari iklan TV, ada yang dari teman dan ada juga yang dari baca majalah dan sebagainya. Hmmmmm trus itu semua, majalah, iklan TV dan omongan orang nurut lo proses apa? Branding. Sambil menghela nafas gua memperhatikan tatapan matanya yang menunjukkan muka sok lugu dan kemudian tersenyum tersebut.

Kemudian pembicaraan mengalir dengan lebih santai karena dia menjawab sendiri pertanyaannya yang diajukan pada awal pembicaraan. Sesaat setelah berdiam diri kemudian teman saya tersebut kembali bertanya, emang gimana sih nurut elo proses branding yang baik itu rex? Maksud gua kalo gua punya produk gimana biar gua bisa ngebangun brand gua menjadi besar dan kuat? Wah-wah, gua jadi teringat banyak sekali teman, kolega dan klien yang selalu mempertanyakan hal ini kepada gua.

Sejujurnya menjawab pertanyaan tersebut sama beratnya dengan meminum slimming tea buat gua, pahit, ga enak tapi memiliki kepuasan tertentu bagi diri gua sendiri. Ga nyambung yah, sedikit ngelenceng ajah sih itu namanya Spot Ad he….he. Oke back to the topic, gua kemudian mengajukan sebuah pertanyaan untuk sahabat gua tersebut, kira-kira kalo elo bisnis maunya bisnis apa? “Roti deh, jawabnya”. Oke sekarang, elo bikin bisnis roti, kelak cita-cita elo apa terhadap bisnis roti lo? “yah gua mau bisnis roti gua bisa segede J.CO ato Bread Talk setidaknya”, nah itu dia unsur pertama kalo elo ingin membangun sebuah brand yang besar yang dalam bahasa pemasarannya biasa di sebut brand equity elo harus punya mimpi atau bahasa kerennya Vision. Mimpi elo segede J.Co or Bread Talk.

Kenapa? Ini gua kutipin sebuah kata-kata yang bagus “if you don't have a dream, how do you know when your brand will be big”? Mimpi elo akan mendorong elo untuk terus berusaha mencapainya dengan segala daya upaya elo tentunya. Gua udah banyak banget nemuin orang-orang yang bisnis sekedar buang-buang duit, udah ga keitung kali yang gua prediksi bakal kolaps dan jadi kenyataan. Why? Simple, itu orang-orang ga punya mimpi, taunya cuma yang penting dapet duit secepatnya sehingga usaha-usaha yang mendeliver mereka untuk berkembang menjadi besar itu ga ada. “Pengen dapat duit dan kaya khan juga mimpi rex?” bener banget tapi ada satu hal lagi yang penting sering dilupakan dalam menterjemahkan dari memimpikan sesuatu yaitu, ukuran.

Kalo mimpi, ngukur dong, kalo pengen jadi petinju kelas berat, mikir dong kira-kira badan lo bakal segede Tyson ato Lenox Lewis kaga, kalo kaga ya disesuaikan dong, ambil kelas bulu terbang misalnya sehingga mimpi elo untuk jadi juara dunia menjadi masuk akal dan usaha untuk ke sana punya kemungkinan berhasil, gitu fren. Intinya mimpi basah “banyak duit” kenapa engga tapi yah itu diukur. Nah faktor ukuran ini nih yang suka dilupain sama orang-orang yang mulai usaha sehingga yah semua usahanya menjadi percuma disamping tentunya banyak lagi faktor-faktor penyebab lainnya. Ntar kita bahas lain kali.

Gimana jelas nga, intinya faktor pertama sebuah merek atau perusahaan berhasil atau tidak yah ada atau tidaknya impian yang mendeliver semua sumber daya untuk terus meraihnya. Simple kan jack, paman lo jadi besar pasti karena dia punya mimpi yang dari tadi kita bahas. Cukup ga mimpi doang, yah? kaga, karena itulah mengetahui dan menjalankan proses branding itu penting. “dasar konsultan lo, bisaan ajah”. Haa………ha, kamipun berpisah karena keterbatasan waktu yang kami miliki. Tentunya kelak kami akan berbincang-bincang lagi untuk melanjutkan pembahasan yang sangat menarik mengenai branding ini.

Blizt & The Old Lady

Pernah datang ke blitz Megaplex di Bandung? Jika belum pernah sebaiknya anda harus menyempatkan diri untuk datang, menikmati suasana dan kemudia menonton di dalam bioskopnya. Lalu kemudian anda pergi ke salah satu pesaingnya dan lakukan aktivitas yang sama dengan yang anda lakukan di Blitz. Yah kamu akan menemukan apa bedanya Blitz dan The Old Lady.

Bangku-bangku dan sofa-sofa yang sangat nyaman untuk menunggu sampai film yang kita inginkan diputar di Blitz bertebaran di lantai bawah dan lantai atasnya, begitu nyaman dan santai sambil sesekali waiter dari cafe di sana datang menawarkan beberapa menu ringan untuk dinikmati, belum cukup bagi anda penggemar musik terdapat db di mana anda dapat membuat album yang kamu sukai. Kalo di old lady, wah wah nunggu film kita bisa bisa harus ngapar-ngapar di lantai, sukur-syukur ada bangku din dong yang kosong sehingga kita bisa manfaatkan untuk duduk kalo ga mau yah pergi ke food court ato resto di sekitarnya.

Blizt sepertinya tahu benar expectasi anak-anak muda dan penonton dewasa seperti saya tentang bagaimana semestinya sebuah tempat menonton. Kombinasi hiburan dan pengalaman berkunjung ke sana sedikit banyak menciptakan sebuah apresiasi yang positif di mata target marketnya. Memang sih konsep ini bukan barang baru terutama di Jakarta, Cuma aneh juga di bandung baru mereka yang ngusung konsep ini (setidaknya yang benar benar terlihat dan dipublikasikan) padahal Old Lady sudah sangat-sangat lama bermukim di bandung.

Dalam bukunya M. Tracy dan Weiserman, The Discipline of market Leader, dijelaskan bahwa setiap pemimpin pasar harus memiliki senjata pamungkas atau fokus pasa salah satu dari tiga bisang yaitu operational execellent, customer intimacy dan product leadership. Nah gawatnya di Old Lady saya sama sekali tidak melihat mereka kuat dalam satu bidangpun. Berbicara soal harga, hampir semua film pukul rata harganya, yah paling-paling Nomat, sedangkan pesaingnya bahkan memberikan treatment harga khusus untuk film Indonesia selain hal-hal standart seperti Nomat. Customer intimacy, jauhhhhh. Saya benar-benar tidak habis pikir bagaimana hal ini bisa sangat berbeda, anda bahkan bisa rapat kecil dengan exclusive di area blizt untuk menunggu film di putar sedangkan di Old Lady? Bagaiman mungkin bisa menciptakan customer intimacy, untung mereka membuka tempatnya di daerah yang agak sulit di capai sehingga memang segmen menengah ke atas yang lebih banyak datang kalau saja hal ini terjadi di tengah kota?. Product leadership? Yah kalo Old lady gitu gitu ajah dari jaman satu ampe sekarang kali yah mungkin yang paling gress Cuma bisa beli tiket mulai jam 12 an buat jam berapa ajah di hari yang sama.

Loh saya ini siapa sih ha....ha kok usil ajah, yah namanya juga brandist (julukan kami di kantor buat orang branding). Saya pikir sudah saatnya Old Lady melakukan rejuvenasi baik dari sisi content, context maupun dari sisi infrastructure. Kenyamanan ketikan film sudah diputar memang sangat penting, Cuma point of sales ketika orang menunggu, mengantri, dan hal hal lainya sebelum menonton juga sangat penting. Ketika alternatif belom ada ok lah apa boleh buat, take it or leave it, Cuma ketika pesaing muncul ga bisa gitu lagi, innovation or die.

Dulu saya dan beberapa teman saya adalah pelanggan setia old lady, sekarang saya pelanggan setianya blitzMegaplex. Alasannya sederhana di Blitz saya bisa bersantai di sofa, ngobrol beberapa hal dan menikmati secangkir kopi yang langsung ditawarkan oleh seorang pelayan ketika menunggu film yang saya nantikan di putar.

Pertanyaannya apakah kelak jika Old Lady berubaha saya mau kembali kepangkuan kasihnya? Ya, asal mereka bisa mengerti keinginan hati saya dan para movie maniac lainnya. Instilah mereka bisa memahami Customer Insight target marketnya.