Jan 27, 2009

Buta Marketing
Marketing Manager atau
"Marketing Manager"?


Dibeberapa kesempatan bertemu dengan calon klien perusahaan saya sering sekali berjumpa dengan individu yang memiliki jabatan “marketing ma”, nageryah setidaknya itulah yang tercantum di kartu nama yang saya dapatkan tentunya. Namun yang unik kebanyakan dari mereka ternyata tanggung jawabnya hanya sebatas tanggung jawab sales manager. Mereka sangat mengerti tentang bagaimana menjual produk perusahaan dan bagaimana mengatur strategi salesnya agar produknya cepat dibeli oleh target market mereka.

Namun pernah terpikir tidak oleh Anda, dengan jabatan mentereng tersebut “marketing manager” beberapa bahkan tidak mengerti berapa besar market garapannya dengan jelas? Bagaimana strategi promosi yang tepat untuk bersaing dengan competitornya, apa positioning perusahaan tersebut di pasar ataupun bahkan informasi mengenai pesaing didimiliki dengan langkap sebagai bahan dalam membuat strategi perusahaan, mereka berjualan karena kebiasaan dan asumsi.

Kebiasaan dan asumsi, inilah kira-kira yang menjadi senjata utama dalam menyusun strategi tahunan yang dilakukan oleh si marketing manager ini, jika setiap tahun target naik 10 persen dengan jumlah tenaga sales maksimal, maka yah biasanya tahun depan naik lagi 10 persen, yah ditambah asumsi ekonomi dunia masih mengalami resesi maka target diturunkan sedikit jadi 7,5 persen. Pesaing, market share, positioning, service, brand dan lainnya? Yah ga penting, wong biasanya target dibuat berdasarkan jumlah tenaga sales dan kenaikan persen penjualan seperti biasa he……he.

Ini marketing managernya nih, coba bayangkan saja bagaimana dengan “marketing-marketing” lainnya dibawah sang manager tersebut? Bagaimana mereka bisa menggarap pasar dengan benar bila hal ini benar terjadi di perusahaan tersebut? Yah simple, biasanya dan asumsi he…he. Biasanya khan kalo “marketing” jualannya yang lewat sales call, atau kenalan si “marketing”, kalo buku telpon udah abis terus kenalan juga sudah habis? Krik krik, krik krik.

Kok bisa begitu? Yah mungkin inilah dampak dari “Buta Marketing” , situasi dimana seseorang manager katakanlah tidak memahami marketing dalam konteks yang lebih lebih strategis, dimana pengertian marketing diartikan terlalu sempit pada hal-hal yang sifatnya lebih lapangan, dimana marketing tidak lebih daripada selling sehingga hal-hal lain yang tidak berhubungan langsung dengan penjualan dipinggirkan atau bahkan tidak dimengerti sama sekali. Bahaya kha ini bagi perusahaan? Percayalah kata saya sejauh Anda adalah pemain tunggal yang dilindungi oleh kebijakan pemerintah, atau sejauh pesaing Anda juga menggangap hal tersebut sama dengan pemikiran Anda, Anda akan aman-aman sajah, apalagi kesadaran membangun merek dan strategi sales Anda sudah cukup bagus untuk mengantarkan Anda pada posisi pasar yang bagus.

Namun bagaimana jika kondisi pasar di mana pesaing perusahaan mulai sadar untuk menyusun strategi marketingnya dengan benar? Bagaimana Jika pesaing sudah mulai melakukan inovasi pemasaran yang canggih, atau bagaimana jika penetrasi market katakanlah sudah 98%, bagaimana? Jika tim Anda, dimana marketing manager Anda yang menjadi ujung tombak perusahaan “Buta Marketing” wah wah coba saja Anda bayangkan bagaimana nasib perusahaan Anda? Ok lah dalam jangka pendek dampak tersebut tidak akan terlalu terasa di mana asumsi bisa bermain sebagai alas an dalam jangka pendek, namun bukankah kita selalu menginginkan menjadi perusahaan yang sustain dalam pertumbuhan dan keuntungan? Apakah Anda berani bertaruh untuk hal tersebut dengan memiliki marketing manager dan tim yang “Buta Marketing”?

Mari coba kita lihat, bagaimana sih ciri marketing manager yang buta marketing? Pertama yah tentu yang paling sederhana adalah si manager tidak mengerti sama sekali atau sedikit-dikit mengenai teori marketing secara benar, nah jika sudah begini tentu saja repot, pemahaman marketing yang diterap di dalam perusahaan yang didasarkan pada pengalaman keberhasilan maupun kegagalan tentu sajah sangat penting dalam memenangi persaingan, namun jika hanya di dasarkan pemahaman seperti itu tentu akan berisiko bagi perusahaan dalam jangka panjang, mengapa? Karana dunia ini berubah bung, dahulu internet merupakan barang langka dan digunakan oleh orang-orang tertentu saja, sekarang? Setiap sudut jalan bisa didapati jasa warnet, setiap mall sudah dilengkapi dengan wifi, setiap rumah bahkan hanya dengan 150 ribuan sudah bisa berinternet ria setiap bulan, dan bahkan setiap handphone sebagian besar sudah menyediakan fasilitas untuk berinternet. Karena itulah pemahaman mengenai marketingpun bagi seorang marketing manager harus terus ditingkatkan dan diupdate setiap detiknya sehingga peluang dan ancaman yang datang bisa dikelolah dan dimanfaatkan bagi keuntungan perusahaan.

Kedua ciri marketing manager yang “Buta Marketing” adalah kekurangan informasi mengenai data dan fakta lapangan sehingga setiap keputusan strategies yang dibuat hanya berdasarkan pengalaman dan bahkan hanya didasarkan pada insting sang manager. Ini kadang masalah yang paling sering dijumpai pada kasus “Buta Marketing” menurut pendapat saya, dimana pengetahuan mengenai informasi-informasi penting seperti customer, competitor dan lainnya tidak dimiliki oleh sang manager secara lengkap, padahal strategi apapun yang digunakan akan sangat berbahaya bida tidak diterapkan atas dasar data dan fakta selain tentunya belum tentu efektif dan efisien.

Ketiga ciri marketing manager yang “Buta Marketing” adalah tidak mengerti atau tidak mau mengerti mengenai keuangan. Lah kok bisa begitu, ini khan marketing bukan keuangan. Sederhana saja sebetulnya, setiap kegiatan marketing baik itu dalam tataran strategi ataupun eksekusi selalu berhubungan dengan biaya dan pendapatan. Bagaimana mungkin seorang marketing manager bisa menyusun sebuah strategi yang tepat dan eksekusi yang tepat bila dia tidak bisa melakukan analisa dan perencanaan dalam bidang keuangannya? Katakanlah begini, Sang bos memberikan tihtah bahwa profit tahun ini harus meningkat 100 persen, nah sang manager tentu harus melakukan perencanaan keuangan yang sangat matang mengenai alokasi dan strategi pembiayaan seluruh kegiatan marketing agar target tersebut tercapai khan? Cost promosi mungkin saja harus ditingkatkan untuk lebih banyak menggarap pasar yang ada agar target tercapai, nah disini analisa biaya aktivitas harus benar-benar diperhitungkan karena akan tentu alokasi dana akan berhubungan langsung dengan pencapaian target yang sudah ditetapkan, tul khan? Ini contoh yang digampang-gampangkan tentunya, saya hanya bermaksud menunjukan bahwa setiap marketing manager perlu mengerti dan memahami aspek keuangan agar tidak “Buta Marketing”.

Lantas bagaimana agar seoarang marketing manager tidak “Buta Marketing”, sederhana sekali belajar dan belajarlah baik itu melalui institusi pendidikan, kursus, seminar, buku, diskusi, internet dan sebagainya dan sebagainya. Jika Anda manjabat seorang “marketing director” maka mari kita hilangkan tanda kutif di kalimat marketing manager tersebut menjadi hanya marketing manager saja. Hampir disetiap company marketing manager adalah ujung tombak perusahaan, maka lengkapilah senjata Anda dan asalah kemampuan Anda untuk bisa menguasai senjata tersebut.

Pilih Profit atau Pangsa Pasar?


Jika anda ditanya pertanyaan ini, mana yang anda pilih? Profitkah atau pangsa pasar? Bertahun-tahun para marketer dipusingkan dengan pertanyaan ini. Berbagai pola pikir dari kedua pihak menjadi topik bahasan seminar-seminar marketing di berbagai tempat. Jika kita melihat tren yang terjadi, pangsa pasar menjadi seperti sekotak harta karun yang diperebutkan berbagai pihak. Sebut saja peperangan di dunia coke dengan pemain utama Coca Cola dan Sprite yang sudah sejak tahun 1890 hingga kini terus memperebutkan pasar yang sama. Mereka berlomba-lomba dengan berbagai cara, dari strategi distribusi hingga konsep komunikasi iklan melalui media massa yang kian ekstrim hingga saling menjatuhkan. Hingga kini pergulatan tersebut masih berlangsung di seluruh belahan dunia. Sebegitukah pangsa pasar hingga perusahaan rela mengeluarkan begitu banyaknya biaya untuk melancarkan berbagai serangan kepada para kompetitornya?

Pangsa pasar dimaknai sebagai sebuah kilang minyak, dimana perusahaan dapat dijamin kelangsungan hidupnya apabila telah menguasai pasar tersebut dan menang dari pesaingnya. Perusahaan menganggap kemenangan ada di tangan mereka pada saat mereka telah menjadi yang utama di pasar dan menguasai pangsa pasar yang besar. Contoh lainnya adalah pertarungan sengit di dalam negeri antara minuman energi cair Kratingdaeng dan M150. Strategi komunikasi, pricing dan distribusi menjadi kunci utama mereka saling menghalau para pesaingnya. Apapun mereka lakukan untuk “mengamankan” pasar mereka yang telah terbentu seperti yang dilakukan Kratingdaeng di daerah Jawa.

Contoh-contoh tersebutlah yang terkadang seperti meyakinkan kita bahwa kunci utama adalah penguasaan pangsa pasar, bahwa sepertinya pasar akan mendatangkan berton-ton minyak untuk Anda. Tapi apakah hal tersebut adalah abadi? Jawabannya adalah Tidak!

Semoga anda adalah bagian dari orang-orang yang menjawab PROFIT sebagai pilihan yang tepat. Profit adalah kunci dari keberlangsungan perusahaan dan tolok ukur keberhasilan sebuah aktivitas marketing. Jangan sampai anda terjebak seperti yang terjadi di berbagai industri, di mana mereka berlomba-lomba memperebutkan pasar yang sama. Dibutuhkan berbagai analisa yang sangat matang, untuk pada akhirnya memutuskan untuk fokus pada sebuah kategori target market tertentu, terutama dalam hal market size mereka, market share yang mungkin dapat diraih, consuming habit and preferences dan purchase ability mereka. Tidak ada gunanya anda “menyeburkan” diri pada pasar yang potensial, tetapi ternyata tidak mendatangkan profit bagi perusahaan anda. Hal ini dapat terjadi, jika ternyata di pasar potensial tersebut terdapat berbagai pemain besar yang siap menggiring anda keluar dari ring pertarungan. Lain lagi halnya jika ternyata anda telah memenangkan pasar dari pesaing anda selama bertahun-tahun dan telah menguras begitu banyak sumber daya dari perusahaan anda baik berkaitan dengan manusia hingga permodalan, tetapi pada saat anda berhasil menguasainya, kategori target market tersebut tidak lagi potensial karena pergeseran habit/ability purchase mereka. Tidak ada yang tidak mungkin, karena perubahan kian terjadi begitu cepat dalam kondisi pasar modern sekarang ini.

Seperti halnya Nutri Sari, produk dari Nutri Food yang telah dengan sangat baik melancarkan strategi pergeseran pasar sebagai cara mereka mempertahankan profit mereka. Merasa jenuh dan “stuck” di pasar anak-anak yang labil, Nutri Sari tidak lama-lama membuang-buang energi dan sumber daya mereka untuk memenangkan pangsa pasar. Dengan melalui berbagai riset analisa potensial target market eksisting (anak-anak) dan target market substitusi (dewasa), ditemukan bahwa pasar anak-anak bukan merupakan pasar yang mampu menunjang keberlangsungan penjualan produk secara stabil di waktu yang lama. Selain sekarang ini produk untuk anak-anak kian berkembang variannya (minuman jeruk bukan lagi favorit anak jaman sekarang!), anak-anak juga memiliki habit loyalitas yang sangat rendah terhadap suatu brand. Pasar dewasa dirasa cukup potensial dan menjadi tahap berikutnya perkembangan brand Nutri Sari, yang telah selamat dari “jurang” ketidak populeran. Pergantian target market ini didukung pula dengan berbagai karakteristik visual komunikasinya, seperti packaging, tagline dan iklan.

Jadi jangan sampai anda terjebak dalam perebutan pangsa pasar. Selalu objektif dalam melakukan tindakan strategis, terutama dengan melakukan berbagai pembelajaran kondisi market (yang meliputi konsumen, kompetitor dan kondisi lingkungan yang mendukung, seperti politik, ekonomi, teknologi dan sosial budaya) bertahun-tahun ke depan. Hal ini supaya kita tetap mengetahui langkah apa yang harus diambil untuk mempertahankan profit perusahaan. Ingat! Tidak ada yang lebih penting dari profit, karena tujuan bisnis komersil satu-satunya adalah profit. Yah tentu jika dua-duanya akan lebih baik he…..he.


Data Base Pelanggan,
Ya Jangan Disimpan Saja Tho!


“Tanyain donk sama panitianya, kalau kita ambil sponsorship yang kedua bisa collect data base juga nggak?”, minta salah seorang senior saya di kantor saat saya hendak menelfon panitia sebuah event seminar untuk klien kami. “Nggak bisa katanya, Mba!” jawab saya seusai menelfon. “Yah, kalau gitu nggak usah sponsorin ajalah!”, ujarnya. Saya bengong. Masih ingat saya setiap kami sedang berbincang dengan calon klien untuk merumuskan strategi marketing, promosi, atau event , kami tidak pernah lupa menanyakan mengenai data base yang dimiliki perusahaan klien. Pembuatan dan penambahan data base pelanggan selalu menjadi rekomendasi kami pada klien. Saya sempat bertanya dalam hati, maaan…sekeramat itukah kata “data base” bagi perusahaan?

Kalau ditanya pentingkah setiap perusahaan mempunyai data base pelanggannya, kami akan seratus persen yakin menjawab “Ya!”. Dan kalau kamu tanya ke setiap perusahaaan pertanyaan yang sama, saya yakin mereka juga akan menjawab hal yang sama dengan kami. Tapi kalau ditanyakan masalah konsistensi dan focus dalam memantain data base tersebut, heheee…saya yakin lagi kalau tidak semua perusahaan concern dalam hal tersebut. Kami pernah mempunyai klien sebuah restoran yang sudah cukup lama berdiri di Bandung. Ketika ditanya mengenai data base, mereka sudah menjalankan pengumpulan data base melalui system member jauh sebelum bergabung dengan kami. Wah, bagus nih perusahaan, pikir kami. Tapi ketika ditanya apa yang mereka lakukan dengan data base yang mereka miliki tersebut, mereka mengatakan tidak ada. What??!! Terus buat apa anda punya data base?? Sayang bangeeeeet!!

Data base, apapun dan bagaimana pun bentuknya, bagi saya itu adalah asset yang sangat berharga bagi perusahaan. Kenapa? Karena banyak hal yang bisa kita lakukan untuk kemajuan perusahaan dari situ. Malah itu akan sangat mempermudah program-program yang akan dilaksanakan oleh perusahaan itu sendiri. Buat kami, data base bisa dipergunakan untuk banyak hal, diantaranya :

• Efektifitas promosi/ komunikasi
Jangankan perusahaan kecil yang cuma punya budget sedikit untuk kegiatan promosi atau komunikasinya, perusahaan besar yang lebih settle pun lebih suka memanfaatkan data base yang mereka miliki untuk promosi dan komunikasinya. Alasannya ya jelas untuk efektifitas lah! Coba saja bayangkan, lebih efektif mana menggunakan iklan di media massa yang pasti memerlukan budget besar dibandingkan langsung menghubungi atau mengkomunikasikannya ke pelanggan dengan menggunakan data base yang dimiliki. Dengan menggunakan data base, perusahaan bisa langsung mempromosikan atau mengkomunikasikan segala hal mengenai perusahaan atau produknya langsung tepat sasaran ke target market. Ini jauh lebih efisien dibandingkan iklan media massa yang walaupun sudah kita pikirkan target marketnya tapi masih terlalu luas jangkauan informasinya, dan belum tentu sasaran yang ingin ditembak terkena.

• Penarik Massa dalam Event
Coba tanyakan pada event organizer manapun, apa yang paling mereka kuatirkan dari event yang akan mereka selenggarakan? Mereka pasti akan menjawab “pengunjung”. Ya iya lah, bagaimanapun juga, kesuksesan sebuah event itu kan paling gampang dilihat dari jumlah pengunjung yang datang ke event tersebut (lepas dari tujuan yang dirumuskan ya!). Berbagai macam cara dilakukan untuk menarik massa ke event yang diselenggarakan, bisa melalui publikasi besar-besaran di media massa bahkan sampai “menyewa” massa (Suer, it happened babe!). Nah kalau perusahaan punya data base sih seharusnya tidak perlu ‘sewa-sewa’ segala ya, budget publikasi juga bisa diminimalisir. Salah satu klien kami selalu menggunakan data base-nya untuk mengundang langsung para pelanggan mereka ke event yang dibuat. Hasilnya? Hampir kebanyakan pengunjung yang datang memang yang dihubungi dari data base tersebut.

• Mempermudah Riset & Audit
Setiap perusahaan biasanya pasti memerlukan riset dan audit, baik itu intesitasnya besar atau sedikit. Untuk kegiatan atau program yang hendak ataupun telah dilaksanakan, riset dan audit pasti diperlukan donk ya! Kecuali kalau perusahaannya sangat percaya diri (tapi percayalah, itu sangat tidak disarankan). Program tersebut akan mengalami kesulitan jika perusahaan tidak memiliki data base pelanggan yang hendak disurvey, memang bisa-bisa saja sih, tapi akan memerlukan waktu lebih lama karena harus ‘mencari-cari’ dulu. Kalau sudah ada data base kan tinggal meriset atau meng-audit para pelanggan yanga ada di data base tersebut tanpa harus kuatir responden tersebut tidak capable untuk diriset mengenai perusahaan.

• Menambah Pelanggan Baru
Kalau perusahaan mau jeli melihat data base yang dimilikinya, sebenarnya perusahaan pasti bisa memotret mayoritas pelanggannya. Bisa dilihat sebenarnya bagaimana karakteristik pelanggan dari sisi geografis, demografis, sampai psikografisnya. Dari situ perusahaan lalu bisa menyimpulkan ‘daerah’ atau ‘siapa’ saja yang bisa ditembak untuk menjadi pelanggan baru perusahaan. Kegiatan penambahan pelanggan baru jadi bisa lebih difokuskan dan tepat sasaran, tidak menembak semua orang yang belum tentu cocok dengan perusahaan. Daripada mengira-ngira tanpa perhitungan atau pemotretan yang jelas, kan lebih baik menggunakan data base yang dimiliki bukan? Jauh lebih lebih efektif!

• Mantaining Emotional Relationship
Perusahaan yang baik akan selalu memantain hubungan emosional dengan pelanggannya. Untuk apa? Ya untuk memperkuat loyalitas pelanggan terhadap perusahaan pada akhirnya lah! Seperti dua orang yang sedang berpacaran, saat perusahaan mampu berhubungan dengan klien secara intens dan lebih personal, keterikatan yang kuat pun akan muncul dengan sendirinya. Tidak perlu memberikan mereka sms setiap hari, cukup untuk special moment saja. Misalnya, saat pelanggan berulang tahun, perusahaan memberikan ucapan selamat lewat sms atau e-mail atau kartu ucapan bahkan telfon langsung jika memungkinkan. Begitu juga saat pelanggan merayakan hari raya keagamaan mereka, misalnya saat Idul Fitri atau Natal. Dengan mrlihat kepedulian danperhatian kita pada mereka, niscaya mereka pun akan lebih dekat dan loyal pada perusahaan.

Bagaimana pun juga, apapun manfaat yang bisa didapatkan dari penggunaan data base yang dimiliki perusahaan, memang sudah seharusnya program maintaining data base ini menjadi program wajib bagi setiap perusahaan. Namun jangan lupa, jangan sampai data base yang sudah susa-susah didapatkan tersebut akhirnya hanya jadi file yang tersimpan rapi di computer atau tumpukan berkas lainnya ya, tapi sebisa mungkin gunakan dengan semaksimal mungkin demi kebaikan perusahaan dan pelanggan.

“Menyakiti” Hati Pelanggan =
Menurunkan Selling Sendiri


Sumpah serapah tidak berhenti saya ucapkan dalam hati sepanjang perjalanan pulang dari BSM liburan panjang kemarin. Saya tidak habis pikir kenapa di akhir tahun seperti ini saya bertubi-tubi dihadapkan pada kekesalan terhadap kualitas service dari toko-toko yang saya kunjungi. Belum habis ‘emosi’ saya karena mendapat pelayanan yang sangat buruk dari salah satu supermarket di daerah Rancabolang yang baru kali itu saya sambangi (padahal brand supermarket tersebut sudah menjadi langganan keluarga saya sejak dulu). Sampai rumah saya wanti-wanti seluruh keluarga untuk tidak berbelanja di tempat tersebut. Berbelanja telur, saya celingak-celinguk mencari petugas di depan timbangan (nggak mungkin toh saya yang nimbang sendiri!). Sumpah saya tidak melihat para karyawan supermarket itu dalam keadaan sibuk. Mata saya tertuju pada sesorang yang saya yakin merupakan store manager on duty, merasa saya perhatikan, dia pun meminta seorang satpam untuk melayani saya, for your information, dia ‘menyuruh’nya hanya dengan isyarat kepala. What??!! Satpam disuruh nimbang telur??! Benar saja, setelah menimbang telur dan menempelkan label harga, tanpa melihat muka saya sedikit pun sang satpam ngeloyor pergi tanpa memberikan telur tersebut pada saya. Eergh..mau marah juga gimana, wong dia Cuma satpam. Sampai di kasir, saya dilayani oleh seorang kasir, mencari uang di dompet sekian detik, ketika hendak membayar saya malah dicuekin karena si kasir cantik itu asik ngobrol dengan karyawan lain. Eeeuuurgghh…!! Saya tegur kasir tersebut dengan sedikit berteriak “Mba!! Saya mau bayar!!”. “Oh, iya!”, that’s it! Cuma itu yang keluar dari mulutnya yang sedari tadi ‘berkicau’ dengan ‘burung’ tetangga! Mau complain ke managernya? Saya mungkin bukan orang pintar, tapi melihat sikap managernya tadi, buang-buang waktu rasanya!

Belum kelar nih! Malam harinya sepulang dari rumah Kakak, saya terpikir mampir ke salah satu restoran pizza brand terkenal yang ada di BSM untuk membeli ‘oleh-oleh’ buat Mama di rumah. Lagi-lagi saya mendapat pelayanan buruk. Setelah sabar menunggu hampir 30 menit (dari waktu 17 menit yang dijanjikan kasirnya!), saya pun berinisiatif menanyakan ke bagian pengambilan pizza, “Atas nama Mba belum ada, mungkin sebentar lagi!’, jawab petugasnya. “OK!” batin saya mencoba bersabar. Tapi kesabaran saya ‘habis’ saat pembeli yang baru memesan 10 menit lalu sudah mendapatkan pesanannya! Dengan menahan kesal (saya paling tidak suka marah-marah ke orang lain) saya menanyakan kembali ke kasir yang melayani saya tadi. Setelah mengecek ke bagian pengambilan, dia pun mengambil pizza di urutan paling bawah dan memberikannya pada saya dengan muka tanpa penyesalan berkata “Lupa nggak kepanggil Mba, maaf!” dan langsung ngeloyor pergi! Aaaaarrgggghhhhh…..!!!!! Kalau bukan karena adik saya langsung memegang tangan dan menenangkan emosi saya, rasanya pengen ngamuk-ngamuk saat itu juga!

Well, ini bukan hanya masalah kekecewaan pelanggan atas kualitas service yang diberikan para brand besar tersebut, bukan juga hanya sebatas kesalahan “manusiawi” para karyawan, tapi pernahkah mereka atau para pemilik perusahaan berpikir bahwa rentetan hal tersebut bisa menimbulkan efek yang cukup luar biasa pada perusahaannya?
  1. Experience
  2. Perception
  3. WOM
  4. Image
  5. Selling
Dari pengalaman saya kemarin, saya mencoba menelusuri sebuah alur yang tanpa sadar tercipta dari seorang konsumen. Hai-hai para pemilik perusahaan, jangan pernah berpikir kalau apa yang dialami konsumen dengan perusahaan kalian berakhir sampai “ngomel-ngomel” di rumah saja. Dari pengalaman yang dia dapatkan saat membeli atau menggunakan produk atau layanan perusahaan (bisa baik/ buruk), akan terbentuk sebuah ‘kepercayaan’ dalam hati konsumen tersebut (bisa baik/ buruk), dan PASTI akan menyebar melalui WOM kepada orang lain, hal itu akan membentuk image perusahaan dimata konsumen atau pun target market yang terkena WOM tersebut (bisa baik/ buruk), yang kemudian akan mempengaruhi keputusan pembelian produk perusahaan oleh orang-orang tadi (bisa baik/ buruk) yang artinya berujung ke penjualan.

Ah saya sih yakin orang-orang yang baca tulisan ini nggak akan pusing dengan telusuran saya di atas kan! Heheee! Tapi sok atuh saya coba jelaskan dengan “kasus” saya di depan ya. Saat saya mendapatkan pengalaman buruk melalui pelayanan yang sangat “nggak banget deh lo!”, kepercayaan saya terhadap brand-brand besar yang padahal adalah langganan saya selama ini langsung turun beberapa puluh derajat, entah karena kekesalan yang sangat besar atau karena sebagai makhluk social yang tidak ingin orang lain merasakan hal yang sama (hehee..kayanya yang pertama deh alesanannya) saya pasti cerita-cerita donk, curhat-curhat, wanti-wanti ke teman-teman dan keluarga saya. Walaupun saya tidak mengeluarkan titah “Jangan belanja disana ya!” tapi cerita yang saya berikan otomatis akan membentuk image tersendiri bagi mereka mengenai toko-toko tersebut (apalagi mereka tahu persis saya bukan orang yang gampang emosian, jadi kalau saya complain itu artinya memang keterlaluan). Mending kalau image yang terbentuk bagus, lha ini kan kan image buruk donk! Jadilah selain saya, mereka juga jadi nggak mau belanja di toko-toko yang saya ceritakan tadi. Berkuranglah pelanggan dan target market potensialnya, ujung-ujungnya? Penjualan bisa menurun lah! Gitu lhooo..!

Sayang yah, sebab nila setitik rusak susu sebelanga. Brand-brand besar dan terpercaya seperti itu ternyata masih saja mengecewakan pelanggannya justru bukan dari factor-faktor yang unpredictable, tapi dari sesuatu yang sangat bisa diusahakan tidak terjadi. Mungkin si satpam, kasir atau karyawan tadi tidak pernah terpikir bahwa hasil dari “kelakuan” mereka dapat berpengaruh sangat besar terhadap keberadaan perusahaan tempat mereka bekerja. Mungkin disini tugas para manager dan pimpinanlah untuk selalu mengingatkanb “efek” tersebut kepada para karyawannya, terutama yang berada di “barisan depan” perusahaan, yang berhubungan langsung dengan konsumen.

Well, saya yakin juga kok kamu-kamu mampu membuat “model” lain yang mungkin lebih ok dari pengalaman saya di atas. Yah anggap deh ini curcol (curhat colongan) saya di awal tahun, heheee! Semoga curcol selanjutnya yang bagus-bagus ya!

BISNIS FRANCHISE :
BANYAK HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN


Bisnis franchise memang sudah bukan lagi sesuatu yang langka. Kalau dulu, franchise itu identik dengan luar negeri, karena yang ‘empunya’ bisnis rata-rata berasal dari luar negeri, dimana kebayakan bentuknya adalah bisnis restoran cepat saji. Tapi sekarang, bisnis franchise sudah mewabah dimana-mana, jenis usahanya pun beragam, tidak terbatas hanya pada makanan saja, begitu juga dengan skala usahanya. Bisnis kecil-kecilan dengan modal awal seadanya pun bisa di franchisekan. Saya jadi teringat dengen keinginan klien saya beberapa waktu yang lalu, dimana beliau sangat ingin usaha restorannya bisa berkembang menjadi bisnis franchise. Berbagai upaya telah ditempuhnya , seperti mengikuti seminar franchise supaya bisa lebih yakin untuk mem-franchisekan usahanya. Hal itu jadi mendorong saya untuk mempelajari tentang franchise, mulai dari browsing di intgernet, sampai membaca buku panduan franchise.

Namun, setelah saya lihat dan pelajari, ternyata mem-franchise kan usaha tidaklah semudah yang kita kira. Si pihak pemilik usaha yang kemudian disebut franchisor haruslah membentuk fondasi yang kuat dalam usahanya. Berbagai factor harus dipertimbangkan dan dipehatikan supaya bisa menjadi standar bagi pihak yang menerima franchise, yang kemudian disebut franchisee. Kalau franchisor tidak punya fondasi yang kuat, maka bukan tidak mungkin jika bisnisnya ini akan rapuh dan akhirnya malah membuat franchisee rugi.

Ada beberapa gerai franchise yang mandek di tengah jalan, bahkan terpaksa harus tutup karena tidak dikelola dengan hhati-hati. Bahkan tidak sedikit pula para franchisee yang harus menelan pil pahit karena mengambil franchise yang salah. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari Majalah Swa Sembada di Edisi “Franchise Terpanas 2008”, ada beberapa hal yang ditengarai menjadi penyebab kegagalan Franchisor, salah satunya adalah :

1. Kurang pemahaman tentang franchise yang sebenarnya.
2. Produk dan merek tidak menjual.
3. Komitmen kurang kuat
4. Tidak memiliki business plan sejak awal
5. Kurang dukungan dan tidak ada inovasi untuk ke depan
6. Visi dan misi tidak jelas
7. Franchisor terlalu serakah, mau menang sendiri
8. Win lose consept bukan win-win
9. Modal terbatas dengan perencanaan kurang matang.

Sedangkan penyebab kegagalan franchisee adalah :

1. Kurangnya pemahaman tentang system yang ditawarkan franchisor
2. Pasar atau industry kurang prospektif
3. Merek yang ditawarkan tidak saleable (kurang dikenal)
4. Franchisor kurang bonafide
5. SDM dan system control yang lemah
6. Problem internal, seperti :
  • Terlalu mengandalkan franchisee (maunya tahu beres saja)
  • Tidak paham bisnis franchise
  • Tidak focus pada usaha itu, tidak pernah melihat kondisi dan perkembangan day to day
  • Tidak paham bisnis franchise
  • Dsb
Nah, kalau dilihat dari kedua sisi baik itu franchisor maupun franchisee, factor utama yang menyebabkan kegagalan adalah baik franchisor dan franchise kurang pengetahuan tentang franchise.

Menurut Taufik, Corporate Strategy Specialist MarkPlus and Co, dalam artikelnya yang berjudul “Strategi Sukses Bisnis Waralaba”, terdapat dalam buku “MarkPlus on Marketing : The Second Generation”. Ada beberapa hal yang perlu diketahui agar bisa memulai dan berhasil menjalankan bisnis franchise adalah :
  1. Pilihlah bisnis yang lebih kita sukai dan familiar dengan kita.
  2. Ketahuilah resiko bisnis yang akan kita haddapi
  3. Identifikasilah informasi sebanyak mungkin mengenai franchisor
  4. Analisis biaya dan lokasi
  5. Perhatikan pasokan bahan baku atau produk, terutama jika bergerak di bisnis waralaba makanan.Karena jika bisnis ini semakin berkembang, maka ketergantungan kepada pasokan bahan baku akan semakin besar.
Faktor-faktor itulah yang harus diperhatikan agar bisa sukses di bisnis franchise. Jadi bagi anda yang ingin bisnis franchise, persiapkanlah denagn maksimal agar tidak terpuruk.

BALADA SINETRON DAN REALITY SHOW


Dua program televisi tersebut pasti sudah tidak asing lagi di telinga penggemarnya. Saya misalnya, walaupun bisa dibilang tidak begitu suka menonton televisi, tapi yah dua program tersebut kadangkala saya tonton juga. Sinetron misalnya, karena malas mengikuti sinetron berseri yang sering tak berujung, saya biasanya hanya menonton beberapa kali saja. Lain halnya dengan sinetron lepasan alias sekali tayang. Saya sih lumayan suka nonton acara yang satu ini, kdang-kadang ada ceritanya yang menarik, walaupun yang norak juga banyak. Bagaimana dengan reality show???Naaaah kalo yang satu ini bisa dibilang saya sangat menggemari, kenapa?yah menarik saja menonton realita kehidupan seseorang. Apalagi sekarang tiap stasiun televisi swasta bisa dibilang punya acara reality show. Temanya pun beragam, ada kisah cinta, kisah tragis, dramatis, dan lain-lain.

Saya sempat melihat di salah satu majalah bisnis, bahwa acara reality show menempati rating tertinggi dari pemirsa dan sinetron hanya terpaut beberapa nomor di bawahnya. Tapi kalau saya perhatikan, sinetron dan reality show punya kesamaan jika dilihat dari segi cerita. Sama-sama menceritakan drama kehidupan hanya saja pengemasannya yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa pemirsa di Indonesia amat sangat menyukai cerita drama kehidupan yang bisa menimbulkan simpati dan memancing emosi. Oya, ada satu lagi acara yang ratingnya bisa dibilang tinggi, yaitu Infotainment. Satu televisi swasta bisa punya beberapa infotainment yang bisa dibilang tayangnya hampir setiap hari. Infotainment juga salah satu drama kehidupan kan?tapi menyoroti kehidupan selebritis yang akhirnya menjadi hiburan. Tragis…kehidupan pibadi seseorang dijadikan hiburan dan menjadi lahan bisnis bagi beberapa pihak yang menggunakan kesempatan itu. (hiperbola dikit ga apa2 ya, hehe).

Seperti yang sudah saya singgung di atas, bahwa sinetron mulai tergeser oleh keberadaan reality show. Beberapa acara reality show yang paling sering ditonton adalah tayangan pemilihan idola melalui televisi. Apalagi kalau acara reality show tersebut dilengkapi para juri/komentator dan host yang betul-betul membuat pemirsa televisi terhibur. Tapi tetap saja ada beberapa hal yang menurut saya bisa dikatakan menjadi factor kenapa reality show dan sinetron menempati rating tertinggi.

1. Menjual unsur “emosi”. Sinetron dan reality show bisa dikatakan tidak lepas dari yang namanya emosi. Kalau kita menonton sinetron, ujung-ujungnya adalah menjadi simpati pada si tokoh utama dan menjadi benci pada si tokoh antagonis. Begitu pula dalam reality show, ada unsur pemancingan emosi disini. Contohnya adalah ajang pemilihan idola yang ditentukan melalui polling sms. Terkadang peserta yang ikut ajang tersebut disorot kehidupannya, seperti misalnya dia itu berasal dari keluarga yang kurang beruntung kemudian ikutan ajang idola dengan bersusuah payah pergi ke Ibukota demi bisa ikut audisi. Nah, hal ini lagi-lagi menimbulkan simpati bagi para pemirsa. Kadang si peserta ajang tidak dilihat dari kualitasnya, tapi dari simpati pemirsa, sehingga polling smsnya paling banyak.

2. Ada kejenuhan pasar. Yang namanya sinetron, sudah pasti ceritanya kalau tidak berbelit-belit, durasinya panjang, tokohnya ditambah dengan karakter baru dan sebagainya. Itu sudah menjadi hal umum apalagi dalam sinetron bersambung, Nah, pemirsa sudah mulai jenuh dengan hal ini. Makanya dikemas sinetron dalam bentuk sekali tayang dan bahkan ada juga reality show yang sudah ada skenarionya seperti layaknya sinetron. Kalau ini sih pintar-pintarnya para produser acara untuk mengemas program dalam bentuk yang lebih menarik walaupun ujung-ujungnya seperti sinetron juga. Kalau sudah begini yang diperlukan apa?kreativitas dong pastinya.

3. Pemasarannya dari mulut ke mulut. Nah, kalau yang ini biasanya ibu-ibu jagoannya. Saya tinggal di daerah perumahan yang rata-rata dihuni oleh ibu-ibu rumah tangga yang kegiatannya dirumah. Mereka ini bisa dibilang pemasar yang hebat. Lagi arisan, seorang aja nyeletuk tentang sinetron atau reality show, wah yang nimpalin bisa dua kali lipatnya. Saya juga sering lho mendapati ibu saya menonton sinetron karena direkomendasikan oleh teman kantornya. Ibu saya adalah seorang wanita karir yang bisa dibilang intensitas nonton TV nya jarang banget. Jadi bisa dibilang pengetahuan akan sinetron dan reality shownya kecil hehe…makanya tumben kalau Ibu saya tiba-tiba pengen nonton sinetron. “Penasaran nih, abis kata temen Mamah, sinetronnya rame banget. Di kantor pada ngomongin sinetron ini. Mamah juga ga mau ketinggalan dong” itu alasannya.

4. Pengemasan acara yang dibuat menarik. Saya pernah menyaksikan acara reality show pemilihan penyanyi anak-anak. Acara ini dipandu oleh host yang sangat menghibur dan karakternya pas dengan anak-anak. Bagian komentar dari juri sangat jauh dari suasana tegang, kadangkala si pembawa acara menyuruh si anak menyanyikan kembali bagian tertentu dari lagu yang sudah dibawakan, kemudian mengajak berduet dengan juri dan mengajak pemirsa untuk berjoget bersama. Atau bentuk sinetron lepas yang menceritakan kehidupan ABG, bertabur bintang-bintang ABG pula dan jalan cerita yang ringan dan mudah diikuti oleh sebagian besar penonton di rumah. Hal-hal ini menjadi daya tarik dan merupakan daya jual acara tersebut. Makanya tidak heran kalau di beberapa sinetron dan reality show kita sering melihat product placement. Misalnya dalam acara reality show pemilihan penyanyi idola,seringkali ada promosi produk tertentu seperti vitamin, makanan ringan, dan sebagainya.

Industri hiburan pun memiliki masa pasang surut, para pelaku dalam industry ini pun berlomba membuat sesuatu yang menarik untuk menarik pemirsanya. Riset pasar sangat membantu dala pembuatan program, untuk memperoleh data apakah program tersebut disukai pemirsa atau tidak. Pembuatan program pasti membutuhkan biaya yang banyak, oleh karena itu kita harus pintar-pintar mengelola perputaran uang. Jangan sampai sudah mengeluarkan biaya besar kemudian programnya malah tidak ditonton oleh pemirsa.