Nov 8, 2009

Menjadi Brand yang Kuat Butuh Proses

Sampai sekarang saya kadang masih berpikir bagaimana mulanya sampai suatu produk bisa diidentikkan dengan suatu brand. Maksud saya begini, sampai sekarang, masih banyak sekali kita temui orang yang hendak membeli air mineral berkata, “Bang beli Aqua botol donk 1!”. Saat si pedagang memberinya sebotol air mineral dengan merek B, si pembeli tersebut sama sekali tidak merasa terjadi “kesalahan”. Kenapa? Karena sebenarnya dia memang hanya ingin beli air mineral, dan secara sadar atau tidak, menganggap bahwa Aqua = air mineral, dan air mineral = merek apapun asal isinya air putih. Heheee! Lucu ya! Dan hal ini tidak hanya terjadi pada Aqua lho! Sebutlah Rinso (= detergent), Supermie (= mie instant), Chiki (=snack makanan ringan), dan masih banyak brand lain yang telah begitu melekat dengan jenis produk mereka.

Kalau dipikir-pikir, hebat ya! Saya pribadi merasa bahwa brand-brand tersebut telah menjadi brand yang sangat kuat dalam jenis produknya masing-masing (tentu perpektif yang bahas saat ini dengan mengenyampingkan merek menjadi generic dan hilang di pasar seperti Odol). Apakah semua brand bisa seperti itu? Apakah brand-brand yang lain mampu “mengalahkan” mereka? Jawabannya ya tentu saja mungkin! Asalkan sebuah brand dapat mencapai tingkatan yang sanagt kuat di target marketnya, saya yakin akan banyak “Aqua-Aqua” lain di pasar.


Lalu mungkin pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sebauh brand bisa menjadi begitu kuat di pasar? Daniel Surya, Country Director The Brand Union, pernah menyampaikan bahwa ada 3 tahapan yang bisa membuat brand kita menjadi powerful brand.

1. Visual Identity
Apa yang pertama konsumen ketahui dari produk yang kita miliki? Tentu saja adalah segala sesuatu yang dapat mereka lihat. Yah yang paling gampang mungkin nama brand itu sendiri, logo dan kemasan. Berusalah sekuat mungkin untuk membuat konsumen kita tertarik begitu melihat nama, logo dan kemasan produk kita, karena itu adalah hal pertama yang akan membuat mereka mengingat atau menyimpannya di benak mereka.

Nama yang bagus bukan berarti nama yang kebarat-baratan, bukan bearrti nama yang elegan dan sebagainya. Nama yang bagus adalah nama yang merepresentasikan produk yang dijual dan sesuai dengan target market yang dituju. Logo yang baik juga bukan berarti logo yang rumit, yang penuh filosofi berat yang justru memusingkan saat dilihat, tapi adalah logo yang juga merepresentasikan apa yang ingin ditanamkan melalui produk yang kita miliki. Kemasan yang bagus pun harus mampu menarik perhatian targert marketnya untuk setidaknya melirik atau tidak ragu untuk mengambilnya di rak display misalnya.

Intinya adalah, di tahapan visual identity ini kita harus memikirkan sebaik mungkin bentuk-bentuk visual yang mampu membuat target market kita merekam dengan jelas apa saja yang mereka lihat dari produk kita.

2. People Identity
Jika brand kita telah mampu memberikan visual identity yang tepat dan menarik di target market, berarti sudah waktunya kita bermain di tahapan selanjutnya untuk menjadi brand yang kuat di pasar. Di tahap people identity ini, yang “bermain” adalah orang-orang yang mewakili brand itu sendiri. Disini orang-orang yang berhadapan langsung maupun tidak langsung dengan konsumen harus mampu memberikan service yang terbaik bagi mereka. Memang pada intinya di tahapan ini service adalah segalanya. Memberikan konsumen kepuasan akan produk yang kita miliki merupakan hal terpenting yang akan mempertaruhkan keberhasilan kita untuk menjadi brand yang kuat.

Pernah lihat tulisan “Anda tidak puas, silakan hubungi kami. Anda puas, silakan hubungi teman-teman Anda.”. Itu tulisan yang sering saya lihat di warteg-warteg atau warung nasi yang dulu suak saya kunjungi semasa kuliah. See? Bahkan “sekelas” warteg dan warnas saja menyadari penuh bahwa kepuasan konsumen akan berdampak sangat besar bagi usahanya. Pernyataan besarnya adalah bahwa kepuasan bisa didapatkan dari pelayanan atau service yang baik dan maksimal yang mereka terima. Maka dari itu jangan pernah meremehkan service.

3. Mind Identity
Ok, tahapan visual identity sudah dapat terlewati dengan baik oleh brand kita. Tahapan people identity juga telah terpenuhi dengan sangat baik. Selamat, ini berarti brand kita layak untuk naik di tahap selanjutnya, tahap terakhir untuk menjadi powerful brand, yaitu mind identity. Disini, yang “bermain” bukan lagi kita atau produk kita, tapi justru konsumen itu sendiri. Setelah mereka melihat, tertarik dan mengingat produk kita, lalu kemudian mendapatkan kepuasan dari service yang kita berikan, secara otomatis mereka akan menyimpan brand kita tersebut di dalam benak mereka. Pencapaian tertinggi apa lagi dalam sebuah usaha branding jika bukan mencapai benak konsumen dengan sempurna?

Tertanamnya brand kita di benak konsumen akan memberikan banyak keuntungan bagi kita. Selain mungkin saja brand kita bisa menyamai fenomena Aqua, Rinso, Chiki dan lain-lain itu tadi di atas, hal ini juga memberikan peluang yang sangat besar dalam membentuk loyalitas konsumen terhadap produk adan brand kita tersebut. Kita memang harus berbicara tentang banyak factor lain jika berbicara mengenai peningkatan penjualan ataupun loyalitas. Namun brand yang mampu ada di tahapan ini sudah pasti akan mampu bertahan di tengah kondisi bisnis atau perekonomian seperti apapun.

Bagaimanapun juga brand yang kuat adalah impian dan tujuan dari semua pebisnis dari produk yang mereka miliki. Tidak sulit sebenarnya kan? Kita hanya perlu menghadapi 3 tahapan di atas. Ini hanyalah masalah komitmen! Komitmen semua pihak untuk mau bersama-sama melewati tahapan-tahapan itu denagn baik dan mencapai kesuksesan, menjadi powerful brand!

Marketing adalah Kepuasan Pelanggan

Pernah ada satu masa dimana saya, sebagai brand associate, merasa “stuck” dalam bekerjasama dengan perusahaan klien untuk memajukan bisnisnya. Jika sudah begitu, saya biasanya ‘berkonsultasi’ dengan salah seorang atasan saya di kantor (hehee…konsultan juga butuh konsultasi kadang-kadang!;p). Setelah mendengarkan cerita saya, dia berkata, “Untuk memahami dengan benar bagimana mengembangkan bisnis dan brand perusahan klien kamu, kamu harus benar-benar tahu dan paham dengan “ngolotok” (melekat dan mengerti sekali, Red.) dasar dari bisnis kita. Branding dan Marketing!”. Iya juga ya! Kadang saya melupakan hal-hal “kecil” yang ternyata “besar” seperti itu. Walaupun saya sudah ada di industry ini selama hampir dua tahun, tapi memang tidak ada salahnya (bahkan harus mungkin ya) saya membaca lagi apa itu marketing dan apa itu branding.

Ok, untuk langkah pertama, saya memutuskan untuk mencari-cari di rak perpustakaan kantor, dan saya pun menemukan dan mengambil buku berjudul “Marketing”. Baru membuka halaman satu, saya sudah disuguhkan kalimat “Pemasaran (marketing) adalah sebuah konsep ilmu dalam strategi bisnis yang bertujuan untuk mencapai kepuasan berkelanjutan bagi stakeholder (pelanggan, karyawan, pemegang saham)”. Hmmm…saya sangat tertarik sekali dengan pernyataan tersebut, karena diakui atau tidak, tidak hanya marketing tapi juga bisnis secara keseluruhan, tujuan akhirnya memang mengenai usaha memberikan kepuasan.

Well mungkin yang paling sering menjadi focus dan inti dari bisnis perusahaan adalah kepuasan pelanggan ya! Eits, para karyawan dan pemegang saham jangan “iri” dulu akh! Hehee…pemikirannya begini, saat pelanggan merasa puas, mereka akan berpotensi menjadi loyal terhadap produk atau jasa perusahaan kita kan? Itu artinya mereka akan melakukan pembelian ulang dan bahkan merekomendasikan kepada orang lain yang berpotensi terpuaskan juga dan melakukan hal yang sama. Artinya juga, brand equity akan terbentuk dengan kuat dan penjualan akan terus meningkat. Apa yang terjadi jika penjualan (dalam situasi normal dan seharusnya) meningkat? Ya pendapatan atau profit perusahaan akan meningkat pula. Ini artinya, ujungnya, “kesejahteraan” dan upaya memuaskan karyawam dan pemegang saham terjamin dengan aman!

Saya yakin semua marketer ataupun pebisnis secara umum sangat paham bagaimana memberikan kepuasan pelanggan tersebut. Pertanyaannya apakah semuanya tahu bagiamana cara mengukur kepuasan pelanggan tersebut? Jangan salah, peningkatan penjualan tidak bisa hanya dijadikan ukuran atau metode untuk mengukur apakah pelanggan kita puas atau tidak terhadap produk atau jasa perusahaan kita lho! Masih di buku yang sama (halaman yang berbeda tentunya), saya menemukan juga beberapa metode pengukuran kepuasan pelanggan yang terbagi menjadi 4 metode seperti ini :

1. Sistem Keluhan dan Saran
Terdengar sangat klasik memang, tapi metode ini memang sangat popular dan masih banyak diterapkan di berbagai perusahaan di seluruh dunia. Disini pelanggan diberikan ‘kebebasan’ bahkan saluran yang memudahkan mereka untuk menyampaikan keluhan yang mereka alami atau saran yang hendak mereka berikan pada perusahaan. Walaupun begitu ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menerapkan metode ini. Beberapa Restaurant seperti Bumbu Desa, menyediakan formulir kritik dan saran di meja kasir atau greeter atau lobby untuk pelanggan isi sendiri. Perusahaan sebesar Unilever pun selalu mencantumkan informasi penerimaan pertanyaan, keluhan dan saran di packaging produk-produknya, dimana selain lewat pos (PO BOX), pelanggan juga bisa menghubungi hotline center yang akan langsung melayani dan menjawab keluhan ataupun pertanyaan konsumen. Jangan pernah “takut” akan keluhan (bahkan kritik sekalipun) dan saran yang disampaikan pelanggan, karena jika perusahaan kamu adalah perusahaan yang memang berorientasi pelanggan, maka keluhan-keluhan dan saran yang masuk justru menjadi ide dan masukan yang sangat berharga untuk memperbaiki diri dan memajukan perusahaan itu sendiri. Lagipula, pelanggan yang ditindaklanjuti keluhan atau sarannya dengan baik, cenderung akan merasa sangat ‘tersanjung’ dan menghargai perusahaan lebih baik lagi.

2. Ghost Shopping
Jangan ngeri dulu membaca judulnya ya, apalagi mengartikan secara harfiah menjadi “Hantu Berbelanja”! (Hehe, serem amat!;p). Ghost shopping disini artinya metode yang digunakan oleh perusahaan dimana para pimpinan terutama para manajer terjun langsung ke lapangan (bisa toko, atau tempat lain sesuai dengan bisnis perusahaan dimana karyawan berhubungan dengan konsumen). Jadi manajer tersebut istilahnya berpura-pura atau menyamar sebagai konsumen dan berkunjung ke toko seolah-olah hendak membeli atau hanya melihat-lihat. Disini sang ghost shopper (manajer itu) merasakan sendiri bagaimana dilayani oleh karyawannya. Akan terlihat perilaku dan pelayanan yang sesungguhnya dari para karyawan dalam berinteraksi dan memperlakukan pelanggannya. Kunci utama dari metode ini adalah pastikan karyawan tidak mengetahui identitas ghost shopper tersebut! Biarkan mereka menganggap bahwa dia adalah pelanggan biasa, karena dengan begitu mereka akan bertindak sejujur-jujurnya dan tidak akan berpura-pura bersikap baik terhadap pelanggan. Dari situ manajemen dapat menilai sendiri apakah sebagai “pelanggan” dia terpuaskan atau tidak dengan layanan dan produk perusahaannya sendiri.

3. Lost Customer Analysis
Metode yang satu ini hanya bisa dilakukan oleh perusahaan yang memang memiliki data base para pelanggannya. Data base tersebut bisa didapat dengan berbagai cara, bisa dari guest book, member card, kartu garansi, dll. Yang pasti, data-data yang dimiliki oleh perusahaan tersebut lah yang akan dijadikan alat dan sumber untuk mengetahui sejauhmana aktivitas pembelian pelanggan terhadap produk atau jasa perusahaan. Jadi begini, sekarang ini kan banyak perusahaan yang mempunya system teknologi yang memungkinkan perusahaan untuk mempunyai draft atau data si pelanggan A melakukan transaksi kapan saja. Dari situ kita bisa lihat pelanggan mana saja kah yang telah terlalu lama tidak melakukan transaksi di perusahaan kita. Langkah selanjutnya yaitu menghubungi pelanggan tersebut (lebih efektif dan efisien dengan cara menelepon) dan menanyakan alasan mengapa mereka berhenti atau telah lama tidak bertransaksi di perusahaan kita. Dari jawaban-jawabannya itu kita bisa menjadikannya sebagai evaluasi untuk menindaklanjuti dan memperbaiki diri denagn harapan pelanggan yang telah “hilang” tersebut akan “kembali” dan mencegah terjadinya “Kehilangan” pelanggan yang masih ada di kemudian hari.

4. Survei Kepuasan Pelanggan
Nah kalau yang ini memang metode yang agak take cost, tapi metode ini juga yang memang paling valid dan paling legal. Kenapa? Karena survey memiliki target area dan responden yang spesifik dan sesuai dengan target market perusahaan untuk produk atau jasanya. Apalagi biasanya suvei dianggap valid dan mewakili jika memiliki minimal 100 responden. Dengan survey, perusahaan memang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (karena kuantiti responden dan cakupan area yang luas), tapi perusahaan juga akan bisa mendapat banyak sekali informasi yang ingin diketahui mengenai konsumennya. Dan karena survey ini berhadapan langsung dengan pelanggannya, maka data yang didapatpun hampir bisa dipastikan akurat (well, yeah…diluar kenyataan bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini ya! Hehee!;p). Percayalah bukan suatu kesia-sia-an melakukan survey kepuasan pelanggan yang memakan biaya tidak sedikit ini, karena walaupun kita bisa berdalih bahwa tiga metode lain di atas bisa mewakili, tapi data yang didapat melalui survey jauh lebih dipercaya oleh pihak luar. Apalagi jika survey dilakukan dan dikeluarkan hasilnya oleh biro riset terkenal seperti AC Nielsen. Whiiii…selain untuk kegunaan memperbaiki kinerja perusahaan, jika hasilnya bagus malah bisa mendongkrak nilai saham perusahaan di pasar segala lho!

Usaha memuaskan pelanggan memang harus terus dipantau dan diukur dengan kontinyu, karena sekarang ekspektasi pelanggan pun terus berkembang hari demi hari. Hanya perusahaan yang mampu memuaskan pelanggannya yang mampu bertahan di pertempuran bisnis sekarang ini. Bisnis, marketing dan sebagainya, tidak boleh melalaikan hal ini sedikitpun. Dan saya, memulai kembali pemahaman mengenai marketing dari poin ini!

Pengikut yang Disukai Pasar

Agak sulit memang menciptakan suatu produk atau jasa yang memang sama sekali belum ada di pasaran. Apa yang tidak ada sekarang ini? Jika pun mau, yang bisa kita lakukan adalah memodivfkasi produk atau jasa yang sudah ada menjadi sesuatu yang berbeda, yang mempunyai value tersendiri yang berbeda dibandingkan produk atau jasa yang telah ada tersebut. Tidak perlu takut disebut pengikut, toh memang kenyataannya kita tidak selalu bisa menjadi pioneer kan? Well, bukan tidak bisa mungkin ya bahasanya, tapi belum bisa! Hehee! Lagipula apa yang salah dengan menjadi follower?

Banyak yang berpikir menjadi follower adalah sebuah tindakan “memalukan”. Lho, dilihat dari sisi mana ya? Dimana-mana sudah hukum alam dimana ada gula disitu ada semut. Apa semut yang baru mencium ada gula lalu jadi malu dengan semut yang datang lebih dulu terus mengurungkan niat untuk datang dan menikmati manisnya gula tersebut? Rugi amat! Memang dinilai tidak kreatif sih itu pasti. Tapi kata siapa akh menjadi follower atau pengikut pasar tidak bisa kreatif? Justru kita bisa jauh lebih kreatif disbanding pioneer. Kenapa? Karena pengikut pasar dapat melihat atau mengawasi kemudian menganalisa terlebih dahulu.

Menjadi follower bukan berarti jadi pembajak lho ya! Yah walaupun Indonesia memang terkenal dengan barang bajakannya (owhh...malu saya!), tapi barang bajakan sama sekali berbeda dengan produk follower. Produk bajakan sih jelas-jelas meniru “plek-plek” tapi produk follower tidak begitu. Disiniiii nih, unsur “kreatif” menjadi pengikut pasar (follower) dibuktikan! Hehee!;p

Kreatifitas ini bisa dilihat dari strategi mana yang dijalankan atau dipilih oleh perusahaan yang menjadi pengikut pasar atau follower tersebut. Dari buku pemasaran strategic yang say abaca, secara garis besar terdapat empat strategi pengikut pasar yang bisa dipilih oleh perusahaan :

1. Imitation
Strategi ini, seperti namanya, memang meng-imitasi produk atau jasa yang sama namun dengan harga yang lebih murah. Cukup jelas lah yah, jadi si produk atau jasanya tuh sama persis…kelihatannya! Kenapa ‘kelihatannya’ ya karena pasti ada sisi tertentu yang berbeda. Tidak mungkin lah meniru sama persis! Kita bisa lihat contoh Starbuck vs Ngopi Doeloe. Secara produk, mereka sama-sama menjual kopi dan ambience menjadi life style bagi target marketnya. Sama-sama kopi kan kalau dilihat sih, tapi jelasss…rasanya berbeda! Ambience? Sama-sama menawarkan tempat yang santai dan cozy untuk konsumen berleha-leha, kongkow dengan sahabat atau pacar, plus dilengkapi fasilitas hot spot. Namun sebagai imitator, Ngopi Doeloe menawarkan harga yang jauh lebih murah dari Starbuck. Hal ini bisa dilakukan karena biaya produksi dan operasional yang dikeluarkan juga jauh lebih rendah, terlihat dari bahan baku produk dan promo yang diberikan ataupun branding yang dilakukan.. Di strategi ini tidak ada biaya riset atau pengembangan dan pemasaran yang tinggi. Disitulah makanya mereka bisa memberikan harga yang lebih rendah.

2. Adding Features
Kalau strategi ini arti harfiahnya kan menambah fitur, nah pengertiannya ya berarti perusahaan pengikut pasar membuat produk atau jasa yang sama dengan pioneer tapi memiliki kelebihan tersendiri yang akhirnya justru menjadi differensiasi antar produk tersebut dengan competitor. Contoh yang bisa kita ambil adalah Sony Erricson. Dia mengeluarkan produk HP yang mungkin secara tampilan atau fitur terlihat sama dengan HP yang diproduksi oleh brand lain. Namun dengan kreatifnya dia menambahkan fitur unik yang memang tidak dimiliki HP keluaran manapun, yaitu fitur bahasa Sunda atau Jawa! Terlihat lucu? Ya benar! Tapi tetap saja dia jadi memiliki nilai tambah dimata target marketnya. Di tengah isu pelestarian budaya Indonesia, dia jeli untuk mendiferensiasikan diri dengan yang lain.

3. Stripping Down
Nah strategi stripping down ini justru bertentangan dengan strategi di atas, disini justru pengikut pasar mengurangi atau menghilangkan beberapa fitur sehingga secara tampilan terlihat lebih sederhana dan secara cost menjadi lebih murah. Namun walaupun mengurangi fitur, bukan berarti kedua produk atau jasa itu menjadi terlihat berbeda, hanya “daleman”nya saja kok yang beda! Contohnya yaitu Blackberry vs Nexian. Kalau kita lihat secara sekilas, dua-duanya memiliki kesamaan bentuk dan fasilitas, namun jelas kita ketahui bahwa Nexian tidak memiliki fitur Messaging sesame pengguna seperti BBM (BlackBerry Message) seperti yang dipunyai Blackberry. Dari fitur-fitur lain juga banyak yang tidak dimiliki oleh Nexian. Namun apakah ini menjadikan Nexian tidak laku di pasaran? Hmmm…lihat saja sendiri seringkali stocknya kosong di toko karena habis disikat konsumen.

4. Flankin
Lain lagi dengan strategi yang satu ini. Flankin merupakan strategi yang berfokus untuk mengembangkan produk atau jasa yang lebih mengena dan dapat diterima oleh segmen pasar yang lebih kecil (kecil disini bisa berarti jumlah segmen). Uniknya, caranya bisa dengan menggunakan strategi no dua taupun no tiga (adding features atau stripping down). Sedikit membingungkan memang, lalu bedanya dimana? Bedanya hanya di segmen yang menjadi focus. Meng-grap komunitas biasanya menjadi pilihan strategi ini. Bisa dilihat dari hobi, pekerjaan, usia, bahkan sampai status, dll. Contohnya Esia. Di tengah pertempuran sengit dengan sesama CDMA, dia mengeluarkan produk Esia Hidayah. Strategi ini diambil untuk meng-grap komunitas muslim yang notabene merupakan jumlah mayoritas di Indonesia.

Semua strategi pengikut pasar di atas menjadi bukti bahwa menjadi pengikut atau follower bukan sesuatu yang harus dihindari, bahkan banyak yang justru jauh lebih sukses dibandingkan pioneer-nya kan?

Cara Menangani Komplain = Kategori Perusahaan

Hal yang paling mempengaruhi keputusan pembelian atau bahkan loyalitas pelanggan terhadap sebuah produk atau jasa bukan saja hanya tergantung pada kualitas produk atau jasa tersebut, tapi juga dari sisi service atau pelayanan yang perusahaan berikan pada pelanggan. Yeah, saya yakin kamu semua juga mengetahui dengan pasti hal ini, tapi percayalah, tidak semua perusahan mengerti dengan benar seberapa pentingnya memberikan kepuasan pelanggan dari berbagai sisi terutama dari sisi kualitas produk atau jasa dan service perusahaan kepada pelanggannya.

Perusahaan kebanyakan lebih focus pada kualitas produk; bagaimana produknya bisa sesuai dengan ekspektasi pelanggan, bagaimana bisa terus berinovasi, dan lain-lain, tapi seringkali mereka “mengabaikan” service atau pelayanan sebelum, saat ataupun sesudah pelanggan melakukan pembelian. Padahal percaya atau tidak complain mengenai service peringkatnya jauh lebih tinggi dari produk atau jasa itu sendiri.

Saya dan pasangan pernah mengunjungi sebuah tempat makan yang memang sudah cukup terkenal di Bandung. Nama dan lamanya tempat makan itu berdiri membuat kami tidak memiliki keraguan sedikit pun untuk makan disana. Kami pun duduk, memilih menu makanan dan minuman, kemudian memanggil server. Dia pun mempersilakan kami menunggu pesanan datang. Semua masih berjalan dengan baik sampai saat itu. Sepuluh menit…dua puluh menit…setengah jam dan hampir satu jam, pesanan kami belum kunjung datang! Huuff…! Saya pun coba menanyakan ke server yang berjaga dan dia berkata bahwa pesanan kami sedang dibuat. Selama itu hanya untuk membuat nasi gudeg dan nasi goreng?! At least minuman kami dulu lah sampai ke meja kami! Ok, let say dapur penuh oleh pesanan, tapi untuk tempat makan sebesar itu masa iya sih hanya punya beberapa koki? Bukankah skala restaurant harus sebanding dengan sumber daya dan fasilitas yang dimiliki oleh karyawan dalam hal ini koki? Saat makanan datang pun tidak selesai kekecewaan yang kami terima karena rasanya tidak memuaskan. Saat membayar tagihan, saya pun menyampaikan keluhan saya pada karyawannya, dan bukannya minta maaf, mereka malah beralasan macam-macam pada saya. Hiiiiihhh!! Nggak lagi-lagi deh saya makan di restaurant itu!

Saya tidak tahu apakah complain saya tersebut disampaikan pada managernya tau tidak, atau kalaupun disampaikan, apakah mereka berusaha memperbaiki kekuarang tersebut atau tidak. Bagi saya sudah cukup apa yang saya alami malam itu membuat saya tidak mau lagi makan disana dan bahkan sampai memberi tahu teman-teman saya untuk tidak mengunjungi tempat makan tersebut. (Hehee… you know bad things always be a great words of mouth!;p)

Well, disini sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah, saat perusahaan mengalami hal seperti itu, dikomplain oleh pelanggannya mengenai kualitas produk/ jasa dan atau service yang diterima saat pembelian, maka sesungguhnya perusahaan mempunyai beberapa pilihan yang bisa mereka pilih. Perusahaan bisa memilih akan ada dalam kategori perusahaan seperti apa dalam menghadapi complain pelanggan? Menurut Ben & Dale Midgley dalam bukunya Rethinking Customers in Selling, ada beberapa kategori yang bisa dipilih :

1. Perusahaan yang “kurang dari cukup”
Perusahaan dalam kategori ini menganggap complain pelanggan adalah angin lalu. Mereka tidak akan peduli dan menganggap bahwa semua itu tidak akan ada pengaruhnya bagi usaha mereka. Jadi saat kita menyampaikankomplain yang ada mereka iya-iya saja atau bahkan malah meengeluarkan berbagai macam alasan untuk membela diri. Boro-boro ditanggapi, didengar saja sudah untung! Hehee! Mau jadi apa ya perusahaan kategori begini di jaman selarang ini. Percayalah, mereka akan ditinggalkan oleh pelanggan dan perlahan-lahan “hancur”. Yah, itu sih memang “menghancurkan” diri sendiri ya sebenarnya.

2. Perusahaan yang “cukup”
Kalau perusahaan kategori ini, agak lumayan lah, walau tetap nggak bagus-bagus amat. Hehee! Jadi perusahaan tidak akan menanggapi kompalin kita kalau kita tidak ngotot menyampaikan komplainnya langsung ke manager operasional atau siapalah yang memiliki kewenangan tinggi dalam perusahaan tersebut. Kalau cuma complain sama pelayan atau customer service sih kemungkinannya kecil sekali untuk ditanggapi. Ke manager sekalipun, complain kita baru akan ditindaklanjuti dengan perbaikan jika kita rajin mengancam akan menyebarkannya di radio atau mengirim surat pembaca di Koran. Itu sekalipun belum tentu karena mereka lebih berpikir bahwa mungkin masalah ini tidak terlalu berdampak signifikan bagi si pelanggan itu sendiri.

3. Perusahaan yang “bagus”
Nah kalau yang ini memang akan mendengarkan dan menanggapi segala macam complain yang pelanggan sampaikan pada mereka dengan sangat baik. Tapi bicara tentang tidak lanjut atas complain tersebut? Nanti dulu! Heheee, aneh lagi ya!;p Iya, bagi perusahaan dengan kategori ini, tindak lanjut akan dilakukan jika mereka melihat situasinya memang perlu lebih dari sekedar kata “maaf” pada pelanggan tersebut. Jika masih bisa “diselesaikan” dengan misalnya mengganti makanan yang kita complain ada rambutnya, atau memberikan garansi lebih pada produk yang dibeli, maka mereka merasa itu cukup. Kecuali jika memang signifikan pengaruhnya, baru mereka tindak lanjuti. Prinsip kategori ini adalah pada dasarnya pelanggan hanya ingin diengar dan diperhatikan saja. Hmmm..!

4. Perusahan yang “sangat bagus”
Perusahaan model begini nih baru te-o-pe! Perusahaan tidak hanya selalu mendengarkan dan menanggapi setiap kompain, tapi juga langsung menindaklanjuti solusinya dengan segera. Tidak peduli sebesar atau sekecil apa complain yang pelanggan sampaikan, memperbaiki dan memberikan kepuasan pada pelanggan tersebut adalah hal yang selalu mereka junjung tinggi. Complainer diperlakukan dengan sangat baik oleh para karyawannya. Whiiiii…bagus banget kan! Perusahaan kategori ini justru menganggap setiap komplainm adalah feedback penting yang harus mereka perhatikan sebagai pembelajaran bagi seluruh karyawan dan perbaikan bagi usaha tersebut agar menjadi lebih baik lagi. Mereka sangat menyadari bahwa kepuasan pelanggan sangat penting bagi perkembangan perusahaan dan dapat mencegah word of mouth negative yang mudah sekali menyebar dan menghancurkan sebuha bisnis. Yeah, sayangnya di Indonesia, bahkan diseluruh duni sekalipun, perusahaan dengan kategori seperti ini masih sedikit sekali jumlahnya.

Nah, sekarang tinggal tentukan deh, perusahaan kamu mau berada di kategori yang mana? Atau bahkan kamu sudah bisa menilai bahwa perusahaan kamu sekarang ini masuk kategori mana? Heheee…u choose!

Kendalikan Mutu Jasa, Pelanggan pun di Tangan Anda!

Dulu, (dan mungkin masih sampai sekarang) orang-orang seringkali menganggap bahwa servis, jasa atau apapun istilahnya adalah sesuatu yang cenderung “abstrak”. Maksudnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan jasa terlalu “kabur” untuk dilihat, dinilai, diukur, dikendalikan, dan sebagainya. Benarkah? Tentu saja tidak kan! Segala sesuatu itu pasti ada jalan untuk mengukurnya, untuk menilainya, bahkan untuk mengendalikannya.

Saya mau cerita dulu ya! Saya dan teman-teman di kantor termasuk orang-orang yang sering sekali menggunakan taksi saat akan bertemu dengan klien atau keluar kantor untuk urusan apapun. Bisa tebak brand taksi apa yang menjadi favorite kami? Hehee…tidak perlu saya sebutkan mungkin ya, kita sebut saja taksi A ! Yang jelas, brand taksi A tersebut adalah pilihan pertama yang ada di benak kami setiap butuh taksi. Bukannya kami tidak tahu brand taksi yang lainnya, tapi karena kami sangat puas saat menggunakan taksi A. Mutu atau kualitas jasa yang mereka berikan sangat maksimal dan tidak tersaingi oleh brand taksi lain.

Salah satu rekan kerja saya malah bela-belain jadi waiting list menunggu armada taksi A yang seringkali penuh itu. Dia jadi anti dengan brand taksi lain bukan tanpa sebab. Dia merasakan sendiri kualitas atau mutu jasa yang diberikan brand taksi lain tidak memuaskannya dan malah seringkali membuatnya sebal. Saya pernah berbincang dengan supir taksi A tersebut dalam sebuah perjalanan. Saya mengajaknya berbincang mengenai per-taksi-an (hehee, bahasa yang lebih resminya apa ya?) di Bandung pada khususnya (yah, saya kan tinggal di Bandung jadi kalau bahas kota lain takut sotoy, lagian juga nanti Pak Supirnya tidak tahu apa2, terus mau ngobrol apa donk?;p). Beruntung saya mendapatkan Bapak supir yang cukup cerdas.

Beliau bercerita bahwa kesuksesan brand taksinya dalam memberikan kepuasan pada para penumpang salah satunya karena kualitas dan mutu pelayanan yang seluruh jajaran berikan. Wih, tanpa bermaksud mengecilkan profesinya, dalam hati saya sangat surprise beliau memiliki wawasan dan gaya berkomunikasi yang oke. Katanya, di perusahaannya, kualitas dan mutu pelayanan diciptakan dan dikendalikan dengan cukup ketat. “Di taksi yang lama juga memang ada peraturan atau standarnya Bu, tapi nggak ada pengawasan atau penindakan kalau melanggar. Nah di tempat yang sekarang (Taksi A) mah sebelumnya dapat training dulu cara buka pintu, cara ngobrol sama penumpang, bahkan sampai nyari rumah di kompleks gitu ada taktiknya. Pengawasannya ketat, kalau melanggar pasti dapat sangsi, makanya dari supirnya juga takut untuk melanggar. Hehee! Tapi jadinya bagus kan yah Bu!”. Ck…ck...ck…saya mendapatkan dua kekaguman pada saat itu. Kagum pada supir taksi tersebut dan juga pada perusahaan Taksi A.

Dari situ kita bisa lihat bahwa sesungguhnya, perusahaan jasa sekalipun dapat sangat mudah menciptakan dan mengendalikan kualitas atau mutunya. Dilihat-lihat lagi, sesungguhnya Taksi A memang telah berhasil menerapkan tiga langkah mengendalikan mutu perusahaan jasa seperti yang disampaikan oleh Kottler dan Keller seperti ini :

1. Berinvestasi dalam prosedur perekrutan dan pelatihan yang baik
Memiliki karyawan yang hebat sangat ditentukan oleh rangkaian proses yang berkesinambungan. Dimulai dari awal perekrutan, training awal hingga dinilai telah menjadi ahli, training atau pelatihan harus tetap dilakukan. Jadi jangan pernah berpikir manajer tidak memerlukan pelatihan lagi, karena bisnis berkembang sangat cepat. Tidak ada waktu untuk merasa puas, karena siapa yang mau mengembangkan dirinya berarti telah menghentikan perkembangan perusahaannya. Perekrutan yang tepat merupakan langkah mutlak yang harus dilakukan perusahaan, karena kita harus memastikan calon karyawan itu memiliki potensi untuk terus berkembang. Jadi bukan berarti fresh graduate tidak usah diterima, tapi justru harus kita ketahui apakah mereka memiliki kemampuan dan potensi untuk menjadi karyawan yang kompeten atau professional atau tidak. Pelatihan yang baik juga seharusnya akan membentuk karyawan menjadi individu yang kompeten dan profesional seperti yang diharapkan oleh perusahaan. Sebagai catatan akhir, harus dilakukan berkelanjutan ya pelatihannya.

2. Menetapkan standar proses pelaksanaan jasa di seluruh organisasi tersebut
Familiarnya sih istilahnya menetapkan SOP (Standard Operasional Procedur) ya! Iya, konsumen kan hanya tahu kalau misalnya mereka pesan jasa photography untuk Pre-Wed, mereka tinggal daftar, dapat konsep dari photographer, foto-foto, terima hasil, beres deh! Tapi sesungguhnya kan dalam perusahaan photograpy itu ada rangkaian proses untuk menghasilkan layanan yang memusakan tersebut. Tim harus berdiskusi menentukan tema foto, lokasi, kostum, gaya, dsb, lanjut survey ke lapangan, pemotretan, memilih foto-foto yang ok, meng-edit foto, baru memberikan hasil kepada konsumen tersebut. Semua rangkaian proses itu harus sudah ditentukan secara tertulis agar semua photographer dan timnya melakukan hal yang sama hingga hasil yang didapatkan juga sama baiknya. Intinya, semua proses harus memiliki standarisasi yang harus dipatuhi oleh seluruh elemen dalam perusahaan.

3. Memantau kepuasan pelanggan
Memberikan kepuasan pelanggan sudah menjadi tujuan utama setiap jenis bisnis apapun, termasuk perusahaan yang bergerak di bidang produk, jadi apalagi di bidang jasa bukan? Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengetahui dan sampai memantau kepuasan pelanggan? Hampir disemua perusahaan, kepuasan pelanggan seringkali dipantau dengan cara penerimaan keluhan dan saran atau kritik (bisa berupa kotak saran ataupun hotline center), bisa juga dengan melakukan riset kepuasan pelanggan langsung (ini sih jika memang punya budget lumayan!). Sebenarnya masih banyak cara yang bisa dikembangkan untuk bisa memantau kepuasan pelanggan, namun ya memang cara-cara di atas yang lebih familiar. Pada dasarnya, mengetahui kepuasan pelanggan dapat memberikan gambaran pada kita sejauh mana kita mampu menjadi perusahaan yang baik. Mengetahui apa yang bisa memberikan kepuasan tentu juga dapat menjadi dasar perusahaan untuk semakin memperbaikin diri dan mengembangkan perusahaannya.

Jadi, siapa bilang tidak mungkin mengendalikan kualitas atau mutu perusahaan? Memang tidak mudah, tapi tidak ada hal yang menjadi terlalu sulit ataupun terlalu mudah dalam dunia bisnis bukan? Heheee! Ya ini masalah pilihan mungkin ya! Seperti cerita saya di awal tadi, jika brand-brand taksi lain ingin bisa seperti taksi A tersebut, ya kejar donk kualitas dan mutu yang sama. Ya nggak? =)

Tak Ada Komunikasi Tanpa Seleksi

Pasti kita semua menjumpai atau dibombardir oleh ratusan bahkan ribuan iklan setiap harinya, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali (lebih parah kalau mimpi kita juga ada iklannya! Hehee!). Pertanyaannya adalah, seberapa banyak iklan yang masih bisa kita ingat di penguhujung hari? Sepuluh? Lima? Satu? Atau bahkan tidak ada sama sekali? Hehee…taruhan ya, kalaupun ingat banyak, belum tentu kita ingat betul pesan yang dikomunikasikan oleh iklan tersebut!

Ever wonder why para agency atau advertiser itu harus menyisihkan waktu khusus untuk memikirkan dan mendiskusikan bahkan sampai berdebat saat merumuskan komunikasi yang akan disampaikan kepada target? Bukan alasan sesuai keinginan klien atau agar memenangkan pariwara award semata tentunya (yah walaupun kadang jadi pertimbangan juga! Hehee!), tapi lebih pada pemikiran komunikasi seperti apakah yang tepat bagi target market dan komunikasi macam apakah yang dapat berkesan hingga diingat oleh target market dalam waktu yang panjang? Percayalah itu bukan hal yang mudah untuk dipecahkan!

Ini bukan karena para agency atau advertiser itu yang oon atau kurang ahli dalam “berkomunikasi”, tapi berbagai faktor jelas mempengaruhi proses komunikasi antara iklan atau pesan yang kita sampaikan dengan target market. Terlebih lagi menurut Kotler dan Keller, dalam proses komunikasi yang dilakukan, terjadi beberapa seleksi yang cukup selektif di komunikan kita, diantaranya adalah :

1. Perhatian yang selektif (selective attention)
Seperti yang tadi sempat saya sebut di awal, setiap orang dibanjiri ribuan iklan baik dengan atau tanpa mereka sadari, dari yang memang “niat” beriklan atau hanya sekedar “mejeng” begitu saja. Bisa bayangkan betapa “ramainya” pesan-pesan itu berebut berlomba untuk dapat menarik perhatian audiens? Saking “ramainya”, hanya pesan-pesan yang dianggap berbeda, unik, nyeleneh atau menyentuh yang “mau” audiens perhatikan.

Jangan lupa, media, penempatan atau space pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi itu sendiri juga sangat berperan penting dalam menarik perhatian audiens. Lihat saja, memangnya kita bisa “santay” dan nyaman saat membaca iklan di rubric advertising yang penuh dengan iklan yang saling berlomba menjadi menonjol? Hal ini disebabkan karena audiens melalui proses perhatian yang selektif itu dalam dirinya. Mereka akan sangat selektif dalam menentukan pesan mana yan menarik perhatian mereka di tengah berbagai komunikasi yang mereka dera. Ini artinya, komunikatorlah yang harus pintar dalam menarik perhatian mereka!

2. Penyimpangan selektif (selective distortion)
Ok, komunikasi berjalan baik di awal, pesan menarik perhatian dan dapat diterima oleh audiens, lalu apakah semuanya sudah pasti berjalan lancar? Belum tentu!n Heheee, masih ada proses seleksi lain, bos! Selayaknya manusia yang memiliki “fitrah” mengikuti apa yang diyakininya, maka hal tersebut juga berlaku saat mereka menjalani proses komunikasi. Mereka cenderung bahkan hampir selalu menggunakan keyakinannya dalam mendengarkan pesan yang disampaikan pada mereka. Simple-nya begini deh, keterbatasan manusia dalam menangkap pesan atau makna yang terkandung dalam komunikasi seringkali membuat mereka “semau gw”. Eh, tidak cukup simple untuk menjelaskan ya?

Jadi gini, dalam diri manusia pasti adaaaa saja sisi ‘lebay’ dan ‘bloon’-nya. Iya kan? (Saya sih enggak! Hehee!). Saat mereka menerima satu pesan, mereka belum tentu menangkap sepenuhnya makna yang sesungguhnya. Hal ini membuat mereka seringkali jadi menambahkan pesan atau makna tersebut sesuai keyakinan mereka, dan justru sering juga melupakan atau mengurangi pesan atau makna yang sebenarnya ada dalam pesan yang mereka terima. Mending kalau yang ditambahkan itu yang bagus dan yang dikurangi itu yang jelek, lha kalau sebaliknya? Cilaka dua belas!=D Makanya disini tugas komunikator untuk membuat dan menyampaikan pesan yang simple namun jelas hingga maknanya diterima secara penuh oleh audiens.

3. Ingatan selective (selective retention)
Jangan berharap audiens akan mengingat dalam waktu yang panjang pesan yang kita sampaikan pada mereka sekalipun 2 tahapan seleksi di atas sudah terlewati dengan mulus. Manusia memang mempunyai jutaan sel pengingat dalam otaknya, tapi mengharapkan ada pesan yang kita sampaikan diantara jutaan pesan yang masuk nampak memerlukan usaha yang lebih kuat lagi. Bayangkan lagi, iklan atau komunikasi kita itu mampu tidak mengalahkan tugas-tugas yang diberikan bos mereka di kantor dan harus selesai malam itu juga, mengalahkan kata-kata cinta dari kekasih mereka yang selalu berputar dan terngiang-ngiang, sedangkan pesan kita??

Heheee…jangan pesimis dulu ah! Rumusnya ada di sikap awal audiens dalam menerima pesan kita kok! Jadi kalau di awal mereka menangkap pesan kita dengan positif, belum lagi argument-argumen pendukungnya terus berulang dalam benak mereka, maka saya sih bisa bilang mereka akan menerima dan mengingat pesan tersebut dalam benak dan ingatannya. Eits, tapi bukan berarti kalau sikap awalnya negative dan kemudian menolak pesan yang kita sampaikan, maka pesan tersebut akan hilang dan percuma begitu saja. Percaya atau tidak, mereka akan teta[ menyimpan pesan tersebut diingatannya dalam waktu yang lama, cuma nggak “nongol” saja kali ya! Heheee! Nah kalau untuk yang satu ini sih komunikator memang harus berjuang hebat dan pasrah. Berjuang agar pesanpositif didapat, dan pasrah karena hal ini sangat tergantung dari individu setiap audiens.

Proses ini tidak hanya berlaku dalam proses komunikasi iklan terhadap target marketnya, tapi juga berlaku dalam seluruh proses komunikasi yang kita lakukan. Maka dari itu, sebelum melakukan proses komuniukasi, ada baiknya kita menyiapkan pesan yang mampu melewati proses seleksi di atas dengan mulussss.

Pintu darurat menghadapi perang harga

Kondisi perekonomian yang kiat tidak menentu banyak mempengaruhi pola pemasaran suatu produk. Hal perekonomian tersebut cukup signifikan dalam mempengaruhi daya beli para konsumen. Apa dampak dari menurunnya daya beli tersebut? Tentu saja preferensi konsumen terhadap produk dengan harga murah lebih tinggi dibandingkan dengan produk dengan kualitas tinggi. Kecenderungan pergeseran ini tidak hanya terjadi pada segmen konsumen menengah hingga menengah bawah, tetapi juga pada konsumen menengah atas.

Di awal abad 21, sebelum terjadinya krisis global, produk dengan kualitas tinggi, mewah dan premium menjadi tonggak perusahaan mengeruk keuntungan. Tetapi dalam kondisi perekonomian dunia yang sedang bergejolak, harga menjadi salah satu elemen pertimbangan yang kuat dalam keputusan pembelian konsumen.

Apa yang harus kita lakukan sekarang dalam menghadapi kondisi tersebut? Apakah brand yang selama ini dibangun dan menawarkan value yang begitu tinggi bagi konsumen harus kita korbankan demi menyelamatkan angka penjualan? Bagaimana dengan para customer yang lambat laun berpindah karena tidak mampu lagi membeli produk kita? Atau bahkan begitu banyak penawaran produk lain yang memiliki harga yang lebih rendah. Kondisi demikian menuntut kita untuk melakukan langkah strategis, untuk tetap survive dengan melakukan penjualan.

Opsi strategi pertama yang paling mudah untuk dilakukan adalah menurunkan harga! Hal ini merupakan langkah yang paling menggiurkan untuk dilakukan para pelaku bisnis. Tetapi apakah ini yang terbaik? Anda perlu mempertimbangkan mengenai value dari brand Anda yang akan jatuh begitu Anda tergiur untuk menurunkan harga. Sudah siapkah Anda untuk kehilangan begitu saja dampak pembangunan brand yang selama ini telah Anda lakukan? Sepertinya dampak buruk dari penurunan harga ini tidak hanya pada brand Anda dalam jangka panjang, tetapi juga pada profit Anda dalam jangka pendek.

Pikirkan kembali dan pertimbangkan opsi kedua, yaitu bertahan. Banyak pelaku bisnis juga yang melakukan hal ini, yaitu bertahan dan berharap kondisi akan semakin baik. Rasanya boleh-boleh saja Anda berharap, tetapi pelajari dan cermati kembali perilaku perekonomian dalam beberapa tahun terakhir dan pikirkanlah apakah kondisi akan kembali stabil? Salah satu kutipan favorit saya sekarang adalah Dinamic is the new static; kutipan ini menggambar bahwa kini masa telah berubah, di mana kondisi perekonomian yang stabil sekarang ini adalah perubahan yang terus-menerus, dapat diartikan bahwa akan sangat sulit lagi menemukan suatu kondisi stabil seperti era perekenomian terdahulu. Perkembangan dunia informasi menjadi salah satu sumber dinamisme dunia, dan Anda selayaknya tidak membohongi diri sendiri bahwa semuanya akan kembali tenang seperti dulu.

Lalu strategi apalagi yang bisa kita lakukan? Pintu darurat menghadapi hal ini adalah penciptaan Fighting Brand. Tentu Anda pernah mendengarnya, yaitu mengeluarkan produk dengan brand lain yang menggarap pasar/segmentasi di bawah segmen produk Anda sendiri. Strategi ini menjawab kebutuhan perusahaan untuk tetap memiliki pendapatan yang signifikan dari kebutuhan para konsumen yaitu produk dengan harga yang lebih murah, tetapi di sisi lain juga menyelamatkan brand utama Anda. Pada awalnya strategi fighting brand sering digunakan berbagai perusahaan untuk menambah pendapatan mereka atau untuk memerangi pesaing yang menggarap segmen yang lebih rendah. Tetapi dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu seperti sekarang ini fighting brand juga dapat digunakan sebagai pintu darurat Anda menghasilkan penjualan dalam jangka pendek. Fighting brand Anda dapat menjadi alternative konsumen Anda membeli produk dengan harga yang lebih murah, tetapi Anda tetap mendapatkan keuntungan tersebut, dibandingkan konsumen Anda membeli dari pesaing Anda. Dan melalui kondisi perekonomian yang tidak menentu, konsumen bisa memiliki fluktuasi daya beli, di mana di saat daya beli mereka kembali normal, mereka dapat kembali mencari produk Anda karena brand produk utama Anda tetap terjaga.

Tetapi jangan terjebak dengan fenomena yang ditimbulkan dengan adanya fighting brand. Salah satu hal yang dapat menjadi dampak buruk dan perlu Anda perhatikan adalah dampak Kanibalisasi antara produk fighting brand Anda dengan produk utama Anda.

KANIBALISASI
Produk fighting brand Anda harus dapat dipastikan memiliki value, diferensiasi dan fitur yang berbeda dari produk utama Anda. Apabila produk fighting brand Anda memiliki difrensiasi dan fitur yang serupa, bias-bisa memakan produk utama Anda, karena produk fighting brand memiliki harga yang lebih rendah.

Hal serupa dialami oleh Kodak di tahun 1994. Pada periode sebelumnya Kodak merupakan market leader di bidang penjualan film foto dengan merk Gold Plus film. Di periode tersebut Fuji berhasil mengambil market share Kodak dengan menjual produk mereka Fujicolor Super G Film dengan harga 20% lebih rendah. Hal ini memancing Kodak untuk menggunakan strategi fighting brand dan mengeluarkan produk dengan merk Funtime yang dijual dengan harga sama dengan Fujicolor super G Film. Untuk menghindari kanibalisasi antar produk, Funtime diproduksi menggunakan formula bahan baku yang berbeda dari Gold Plus film sehingga secara signifikan memiliki perbedaan dari segi kualitas produk. Tetapi hal yang menjadi kesalahan strategi tersebut adalah perbedaan yang perusahaan rasa telah signifikan tidak dapat dirasakan oleh konsumen. Konsumen tidak mampu membedakan secara signifikan perbedaan kualitas dari Gold Plus Film dengan Funtime. Dampaknya adalah penjualan Funtime memakan lebih banyak konsumen Gold Plus film sendiri dibandingkan konsumen Fuji. Pelajaran berharga dari kasus ini adalah perusahaan harus menyeimbangkan antara low price dengan low perceived quality dan memastikan konsumen mengetahui hal tersebut dengan baik.

Contoh lainnya mengenai strategi Fighting brand adalah yang dilakukan oleh P&G pada produk kategori popok di tahun 1980an. P&G pada saat itu memiliki 2 merk di kategori popok yaitu Pampers sebagai market leader, dan di urutan ke-3 merk Luvs. Tetapi dengan pertumbuhan private label di dalam industri popok kian bertumbuh hingga menguasai market share sebanyak 20%, hampir tidak masuk akal memelihara 2 brand sekaligus. Hal ini berkaitan dengan investasi besar yang harus ditanamkan dalam memelihara 2 brand dengan perceived quality yang juga serupa, karena menggarap segmen yang sama. Maka P&G memutuskan untuk mengatur kembali strategi brand mereka dengan menurunkan segmen Luvs, dan memposisikannya sebagai fighting brand dari Pampers. Strategi tersebut dilakukan dengan turut menurunkan harga Luvs hingga 16%. Sejalan dengan antisipasi kanibalisasi antar produk, P&G mengurangi value dari brand Luvs dengan memangkas investasi R&D yang sebelumnya dilakukan. Berbeda jauh dengan Pampers yang diposisikan memiliki perceived quality lebih baik, R&D menjadi focus utama pengembangan brand. Pemotongan biaya juga dilakukan dari segi advertising dan promotions; melalui berbagai perbedaan yang signifikan dalam aktivitas pembangunan brand mempengaruhi perceived quality yang diterima oleh konsumen. Berbeda dengan kasus Kodak yang gagal mengantisipasi kanibalisasi, produk Luvs dan Pampers menggarap segmen yang sama sekali berbeda.

Bisnis Unpolular yang Menggiurkan

Banyak dari teman-teman saya yang memutuskan untuk berbisnis membuka suatu usaha. Macam-macam jenis usaha yang mereka geluti, mulai dari bisnis distro, aksesories perempuan, out bond, sampai catering. Senang sekali rasanya melihat mereka begitu semangat, tekun dan ulet dalam mengembangkan bisnisnya. Banyak dari mereka yang sukses tapi banyak juga yang terpaksa harus gulung tikar dan menghentikan bisnisnya. Sayang ya! Tapi itulah bisnis! Kemauan dan minat saja tidak cukup untuk membekali amunisi kita dalam “berperang” di dunia bisnis. Ada banyak hal yang harus kita pikirkan bahkan sebelum kita memutuskan bisnis apa yang akan kita geluti.

Memang menyenangkan melihat bisnis popular yang bisa begitu mudah dan banyak menghasilkan keuntungan, tapi apakah bisnis seperti itu worthed untuk kita masuki? Salah-salah jika kita tidak “kuat”, maka belum apa-apa kita akan terlibas oleh para pebisnis yang sudah eksis atau bahkan telah merajai bisnis tersebut terlebih dahulu.

Saya pernah membaca sebuah ulasan mengenai bisnis-bisnis unpopular yang justru menjadi bisnis yang sangat menjanjikan bagi para pelakunya. Ada dua orang yang berkolaborasi membangun bisnis sejenis Emergency 911 di Indonesia. Jadi bisnis mereka merupakan jasa layanan pertolongan pertama selama 24 jam sehari atau 7 hari seminggu. Duo sekawan ini sangat jeli melihat situasi di Indonesia yang sangat minim akan layanan kesehatan yang tanggap dan tepat. Mereka menilai bahwa ini bisa jadi peluang bagi mereka untuk membuka bisnis seperti Emergenmcy 911 dan menjadi yang pertama di Indonesia. Tidak perlu malu untuk mengadopsi secara penuh bisnis di negara lain jika memang benar-benar kita nilai Indonesia mempunyai pasar yang kebetulan belum tergarap oleh pebisnis lain. Hasilnya? Jelas mereka menuai keberhasilan sedikit demi sedikit hingga khirnya kini mereka mempunyai jumlah member yang sangat banyak, bahkan di luar ekspektasi mereka berdua.

Apa yang bisa kita ambil dari cerita sukses dua orang tersebut?

1. Lihat peluang
Bisnis yang telah terbukti menuai sukses di pasaran memang terlihat lebih bersinar dimata pebisnis pemula manapun, tapi jangan pernah membutakan mata dari situasi yang ada di sekitar kita. Peluang bisnis ada dimana saja. Kesulitan kita mendapatkan suatu produk atau layanan jasa bisa menjadi peluang yang besar untuk kita masuki. Seperti cerita bisnis emergency medic di atas yang diilhami karena para pendirinya memiliki pengalaman buruk tentang pelayanan kesehatan di Indonesia. Mereka lalu berpikir bahwa itu berarti tidak ada instansi atau perusahaan manapun yang menyediakan layanan kesehatan sesigap dan secepat yang mereka harapkan. Disini terlihat bahwa kejadian yang mereka alami justru membuat mereka dapat melihat peluang bisnis yang justru belum “terlihat” oleh pebisnis lain.

2. Ciptakan Kebutuhan
Mendirikan bisnis yang unpopular atau bahkan baru sama sekali bukanlah hal yang mudah memang. Meyakinkan target market bahwa mereka memang membutuhkan produk atau jasa yang kita miliki tentu lebih sulit daripada “merayu” orang pada bisnis yang memang orang sudah tahu. Disinilah kita harus mulai ”menciptakan kebutuhan” pada target market. Sesungguhnaya mereka kan memang butruh lho, tapi disini mungkin mereka tidak “aware” atau tidak sadar mereka butuh. Strategy komunikasi yang tepat dan mengena langsung ke target market menjadi kunci utama mereka akhirnya sadar bahwa mereka memang memerlukan produk atau jasa kita.

3. Fokus
Setelah target market merasa butuh, langkah selanjutnya adalah focus. Fokus disini harus diterapkan dari berbagai sisi. Pertama, focus pada kategori bisnis yang kita “ciptakan” tersebut. Jangan mentang-mentang berhasil menciptakan kebutuhan A, lalu kita langsung memciptakan kebutuhan yang lain sehingga yang A tidak terlalu maksimal.! Kedua, fokus pada target market yang sesuai untuk produk atau jasa yang kita miliki. Kalau memang cocoknya untuk kalangan menengah-bawah, cobalah untuk tidak dulu iseng-iseng meng-grap menengah-atas. Buat target market merasa bahwa produk atau jasa kita memang special buat mereka dan mereka terperhatikan dengan maksimal pula. Ketiga, focus pada inovasi. Inovasi disini maksudnya adalah bagaimana kita semaksimal mungkin terus membuat produk atau jasa kita dapat memberikan kepuasan yang maksimal juga kepada target market kita. Sebagai produk atau jasa “baru”, maka pasti akan sangat dibutuhkan berbagai macam penyempurnaan. Make a perfect products or service!

Tidak mudah kan memiliki sebuah bisnis apalagi bisnis yang unpopular atau “baru”, tapi kalau memang kita tekun dan niat untuk membangun bisnis itu, kesuksesan sudah di depan mata. Kebanggan dan prestise tersendiri juga kan kalau kita dianggap pioneer di kategori bisnis tersebut? Heheee! However, business is so complicated but fun to be find out!