Wacana ini memang sudah lama terjadi, dan terkadang mengusik pemikiran saya. Beberapa waktu yang lalu bertepatan dengan hajatan besar industri periklanan di Bandung, yaitu Layang Kencana, saya dan teman-teman ikut serta menyelenggarakan Seminar yang mempertemukan dua industri yang sebenarnya saling berkaitan seperti selayaknya sahabat karib, tapi nampak tak saling mengenal : Branding dan Advertising itu sendiri – periklanan. Turut mengundang Bp. Sumardy, Om Bud dan Mas Glenn Marsalim.
Waktu hampir menunjukkan pkl 15.00 sore dan acara sebentar lagi selesai, tanpa unsur kesengajaan saya mendengar perbincangan beberapa rekan senior dalam industri periklanan (jangan salahkan saya kalau saya ikut mendengar, masalahnya mereka ngobrol di meja panitia, meja di mana saya memang sedang duduk dan minum air putih). Pembicaraan tersebut antara seorang mahasiswi S2 bidang komunikasi dan seorang tokoh periklanan yang pada waktu itu mewakili tim PPPI dari Pusat – Jakarta. Mereka memperbincangkan mengenai idealisme kosong para mahasiswa desain sekarang ini (dalam hal ini mungkin desain grafis atau yang berhubungan dengan periklanan). Sang mahasiswi S2 itu mengatakan bahwa ia sangat bingung, karena semakin hari mahasiswa desain semakin besar kepala dan memiliki idealisme yang mencerminkan egoisitas diri sendiri. Bahwa mereka yang bisa diakui memiliki talenta yang maksimal dalam hal desain sama sekali tidak memahami makna sebuah komunikasi. Secara garis besar dan nyata bahwa mereka hampir tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Makna-makna dasar komunikasi hampir tidak dikuasai sama sekali, antara lain perihal copy yang menyampaikan pesan, layout yang mudah dipahami dan yang paling mendasar adalah tujuan iklan itu dibuat. Lalu ia melanjutkan dengan berbagai keluhan lain bahwa mereka hanya mementingkan keindahan desain dan kreativitas yang dipaksakan. Lantaran sang mahasiswi terus berceloteh.. sang praktisi periklanan diam saja.. lalu tidak lama kemudian akhirnya menyambung dengan berbagai teori (yang kalau tidak salah dengar, tertulis di dalam buku terbitannya…..) bahwa komunikasi adalah inti dari semua hal tersebut, dan mahasiswa sekarang memang belum menguasai itu. Ia berpendapat bisa jadi tim pengajar tidak menanamkan hal tersebut secara benar.
Ya.. saya hanya mendengar sepotong dari pembicaraan mereka, dan setelah 2 minggu, yaitu hari ini, saya masih terusik dengannya. Saya sama sekali tidak memihak karena saya juga bingung harus memposisikan diri di sebelah mana, karena saya memang bukan keduanya. Saya bukan mahasiswa desain dan saya bukan praktisi periklanan. Tapi selama lebih dari 2 tahun berkutat di bidang branding, saya juga jadi ingin berkomentar. Memperhatikan perilaku peserta seminar yang diadakan waktu itu, yang sebagian besar adalah mahasiswa desain dan periklanan, mungkin wacana sang mahasiswi S2 ada benarnya. Setelah sempat ngobrol2 dengan beberapa peserta untuk menanyakan kritik dan masukan, mereka sepakat bahwa pembicaraan awal berkaitan dengan branding sangat berat dan rasanya bukan dunia mereka. Sedangkan pembicaraan berikutnya berkaitan dengan industri kreatif periklanan sangat menyenangkan dan memang “dunia” mereka. Terlintas di pikiran saya.. apakah branding sama sekali sampah yang membosankan buat mereka? Lantaran branding lah proses paling dasar yang harus dimengerti apabila ingin menguasai industri komunikasi, karena komunikasi adalah bagian dari branding dan iklan adalah bagian dari komunikasi dan desain adalah bagian dari iklan. Apakah pemetaan ini tidak tergambar di pikiran mereka? Ya mungkin kalau ternyata tidak, saya setuju dengan perkataan sang tokoh PPPI Pusat itu, kalau tenaga pengajarnya mungkin tidak menanamkan itu secara mendalam.
Haha.. akhirnya kalimat yang selalu saya ingat dari cuplikan pembicaraan mereka, kata sang mahasiswi S2 “Ya.. jangan ngedesain kalau ga ngerti esensinya, mana kalau dikritik ngomel lagi, mereka bilang saya ga ngerti desain!! walahhhh… “
No comments:
Post a Comment