Membahas mengapa sebuah perusahaan yang dulunya sangat terkenal, very profitable dan memiliki klien yang sangat loyal dan banyak lantas kemudian menjadi perusahaan dengan kinerja yang buruk dan tidak menguntungkan lagi serta mulai ditinggalkan konsumen loyalnya jelas sangat menantang dan membuat keinganan untuk lebih dalam membahasnya selalu saja muncul dalam tensi tinggi. Banyak sekali contoh mengapa perusahaan yang dulunya sangat bagus seiring waktu menjadi perusahaan yang berkinerja buruk baik itu pemain lokal, regional maupun dunia sekalipun dan tentunya banyak sekali teori yang dikemukan mengapa hal tersebut kemudian terjadi seperti miss management, red ocean, marketing myopia dan sebagainya.
Saya tertarik dengan sebuah artikel yang saya baca di Harvard Business Review mengenai hal ini, secara umum apa yang dikemukan oleh penulisnya memberikan gambaran yang cukup lengkap mengapa perusahaan yang dahulunya bagus menjadi berkinerja buruk seiring berjalannya waktu. Dalam artikel Harvard business review yang berjudul Why Good Company Go Bad dijelaskan secara cukup mendalama oleh penulis empat sebab umum yang membuat hal tersebut bisa terjadi yaitu Strategic Frames becomes Blinders, process becomes routines, realtionship becomes shackles dan values becomes dogmas.
Pertama, Strategic frames becomes blinders, secara sederhana hal ini ingin mengambarkan bahwa salah satu penyebab mengapa perusahaan menjadi buruk adalah arogansi terhadap model yang dibuat oleh sebuah perusahaan yang seolah-olah model ini dapat menjawab apapun yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk terus perkemabang dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di pasar. Model yang baku dan diklaim dengan arogansi tinggi inilah yang membuat banyak perusahaan gagal memetahkan competitive setting dan perubahan yang cepat terjadi di dalam pasar baik itu yang menyangkut pasar itu sendiri ataupun perubahan prilaku yang melanda target market perusahaan. Perusahaan terlalu percaya diri dengan model dan strateginya sehingga mereka dibutakan oleh modelnya sendiri dan pada akhirnya ketika perubahan itu sudah terjadi segala sesuatunya menjadi terlambat.
Rasay penyebab pertama inilah yang paling memegang peranan penting dalam banyak kegagalan sebuah perusahaan mempertahankan kinerja dan memang jelas bukan hal yang mudah bagi perusahaan untuk memiliki komitmen terus berubah dan terus belajar mempelajari kondisi yang ada karena sudah terlanjur berada di comport zone yang seringkali membuat terlena dan menciptakan arigansi tersendiri bahwa apa yang sudah menjadi kerangka kebijakan strategi perusahaan adalah yang terbaik, buktinya perusahaan selalu untung melebihi target, mereka lupa bahwa yang kekal di dunia ini hanya satu hal yaitu perubahan.
Kedua, proses menjadi rutinitas semata. Sebab kedua ini memiliki peran yang sukup krusial bagi perusahaan yaitu mematikan kreativitas dan inovasi. Jika setiap hal berjalan secara rutin dan kemudian semua hal hanya menjadi rutinitas maka saya berani bertaruh apapun yang dihasilkan akan selalu sama dan unsur kreatifitas untuk mendorong terjadi inobasi-inovasi akan mati dengan sendirinya, padahal di dalam bisnis saat ini kreativitas dan inovasi adalah salah satu tools yang sangat-sangat penting untuk di ke depankan guna memenangi pasar.
Sebab kedua ini sering kali terjadi di perusahaan yang memang memiliki dominasi monopoli dan berbasis sumber daya alam, dengan dua hal tersebut lambat laun perusahaan menjadi lupa untuk terus berkreativitas dan berinovasi, toh tanpa kedua hal tersebut pesanan tetap datang dan cash tetap mengalir. Sehingga bila tiba-tiba muncul alternatif subtitusi ataupun keran-keran persaingan mulai dibuka perusahaan akan kelabakan dan bukan tidak mungkin potensi keuntungan yang ada ditelan oleh pesaingnya.
Ketiga hubungan yang dibangun baik itu dengan pagawai, pemegang saham, masyarakat dan konsumen malah menjadi belengu dan beban tersendiri bagi perusahaan. Kok bisa, coba kita ambil contoh perusahaan listri negara PLN, mengapa perusahaan yang memiliki monopoli, infrastruktur tersebar luas di Indonesia, pelanggan yang luar biasa banyaknya yaitu satu negara Indonesia yang berpenduduk 200 juta jiwa lebih memiliki hutang ke pertamina sampai 23 triliun? Apa artinya semua ini, rugikah PLN sehingga harus berhutang demikian banyak yang jika dijadikan ribuan mungkin pulusah kilometers uang tersebut harus ditumpuk? Inilah mungkin salah satu contoh bentuk hubungan yang membelengu yang tidak bisa dihindari oleh PLN sebagai perusahaan negara, mereka harus memberikan subsidi yang besar kepada konsumennya, menggaji karyawan dalam jumlah yang sangat banyak dan belum lagi menjadi komoditas politik.
Belengu hubungan ini tentu sangat berbahaya dan hanya bisa dijawab dengan manajamen professional yang lepas dari kepentingan apapun sehingga perusahaan bisa menjalankan bisnis secara tepat dan efektif dan memang biasanya menjadi penyakit badan usaha miliki negara dan perusahaan perorangan di mana peran nepotisme di dalamnya sangat tinggi dan tidak didasari oleh competency individunya.
Terakhir, nilai-nilai yang dianut hanya menjadi semacam panjangan dinding. Coba perhatikan jika kita datang ke perusahaan apapun, hampir setiap perusahaan memiliki nilai-nilai yang dituliskan, dipanjang dinding dengan disain grafis yang bagus, diberi kaca dan dibersikan setiap harinya. Namun, jika mau jujur berapa banyak yang memahami dan menjalanka nilai-nilai tersebut? Tulisan-tulisan tersebut hanya menjadi semacam dogma atau pajangan yah yang seklai waktu dibaca dan diterangkan ke orang yang bertanyanya, penerapannya nanti dulu.
Disebuah perusahaan saya membaca customer is number one, tapi pelayannya memasang muka seperti bebek naga ketika saya menanyakan beberapa informasi yang saya butuhkah, apanya yang customer is number 1? Yah sekali lagi hanya dogma belakah bukan menjadi nilai yang dicerminkan dalam sikap dan tindakan yang akhirnya membuat saya sebagai customernya kecewa dan tidak lagi tertarik untuk menggunakan jasa perusahaan tersebut.
No comments:
Post a Comment