Dec 12, 2007

Jadi Konglomerat di Kolam Cetek

Beberapa kali sering saya mendengar komentar seputar perkembangan industri hiburan di sepanjang ruas tol yang menuju ke arah Cipularang. Dari yang memang cukup awam dalam hal menganalisa sebuah perkembangan peluang bisnis-seperti ibu saya, sampai pada kenalan yang memang sering mengamati bidang tersebut. Mereka rata-rata berpendapat hal yang sama-yang sama pula dengan pendapat saya beberapa waktu yang lalu : kami sepakat bahwa memang peluang bisnis dalam hal tempat peristirahatan bisa dikatakan sebagai peluang bisnis baru yang cukup berkembang dan saya katakan relatif menjamur pada masa sekarang ini.
Malahan saking seringnya saya bolak balik Jkt-Bdg, saya makin bosan dan kurang tertarik dengan tempat-tempat baru yang dibuka di kanan-kiri jalan tol, semua menjual sesuatu yang sama percis (memang bisa saya katakan sama percis, karena saya tidak melihat hal apapun berkaitan dengan inovasi yang dikembangkan dari pelopornya –dengan icon Starbucks yang sangat menjual). Saya juga sebenarnya tidak terlalu tahu apakah pemiliknya sama atau hanya para followers yang punya banyak modal. Pada waktu itu kami semua sepakat bahwa tempat-tempat peristirahatan yang sudah sejak dulu dibuka, dan relatif kurang menjual dari segi gaya hidup tersebut perlahan-lahan akan cepat gulung tikar. Tapi ternyata bertentangan sekali dengan apa yang baru-baru ini saya alami sendiri.
Pada waktu saya akan ke Jakarta dengan menggunakan salah satu jasa travel, kami mampir ke tempat peristirahatan yang katanya sudah ketinggalan jaman tersebut. Karena memang saya tidak ingin ke toilet, jadi saya hanya diam di mobil dan memperhatikan situasi di sana. Ternyata ada yang membuat saya cukup kaget lalu tersenyum. Ternyata di tempat yang katanya memang tidak punya lifestyle tersebut, punya strategi yang cerdik. Entah hal ini memang merupakan satu strategi betulan yang dirancang sedemikian rupa oleh orang yang memang ahli di bidangnya atau hanya berupa inisiatif sederhana dari si pemilik yang orang biasa saja.
Tempat peristirahatan tersebut menyediakan kopi dan roti gratis bagi para sopir travel yang mampir di situ. Dan setelah saya perhatikan memang ternyata benar, ada banyak-atau semua mobil yang mampir di sana adalah mobil travel. Dari pengamatan saya di sana saya menarik kesimpulan bahwa tidak ada yang boleh menyatakan bahwa berkembangnya dunia lifestyle itu sendiri sama sekali tidak membunuh pasar manapun, karena sama sekali berada pada jalur yang berbeda. Dan pendekatan terhadap para sopir ini sangat efektif.
Mereka tentu saja akan sangat lebih sering-atau selalu mengajak penumpangnya turun untuk ke toilet di tempat peristirahatan tersebut dibandingkan dengan tempat-tempat baru yang memang bukan kelas mereka.Malahan saya sempat tertawa dalam sisa perjalanan memikirkan mungkin saja tingkat kestabilan pendapatan yang akan diperoleh lebih tinggi tempat peristirahatan sederhana tersebut yang makin jarang jumlahnya (didukung oleh meningkatnya industri transportasi travel Jakarta-Bandung) dibandingkan dengan tempat-tempat glamour yang menjamur itu. Memang nya berapa kali orang akan turun untuk isi bensin, ke toilet dan makan? Jadi hampir dapat dipastikan orang hanya akan mampir ke salah satu tempat glamour itu sekali saja dalam setiap perjalanan, dan ditentukan oleh keberuntungan pada kilometer ke berapa anak nya ingin buang air kecil.
Yah.. itu hanya asumsi dangkal saya saja.. tapi satu yang ingin saya share, bahwa jangan terlalu terbuai dengan suatu industri yang high class lantaran dengan alasan profit oriented, karena industri yang bergerak di pasar bawah juga bisa mendatangkan banyak keuntungan, hanya saja semua nya harus diimbangi dengan pemikiran strategi yang kreatif dan inovatif. Saya jadi ingat, penjual bebek goreng gaul di sebelah RS Borromeus di Bandung, menurut saya he’s really a great enterpreneur : jadi konglomerat di kolam cetek.

No comments: