Nov 30, 2008

Promosi Terus,
Respon Pasar Bagaimana??


Saya mengambil dua botol minuman mineral dalam kemasan saat berbelanja di sebuah mini market dekat kantor. Sudah tahu harga minuman tersebut, saya pun mengeluarkan uang pas saat membayar di kasir, namun kasir ternyata kasir tersebut malah memberikan kembalian pada saya. “Sedang promo Mba, jadi kalau beli ini satu gratis satu!”, ujar si kasir ramah seolah dapat menebak kebingungan muka saya. Hhmmm…lagi promosi ya…kok saya bisa tidak tahu ya? Saya tidak menemukan media yang memberitahukan konsumen bahwa produk minuman mineral merek tersebut sedang dalam program promosi. Ah tapi bodo amat lah ya, sebagai konsumen saya sudah senang kok tahu bahwa promo produk tersebut sangat menguntungkan bagi saya! Heheee! Yang pasti, sejak saat itu saya menjadi lebih loyal dengan selalu membeli produk merek tersebut jika hendak membeli minuman mineral.

Setiap program promosi biasanya pasti bertujuan untuk menciptakan brand equity dan salles (baik di masa sekarang maupun masa depan) pada akhirnya. Program promosi memang telah menjadi program ‘wajib’ bagi perusahaan untuk produk atau jasa yang dimilikinya, apapun bentuk promosinya ya! Bisa melalui buy one get one free seperti yang saya dapatkan dari minuman mineral di atas, bisa melalui voucher, diskon, kontess, undian, sampling, dan masoih banyak lagi bentuk-bentuk promosi yang bisa dijalankann. Pertanyaannya sekarang, apakah program promosi yang dijalankan mampu mendapat respon positif dari target pasarnya?

Agar perusahaan tidak melakukan strategi promosi yang ‘salah’ maka sebaiknya sih mereka mengidentifikasi terlebih dahulu bagaimana respon pasar terhadap kegiatan promosi yang mereka lakukan. Dalam buku Pemasaran Strategik (Fandy Tciptono, Gregorius Chandra & Dadi Andriana), disebutkan bahwa ada enam jenis respon pasar yang bisa diidentifikasi, yaitu :

1. Redemption Rates
Jenis respon pasar ini bisa diartikan dengan tingkat penebusan. Maksudnya, seberapa banyak sih pelanggan yang memberikan respon positif terhadap kegiatan promosi perusahaan. Semakin banyak pelanggan yang memberikan respon positif berarti semakin tinggi pula efektifitas promosi yang telah dilakukan. Beberapa perusahaan biasanya menggunakan strategi promosi melalui pemberian voucher, diskon langsung, dan lain sebagainya. Nah jika jumlah kupon atau voucher yang perusahaan keluarkan seimbang atau sama dengan jumlah kupon/ voucher yang ditukarkan kembali oleh pelanggan, ini menandakan bahwa respon mereka positif. Begitupun sebaliknya.

2. Displacement Rates
Kalau yang satu ini adalah hal yang paling menyenangkan bagi perusahaan. Kenapa? Karena jenis respon pasar ini menunjukkan bahwa pelanggan akan tetap membeli atau menggunakan produk atau jasa perusahaan apapun situasinya. Jadi walaupun perusahaan tidak mengadakan program promosi, buat mereka sih “Hajar Bleh!!” . Biasanya, Promosi yang dilakukan perusahaan memang pasti akan membuat mereka semakin loyal, tapi tenang dan percayalah, pelanggan setia seperti ini akan selalu memberikan responyang positif apapaun situasinya. Fiuhh, senangnya!

3. Stock-Up Effect
Hahaaa, respon yang ini sih menunjukkan bahwa konsumen perusahaan adalah orang yang sangat “pintar”. Bagaimana tidak, saat mereka mengetahui bahwa perusahaan melakukan kegiatan promosi, maka yang mereka lakukan adalah membeli/menggunakan sebanyak mungkin produk/ jasa perusahaan. Menguntungkan kah? Tidak juga! Karena pembelian dalam jumlah besar selama masa promosi tersebut ditujukan untuk ‘menimbun’ produk perusahaan.

Istilah gaulnya sih “nyetock”. Misalnya nih, biasanya pelanggan rutin membeli sabun detergent 1 kantong seminggu sekali. Saat promosi, mereka akan membeli detergent 5 atau bahkan 10 kantong sekaligus. Bukan untuk dipakai sekaligus pastinya, tapi untuk disimpan sampai waktunya diperlukan. Jadi mereka tidak akan berbelanja detergent itu lagi dalam jangka waktu 5-10 minggu ke depan. Mumpung murah kan! Jika dilihat dari sisi perusahaan ya agak sedikit merugikan ya…tapi itulah resiko program promosi, apalagi untuk produk yang tahan lama atau tidak memiliki masa kadaluarsa.

4. Acquisition Rates
Jenis respon ini khusus ditujukan pada konsumen non-reguler, maksudnya konsumen yang sebelumnya tidak menggunakan produk atau jasa perusahaan. Pembelian yang dilakukan mereka tidak rutin seperti yang dilakukan oleh pelanggan tetap. Respon jenis ini sebenarnya sama saja dengan respon redemption rates, hanya targetnya saja yang dibedakan. Pembedaan target pasar ini mungkin ditujukan agar perusahaan dapat membaca sejauh mana program promosi dapat menarik konsumen non-reguler tersebut. Syukur-syukur kan jika mereka bisa berubah menjadi konsumen regular gara-gara program promosi yang dilakukan perusahaan. Ini adalah langkah awal yang sangat baik bagi perusahaan jika memang respon yang didapatkan adalah respon yang positif, karena dari sini akan membuka peluang besar terhadap penjualan di masa depan.

5. Conversion Rates
Nah respon ini adalah tindak lanjut dari respon acquisition rates. Seperti yang saya sempat sebutkan sebelumnya, saat perusahaan mampu menarik pembelian dari konsumen non-reguler melalui program promosinya, maka respon selanjutnya yang harus diidentifikasi adalah respon ini. Jadi respon ini dapat dilihat dari seberapa banyak produk atau jasa yang tetap dibeli atau digunakan konsumen non-reguler setelah program promosi berakhir. Jika setelah itu konsumen non-reguler ternyata tetap menggunakan produk atau jasa perusahaan maka ini berarti bahwa program promosi yang dilakukan dinilai berhasil. Berhasil karena mampu membuat konsumen non-reguler berubah menjadi konsumen regular. Tidak sia-sia lah promosi itu!

6. Product-Line Effects
Kalau yang satu ini memang lebih tepat disebut efek daripaad respon. Setiap program promosu yang dilakukan oleh perusahaan, sangat memungkinkan untuk terjadinya permintaan silang antara produk perusahaan yang dipromosikan dengan produk lain yang menjadi produk substitusinya (pengganti). Maksudnya disini, saat perusahaan memutuskan untuk mempromosikan salah satu produknya, dimana produk tersebut pasti memiliki produk substitusi, maka aka nada kemungkinan bahwa konsumen produk subtitusi tersebut beralih ke produk yang dipromosikan untuk sementara, hanya sepanjang promosi itu berlangsung. Ibu-ibu biasanya yang jago dalam hal ini. Walaupun sehari-hari telah biasa menggunakan merek A, namun jika merek B sedang dalam program promosi (dimana pasti menguntungkan bagi konsumen) maka yang dibeli saat itu adalah merek B.

Menyenangakan memang jika program promosi yang perusahaan lakukan memperoleh keberhasilan melalui respon-respon yang positif dari target pasarnya. Seharusnya sih kalau sudah mampu mengidentifikasi jenis-jenis respon pasar di atas, perusahaan mampu membuat program promosi yang sempurna bagi perusahaan maupun bagi konsumennya. Semoga perusahaan biasa berkata seperti Dora The Explorer “Berhasil..Berhasil!!” (sambil lompat-lompat ya! Heheeee!;p)


Brand Berserakan,
Curi-Curi Perhatian Donk!


Luch time at my office…Seperti biasa sambil makan saya dan teman-teman menonton televisi apapun itu programnya (kadang berita biar kelihatan gaya, kadang infotainment biar up to date, kadang pindah-pindah biar variatif). Sedang asik-asiknya nonton gossip perceraian Pasha Ungu (jangan komentar! Saya juga sadar ini sangat “nggak banget deh lo!”, tapi apa daya…voting kali ini berpihak ke acara infotainment!), tiba-tiba iklan muncul dengan semena-mena.

Normalnya sih ‘acara’ iklan sama sekali tidak menarik perhatian kami, tapi iklan yang kami lihat tadi cukup menarik perhatian. Bukan karena iklannya yang agak (super) “nggak banget deh lo!” karena menampilkan model non-profesional atau keyakinan bahwa iklan tersebut dibuat dengan budget yang sangat minimalis sekali. Kami (eh lebih tepatnya saya sih! Hehee!) langsung berkomentar ketika melihat iklan layanan masyarakat yang dikeluarkan oleh salah satu departemen pemerintah di Indonesia tersebut. Kok? Nih saya deskripsikan ya script iklannya.

Ada seorang ibu yang sedang berjalan-jalan di sebuah mall atau pertokoan gitu lah. Ketika beliau lewat ke salah satu toko sepatu, pramuniaga toko tersebut langsung menyambutnya dengan promosi yang sangat berlebihan. Mulai dari promosi keunggulan produk yang merupakan produk luar negeri (import punya), sampai diskon edan-edanan hingga 75%, disampaikan pramuniaga tersebut dengan sangat antusias dan heboh agar si ibu tadi mau membeli. Namun yang terjadi, beliau hanya tersenyum dan berlalu begitu saja menuju toko sepatu di sebelahnya, sebutlah toko B. Pramuniaga toko B juga menghampiri beliau dan dengan tenang dan sopan mempromosikan produknya.

Beda dengan toko sepatu sebelumnya, toko B ini menekankan bahwa sepatu yang dijual adalah produk lokal, asli produksi Indonesia dengan kualitas yang tidak kalah dengan produk luar negeri. TANPA embel-embel diskon sedikit pun! Apa yang terjadi saudara-saudara? Si Ibu tadi dengan senyum yang lebih mengembang dari sebelumnya langsung membeli sepatu tersebut! Tidak lupa beliau menatap kamera dan berkata “Kalau bukan kita, siapa lagi yang mencinatai produk-produk lokal?” (masih dengan senyum maut yang sama!). WHAAATTTTT??

Sungguh sama sekali bukan karena pesan yang ingin disampaikan melalui iklan tersebut yang membuat saya berpikir “Yang bener aja!”. Pesan yang terkandung sih saya sangat setuju sekali. Tapi coba perhatikan, tidak peduli itu produk impor atau lokal, logikanya, mana ada orang (apalagi perempuan -dan ibu-ibu-) yang lebih memilih produk yang tidak didiskon sama sekali dibandingkan produk yang didiskon, dengan situasi kualitas produk sama lho! Heheee…bukan karena saya perempuan jika berpendapat bahwa scenario iklan tersebut tidak masuk akal, tapi bagaimanapun juga perhatian konsumen pasti akan lebih tertuju kepada hal-hal yang mampu memberikan ransangan yang cukup ‘logis’ bagi mereka, bukan?

Yakin sekali saya di tengah makin banyak sekalinya brand-brand yang beredar di pasaran, konsumen menjadi lebih sulit untuk dicuri perhatiannya. Terlalu banyak rangsangan membuat konsumen cenderung ‘memilah-milah’ sendiri secara sadar maupun tidak tentang produk atau brand yang akan menarik perhatiannya. Menurut saya sih ada beberapa hal yang bisa kita sebagai pemasar baca dari sikap konsumen saat ini terhadap rangsangan.

1. Sesuatu yang “lebih” akan lebih mudah menarik perhatian
Ini bisa dicontohkan dari cerita saya di atas, bagaimanapun juga, sepatu yang dibandrol dengan diskon sampai 75% tersebut rasa-rasanya TIDAK MUNGKIN tidak menarik perhatian ya! Sudah didiskon besar, produk import pula! Ini mah sudah tidak didiskon, produk lokal pula! Nah kalau kamu jadi si Ibu tadi, kamu akan lebih tertarik dengan yang mana? (diingatkan lagi bahwa kualitas produk sama ya!).

Brand yang memasang neon sign lebih besar akan lebih mudah dilihat oleh konsumen, menggunakan lay out toko yang lebih berbeda akan lebih mudah menarik minat konsumen, menampilkan pramuniaga yang lebih cantik/ ganteng dan lebih manner akan lebih mudah dilihat oleh konsumen. Pokonya segala sesuatu yang ‘lebih’ pasti akan lebih mudah menarik perhatian konsumen.

Ransangan yang seperti itulah yang saya nilai sih lebih efektif dalam menarik perhatian konsumen ya! Bahkan iklan yg lebih norak pun akan lebih mudah diingat oleh masayarakat! Ingat iklan produk alam kendaraan yang “nggak banget deh menurut saya!”, dimana ada maling yang gagal mencuri mobil karena menggunakan alarm brand tersebut? Mati-matian saya mencela iklan tersebut, tapi justru pada kenyataannya saya lebih mengingat iklan itu dibanding iklan-iklan lainnya! Apapun asal ‘lebih’, tidak peduli rangsangan tersebut lebih jelek atau lebih baik dari brand lain, maka pasti perhatian konsumen sudah di tangan. Sekarang ya tergantung perusahaan, mau memberikan rangsangan seperti apa pada target marketnya.

2. Sesuatu yang ‘utama’ akan menjadi prioritas utama
Kalau dipikir-pikir, masuk ke Bandung Electronic Centre (BEC) terkadang membuat saya pusing saking banyaknya produk elektronik yang dijual disana. Walaupun sudah diklasifikasikan tiap lantai per-kategori, lantai 1 sampai lantai sekian produk hand phone, lantai sekian sampai sekian produk computer, tapi tetap saja membuat saya masih ‘pusing’. Lihat saja, di kategori computer pun saya masih melihat di display etalase toko-toko itu memajang laptop, computer PC, flash disk, PDA, dan MP4 Player. Tapi ‘pusing’ itu kalau saya tidak sedang membutuhkan sesuatu.

Lain hal nya jika saya ke BEC denagn satu kebutuhan. MIsalnya saya hendak membeli PDA, maka semenarik atau sebanyak apapun produk lain yang terpajang di setiap toko, mata saya pasti langsung tertuju pada toko PDA. Saat kita sedang membutuhkan sesuatu, maka secara otomatis perhatian kita akan lebih fokus pada apa yang kita butuhkan. Tujuan utama saya membeli PDA, maka perhatian saya pasti akan mengutamakan toko PDA.

Begitu juga dengan iklan. Pernah baca Bandung Infomedia yang isinya iklan semua? Kalu dipikir-pikir gimana orang bisa lihat iklan kita ya? Tapi ya itu tadi, kalau orang memiliki kebutuhan utama, maka iklan produk yang ia butuhkan yang menjadi prioritas utama dalam pencariannya. Jadi tidak usah takut kali ya, selama manusia punya kebutuhan utama (dan pasti lah!), produk atau brand kita pasti menarik perhatian mereka kok!

Kadang suatu iklan yang selewat cuma buat celaan saja ternyata bisa membuat pikiran kita berkembang lebih jauh ya! Well, semoga saja ‘gerutuan’ saya ini bisa memberikan masukan pada siapa saja yang membaca, terutama setiap perusahaan dalam menarik perhatian target marketnya. Eh btw, ada lagi tidak yang mudah menarik perhatian kamu?

Word of Mouth
Is It Killer App?


Bagi para praktisi marketing atau pelaku bisnis, pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya Word-Of-Mouth Marketing alias WOM. Marketing dengan menggunakan rekomendasi ini memang banyak memberikan keuntungan dibanding membuat iklan, apalagi jika dilihat dari segi biaya. Banyak perusahaan-perusahaan besar yang menggunakan WOM untuk memasarkan produknya. Sebut saja Gmail, Tupperware, Sunlight Pencuci Piring, Toyota Avanza, iPod, dan sebagainya. Tanpa kita sadari, kita pun sering melakuakan aktivitas WOM, salah satu contoh ketika kita merekomendasikan teman atau kerabat dekat untuk mencoba makan di restoran favorit kita. Atau merekomendasikan menggunakan produk yang cocok dan biasa kita gunakan. Bahkan dalam iklan-iklan yang sering kita tonton, aktivitas yang biasanya dilakukan adalah aktivitas merekomendasikan barang kepada seseorang.

Dalam WOM, perbincangan membentuk saluran yang kemudian ditransmisikan. Disini yang memberikan pesan adalah orang yang kita percayai (teman/kerabat) dan biasanya kita akan mempercayai teman/kerabat dekat yang memberikan rekomendasi dibandingkan dengan iklan yang kita lihat di televise, media cetak dan sebagainya. Kenapa demikian? Karena yang merekomendasikan kita sudah pasti orang yang pernah menggunakan produk tersebut dan pasti produk itu banyak memberikan manfaat sehingga direkomendasikan pada kita.

Namun perlu diingat juga, berita yang terdapat pada WOM bisa negative bisa juga positif. Dan karena WOM sangat berpengaruh pada pemasaran suatu produk, WOM juga bisa membuat produk tersebut banyak dibeli atau bahkan tidak dibeli sama sekali. Mungkin dulu pernah ada kasus, produk makanan yang diisukan mengandung formalin atau yang beberapa waktu lalu sedang ramai dibicarakan orang, adalah susu formula yang mengandung melamin, dan sebagainya. Bagaimanapun langsung atau tidak langsung, isu tersebut akan menyebar luas dan pasti berpengaruh pada tingkat penjualan produk tersebut.

Menurut Emanuel Rosen dalam bukunya The Anatomy of Buzz:How To Ceate Word-Of-Mouth Marketing, 1st Ed, (New York:Doubleday, random House Inc,2000) menyatakan terdapat tiga alasan yang membuat WOM menjadi penting. Apa saja tiga hal tersebut? Mari kita bahas satu persatu.

Pertama. Noise.
Hal pertama ini merujuk pada kenyataan bahwa konsumen saat ini sulit menentukan pilihan karena banyaknya iklan di berbagai media yang dilihatnya setiap hari. Mereka bingung. Untuk menghindari diri dari salah informasi, mereka cenderung lebih mendengarkan apa yang dikatakan orang atau kelompok yang menjadi rujukan termasuk teman-temannya. Hal ini lah yang membuat WOM banyak berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk pembelian suatu produk.

Kedua. Skepticism.
Dalam konteks ini konsumen pada umumnya skeptic atau meragukan kebenaran informasi yang diterimanya. Hal ini bisa disebabkan oleh banyaknya kekecewaan yang dialami konsumen saat harapannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya saat mereka mengonsumsi produk yang dibelinya. Dalam posisi keraguan itu, konsumen akan berpaling ke teman yang bisa dipercaya atau orang yang menjadi panutan untuk mendapat produk yang dapat memuaskan kebutuhannya.

Ketiga. Connectivity.
Ini menunjuk pada kenyataannya bahwa setiap hari orang selalu berintraksi dan berkomunikasi satu sama lain dann mereka saling berkomentar hingga bergosip baik mengenai produk yang dibelinya maupun persoalan lainnya. Dalam berinteraksi itu terjadi dialog seperti produk apa yang dimiliki dan akan dimilikinya serta pengalaman mereka menggunakan produk tersebut.

Ketiga alasan tersebut semakin memperkokoh peranan influencer dalam menciptakan WOM. Itu sebabnya, ketika menyusun strategi komunikasi WOM, target utamanya adalah para evangelis atau influencer. Evangelist adalah konsumen yang secara sukarela menyampaikan brand atau produk kita kepada konsumen lainnya. Mereka bisa berasal dari karyawan perusahaan pemilik brand atau produk, vendor, atau konsumen.

Sedangkan influencer adalah konsumen yang memiliki pengaruh pada konsumen lainnya karena misalnya mereka dikenal sebagai ahli dalam suatu masalah atau dikenal memiliki banyak ide. Influencer ini biasanya memiliki argument yang rasional, sedangkan argument evangelist cenderung lebih karena emosi.

Berbeda dengan endorser yang biasa digunakan dalam periklanan yang biasanya mendapatkan imbalan finansial, dalam WOM para market mavens (pembawa kabar burung pasar) ini mendapat kepuasan dari kemampuannya dalam membeIi informasi kepada teman-temannya dan orang-orang lain. Oleh karena itu menjaga dan membantu dalam membangun karakteristis]k mereka sangat penting bagi para marketer. Misalnya dengan memberikan informasi atau pengetahuan lebih awal dan mendetil kepada mereka sangat bermanfaat.

Sehingga dapat disimpulkan WOM adalah sarana atau media pemasaran yang low cost namun high impact, itu sebabnya beberapa perusahaan ternama di Indonesia mulai menggalakkan system ini untuk memasarkan produk mereka. Namun WOM bukan hanya sekedar WOM, karena perusahaan tetap harus menjaga brand image mereka agar WOM yang terbentuk adalah WOM yang memberikan efek positif dan bukan efek negative. Tetap saja focus dalam pembentukkan ekkuitas merek harus dijalankan oleh perusahaan. WOM memang berpengaruh dalam aktivitas penjualan, namun berpengaruh pula pada nilai merek suatu perusahaan. Kredibilitas perusahaan mau tidak mau sangat memberikan pengaruh dalam kegiatan marketing. Pada intinya WOM tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan awareness terhadap suatu produk saja, tetapi juga untuk meningkatkan penjualan produk, seperti killer app yah, equity dan sales, keduanya menjadi tujuan utama WOM.

Dalam hal ini, perusahaan dituntut untuk membangun WOM yang kreatif sehinggan mampu mendongkrak penjualan. Seperti yang sudah dilakukan oleh Sunlight melalui Agen 1000 Sunlight, adalah program yang salah satu alat promosi yang menggunakan aktivitas WOM. Selain sukses mendongkrak penjualan (cmiiw), program ini juga mampu meningkatkan awareness di masyarakat terhadap Sunlight. Jadi siapkanlah ide untuk membangun WOM yang kreatif.

Membangun Brand
Bukan Pekerjaan Semalan


Kemarin pagi, ketika hendak ke kantor saya menyempatkan diri untuk menonton acara berita di salah satu televise swasta nasional. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah masalah yang menimpa salah satu Bank Swasta Nasional di Indonesia. Bank tersebut mengalami penurunan asset dan terpaksa diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Setelah sempat ditutup untuk beberapa hari, operasional dibuka kembali dengan manajemen baru.

Untuk tetap mempertahankan Bank tersebut, LPS mengeluarkan tiga langkah, antara lain:
1. Mengatasi masalah likuiditas
2. Meningkatkan rasio kecukupan modal
3. Mengembalikan kepercayaan nasabah.

Tiga langkah tersebut diharapkan mampu memulihkan kondisi yang dialami oleh Bank tersebut. Kasus ini jadi mengingatkan saya pada dilikuidasinya beberapa Bank karena krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. Tapi kali ini tidak seperti tahun 1998, karena yang saya tahu (cmiiw), Bank tersebut kena masalah karena mengalami kekurangan rasio yang diakibatkan oleh penurunan nilai aset. Untung saja, Bank tersebut merupakan anggota dari LPS, sehingga aktivitasnya tidak langsung ditutup. Coba saja bayangkan kalau Bank tersebut terpaksa harus ditutup, apa yang akan terjadi dengan nasabah yang menyimpan uangnya di Bank tersebut?? Sudah pasti mengalami kerugian yang amat sangat besar, bukan hanya itu, akan terjadi PHK besar-besaran terhadap karyawannya. Untuk tetap mempertahankan Bank tersebut, pasti pihak manajemen perlu kerja keras dan dibutuhkan langkah-langkah strategis agar dapat kembali melakukan kegiatan ekonominya di bidang perbankan.

Memulihkan citra dan nama baik untuk suatu brand memang bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan langkah-langkah strategis, apalagi berkaitan dengan kepercayaan konsumen. Nasabah bank sebagai konsumen tentu saja ingin menyimpan dan menginvesatsikan uangnya di bank atau lembaga keuangan yang terpercaya dan mampu menjaga citra perusahaan tersebut. Tidak bisa dipungkiri memang, bahwa kredibilitas sebuah merek sangat berkaitan erat dengan nilai atau equity suatu perusahaan.

Seperti beberapa interview yang saya lakukan beberapa hari ini, dalam interview tersebut terdapat pertanyaan dimana responden diminta memilih perusahaan mana yang ia pilih untuk bergabung, perusahaan yang tidak terkenal atau perusahaan yang terkenal dan dipercaya masyarakat padahal dari segi kualitas perusahaan tersebut berada dalam tingkatan yang sama. Sebagian besar responden menjawab bahwa mereka akan tinggal di perusahaan yang terkenal dan terpercaya walaupun ditawari komisi lebih besar di perusahaan yang satunya lagi. Bahkan cukup banyak responden yang menjawab, bahwa ini bukan masalah besar atau kecilnya komisi, tapi lebih kepada kelanjutan perusahaan dalam jangka panjang.

Dari permasalahan di atas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan perusahaan untuk tetap focus, dimana diperlukan perencanaan brand yang harus dimasukkan dalam perencanaan bisnis masa depan. Hal itulah yang dikemukakan oleh Phillip Kotler dalam bukunya “B2B Brand Management”. Lebih lanjut lagi, ia mengemukakan bahwa perubahan besar brand biasanya tidak terjadi dalam semalam. Sebuah perusahaan harus menghasilkan proses perlahan-lahan sepanjang waktu. Untuk itu perlu dicapai kontinuitas dan keterlibatan yang dipadukan dalam proses, langkah, dan prosedur berikut :

Pertama
Menciptakan iklim perubahan dan memberikan waktu bagi manajemen untuk mendiskusikan strategi brand. Dalam hal ini seorang manajer harus mampu menciptakan atmosfir untuk terus kreatif dan mengembangkan ide-ide terbaru untuk strategi brand.

Kedua
Melakukan analisis Strength, Weakness, Opportunuty, dan Threat (SWOT) untuk memperoleh informasi dan memudahkan dalam proses pembangunan strategi brand. Tujuan lainnya adalah untuk memiliki proses yang member informasi pada saat yang tepat, termasuk laporan tentang kekuatan dan kelemahan, sinyal peluang/ancaman tentang posisi brand, identitas brand.

Ketiga
Mengembangkan prosedur perencanaan terobosan yang cepat, berdasarkan pada analisis menyeluruh tentang situasi brand termasuk ukuran pasar, potensi pertumbuhan, saluran distribusi, dinamika dan tren pasar,,profil customer, persaingan saat ini, dan yang terakhir tetapi penting, potensi keuntungan. Dalam hal ini diperlukan juga analisis menyeluruh dari sisi Company, Customer, Competitor dan perubahan lainnya, untuk memudahkan dalam penyusunan program dan startegi branding apa yang tepat dilakukan oleh perusahaan agar tetap bertahan di pasar dan industrinya juga dapat memberikan kontribusi dalam penjualan produknya.

Keempat
Memiliki format standar untuk mengkomunikasikan dan mengubah rencana brand. Disinilah tempat score card bisnis menjadi sangat efektif. Dengan tujuan bisnis dan scenario yang jelas, mereka membantu mengidentifikasikan program yang tepat dan kurang tepat diberlakukan di perusahaan.

Kelima
Memiliki proses implementasi yang kuat. Rencana tindakan untuk implementasi ini mengasumsikan manajemen brand yang terbentang dalam jangka panjang. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya bahwa untuk membangun sebuah brand diperlukan proses yang panjang dan tidak bisa diimplementasikan hanya dalam satu tindakan selama setahun bahkan beberapa tahun.

Terakhir
Melibatkan semua orang dalam perencanaan. Disini semua orang yang ada dalam perusahaan harus terlibat agar tercapai tujuan jangka panjang sebuah perusahaan, dimana tujuan tersebut merupakan tujuan bersama.

MOHON MAAF


(Jika ada tulisan didalam blog ini yang ternyata salinan atau tidak mencantumkan sumber tulisannya padahal merupakan tulisan pihak lain mohon segera diinformasikan kepada rexmarindo@yahoo.com, isi blog ini merupakan kumpulan tulisan dari teman-teman di creasionbrand jadi mohon maaf jika ternyata ada lolos posting artikel seperti Trend Baru Pemasaran yang ternyata merupakan copy-an tulisan dari blog Mas Bambang tanpa mencantumkan sumber asli dari artikel tersebut).

Tulisan Trend Baru Pemasaran sudah kami hapus dari Blog ini karena merupakan karya dari Mas Bambang yang disalin oleh salah satu penulis tanpa mencantumkan sumbernya. Untuk membaca artikel Trend Baru Pemasarn tersebut silahkan langsung kunjungi alamat aslinya

http://www.bambangsukmawijaya.wordpress.com
http://www.komunikasiana.com

Kami selalu menunggu kritik dan sarannya. Terimakasih.

Nov 24, 2008

TERNYATA KONSUMEN KITA BER-POLIGAMI


Silahkan percaya atau tidak. Anda silahkan memikirkannya. Tetapi saya berani mengatakan inilah faktanya. Meskipun poligami merupakan salah satu isu hangat dalam beberapa tahun terakhir ini, pengamatan terhadap perilaku konsumen yang poligami relatif kurang dikaji secara mendalam. Tentu saja maksud tulisan saya ini bukan membahas sikap saya sebagai pihak yang pro atau yang kontra. Saya tidak memiliki pretensi kearah tersebut.

Justru sebaliknya, saya akan membahas fenomena ini dari kacamata marketing, khususnya buyer behavior dan brand management. Tetapi percayalah, jangan berprasangka yang bukan – bukan dengan judul tulisan ini (he he he …). Well, saya akan buka tulisan ini dengan mengajukan pertanyaan kepada Anda? Apakah Anda orang yang setia ? Seberapa kesetiaan Anda? Jika Anda menemukan sesuatu yang lebih baik, menarik, atau bahkan ketika pilihan pertama Anda tidak ada , apa yang Anda lakukan? Yup, mungkin berganti pilihan atau pasti berganti?.

Kenapa saya berani berkesimpulan demikian?Anda mungkin akan berteriak keras bahwa jawaban saya tidak masuk akal. Anda mungkin akan beralibi bahwa Anda adalah orang yang setia dengan pasangan Anda. Anda juga memiliki kesetiaan yang besar terhadap apa yang Anda pasangN pilih. Tetapi, tentu saja hal tersebut tidak beralasan, karena yang saya bahas adalah perilaku Anda terhadap penggunaan merek bungan mengenai pasangan hidup anda he....he.

Begitulah profil konsumen kita. Itulah profil konsumen di Indonesia, Asia Tenggara, Eropa, dan bahkan dunia. Mengapa saya berani berpendapat demikian. Saya akan menjawabnya : ini adalah fakta!!!!!!!!!!. Inilah fakta yang diungkapkan oleh Marc Unles (Professor of Marketing dari University of New South Wales, Australia) dan partnernya. Kedua nya melakukan riset skala besar dengan mengkaji lusinan merek produk konsumen (FMCG – Fast Moving Consumer Goods) di lebih dari 50 negara.

Hasil yang cukup mengejutkan. Pasalnya loyalitas adalah kata – kata ajaib – disamping customer satisfaction - yang didengungkan baik oleh pakar dan praktisi pemasaran dalam satu dasawarsa terakhir. Secara umum, konsumen akan loyal terhadap satu merek dan akhirnya ini membuat banyak manajer pemasaran “tersihir” untuk menggarap program promosi yang akhirnya how to create customer loyalty.

Bagi Uncles dan kawan-kawan, fakta bahwa konsumen itu “poligami” tidak mengejutkan. Logikanya sederhana. Loyalitas akan terjadi ketika terdapat dua atau lebih pilihan. Jika pilihannya hanya satu bukan loyalitas namanya. Kondisi ini terjadi ketika pasar dimonopoli oleh satu brand. Dampaknya, konsumen hanya take it or leave it. Kondisi tersebut semakin tidak relevan ketika pasar menghadapi persaingan yang kian intensif, yang dicirikan banyaknya merek. Kini bukan zamannya bermain monopoli.

Terkait dengan riset Ehrenberg, mayoritas konsumen adalah polygamous (memilih banyak merek). Kondisi monogamous (setia pada satu merek) dan promiscuous (tidak loyal pada satu merekpun) justru sedikit. Mengapa kondisi ini dapat terjadi? Ini mungkin pertanyaan menggelitik di benak Anda. Betapa tidak Anda yang “bermazhab” loyalty is everything mungkin sudah broken heart. Anda mungkin memaki-maki saya dengan umpatan kekecewaan dan kekesalan. Tetapi untuk “mengobati” broken heart tersebut, saya akan menawarkan “madu” yang saya racik dengan tiga bahan baku pokok: psikologi, merek, dan distribusi. Aneh bukan? Anda mungkin berpikir jauh dan bergumam , “Hmm, pastinya obat herbal”. Ha ha ha …….

Agar lebih mudah memahaminya saya akan menjelaskannya secara terstruktur dimulai dari psikologi terlebih dahulu. Ini pastinya ngomongin konsumen. Lha wong temanya juga konsumen. Begini, konsumen itu akan membentuk skema brand portfolio dalam benaknya. Yes. Artinya ada sekumpulan merek yang terkumpul dalam pikiran konsumen. Merek – merek tersebut akan berurutan “berdiri” dan “mengantri” dalam otak konsumen. Merek yang berada diurutan pertama adalah merek yang dipersepsikan valueable. Wow !!! Betapa dahsyatnya persepsi bukan? Itulah mengapa “sesepuh” kita di bidang marketing sering kali ngomongin perception is everything.

Lalu, menanisme perspesi ini akan berdampak pada struktur pemilihan merek yang terbentuk dalam benak konsumen. Merek yang memiliki perceived value yang tinggi akan menempati posisi uatam dalam benak konsumen. Bagaimana membentuk perceived value yang tinggi? Ya, Anda harus rajin-rajin berkomunikasi dengan pelanggan Anda. Buatlah mereka mengenali merek Anda. Seperti kata pepatah: tak kenal maka tak sayang..Begitulah cara konsumen memilih merek.

Hal ini juga terkait dengan ramuan ketiga distribusi. Ketika produk sedang out of stock mau tidak mau dan percaya tidak percaya, loyalitas konsumen akan runtuh. Konteks ini berlaku untuk produk – produk FMCG. Anda dapat membayangkan, apakah Anda bersedia membeli sebuah sabun mandi atau pasta gigi ke toko lain ketika merek yang Anda “idolakan” tidak tersedia? Inilah mengapa para produsen produk FMCG begitu “bersikap manis” terhadap peritel. Gampang saja. Kalau sedikit saja produsen “bertingkah”, jangan dipajang produknya di rak.

Tiga hal tersebut ditambah faktor keempat, yaitu variety seeking behavior, membentuk skema loyalitas. Variety seeking behavior atawa perilaku mencoba-coba merek, memang sudah dari sononya kalau konsumen senang mencari model baru atau suasana baru. Jadi, perlu disadari loyalitas itu seperti apa mekanismenya. Tambahan lagi, ada jargon ngetop dalam industri FMCG yang belum saya bilang “your customers are my customers too”. Jadi waspadalah dalam memaknai loyalitas pelanggan, karena pelanggan kita senang berpoligami.

Menjala Ikan di Lautan
Beginikah Pemasaran Anda?



Pastinya kita sudah sangat akrab dengan istilah segmentasi, tapi mari kita bertanya pada diri sendiri, terutama Anda para pelaku bisnis yang seringkali dikejar target penjualan. Apakah seringkali Anda masih berpikir bahwa Anda ingin menguasai seluruh pasar yang ada dan membuat mereka semua mengkonsumsi produk Anda? Jika ya.. maka Anda sama seperti pejala ikan di lautan, tapi Anda bukanlah seorang pemasar.

Mengapa demikian? Karena pada masa sekarang ini hampir tidak ada produk yang bisa dijual kepada siapa saja. Semua produk memiliki segmen nya masing-masing, dan sepertinya saya harus memaksa Anda menyerah untuk memaksa semua orang mau mengkonsumsi produk Anda. Sekalipun produk-produk kebutuhan pokok, memiliki segmen nya masing-masing. Jika bukan karena faktor demografis, seringkali segmen terbagi karena faktor ekonomi. Contohnya saja minyak goreng yang katanya semua orang membutuhkannya : segmen ditentukan faktor demografis dan ekonomi.

Mengapa demografis? Dilihat dari perilaku/habit konsumen, hampir dipastikan konsumen minyak goreng adalah ibu rumah tangga, walaupun pada akhirnya yang mengkonsumsi adalah anak nya atau suaminya, tapi yang membelinya? Sebagian besar pasti ibu rumah tangga! Itulah mengapa komunikasi produk minyak goreng selalu bagi para ibu-ibu. Lain lagi dengan pemilahan faktor ekonomi. Minyak goreng jaman sekarang sudah sangat banyak ragamnya, dari yang paling low adalah minyak goreng kilo an di pasar sampai minyak goreng anti kolesterol ala Tropicana Slim, harganya pun berlipat-lipat. Dan apakah yang membeli berasal dari kelompok segmen yang sama? Tidak!

Saya jadi teringat klien kami yang jelas-jelas perusahaannya mutlak menjual produk untuk remaja, tapi dia mati-matian ingin semua orang membelinya. Akhirnya karena setelah beribu-ribu kali bahwa hal tersebut sia-sia, kami tetap mengeluarkan sebagian budget aktivitas untuk bercuap-cuap pada kelompok masyarakat luas (yang sebenarnya sampai sekarang masih kami yakini : tidak ada gunanya untuk menaikkan grafik penjualan!). Hakikat awalnya produk diciptakan untuk memenuhi kebutuhan kelompok manusia tertentu yang pada tahap pemasaran kita sebut dengan segmentasi. Jika produk Anda adalah makanan cemilan, berjualanlah pada mereka yang membutuhkan makanan cemilan, bukan pada mereka yang sedang diet.

Atau apabila Anda pernah mendengar tentang Needs, Wants and Expectations? Ke-3 hal tersebut adalah elemen-elemen yang dapat Anda gunakan untuk kembali menilai produk Anda terhadap segmen yang Anda layani. Apakah produk Anda termasuk dalam kebutuhan mereka? Keinginan mereka? Dan apakah sudah sesuai dengan ekspektasi mereka? Jika di pertanyaan pertama tentang kebutuhan, jawabannya adalah bukan (produk Anda bukan kebutuhan segmen yang selama ini Anda garap), sudah sangat pasti Anda melakukan kesalahan terbesar dalam abad ini. Pantas saja tidak ada yang mau beli, karena Anda menjual pada orang yang salah.

Renungi kembali keunggulan produk Anda dan apa yang dapat dijual darinya. Cari segmen yang tepat untuk memasarkannya. Disinilah tahap riset memang sangat diperlukan (itulah mengapa kami tidak pernah berkata ya atau tidak tanpa data riset). Setelah Anda menemukannya, jangan lupa untuk memikirkan tahap selanjutnya, seperti positioning apa yang ingin di bangun di benak konsumen, differensiasi apa yang mendukung hal tersebut serta bentuk komunikasi seperti apa yang dapat Anda gunakan dan efektif untuk menyampaikan manfaat produk Anda untuk mereka, bahwa produk Anda memang mereka butuhkan.

Jadi... jangan seperti menjala ikan di laut...

Mengapa Sulit Sekali
Memuaskan Pelanggan?



“Untuk apa sih pren kita riset konsumen segala? Nyari tau needs, wants, sama expectation konsumen kaya yang lo bilang itu sebenernya biar kita bisa bikin produk atau jasa yang mereka suka ya? Trus?”. Pertanyaan salah seorang sahabat yang sering saya ‘cekoki’ dengan ilmu-ilmu yang saya dapat selama bekerja di bidang branding cukup membuat saya juga menelaah kembali apa inti dari semua itu. Kepuasan pelanggan kah pada akhirnya?

Bukankah memang pada saat kita dapat mengetahui apa yang dibutuhkan, diinginkan dan diharapkan oleh konsumen, kita jadi mengetahui celah-celah untuk memuaskan konsumen secara maksimal. Namun jawaban saya itu memunculkan ‘curhat colongan’ dari sahabat saya tersebut. “Ah, gw ngerasa udah maksimal banget ngusahain biar konsumen yang datang ke toko gw dapet kepuasan, tapi tetep aja nggak pernah cukup. Orang tuh emang nggak pernah ada puasnya tau pren! Susah!”.

Hmm…memang sih kalau dipikir-pikir usaha memuaskan pelanggan memang tidak hanya cukup dengan memberikan apa yang mereka inginkan atau butuhkan atau harapkan semata, kenyataannya tidak semudah itu ya. Selalu ada rintangan yang harus dianggap justru sebagai tantangan oleh setiap perusahaan dalam memuaskan pelanggannya. Mungkin disini ada baiknya jika perusahaan mengetahui tantangan apa saja yang mungkin mereka hadapi dalam usahanya memberikan kepuasan pelanggan. Tantangan tersebut bisa terlihat dari karakteristik konsumen itu sendiri.

Karakteristik konsumen yang bagaimana yang bisa menjadi rintangan atau tantangan bagi perusahaan? Di bawah ini beberapa diantaranya :

1. Plin Plan
“Pembeli adalah raja” memang merupakan ungkapan yang mutlak bagi dunia bisnis. Seperti raja, mereka harus dilayani dan dipenuhi keinginannya semaksimal mungkin. Namun di satu sisi, sebagai manusia, pelanggan juga pasti memiliki sifat yang dinamis dalam dirinya. Begitupun juga dengan apa yang menjadi wants, needs, dan expectation-nya. Dinamis, itu artinya semuanya terus berubah waktu demi waktu, bahkan lebih parah lagi ada banyak faktor yang mampu mempengaruhi perubahan tersebut. Apa yang pelanggan inginkan saat ini, belum tentu masih menarik perhatiannya esok hari. Itulah sebabnya mengapa cukup banyak industry yang booming hanya dalam waktu sesaat namun kemudian ditinggalkan pelanggannya.

Kita bisa lihat contoh industry minuman bubble tea (walaupun jenisnya tidak hanya tea saja, tapi ada juga juice dan coffee) beberapa tahun yang lalu yang begitu booming dikalangan menengah atas. Saat itu minuman dalam kemasan cup bubble tea seperti dapat memenuhi ekspektasi target market yang menginginkan minuman jenis berbeda dari yang selama ini ada. Konteks yang diberikan dengan cara menjual di counter-counter yang terdapat di mall-mall atau tempat-tempat yang sedikit ekslusif dan menggunakan system take away pun dirasa dapat memuaskan pelanggannya.

Namun sekarang tren berubah, target market berubah ekspektasi dari sekedar membeli minuman take away semata. Sekarang target market lebih prefer pada tempat minum yang memungkinkan mereka bisa minum sambil nongkrong, kongkow dengan teman-temannya di tempat tersebut. Itulah makanya tempat-tempat ngopi seperti Ngopi Doeloe, Starbuck, dan sebagainya menjadi tempat yang dituju oleh target market. Dulu system take away yang menawarkan kepraktisan memang diminati, tapi skarang tema life style lebih disukai oleh masyarakat Indonesia pada khususnya. Plin plan ya..tapi yah mau bagaimana lagi, kita juga begitu, bukan?

2. Penganut poligami
Demi menjaga loyalitas pelanggannya, biasanya perusahaan melakukan berbagi cara dan promo yang cukup agresif. Membuat sebuah komunitas atau system yang mengikat diharapkan mampu membuat pelanggan memutuskan untuk loyal terhadap satu jenis produk atau saja saja. Di jaman seperti ini? Rasa-rasanya itu adalah sebuah keinginan yang terlalu naïf. Lihat saja, begitu berkembangnya dunia bisnis di Indonesia sehingga mampu memunculkan berbagai macam brand-brand baru yang secara konten, konteks maupun infrastruktur mampu menjadi pesaing yang tangguh bagi brand lainnya. Berlomba-lomba mengedepankan keunggulan masing-masing menjadi salah satu cara untuk menarik perhatian konsumen.

Bagi konsumen, walaupun itu terkadang membingungan, namun lebih banyak memberikan keuntungan tersendiri. Kenapa? Karena konsumen jadi memiliki banyak pilihan dan alternative yang terbaik bagi mereka. Loyalitas yang dimiliki terhadap satu produk atau jasa bisa dipastikan tidak akan sampai 100% lagi.

Kesetiaan bukan lagi jadi hal yang bisa diharapkan. Saya yakin banyak dari kamu yang memiliki lebih dari satu sim card dari operator seluler yang berbeda. Teman saya bisa memiliki empat buah handphone dengan merek yang berbeda (ada yang Nokia, Sony Ericsson, dan LG), isi sim card-nya pun berbeda-beda setiap HP (ada yang XL, M3, Esia, dan Flexy). Alasannya hanya satu, karena masing-masing brand memiliki keunggulan tersendiri yang tidak dimiliki olen brand lain. See?? Jangan perdebatkan paham poligami dalam dunia bisnis seperti kita memperdebatkan paham poligami dalam pernikahan.

3. Sosialis
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa generasi manusia yang sekarang ini memiliki kecerdasan dan intelegensi yang jauh lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya. Kemajuan pendidikan berimbas besar pada kemajuan teknologi. Hi Tech menjadi istilah yang selalu digunakan dalam menciptakan segala sesuatu yang menggunakan teknologi canggih.

Kita cenderung berpikir bahwa sesuatu yang menggunakan teknologi adalah hal yang modern dan dinilai akan sangat membantu konsumen dalam transaksi bisnis kita. Benarkah? Jangan pernah lupa bahwa manusia bagaimana pun juga merupakan makhluk social. Kecanggihan teknologi sekarang ini lebih mengesankan membuat manusia jadi pemalas dibandingkan maksud untuk mempermudah segala sesuatunya. Belum tentu semua konsumen sesuai dan tepat untuk diberikan teknologi secanggih itu. Selain alasan makhluk social, ke-ogah ribet-an juga biasanya membuat teknologi yang diciptakan menjadi tidak cocok dengan konsumen. Belum lagi jika ternyata teknologi yang diberikan malah merumitkan orang-orang yang gaptek. Heheee..

Di Indonsesia terutama yang menganut paham ketimuran, sisi sosialisasi langsung masih menjadi pilihan dan bahkan hal mutlak yang belum bisa ditawar dengan kecanggihan teknologi. E-Commerce sekarang memang sudah muncul, tapi kenapa lebih banyak orang yang berbelanja ke mall atau pasar? Karena interaksi yang bisa mereka dapatkan dengan penjual bahkan konsumen lain masih mereka butuhkan. Mereka merasa bahwa dengan melihat dan memilih atau mencoba langsung barang yang akan mereka beli, tawar-menawar jika memungkinkan, meminta pendapat teman, melihat pilihan konsumen lain sebagai referensi, masih menjadi sebuah kenikmatan luar biasa dibandingkan berbelanja on line. Kita manusia, orang Indonesia, beradat timur, kombinasi yang sangat logis untuk kebutuhan akan sosialisasi dan interaksi langsung dengan sesamanya.

4. Introvert
CRM (Customer Relationship Management) rasanya telah menjadi program wajib bagi setiap perusahaan dalam mempertahankan pelanggannya. Dari program CRM yang dilakukan, perusahaan juga bisa mengetahui secara lebih akurat mengenai apa yang menjadi wants, needs dan expectation konsumennya.

Disini tentunya dibutuhkan pendekatan yang lebih dalam lagi dengan konsumennya. Menjadikan konsumen sebagai sahabat baik menjadi salah satu cara yang dilakukan. Percayalah hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Sama seperti menemukan seorang sahabat yang sebenarnya, menjadikan konsumen sahabat perusahaan juga membutuhkan satu proses dan teknik yang tepat. Salah-salah, perusahaan bisa dianggap ‘sok akrab’ dan ‘mau tauuuuuuu ajah!’.

Di Indonesia lagi-lagi, hal-hal yang menjurus ke arah pendekatan personal masih memunculkan kecurigaan tersendiri dan menimbulkan kesan mengganggu privacy, terkesan tabu mungkin. Jadi harus bagaimana donk membangun hubungan yang dekat dengan mereka? Ya pintar-pintar lah mengambil hatinya. Sama seperti persahabatan, yang mereka perlukan hanyalah rasa percaya pada perusahaan. Itu yang harus dibangun di awal.

Memang cukup membingungkan bagi para pebisnis bukan? Namun ya itulah yang namanya tantangan. Sekarang hanya bagaimana cara perusahaan menghadapinya, sekuat dan sekreatif apa perusahaan mampu menyelesaikan tantangan-tantangan tersebut. Mampukah??


Ketik Reg (spasi) JAWA
Anda tidak cocok kerja di air,
Cocok nya bekerja sebagai pedagang!!!


Jika Anda mendengar kata tersebut, maka Anda akan langsung berpikir itu adalah Mbah Roso. he....he Fenomena konsultasi atau apapun namanya via sms saat ini sedang cukup ramai muncul di layar TV, untung saja belum ada konsultasi branding via sms seperti ini ha....ha kalo ada wah bisa gawat nih buat konsultan-konsultan saat ini. Sebetulnya, apa yang tersembunyi di balik itu semua?? Dan mengapa hingga Flexi provider telepon selular pun mengikuti iklan tersebut dengan versi parodi ??

Mungkin pada awalnya tidak akan ada yang pernah menyangka bahwa iklan tersebut akan menarik perhatian konsumen begitu besar? Dengan target market orang yang memiliki HP dan ingin mencoba mengikuti sms tersebut. Tapi kata-kata itulah yang membuat orang semua mengingat. Bahkan seorang Deddy Kobuzer, Mamah Lauren dan Ki Joko Bodo pun telah hanyut terbawa trend yang sedang berkembang ini.

Sepenting itu kah suatu tag line dalam pemasaran hingga mampu menyalip semua pendahulunya untuk kategori produk ramalan via selular. Lalu siapakah yang diuntungkan dari ini semua ?? tentu ada tiga pihak yang sama-sama di untungkan. Pertama provider 9877 latau sejenisnya lah paling berjasa dan memperoleh banyak keuntungan dengan adanya iklan tersebut. Kedua adalah si Mbah Roso atau mbah-mbah lainnya yang telah memberikan ramalan kepada konsumennya melalui sms. Dan ketiga adalah konsumen yang mengikuti program Reg (spasi) Jawa. (itu pun kalau ramalan yang dihasilkan benar…hehehe), yah kalo bicara siapa yang dirugikan mungkin kita sebagai masyarakat yang berlangganan sms demikian yang menempati peringkat nomor satu.

Bayangkan dalam satu hari ada orang yang mengikuti program ini, dan akan mendapatkan balasan sms ke kita sebanyak 2 kali dalam 1 hari, di kalikan dengan Rp. 2.000,-/ sms. Dalam sebulan akan menghabiskan pulsa sebesar Rp. 80.000,-. Itu baru untuk satu kategori, jika semua kategori, maka dalam sebulan kita harus mengeluarkan pulsa sebesar Rp. 640.000,-. Itu baru dari satu orang loh….. selain itu tulisan UNREG di tulis dengan huruf kecil dan hampir tidak terlihat saat kita menonton TV, sehingga menyulitkan kita untuk berhenti jika kita sudah tidak menginginkan produk ini lagi.

Jika kita perhatikan hampir semua penyedia jasa konsultasi via sms ini memiliki tagline yang unik dan cukup bagus yang semuanya selalu diawali dengan 'ketik reg _ ' . Sedemikian pentingnya tagline ini sehingga dalam iklan manapun tagline-tagline yang ada selalu diulang paling tidak 3 kali dalam sati kali penayangan ikan.

Lalu sebenarnya apa sich tag line itu ??? Mengapa HANYA tulisan singkat bisa membuat orang merasa DASYAT ??? tagline merupakan rangkaian kalimat pendek untuk mensosialisasikan produk atau untuk menciptakan image akan produk atau suatu brand yang kita kembangkan ke masyarakat. Lantas, akan menjadi pertanyaan untuk kita para marketer, apakah bisa tulisan singkat bisa membuat suatu image, dan harus bagaimana membuat tulisan singkat itu membuat persepsi di benak konsumen ??? Jawabannya BISA!! Tapi tagline tersebut harus menggambarkan dan mendukung produk tersebut.

Dalam merangkai dan merumuskan tagline, terlebih dahulu harus ditetapkan target market yang akan di capai. Target market merupakan target sasaran konsumen pengguna produk kita. Misalnya produk di atas, target marketnya adalah orang-orang pengguna telepon selular, maka dibuatlah produk dengan kebutuhan mereka. Misalnya untuk anak muda adanya reg (spasi) musik, Agnes (artis), untuk pengangguran adalah reg (ramalan), dan masih banyak lagi.

Sebuah tagline yang benar harus melalui riset pasar terlebih dahulu. Sehingga terdapat relevansi antara tujuan perusahaan atau target market dengan tagline tersebut. Antar product insight dan customer insight juga harus dipahami dengan baik, baru setelah tahapan tersebut dilalui dengan baik, selanjutnya kita buat product positioning.

Sosialisasi tagline biasanya melekat dengan brand itu sendiri kecuali brang yang sudah lama dengan tagline yang baru. Misalnya saat Tolak Angin Sido Muncul membuat tag line baru “orang pintar minum Tolak Angin”, agar tujuan ini tercapai maka Tolak Angin Sido Muncul mengeluarkan pintar Renald Kashali, dan lain-lain.

Akan tetapi yang perlu dipikirkan juga adalah mengenai produk yang akan di jual serta promosinya. Apabila produk yang di jual tidak inovatif dan promosiya tidak dilakukan secara tepat dan kontinu, bisa di pastikan bahwa tagline itu hanya akan bertahan sesaat saja dalam benak target market. Dan apabila produk yang dijual benar-benar inovatif dan disesuaikan dengan segmen pasar yang akan dituju serta promosinya juga sesuai, kreatif, unik, dan tidak menoton, maka bias dipastikan tagline yang di buat akan mempunyai umur yang panjang. Jadi dengan tagline yang baik serta pemilihan media promosi yang tepat diharapkan dapat menunjuang brand yang ada dan mampu membantu menjual produk yang kita buat.


Buat Apa Sih Membangun brand,
Emang Penting Gitu?


Walaupun masih belum banyak orang yang mengerti benar apa sesungguhnya brand itu, namun saya yakin hampir dari semua yang membaca tulisan ini tahu bahwa brand, bagaimana pun juga, memiliki peranan yang sangat penting bagi sebuah produk atau jasa yang dimiliki perusahaan. Teman saya pernah berkeluh kesah karena ternyata cukup rumit juga mematenkan merek produk yang dia miliki. “Kenapa sih susah banget pengen punya hak paten buat brand gw? Ribet bener dah ah!”, keluhnya. Saya sih Cuma senyum-sentum saja karena walaupun dia mengeluh itu ribet, susah dan sebagainya, toh dia tetap ‘berjuang’ mendapatkannya.

Saya malah memancingnya dengan pernyataan “Ya udah, nggak usah dipatenin aja lah pren!”. Reaksinya sudah bisa saya prediksi, “Ya nggak bisa gitu juga lah mamen, merek (brand) kan penting banget buat produk gw. Kalau dibajak gimana?....Weitz, lo ngetes gw ya? Kan lo kerja di perusahaan in house branding. Ya lo pasti faseh banget lah gimana brand itu penting buat bisnis! Ciaul luw!”, Hehee…ngamuk juga dia sadar saya ‘godain’.

Suatu kesempatan seorang klien dengan nada serius mempertanyakan “buat apa sih membangun brand, emang penting gitu? Hehee…YA IYA LAAAHH!. Percaya deh ya, brand, baik itu brand corporate, brand produk atau jasa, sampai brand personal, itu diciptakan untuk sebuah tujuan, eh beberapa tujuan kalau kita mau ‘maruk’ sih! Heee! Disini saya coba ah untuk mengemukakan beberapa alasan kenapa brand itu harus dibangun.

1. Pembeda
Jaman dulu mungkin Aqua bisa tenang-tenang saja melucur di pasaran karena merasa bahwa ia adalah satu-satunya produk air mineral di Indonesia. Namun lihatlah sekarang, begitu banyak produk air mineral yang beredar di pasar. Apa jadinya jika dulu PT. AQUA Golden Mississippi tidak memberikan brand untuk produk mineral yang diproduksinya? Apa jadinya jika produk-produk mineral yang keluar berikutnya juga tidak memiliki brand? Bisa dibayangkan semua pihak akan merugi. Dari sisi konsumen, kita akan kebingungan membedakan produk yang mana yang “Aqua” atau produk mana yang bukan, yang terjadi bisa saja kita membeli salah satu produk dan mengira bahwa produk itu adalah “Aqua” tapi ternyata bukan. Ini jelas juga merugikan bagi perusahaan, karena sebenarnya konsumen menginginkan produk yang ia produksi tapi salah beli karena tidak ada atribut brand yang membedakan.

Lain halnya jika brand benar-benar melekat pada suatu produk. Untuk Aqua, produk tersebut tidak hanya mengandalkan nama semata sebagai identitas. Dari segi kemasan pun Aqua berusaha membedakan diri dari para pesaingnya dengan bentuk yang cenderung kokoh, bahan plastic lebih tebal, dan desain cup yang terlihat elegan. Disini terlihat bahwa Aqua mampu memberikan identitas total pada produknya, sehingga konsumen tidak akan bingung atau tertipu saat membeli produk minuman mineral.

2. Jalan berkuasa
Apa yang membedakan donat J-Co dengan donat yang biasa dijual di warung-warung? Jika dari segi rasa saya berani bilang bahwa donat yang dijual di warung tersebut tidak kalah enak rasanya dibandingkan donat J-CO. Lalu kenapa bisa donat J-Co berharga lima ribu rupiah ke atas sementara donat di warung hanya berharga seribu lima ratus rupiah? Ya jawabannya adalah merek!

Saat sebuah produk memiliki brand yang kuat di pasar, maka yang terjadi bukan lagi harga produk ditentukan oleh pasar, melainkan produklah yang menentukan harganya sendiri. Blue Bird contoh brand yang berlenggang kangkung memberikan harga jual yang lebih mahal dibandingkan para pesaingnya di industri taksi. Di saat brand-brand lain memasang argo semurah mungkin untuk merebut pelanggan, Blue Bird tetap memiliki pelanggan setia dan tetap diminati oleh target market industri taksi walau dengan harga di atas rata-rata. Namun tetap saja ‘kekuasaan’ mengendalikan pasar ini harus juga diimbangi dengan kualitas dari konten, konteks dan infrastruktur yang dimilik brand tersebut. Namun jika dibandingkan hasil yang didapatkan dengan leluasa mengendalikan pasar, rasa-rasanya usaha apapun menjadi sangat worthed untuk dilakukan ya!

3. Pemikat
Kalau kamu sedang berjalan-jalan ke mall dan melihat sebuah gerai sepatu yang baru saja dibuka, dimana di atas toko tersebut terdapat sign REEBOK, apa yang akan kamu lakukan? Kalau saya dan teman-teman saya sih pasti langsung masuk ke toko tersebut. Apa yang menarik? Ya Reebok-nya lah! Coba kalau toko sepatu itu bukan menjual produk Reebok, belum tentu kami mau menyempatkan diri mampir kesana.

Begitu banyak acara pembagian awards di Indonesia ini, tapi kenapa Panasonic award selalu mencuri perhatian masyarakat bahkan media massa sekalipun setiap tahunnya? Bukankah setiap acara awards yang ditampilkan ya begitu-begitu saja, bahkan terkadang artisnya juga ya itu-itu saja? Saya sih yakin yang menjadi daya tarik adalah “Panasonic”-nya. Belum tentu orang akan menonton jika awards-nya bernama Seleb Awards. Brand, yang memiliki brand yang kuat tentu asaja, akan menjadi alat promosi atau daya tarik yang hebat bagi konsumennya.

4. Cap Diri
Dulu saya tidak pernah habis pikir kenapa orang-orang berani membeli sebuah tas dengan harga berjuta-juta. Hanya untuk sebuah tas yang trendnya pasti berganti bulan depan?! Ah, mungkin orang-orang itu kebayakan duit, pikir saya saat itu. Namun sekarang saya mengerti benar mengapa ada orang yang mau membeli Tas merek Luis Vitton. Kenapa?

Karena saat orang membeli tas Luis Vitton, mereka otomatis memiliki keyakinan bahwa kualitas tas yang mereka beli tersebut sangat terjamin, tidak ada keraguan sedikit pun bahwa tas yang mereka beli itu akan rusak dalam waktu singkat. Belum lagi prestise yang muncul saat menggunakan tas tersebut di depan orang lain. Siapa orang yang tidak akan merasa bangga jika memakai tas Lius Vitton (yang asli lho! Hehee!) ? Rasa-rasanya yang ada justru adalah rasa bangga. Orang pun akan langsung menilai kita orang yang berkelas. Citra yang ditimbulkan oleh sebuah merek memang sangat luar biasa.

5. Dapat ‘bonus’
Nah kalau ini sih beberapa sudah saya sebutkan di atas. Namun merek yang kuat, apalagi yang telah mencapai brand equity di target marketnya memang memiliki banyak keunggulan dalam persaingan dengan brand-brand lain dalam kategori sejenis. Saat sebuah brand telah dinilai sukses dipasaran, keinginan untuk memperluas pasar dengan melakukan perluasan merek biasanya muncul. Hal ini jauh lebih mudah dilakukan oleh brand yang telah cukup kuat di pasar. Konsumen akan lebih mudah percaya pada produk baru yang diluncurkan brand tersebut karena telah membuktikan kualitas produk sebelumnya. Saat Toyota meluncurkan Toyota Altis, Toyota tidak perlu bersusah payah untuk menarik target marketnya karena mereka sudah tahu sebagus apa kualitas yang ditawarkan Toyota.

Bagi perusahaan, saat konsumen sudah memiliki awareness dan loyalitas yang kuat terhadap brand yang dimilikinya, maka otomatis perusahaan juga akan sangat menghemat biaya pemasaran dan promosi. Teh Bintang Sobo menjadi contoh nyata bahwa hanya dengan biaya yang rendah brand tersebut mampu mencapai ceruk pasar sebesar 60% di wilayah Bandung dan Jawa Barat. Berbeda sekali dengan produk-produk lain yang harus mengeluarkan budget milyaran hanya untuk pemasaran dan promosi brand-nya.

Saya yakin sebenarnya masih ada banyaaaakk lagi alasan-alasan lain yang bisa dikemukakan mengenai kenapa brand atau merek itu digunakan.



MUSIK DANGDUT
KISAH SUKSES BRAND REJUVENATION


Begadang jangan begadang
Kalau tiada artinya
Begadang boleh saja
Asal ada perlunya

Anda mungkin sudah familiar dengan lirik diatas. Yup, lagu yang didendangkan oleh Rhoma Irama memang menjadi hits dizamannya. Lagu Begadang, undoubtedfully, adalah lagu yang merajai dasawarsa 80-an. Penikmat dangdut bak dibius dibuatnya. Terlebih dinyanyikan oleh “Sang Raja Dangdut”. Tepat sekali, musik dangdut begitu digemari, dan begitu merakyat. Tidak salah kalau musik ini dianggap musik rakyat kelas bawah.

Kondisi berbeda justru terjadi di tahun 90-an yang menjadi eranya musik pop. Apa kabar musik dangdut? Anda tahu jawabannya. Musik ini kian terpinggirkan. Terlebih musik dangdut ini dianggap musik “kelas dua” atau musiknya “rakyat jelata”. Tidak difavoritkan dan telah kehilangan “wibawanya” dalam “rimba” musik Indonesia.

Jika Anda bertanya kepada teman Anda di tahun 1990-an, bagaimana pendapatnya tentang musik dangdut? Mungkin jawabannya kurang menyenangkan. Amit-amit, mungkin itulah jawaban yang sering keluar dari mulut pecinta musik kita. Tetapi itulah dahsyatnya marketing, sesuatu yang “pinggiran” sekalipun dapat menjadi sesuatu yang valuable jika diramu secara tepat.

Setidaknya itulah potret musik dangdut diera 80-an dan 90-an. Lalu bagaimana ceritanya saat ini? Anda bisa menebaknya. Setidaknya Anda “mencontek” dari judul tulisan ini. Tetapi, mungkin Anda akan lebih tertarik mengenai kisah musik dangdut yang digandrungi lagi saat ini. Tepat sekali, dangdut mengalami second win alias kebangkitan kedua. Apa rahasianya?

Tanyakanlah hal ini kepada Inul Daratista. Di mata saya –sebagai seorang marketer- Inul merupakan marketer sejati: pandai membaca selera pasar, lihai meracik strategi, dan handal mengeksekusikannya. Pandai membaca selera pasar karena selama ini musik dangdut seolah stagnan dan dianggap old music. Maka Inul meramu dangdut dengan sentuhan musik rock. Jadilah Inul sebagai inovator atau perintis New Era of Dangdut.

Sentuhan rock itulah yang membuat konsumen kepincut. Terlebih, Inul memberi “bumbu” bernama Goyang Ngebor. Jadilah musik dangdut musik yang “sedap” lagi “gurih”. Pasalnya, “bumbu” inilah yang dianggap “bermasalah” dengan norma masyarakat kita. Saya tidak tertarik mengenai persepsi masyarakat mengenai “bumbu” tersebut, tetapi bagaimana Inul menemukan “bumbu” tersebut, ini sungguh mencerminkan Inul sebagai Marketpreneur.

Bisa dipastikan banyak anak muda yang tertarik dengan konsep yang ditawarkan Inul. Pasalnya, musik rock adalah musik anak muda. Menggabungkan musik rock dengan musik dangdut? Sangat menarik karena menerobos pakem konvensional musik Indonesia. Jelas saja, banyak yang menyambutnya dengan tangan terbuka. Antusias singkatnya.

Inul juga lihai meracik strategi. Khususnya segi segmentasi yang digarapnya. Ketika musik dangdut umumnya berkisar pada event acara pernikahan atau acara yang dilaksanakan tingkat kampong, Inul melakukan penetrasi pasar dengan menggarap segmen berdasi. Inul kemudian mengedukasi kalangan yang terdidik ini bahwa musik dangdut adalah musik yang dinamis. Tak ayal, segmen ini begitu “kesengsem” dengan model baru dangdut ini.

Lagi, Inul pun lihai dengan menggarap segmen internasional. Meskipun mayoritas penggemarnya di luar negeri adalah masyarakat Indonesia yang bermukim di negeri yang bersangkutan, setidaknya kredit diberikan kepada Inul yang membuat dangdut go international. Dampaknya bisa ditebak, masyarakat luar negeri mulai familiar dengan dangdut.

Selain itu, kehandalan Inul dalam mengeksekusi strateginya layak diacungi jempol. Untuk membuat konsep dangdutnya dikenal masyarakat, Inul menggunakan “bumbu” yang berbeda. Sudah menjadi hukum rimba, bahwa media akan lebih tertarik untuk memberitakan sesuatu yang baru, walaupun tanpa dikenakan biaya peliputan. Hitung – hitung menaikkan oplah atau tiras, mungkin begitu alasannya.

Anda bisa membandingkan hal ini dengan penyanyi “musiman” saat ini. Mereka umumnya bernaung dibawah bendera manajemen yang akan mengelola mereka secara professional. Artinya, komunikasi yang digunakan untuk membangun nama mereka ini adalah komunikasi konvensional, komunikasi yang dibayar. Inul justru lebih cerdik dengan menggunakan media untuk secara sukarela meliputnya. Inul adalah tipe artis yang merangkak dari bawah dan dibesarkan oleh media.

Fenomena di atas adalah alasan saya menggunakan judul diatas sebagai pilihan utama dalam tulisan ini. Brand rejuvenation adalah langkah strategis yang menentukan masa depan merek yang sudah usang. Saya berusaha menyederhanakan kompleksitas dengan menggunakan Inul sebagai ilustrasi hal ini. Saya sebagai marketer melihat Inul sebagai sosok fenomenal, inovatif, berani, risk taker, dan mungkin masih banyak kata – kata lain yang bisa digunakan untuk mendeskripsikan figur Inul sebagai Marketpreneur.

Terlepas dari pro kontra kemunculan Inul ke permukaan, kondisi ini menarik untuk dijadikan pelajaran bagi marketer bahwa peremajaan merek yang sudah old dan usang menjadi bernilai. Industri musik dangdut kini mampu mensejajarkan dirinya dengan industri pop dan jazz yang dianggap sebagai musik kaum the have. Setelah melakukan peremajaan merek, dangdut pun kian mengglobal, bukan hanya meregional saja.

Tanyakanlah hal ini kepada Thomas Djorghi dan “Sang Raja” Rhoma Irama yang mengadakan konser di negeri Paman Sam. Ini fakta bahwa betapa efektifnya strategi peremajaan merek. Andapun bisa melakukannya terhadap merek Anda. Tidak memerlukan analisis yang rumit, tetapi gunakanlah cara yang sesederhana mungkin seperti yang dilakukan Inul. Bukankah seseorang yang hebat adalah seseorang yang bisa menyederhanakan sesuatu tanpa menghilangkan esensi tujuannya.

Nov 17, 2008

Jangan Cuma CSR-CSRan!


Beberapa tahun terakhir program CSR (Corporate Social Responsibility) seakan menjadi booming. Begitu banyak perusahaan yang berlomba-lomba menyisihkan dana mereka untuk melakukan aktivitas yang katanya “sosial” ini. Sejauh mana tingkat kepentingan sosial dibandingkan komersialismenya? Mungkin bisa jadi sama besar, ditilik dari anggarannya, bisa jadi alokasi publisitasnya memakan budget yang juga tidak sedikit.

Beberapa klien kami, di beberapa tahun belakangan ini pun melakukan aktivitas serupa. Dari yang terencana hingga yang dadakan, dari yang mengundang publisitas heboh, sampai yang tidak ingin dipublikasi. Di Indonesia, kemunculan konsep CSR kadang saya pikir sering mengalami salah kaprah. Pembahasan CSR bahkan masuk di kolom strategi memoles citra perusahaan atau lebih parahnya lagi hanya masuk dalam program Public Relations. Judulnya saja “sosial” yang artinya, tidak memiliki embel-embel tujuan lain seperti peningkatan awareness apalagi profit. Tetapi dalam dunia bisnis, semua bisa saja terjadi. Hanya saja walaupun di ujungnya ada berbagai tujuan lain, program/pemilihan kegiatan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan sebuah program CSR.

Bedanya dengan program pemasaran/pembangunan brand, CSR harus memiliki manfaat besar bagi objek aktivitas, tidak hanya semata-mata mencapai tujuan perusahaan. Berbagai kegiatan sosial sangat mudah diciptakan, mis. saja membagi-bagi nasi kotak kepada anak jalanan atau mengunjungi panti asuhan dan memberi uang kepada mereka. Tapi sejauh mana efektivitas program yang perusahaan anda ciptakan dan sejauh mana berkesinambungan dengan program pemerintah?

Di tengah kondisi Indonesia sekarang ini, terutama dalam hal ekonomi, program CSR dari berbagai perusahaan besar sangat berperan dalam melakukan perbaikan taraf hidup masyarakat. Bagaimana cara dengan tepat melakukan peran tersebutlah yang harus diperhatikan. Di masa pemerintahan SBY, penekanan peningkatan taraf hidup masyarakat, semata-mata tidak hanya pada memberi uang/makan cuma-cuma, tetapi lebih ke menitikberatkan pemberdayaan masyarakat secara mandiri. Hal ini bukan saja dilakukan untuk meningkatkan kualitas, tetapi terlebih melakukan peningkatan ekonomi masyarakat dalam jangka panjang dan tentu saja menuju kehidupan masyarakat yang lebih mandiri.

Telah menjadi kewajiban warga Negara yang baik, untuk mendukung program pemerintah, begitu pula dengan perusahaan-perusahaan besar yang melakukan program CSR. Program-program yang dilakukan harus sejalan dengan kampanye pemerintah mengenai pemberdayaan masyarakat. Hal ini semata-mata dengan tujuan untuk mempercepat keberhasilan peningkatan taraf hidup masyarakat tersebut. Jika begitu banyak program CSR dan pemerintah dengan dana yang juga sangat besar, tetapi tidak terarah, maka pencapaian tujuan akan terasa sangat sulit dan lama.

Program CSR yang dimaksud diharapkan dengan tujuan pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini aktivitas sosial yang diadakan tidak semata-mata membagikan uang/makanan cuma-cuma. Tetapi tantangannya adalah bagaimana kita bisa mendidik masyarakat untuk mendapatkan uang dan makanan bagi diri mereka sendiri. Menilik program pemerintah PNPM yang sekarang sedang gencar dikampanyekan, pemerintah memberi modal pada kegiatan yang direncanakan dan dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Hal ini tentu saja dengan tujuan adanya pembelajaran secara riil bagaimana mengolah dana, melakukan pengawasan terhadap sesama dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Masyarakat Indonesia membutuhkan media untuk memiliki kualitas yang lebih baik. Seperti halnya Sampoerna melakukan program CSR yang tepat, misalnya dengan tidak membagi-bagi nasi kotak ke anak jalanan tetapi memberikan kesempatan kepada anak-anak bangsa untuk terus melanjutkan pendidikannya. Pengabdian bisa dilakukan melalui banyak cara, cara yang benar-lah yang harus dipilih. Misalnya fokus pada pemgembangan pendidikan bagi anak-anak sekolah sehingga kelak dampaknya adalah perbaikan taraf hidup dalam jangka panjang seperti yang Sampoerna lakukan.

Tidak harus bidang pendidikan tentunya, bidang-bidang lain seperti kesehatan, penciptaaan lapangan kerja, fasilitas umum, dan masih banyak lagi sektor yang menantikan peran serta perusahaan anda melalui program CSR. Jadi kira-kira berikut tips penciptaan program CSR bagi perusahaan anda :

1. Bertujuan jangka panjang
Walaupun dana anda terbatas bukan berarti anda tidak bisa menciptakan aktivitas jangka panjang. Jangka panjang di sini bukan berarti program anda berkelanjutan, tetapi apa yang anda berikan kepada masyarakat berguna untuk jangka panjang. Misalnya program yang sama anda lakukan di sebuah panti asuhan. Anda ingin memberi sesuatu kepada mereka, opsi yang harus anda hindarkan adalah memberi uang. Uang bukan merupakan solusi jangka panjang yang tepat, karena kecenderungannya mereka akan menghabiskan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat bagi pengembangan diri mereka. Anda bisa memberikan set alat tulis, alat mewarnai, buku-buku berhitung, dll. Jadikan apa yang anda berikan benar-benar bermanfaat bagi mereka.
Mis. anda ingin memberikan sumbangan kepada pedagang asongan. Jangan berupa makanan saja atau uang, mis dengan memberikan modal usaha, bagi mereka yang bisa mengajukan permohonan “bisnis” kecil-kecilan dengan visi yang terarah. Alokasikan dana anda untuk pembentukan kepanitiaan seleksi dan pengawasan modal kerja tersebut.

2. Bersifat mendidik
Masyarakat Indonesia sudah cukup kurang maju selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, jadi selayaknya kita tidak mengulangi kebiasaan “menyuapi”. Lakukan aktivitas yang dapat mendidik, melatih semangat kerja dan menyeleksi orang-orang yang positif dari orang-orang yang pemalas. Hindari aktivitas membagi-bagi uang dalam skala besar, anda hanya akan menambah pribadi-pribadi yang malas, terlebih jika tidak dilengkapi sistem yang tepat.

3. Dukung program pemerintah!
Jika ada kesempatan, dan skala CSR sangat besar, sangat diperlukan kordinasi dengan beberapa sector pemerintahan. Jika anda berkeberatan bekerja sama dengan alasan, birokratisasi, tidak perlu bekerja sama. Tetapi dialog tetap dibutuhkan, hal ini untuk menjamin aktivitas yang kita lakukan sejalan dengan tujuan-tujuan pengembangan sector tertentu. Mis anda ingin melakukan CSR di bidang kesehatan, perlu dilihat program pemerintahan dalam sector ini, kampanye apa yang sedang digalakan, dan anda dapat berperan serta di dalamnya secara independen.

4. Manfaatkan dana anda secara optimal
Jangan lupa untuk berhitung dengan cermat, berkaitan dengan dana yang anda keluarkan. Bentuk tim perencana dan pelaksana yang terpercaya. Jangan sampai dana besar yang anda keluarkan mengalir ke kantong-kantong yang tidak bertanggung jawab. Pastikan apa yang anda dapatkan dari masyarakat, kembali ke masyarakat.

5. Publisitas tetap penting!
Publisitas memegang peranan penting, dalam hal ini bukan semata-mata membuat brand menjadi terkenal, tetapi di sisi lain, publisitas memiliki peran “menyentuh” dan “membuka mata” banyak orang. Dalam hal ini bisa masyarakat yang lebih luas, perusahaan-perusahaan lain, internal perusahaan (menyadari bahwa perusahaan mereka peduli terhadap orang lain), dan tentu saja pemerintah. Publisitas memiliki peran mengingatkan, bahwa kita layak melakukan aktivitas untuk orang lain.

Begitu banyak ide-ide yang bisa digali dalam aktivitas CSR. Seperti yang dikemukakan Bill Gates dalam pidatonya di depan forum yang dihadiri Sekjen PBB beserta berbagai kepala Negara tersebut, bahwa kini sudah saatnya menjalankan Kapitalisme Kreatif, terutama oleh perusahaan-perusahaan besar yang berperan besar dalam kapitalisme ini. Kapitalisme kreatif : sebuah bentuk kapitalisme baru yang memberikan perhatian lebih kepada kelompok-kelompok miskin yang selama ini terpinggirkan oleh dahsyatnya deru kapitalisme. So… act now!

Nov 16, 2008

Manajemen Krisis -
Berusahalah untuk Selalu Paranoid



Di tengah krisis global yang terjadi saat ini, tiap perusahaan dituntut untuk melakukan efisiensi agar tetap bertahan dan tidak tenggelam. Namun melonjaknya harga bahan-bahan baku menyebabkan banyak perusahaan seolah “tercekik”, belum lagi mereka harus menyesuaikan harga jual kepada konsumennya. Dan yang banyak dihadapi oleh perusahaan adalah daya beli konsumen yang terus menurun akibat krisis ekonomi global ini.

Perusahaan juga dihadapkan pada peliknya masalah karyawan, karena beberapa perusahaan berencana untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada beberapa karyawannya akibat tidak sanggup membayar upah karyawan. Memang sulit menghadapi krisis, apalagi bagi perusahaan yang focus pada produksi saja. Memikirkan untuk bertahan di masa krisis saja sudah sulit apalagi kalau harus memikirkan strategi mengembangkan merek.

Pada kenyataannya tiap perusahaan berharap tidak mengahadapi krisis yang bisa mengguncang aktivitas mereka, karena bagaimanapun aktivitas produksi harus tetap berjalan untuk memperoleh ROI yang diharapkan, bahkan profit yang besar bisa menunjukkan kinerja perusahaan yang baik. Tapi sebetulnya krisis yang terjadi pada perusahaan bukan saja diakibatkan oleh krisis global, karena kalau bicara global semua juga kena dampaknya.

Nah, kalau misalnya yang terjadi adalah krisis akibat internal perusahaan itu sendiri atau gagalnya masuk ke pasar, maka ada beberapa langkah yang bisa dilakukan agar perusahaan bisa bertahan. Dari langkah-langkah tersebut diharapkan bisa diperoleh sistem dan kinerja yang semakin membaik dari perusahaan.

Disini tiap manajemen perusahaan dituntut selalu paranoid serta bekerja keras dan focus pada pembangunan manajemen krisis. Bahkan Michael Teng dalam bukunya yang berjudul Corporate Turnaround memisalkan perusahaan layaknya seorang pasien yang sedang sakit parah, sehingga membutuhkan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Mulai dari melakukan pembedahan, yaitu restrukturisasi organisasi melalui komunikasi, konsentrasi dan pengendalian biaya. Kemudian tahap penanganan dengan revvitalisasi bisnis dengan meningkatkan penjualan dan laba. Dan melalukan perawatan, yaitu merehabilitasi system kekebalan perusahaan yang sehat dan kuat untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang. Bahkan dalam salah satu website bisnis www.12manage.com, diungkapkan perusahaan bisa melakukan beberapa pertolongan sementara dalam mengahadapi krisis, seperti :
  1. Menyiapkan rencana kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang
  2. Membentuk tim krisis, sebagai juru bicara kepada pihak luar untuk membicarakan perihal krisis, sehingga tidak terjadi berita yang tidak relevan dengan krisis yang dihadapi perusahaan.
  3. Bergerak cepat ketika krisis tahap ringan mulai terjadi
  4. Jika perlu gunakan konsultan manajemen krisis sebagai PR kepada public, sehingga image perusahaan tetap terjaga.
  5. Gunakan informasi yang akurat dan benar, jangan sekali-kali memanipulasi yang sebenarnya terjadi karena malah akan memperparah keadaan
  6. Ketika hendak mengambil keputusan, jangan yang bersifat sementara, tapi ambillah keputusan yang sifatnya jangka panjang.
Nah, coba kita bahas langkah yang lebih rinci dalam manajemen krisis menurut Teng:

Langkah Pertama.
Lakukan pembedahan pada restrukturisasi perusahaan. Lakukanlah komunikasi untuk menghindari kesalah pahaman dan hambatan pada rencana turnaround. Kemudian konsentrasikan semua sumber daya untuk melakukan sejumlah hal yang tepat. Lalu control biaya dan perhatikan kelancaran arus kas. Empat hal tersebut merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi krisis yang sebenarnya terjadi pada perusahaan, dengan demikian manajemen perusahaan akan mudah untuk melakukan langkah selanjutnya dalam memperbaiki perusahaan.

Langkah Kedua.

Lakukan Revitalisasi Bisnis, seperti menegaskan tujuan perusahaan, tetap bertahan atau menggunakan konsultan jika diperlukan karena konsultan dapat memberikan pandangan dan perspektif lain untuk memberikan suntikan angin segar pada bisnis. Setelah itu memusatkan perhatian pada konsumen dan pesaing agar perusahaan tahu pasar yang bagaimana yang sedang dihadapi. Kemudian lakukan stratgei jangka pendek yang meliputi pengembangan harga dan produk yang tepat dan menetapkan strategi pemasaran yang agresif. Untuk strategi jangka panjang, buatlah perbedaan dengan kualitas dengan kualitas pelayanan, perkuatlah merek dagang, dan investasi dalam ekspansi masa depan.

Langkah Ketiga.
Lakukan perawatan perusahaan dengan membangun budaya perusahaan yang kuat dan sehat yang menggabungkan filosofi perusahaan yang baru dan memperkuat bebasnya aliran energy internal. Filosofi perusahaan adalah sekumpulan pemikiran unik dan nilai-nilai organisasi. Filosofi tersebut mengkomunikasikan bagaimana oang-orang dalam perusahaan harus berperilaku dengan menetapkan system nilai dan dengan menyalurkannya melalui perbuatan. Tugas CEO turnaround disini adalah menentukan kembali orientasi filosofi perusahaan secara menyeluruh atau pola pikir beserta prinsip berikut : ide-ide baru dan cara melakukan sesuatu, selalu menerima perubahan, dan bersedia menerima kegagalan.

Setelah perusahaan sudah sehat dan dapat beraktivitas kembali, jangan lupa untuk selalu memaintain setiap kegiatannya agar tetap bisa eksis di pasar. Lakukanlah langkah-langkah inovatif yang bisa memberikan motivasi bagi para karyawannya untuk bisa bekerja lebih baik lagi. Perbaikan internal dan eksternal bisa terus dilakukan, karena seperti manusia, sedang sehat saja sebaiknya kita melakukan general check up untuk memeriksa kondisi tubuh.

Begitu pula dengan perusahaan, selalu lakukan internal dan eksternal audit yang berkala untuk memantau kemungkinan terjadinya “krisis” kecil dalam manajemen perusahaan. Jika terdapat hal yang demikian, lakukanlah penyembuhan yang sifatnya per divisi agar tidak merembet ke manajemen keseluruhan perusahaan. Yah kadang menjadi paranoid itu penting untuk terus bertahan di dalam pasar yang sangat kejam saat ini.

Menggarap Target Market -
Kalau Bisa Dua Kenapa Harus Satu?


“Baju anak di showroom Esprit lucu-lucu banget lho! Nanti kita liat kesana yuk? Siapa tau ada yang nggak begitu mahal, buat kado anak temen gw yang ulang taun minggu depan nih!” ujar salah seorang teman saya semasa kuliah kemarin. Bukannya bilang hayu atau nggak, saya malah berkata “Hah?” sambil dalam hati bertanya sendiri “Emang Esprit ada yang buat anak-anak??”. Yah ternyata memang saya yang kuper (kurang pergaulan), ternyata memang ada ya sekarang produk kids Esprit (jadi malu sayah!Hehee!).

Saya terkadang bingung ya melihat beberapa perusahaan yang begitu berani menggarap beberapa target market dengan segmentasi yang sangat berbeda dan menggunakan brand yang sama khususnya. Tidak kah hal tersebut justru akan membuat mereka tidak focus terhadap bisnis yang dijalankan? Sebutlah beberapa brand di Indonesia: Konidin, ada Konidin Dewasa ada Konidin anak. Hi Low, ada Hi Low Teen ada Hi Low dewasa. Apakah keputusan seperti itu hanya didasari oleh keinginan brand extention semata?

Jika kita amati, perusahaan-perusahaan yang menggarap beberapa target market tersebut tentu mempunyai beberapa factor yang mendari keputusan tersebut.

A. “Iri Hati”
Jika dalam kehidupan kita selalu diingatkan oleh orang tua, guru, pemuka agama untuk tidak pernah mempunyai perasaan iri, dalam dunia bisnis maka hal itu tidak mungkin bisa diterapkan. Hehe! Perasaan “iri” melihat keberhasilan atau kesuksesan competitor justru menjadi pertanda baik bagi pertumbuhan bisnis yang kita miliki.

Tentu saja saat perasaan “iri” itu muncul, yang kemudian kita lakukan adalah hal yang positif (bukannya malah berusaha menjatuhkan competitor dengan cara yang tidak ‘sehat’). Hal positif itu bisa tercermin dari kemauan untuk menyamai kesuksesan competitor tersebut bahkan jika bisa lebih baik dari mereka. Saat competitor berani menembak beberapa target market dan mampu melayaninya dengan baik, maka kita juga harus bisa melakukan hal tersebut dengan lebih baik lagi.

B. Role Model
Tidak pernah ada orang yang mau dibandingkan dengan seseorang yang lebih jelek kualitasnya dibanding kita. Maunya, kita selalu dibandingkan dengan seseorang yang sempurna, yang jauh lebih baik. Begitu pun dengan bisnis. Membandingkan diri dengan competitor yang berkembang dengan sangat baik membuat kita mempunyai acuan tersendiri mengenai apa yang harus kita lakukan. Saat membandingkan diri dengan perusahaan yang setara dengan kita, itu sama saja artinya dengan mematikan pertumbuhan.

Namun saat kita memasang role model competitor yang jauh lebih sukses atau bahkan pemimpin pasar saat ini, kita akan menyusun cara bagaimana kita setidaknya bisa menyamai atau bahkan melebihi perusahaan tersebut. Jika competitor yang menjadi role model sukses luar bias di hanya satu target market, maka kita harus bisa sukses di dua atau beberapa target market. Ini akan membuat kita mempunyai standar tinggi dalam perjalanan bisnis kita.

C. Develope
Sama seperti manusia, saat tumbuh semakin besar, kita semakin banyak merasa tidak puas, semakin banyak penasaran dan ingin tahu tentang banyak hal. Hal seperti ini juga berlaku bagi industri bisnis. Saat kita memulai suatu usaha, kebanyakan pasti hanya menembak pada satu target market agar lebih focus dalam penanganannya. Setelah bisnis tersebut berjalan, tumbuh dan berkembang dengan baik, katakanlah mencapai kesuksesan tertinggi, biasanya kita akan mulai “melirik” lahan lain untuk semakin memperbesar bisnis. Memang ada berbagai macam cara pengembangan bisnis, namun cara yang dianggap cenderung lebih mudah ya itu tadi, menggarap target market baru.

D. Jaga-jaga
Tidak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kita boleh berbangga hati karena sekarang ini perusahaan kita sukses luar biasa dan mampu menjadi pemimpin pasar di target market yang kita tembak. Namun apakah itu akan berlangsung selamanya? Walaupun kita berusaha sekuat tenaga untuk selalu bekerja dengan baik dan terus mengembangkan bisnis dengan baik pula, kita harus terima bahwa sesuatu yang diluar kekuasaaan kita sebagai manusia bisa saja menghancurkan bisnis yang kita bangun.

Beberapa perusahaan yang menyadari betul hal ini pasti sudah berjaga-jaga jauh sebelum hal itu mungkin saja terjadi pada mereka. Salah satu cara yang bisa dilakukan ya dengan melayani beberapa target market. Jadi di saat salah satu target market mengalami goncangan, maka kita masih punya target market lain yang bisa menopang perusahaan.

E. Tertantang
Hal ini biasanya dimiliki olah jiwa-jiwa muda (dengan tidak mengecilkan para sesepuh tentu saja. Hehe!). Perasaan tertantang akan situasi yang telah berjalan dengan begitu baik saat perusahaan menggarap hanya satu target market bisa membuat kita memutuskan untuk sekalian saja menggarap beberapa target market sekaligus.

Selain untuk pertumbuhan perusahaan, tantangan yang didapatkan juga menjadi sebuah passion tersendiri bagi para pelaku bisnis. Saat kita berhasil menaklukan sebuah tantangan, selain kepuasan yang didapat, ini juga akan semakin menunjukkan kepada pasar maupun competitor bahwa perusahaan kita adalah perusahaan yang hebat.

Sedikit atau banyak target market yang perusahaan garap, bagi pasar yang terpenting tentu saja kualitas pelayanan. Jadi sebaiknya keputusan seperti itu diambil jika memang kita benar-benar mampu melayani beberapa target market tersebut dengan sebaik mungkin, sehingga tidak akan menjadi boomerang bagi kita di masa mendatang.


DOUBLE JEOPARDY


Apa yang muncul di benak Anda ketika membaca judul diatas? Yup, saya bisa pastikan bahwa Anda mengatakan salah satu judul film. Tidak keliru memang, karena istilah Double Jeopardy (DJ) ini populer lewat salah satu yang digarap Bruce Beresford dan diperankan oleh Tommy Lee Jones, Benjamin Weir dan Ashley Judd. Tapi Anda keliru ketika menilai saya akan mendiskusikan film tersebut dalam tulisan ini. Sebaliknya saya akan membicarakan tentang merek.

Lalu apa kaitannya dengan film tersebut? Keterkaitannya terletak pada judul film tersebut ternyata juga terjadi dalam bisnis.Tidak percaya? Saya akan menguraikannya lebih dalam.Perhatikan kondisi berikut ini. Dari data riset ditunjukkan bahwa misalnya merek X memiliki pangsa pasar 6 %, jauh tertinggal dari market leader merek Y dengan pangsa pasar 55 %. Kemudian, dari data tersebut menunjukkan bahwa frekuensi pembelian ulang merek X jauh lebih rendah dari merek Y.

Dua kondisi diatas adalah fakta bahwa DJ dapat terjadi dalam bisnis. Merek X yang merupakan merek kecil mengalami “penderitaan” (jeopardy) dua kali. Penderitaan pertama merek X memiliki pangsa pasar yang kecil. Penderitaan yang kedua, merek X juga memiliki frekuensi pembelian ulang yang jauh lebih kecil dari brand market leader. Lalu, apa yang salah sehingga fenomena ini terjadi?

Tunggu dulu. Ada baiknya kita menelusuri segi historis munculnya istilah ini. Fenomena DJ ini pertama kali ditelaah oleh seorang pakar sosiologi dari Columbia University Stephen McPhee. McPhee melakukan pengkajian terhadap perilaku membaca komik strip di sebuah kota. Dari studinya, McPhee menemukan fakta yang unik. Komik yang lebih populer dibaca oleh banyak orang. Selain itu, merek yang populer juga lebih disukai oleh orang – orang di kota tersebut.

Atas dasar ini McPhee menemakan kondisi ini sebagai DJ. McPhee melihat adanya ketidakadilan yang dialami oleh komik yang kurang populer. Pertama, komik yang kurang populer itu dibaca oleh sedikit pembaca. Kedua, pembaca yang sedikit tersebut juga kurang menyukai komik tersebut. Akhirnya McPhee menyimpulkan hal ini sebagai fenomena sosial dalam sebuah masyarakat.

Selanjutnya, beberapa dasawarsa kemudian, Andrew Ehrenberg, seorang Profesor Marketing dari South Bank University London melakukan riset pada beragam kategori produk – produk konsumen (Fast Moving Consumer Goods – FMCG). Dari risetnya menunjukkan hal yang menarik. Ternyata fenomena DJ terjadi dalam konteks perilaku pembelian konsumen terhadap merek.

Ehrenberg kemudian melakukan ekstensifikasi riset nya dengan meneliti perilaku pembelian dan pemilihan merek oleh konsumen pada beragam kategori , mulai dari produk- produk industrial, pemilihan channel televisi, pemilihan saluran distribusi, pemilihan toko, preferensi terhadap restoran, dan beragam kategori produk lainnya. Kesimpulannya, fenomena DJ juga terlihat pada hampir semua kategori produk.

Lalu bagaimana DJ ini dapat terjadi? Saya akan menjelaskannya secara terstruktur. Pertama, komunikasi pemasaran dengan beragam bentuknya mulai dari advertising, hubungan masyarakat, sampai promosi penjualan pada akhirnya akan menentukan sikap dan preferensi konsumen terhadap suatu merek. Advertising misalnya, yang dikomunikasikan secara rutin akan mengubah persepsi konsumen terhadap merek.

Jika konsumen belum mengetahui sebuah merek, maka konsumen akan mengetahuinya. Jika konsumen telah mengetahui keberadaan merek tersebut, maka konsumen akan dibentuk sikapnya untuk secara positif mempersepsikan merek tersebut secara relatif dibanding pesaing. Konsumen juga akan “dirubah” sikapnya dengan lebih menyukai merek tersebut, sehingga terjadilah liking the brand. Demikian seterusnya. Begitulah mekanisme komunikasi pemasaran bekerja.

Selanjutnya ketika komunikasi pemasaran berperan sesuai fungsinya, disinilah proses DJ dimulai. Sudah menjadi fakta bahwa perusahaan kecil (dengan merek kecil) akan kesulitan finansial untuk membiayai aktivitas komunikasi pemasarannya. Dampaknya dengan anggaran komunikasi yang terbatas, secara otomatis konsumen akan lebih sedikit yang mengetahui keberadaan merek tersebut di pasar. Dampaknya sikap konsumen terhadap merek tersebut menjadi tidak favorable.

Sebaliknya terjadi pada perusahaan besar dengan portfolio merek yang diversified anggaran promosi dipastikan jauh lebih besar. Dampaknya konsumen akan menunjukkan sikap positif pada merek – merek besar karena konsumen senantiasa terinformasi dengan merek tersebut. Ketika melakukan pemilihan merek, otomatis merek besar tersebut akan mengungguli merek – merek kecil baik dari segi market share maupun brand preference.Inilah yang kemudian menentukan consumer choice for next purchase. Merek besar lagi – lagi akan mengungguli.

Kemudian bagaimana jika ini terjadi pada merek yang Anda kelola? Tentu saja Anda tidak perlu panic, karena ini merupakan regularity untuk semua industri. Anda juga tidak perlu secara radikal mengubah formulasi program komunikasi pemasaran Anda. Pertama – tama, Anda sebaiknya melakukan riset skala kecil untuk mengetahui persepsi, sikap dan choice konsumen terhadap merek Anda, apabila Anda tidak mengetahui market share merek Anda.

Selanjutnya, analisislah merek Anda. Apakah keunggulan merek ini? Seberapa besar familiaritas konsumen terhadap merek? Dan segmen konsumen manakah yang hendak Anda tuju? Setidaknya sederet pertanyaan tersebut dapat Anda sodorkan untuk menentukan posisi merek Anda di pasar. Ini berguna untuk memperjelas posisi Anda dan pesaing Anda.

Strategi yang Anda lakukan adalah menjadi pemain di area geografis. Jangan berharap bermain di level nasional, jika pada basis lokal saja masih rapuh. Oleh karena itu, Anda sebaiknya menggarap pasar lokal dan jadilah pemain besar di sana. Strategi promosinya juag disesuaikan dengan wilayah pemasaran Anda. Gunakan berbagai media kreatif dan efektif untuk memaksimalkan awareness konsumen. Dengan demikian efek DJ ini akan lebih kecil karena ada merek Anda justru akan menjadi pemain besar di pasar lokal.

Creating a Brand Name


Salah seorang teman semasa kuliah meminta bertemu dengan saya beberapa hari yang lalu. Ah sudah GR (Gede Rasa) saja saya rasanya karena diajak dinner oleh mantan gebetan (Ups! Hehe!). Namun apa daya sodara-sodara, dinner yang saya bayangkan akan sangat romantis ternyata diisi dengan perbincangan mengenai bisnis. Hohoo, malu sendiri rasanya saya dalam hati. Dia bercerita bahwa dia sedang merintis sebuah usaha, baru saja akan dipublish, namun dia mempunyai sedikit kesulitan dalam pemilihan nama untuk produk atau jasa yang akan dia luncurkan. Dia bilang sebagai orang yang bekerja di perusahaan in house branding tentunya saya adalah orang yang paling tepat untuk dimintai pendapat. (Tuh kan, jadi ini alasan dia ngajak saya dinner! Hix! ;p)

Sambil menutupi ke-salting-an saya karena sudah ke-GR-an, saya pun berusaha memberikan beberap pandangan kepadanya tentang hal-hal yang sebaiknya diperhatikan dan dipertimbangkan dengan baik dalam mimilih nama untuk produk atau jasa yang dia miliki.

A. Unforgettable
Daripada pusing-pusing membuat nama produk atau jasa yang rumit, sok ilmiah atau sok luar negeri, lebih baik memilih nama produk atau jasa yang mudah diingat oleh target market pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Mudah di ingat disini bisa mengacu pada dua hal :

a. Unik
Seperti halnya visualisasi sesuatu yang kita lihat, keunikan nama produk atau jasa juga akan membuatnya lebih terngiang-ngiang di telinga, terbayang-bayang di mata dan otomatis akan tersimpan dengan lebih kuat di hati. Seperti halnya jika kita berada dikerumunan orang banyak, semua orang memang pasti berbeda satu sama lain, tapi cuma orang yang berpenampilan unik lah yang akan dengan mudah kita lihat, bukan? Begitu juga dengan nama produk atau jasa, sesuatu yang unik akan langsung menarik perhatian kita begitu mengetahui nama produk atau jasa tersebut, tentunya juga tidak akan mudah dilupakan donk!

b. Familiar
Familiar disini berarati bahwa nama yang kita gunakan untuk produk atau jasa kita adalah nama yang sudah ada sebelumnya. BUkan menjadi suatu masalah menggunakan nama yang sudah existing sebelumnya. Eitz, jangan ditelan mentah-mentah, maksudnya disini adalah kita menggunakan nama yang umum sering didengar atau diucapakan oleh target market kita, bukan nama yang telah digunakan oleh perusahaan lain untuk produk atau jasa-nya. Orang Indonesia walaupun sudah modern tapi tidak bisa dipungkiri lebih mudah mengingat nama yang tidak asing di telinga dan pikirannya.

B. Have a strong chemistry
Memilih sebuah nama saya anggap sama seperti memilih pasangan…tidak semudah memilih baju mana yang akan kita pakai hari ini (yah walaupun bagi sebagain orang hal itu juga memusingkan!Hehe!). Butuh sesuatu yang lebih dari sekedar rasa suka, nyaman, dan komersil, tapi sesuatu yang lebih dalam lagi : Chemistry. Chemistry akan membuat kita tidak bisa menjelaskan apa yang terasa dengan kata-kata atau penjelasan logis, hanya dapat dirasakan dalam hati, namun dapat membuat kita dengan tegas meyakini “Ini jodoh gw!” (Heee.…Lebay nggak gw?? ;p).

Tapi memang begitu kok! Saat kita memilih nama yang akan kita gunakan untuk produk atau jasa kita dengan dasar chemistry, maka kita akan lebih mencintai produk atau jasa kita tersebut dengan sepenuh hati. Ini berarti pada perjalanannya kita juga pasti akan menjaga dan membangun produk atau jasa tersebut dengan semaksimal mungkin. Jadi tunggu saja, keberhasilan produk atau jasa sudah ada di depan mata.

C. Meaningful
Perhatikan tidak jika orang tua sekarang selalu memberikan nama anak-anaknya dengan nama yang memiliki arti sedemikian rupa. Nama dengan arti yang diberikan diharapkan mampu menjadi doa bagi perjalanan hidup anak-anak tersebut. Dalam dunia bisnis, hal itu ternyata juga berlaku.

Produk atau jasa yang kita miliki bagaimanapun caranya harus diberi nama yang memiliki arti yang sangat baik bagi perjalanan produk atau jasa tersebut di kemudian hari. Bermakna disini tidak hanya secara implicit yang berarti mengandung makna tersembunyi, namun juga secara eksplisit yang berarti bisa diketahui maknanya secara gamblang. Apapun itu, nama produk atau jasa yang bermakna akan membuat produk atau jasa lebih mudah diingat, bahkan untuk beberapa orang mungkin akan memberikan memiliki hubungan ‘emosional’ tersendiri denagn produk atau jasa kita.

D. Easy
Easy to say + easy to hear = easy to remember
Jangan sok-sok ingin terlihat keren sehingga kita memberikan nama yang cukup rumit bagi telinga dan lidah orang Indonesia. Nama asing atau nama ilmiah memang terlihat lebih produk atau jasaed, kata siapa?? Percuma saja jika pada akhirnya masyarakat apalagi target market kesulitan untuk mengucapkan dan mendengar nama produk atau jasa tersebut.

Ujung-ujungnya, bukannya produk atau jasa kita diingat tapi malah dilupakan begitu saja karena malas mengucapkan dengan benar nama produk atau jasa kita. Kita harus mengingat rumus di atas, saat nama mudah diucapkan, maka pasti akan mudah didengar, dan akhirnya akan menjadi mudah diinget oleh target market dan masyarakat luas. Maka dari itu, coba sebisa mungkin untuk memilih nama produk atau jasa yang sesederhana atau sesimple mungkin tanpa melupakan tiga hal yang saya kemukakan di atas.

Saya yakin sih sebenarnya setiap owner tidak mungkin memberikan nama sembarangan pada produka tau jasa yang dimilikinya. Namun tidak aada salahnya kan jika disini saya mencoba untuk membuka wacana seperti ini. Siapa tahu ada yang lagi bingung seperti teman saya di atas kan?


Sudahkah Anda “Memecat”
Pelanggan Anda



Mungkin ini pertanyaan bodoh yang pernah Anda dengar. Bagaimana tidak konsumen adalah raja, begitu kira – kira pameo yang lazim kita dengar dalam bisnis. Konsumen juga yang “mendarahi” bisnis Anda untuk tetap sustain. Tapi, jangan emosi terlebih dahulu. Perhatikan pertanyaan saya ini: Apakah Anda mengenali semua konsumen Anda dan menghitung kontribusi mereka terhadap bisnis Anda?

Saat Anda mendengar hal ini Anda mungkin diam dan mulai berpikir. Baik, memang itulah yang sebaiknya Anda lakukan. Beberapa saat kemudian, Anda juga mulai menjawab, “Ayolah, ini terlalu sulit. Konsumen saya banyak dan ini akan membuang-buang waktu saya”. Maka saya jawab, “Jika Anda tidak melakukannya, apa anda ingin mempertaruhkan bisnis Anda dalam jangka panjang, bagaimana?"

Dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengintroduksi paradigma yang widely happened but little known. Namanya Customer Profitability Analysis (CPA). Anda mungkin akan sedikit “alergi” mendengar konsep tersebut, tetapi percayalah ini akan sangat berguna bagi bisnis Anda. Saya akan menguraikan hal tersebut sesederhana mungkin sehingga pembaca budiman akan mudah untuk memahaminya. Di akhir tulisan, Anda mungkin sudah terbawa dalam pola pikir saya dan mulai mengangguk – anggukan kepala Anda (he....he tentu saja ini harapan saya)

Pernahkah Anda mendengar konsep Pareto? Mungkin sebagian besar dari Anda belum mengenalinya. Oke, saya akan rubah pertanyaannya: Apakah Anda pernah mendengar konsep 80/20? Saya bisa pastikan Anda mengetahuinya. Dalam konsep Pareto, 20 persen itu akan menghasilkan 80 persen. Artinya yang sedikit akan menghasilkan yang banyak. Ini adalah suatu regularities.

Demikian juga dengan konsumen Anda: hanya sedikit konsumen Anda yang memberikan banyak keuntungan bagi Anda. Sisanya adalah konsumen “penggembira:. Mereka adalah switchers dan complainers. Yup, tepat sekali, bahwa your costumer loyalist is limited so maximize them. Saya akan membahas tipe penggembira ini karena inilah tema dalam tulisan ini.

Konsumen Anda yang 80 persen itu (mungkin lebih atau kurang) tidak memberikan kontribusi yang semestinya bagi bisnis Anda. Mereka banyak menuntut pelayanan yang lebih dan sedikit mengeluarkan uang bagi bisnis Anda. Mereka akan mengomentari negatif pegawai Anda karena pelayanannya kurang bersahabat dan mengeluh dengan harga yang dianggap terlalu mahal. Konsumen tipe ini sangat sensitif pada harga. Mereka akan menjadi konsumen Anda selama Anda mematok biaya rendah atau promosi yang menarik.

Namun pertanyaannya sampai kapan Anda akan senantiasa mengejar konsumen ini? Anda mungkin ingin mematok harga premium karena akan memberikan profit lebih banyak pada Anda. Tetapi, Anda keliru besar ketika mengharapkan hal ini pada 80 persen konsumen Anda. Mereka justru yang membuat Anda rugi. Perhatikan, ketika Anda terjebak untuk mematok harga rendah dan promosi gila – gilaan bagi mereka, percayalah Anda sedang membuat diri Anda sebagai pecundang. Anda tidak merasakan profit yang semestinya Anda peroleh dan justru pesaing Anda yang menikmatinya.

Lagi, ketika Anda mengakuisisi konsumen tipe ini sesungguhnya Anda sedang menambal ember bocor. Ini pekerjaan sia-sia. Mendatangkan konsumen baru ini justru lebih mahal 6 kali lipat dibanding mempertahankan konsumen Anda yang sudah ada (Kotler dan Armstrong, 2006). Perhatikan, apakah konsumen Anda yang 80 persen itu bersedia membeli produk baru Anda,? Atau setidaknya menyarankan koleganya agar memertimbangkan perusahaan Anda? Jawabannya tidak. Mereka hanya akan memberitahukan kepada koleganya selama Anda mematok harga rendah dan promosi yang menggiurkan.

Lalu bagaimana mengenali pelanggan tipe ini? Mudah saja (ini salah satu langkah sederhana), naikkan harga produk Anda dan lihat reaksinya. Jika mereka bertahan dan konsisten mengkonsumsi produk Anda, maka sadarlah they are your loyalist. Sebaliknya, jika mereka mengeluh dengan harga dan akhirnya pindah ke pesaing, mereka itulah switchers, price hunters, complainers, atau mungkin Anda masih punya kata-kata untuk menggambarkan betapa kecewa, kesal, atau marahnya Anda terhadap konsumen seperti ini. Rubahlah paradigma Anda yang mengejar kuantitas menjadi fokus pada kualitas. Jadi pertanyaannya saya ulangi: “Sudahkah Anda memecat pelanggan Anda?”