Nov 8, 2009

Menjadi Brand yang Kuat Butuh Proses

Sampai sekarang saya kadang masih berpikir bagaimana mulanya sampai suatu produk bisa diidentikkan dengan suatu brand. Maksud saya begini, sampai sekarang, masih banyak sekali kita temui orang yang hendak membeli air mineral berkata, “Bang beli Aqua botol donk 1!”. Saat si pedagang memberinya sebotol air mineral dengan merek B, si pembeli tersebut sama sekali tidak merasa terjadi “kesalahan”. Kenapa? Karena sebenarnya dia memang hanya ingin beli air mineral, dan secara sadar atau tidak, menganggap bahwa Aqua = air mineral, dan air mineral = merek apapun asal isinya air putih. Heheee! Lucu ya! Dan hal ini tidak hanya terjadi pada Aqua lho! Sebutlah Rinso (= detergent), Supermie (= mie instant), Chiki (=snack makanan ringan), dan masih banyak brand lain yang telah begitu melekat dengan jenis produk mereka.

Kalau dipikir-pikir, hebat ya! Saya pribadi merasa bahwa brand-brand tersebut telah menjadi brand yang sangat kuat dalam jenis produknya masing-masing (tentu perpektif yang bahas saat ini dengan mengenyampingkan merek menjadi generic dan hilang di pasar seperti Odol). Apakah semua brand bisa seperti itu? Apakah brand-brand yang lain mampu “mengalahkan” mereka? Jawabannya ya tentu saja mungkin! Asalkan sebuah brand dapat mencapai tingkatan yang sanagt kuat di target marketnya, saya yakin akan banyak “Aqua-Aqua” lain di pasar.


Lalu mungkin pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sebauh brand bisa menjadi begitu kuat di pasar? Daniel Surya, Country Director The Brand Union, pernah menyampaikan bahwa ada 3 tahapan yang bisa membuat brand kita menjadi powerful brand.

1. Visual Identity
Apa yang pertama konsumen ketahui dari produk yang kita miliki? Tentu saja adalah segala sesuatu yang dapat mereka lihat. Yah yang paling gampang mungkin nama brand itu sendiri, logo dan kemasan. Berusalah sekuat mungkin untuk membuat konsumen kita tertarik begitu melihat nama, logo dan kemasan produk kita, karena itu adalah hal pertama yang akan membuat mereka mengingat atau menyimpannya di benak mereka.

Nama yang bagus bukan berarti nama yang kebarat-baratan, bukan bearrti nama yang elegan dan sebagainya. Nama yang bagus adalah nama yang merepresentasikan produk yang dijual dan sesuai dengan target market yang dituju. Logo yang baik juga bukan berarti logo yang rumit, yang penuh filosofi berat yang justru memusingkan saat dilihat, tapi adalah logo yang juga merepresentasikan apa yang ingin ditanamkan melalui produk yang kita miliki. Kemasan yang bagus pun harus mampu menarik perhatian targert marketnya untuk setidaknya melirik atau tidak ragu untuk mengambilnya di rak display misalnya.

Intinya adalah, di tahapan visual identity ini kita harus memikirkan sebaik mungkin bentuk-bentuk visual yang mampu membuat target market kita merekam dengan jelas apa saja yang mereka lihat dari produk kita.

2. People Identity
Jika brand kita telah mampu memberikan visual identity yang tepat dan menarik di target market, berarti sudah waktunya kita bermain di tahapan selanjutnya untuk menjadi brand yang kuat di pasar. Di tahap people identity ini, yang “bermain” adalah orang-orang yang mewakili brand itu sendiri. Disini orang-orang yang berhadapan langsung maupun tidak langsung dengan konsumen harus mampu memberikan service yang terbaik bagi mereka. Memang pada intinya di tahapan ini service adalah segalanya. Memberikan konsumen kepuasan akan produk yang kita miliki merupakan hal terpenting yang akan mempertaruhkan keberhasilan kita untuk menjadi brand yang kuat.

Pernah lihat tulisan “Anda tidak puas, silakan hubungi kami. Anda puas, silakan hubungi teman-teman Anda.”. Itu tulisan yang sering saya lihat di warteg-warteg atau warung nasi yang dulu suak saya kunjungi semasa kuliah. See? Bahkan “sekelas” warteg dan warnas saja menyadari penuh bahwa kepuasan konsumen akan berdampak sangat besar bagi usahanya. Pernyataan besarnya adalah bahwa kepuasan bisa didapatkan dari pelayanan atau service yang baik dan maksimal yang mereka terima. Maka dari itu jangan pernah meremehkan service.

3. Mind Identity
Ok, tahapan visual identity sudah dapat terlewati dengan baik oleh brand kita. Tahapan people identity juga telah terpenuhi dengan sangat baik. Selamat, ini berarti brand kita layak untuk naik di tahap selanjutnya, tahap terakhir untuk menjadi powerful brand, yaitu mind identity. Disini, yang “bermain” bukan lagi kita atau produk kita, tapi justru konsumen itu sendiri. Setelah mereka melihat, tertarik dan mengingat produk kita, lalu kemudian mendapatkan kepuasan dari service yang kita berikan, secara otomatis mereka akan menyimpan brand kita tersebut di dalam benak mereka. Pencapaian tertinggi apa lagi dalam sebuah usaha branding jika bukan mencapai benak konsumen dengan sempurna?

Tertanamnya brand kita di benak konsumen akan memberikan banyak keuntungan bagi kita. Selain mungkin saja brand kita bisa menyamai fenomena Aqua, Rinso, Chiki dan lain-lain itu tadi di atas, hal ini juga memberikan peluang yang sangat besar dalam membentuk loyalitas konsumen terhadap produk adan brand kita tersebut. Kita memang harus berbicara tentang banyak factor lain jika berbicara mengenai peningkatan penjualan ataupun loyalitas. Namun brand yang mampu ada di tahapan ini sudah pasti akan mampu bertahan di tengah kondisi bisnis atau perekonomian seperti apapun.

Bagaimanapun juga brand yang kuat adalah impian dan tujuan dari semua pebisnis dari produk yang mereka miliki. Tidak sulit sebenarnya kan? Kita hanya perlu menghadapi 3 tahapan di atas. Ini hanyalah masalah komitmen! Komitmen semua pihak untuk mau bersama-sama melewati tahapan-tahapan itu denagn baik dan mencapai kesuksesan, menjadi powerful brand!

Marketing adalah Kepuasan Pelanggan

Pernah ada satu masa dimana saya, sebagai brand associate, merasa “stuck” dalam bekerjasama dengan perusahaan klien untuk memajukan bisnisnya. Jika sudah begitu, saya biasanya ‘berkonsultasi’ dengan salah seorang atasan saya di kantor (hehee…konsultan juga butuh konsultasi kadang-kadang!;p). Setelah mendengarkan cerita saya, dia berkata, “Untuk memahami dengan benar bagimana mengembangkan bisnis dan brand perusahan klien kamu, kamu harus benar-benar tahu dan paham dengan “ngolotok” (melekat dan mengerti sekali, Red.) dasar dari bisnis kita. Branding dan Marketing!”. Iya juga ya! Kadang saya melupakan hal-hal “kecil” yang ternyata “besar” seperti itu. Walaupun saya sudah ada di industry ini selama hampir dua tahun, tapi memang tidak ada salahnya (bahkan harus mungkin ya) saya membaca lagi apa itu marketing dan apa itu branding.

Ok, untuk langkah pertama, saya memutuskan untuk mencari-cari di rak perpustakaan kantor, dan saya pun menemukan dan mengambil buku berjudul “Marketing”. Baru membuka halaman satu, saya sudah disuguhkan kalimat “Pemasaran (marketing) adalah sebuah konsep ilmu dalam strategi bisnis yang bertujuan untuk mencapai kepuasan berkelanjutan bagi stakeholder (pelanggan, karyawan, pemegang saham)”. Hmmm…saya sangat tertarik sekali dengan pernyataan tersebut, karena diakui atau tidak, tidak hanya marketing tapi juga bisnis secara keseluruhan, tujuan akhirnya memang mengenai usaha memberikan kepuasan.

Well mungkin yang paling sering menjadi focus dan inti dari bisnis perusahaan adalah kepuasan pelanggan ya! Eits, para karyawan dan pemegang saham jangan “iri” dulu akh! Hehee…pemikirannya begini, saat pelanggan merasa puas, mereka akan berpotensi menjadi loyal terhadap produk atau jasa perusahaan kita kan? Itu artinya mereka akan melakukan pembelian ulang dan bahkan merekomendasikan kepada orang lain yang berpotensi terpuaskan juga dan melakukan hal yang sama. Artinya juga, brand equity akan terbentuk dengan kuat dan penjualan akan terus meningkat. Apa yang terjadi jika penjualan (dalam situasi normal dan seharusnya) meningkat? Ya pendapatan atau profit perusahaan akan meningkat pula. Ini artinya, ujungnya, “kesejahteraan” dan upaya memuaskan karyawam dan pemegang saham terjamin dengan aman!

Saya yakin semua marketer ataupun pebisnis secara umum sangat paham bagaimana memberikan kepuasan pelanggan tersebut. Pertanyaannya apakah semuanya tahu bagiamana cara mengukur kepuasan pelanggan tersebut? Jangan salah, peningkatan penjualan tidak bisa hanya dijadikan ukuran atau metode untuk mengukur apakah pelanggan kita puas atau tidak terhadap produk atau jasa perusahaan kita lho! Masih di buku yang sama (halaman yang berbeda tentunya), saya menemukan juga beberapa metode pengukuran kepuasan pelanggan yang terbagi menjadi 4 metode seperti ini :

1. Sistem Keluhan dan Saran
Terdengar sangat klasik memang, tapi metode ini memang sangat popular dan masih banyak diterapkan di berbagai perusahaan di seluruh dunia. Disini pelanggan diberikan ‘kebebasan’ bahkan saluran yang memudahkan mereka untuk menyampaikan keluhan yang mereka alami atau saran yang hendak mereka berikan pada perusahaan. Walaupun begitu ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menerapkan metode ini. Beberapa Restaurant seperti Bumbu Desa, menyediakan formulir kritik dan saran di meja kasir atau greeter atau lobby untuk pelanggan isi sendiri. Perusahaan sebesar Unilever pun selalu mencantumkan informasi penerimaan pertanyaan, keluhan dan saran di packaging produk-produknya, dimana selain lewat pos (PO BOX), pelanggan juga bisa menghubungi hotline center yang akan langsung melayani dan menjawab keluhan ataupun pertanyaan konsumen. Jangan pernah “takut” akan keluhan (bahkan kritik sekalipun) dan saran yang disampaikan pelanggan, karena jika perusahaan kamu adalah perusahaan yang memang berorientasi pelanggan, maka keluhan-keluhan dan saran yang masuk justru menjadi ide dan masukan yang sangat berharga untuk memperbaiki diri dan memajukan perusahaan itu sendiri. Lagipula, pelanggan yang ditindaklanjuti keluhan atau sarannya dengan baik, cenderung akan merasa sangat ‘tersanjung’ dan menghargai perusahaan lebih baik lagi.

2. Ghost Shopping
Jangan ngeri dulu membaca judulnya ya, apalagi mengartikan secara harfiah menjadi “Hantu Berbelanja”! (Hehe, serem amat!;p). Ghost shopping disini artinya metode yang digunakan oleh perusahaan dimana para pimpinan terutama para manajer terjun langsung ke lapangan (bisa toko, atau tempat lain sesuai dengan bisnis perusahaan dimana karyawan berhubungan dengan konsumen). Jadi manajer tersebut istilahnya berpura-pura atau menyamar sebagai konsumen dan berkunjung ke toko seolah-olah hendak membeli atau hanya melihat-lihat. Disini sang ghost shopper (manajer itu) merasakan sendiri bagaimana dilayani oleh karyawannya. Akan terlihat perilaku dan pelayanan yang sesungguhnya dari para karyawan dalam berinteraksi dan memperlakukan pelanggannya. Kunci utama dari metode ini adalah pastikan karyawan tidak mengetahui identitas ghost shopper tersebut! Biarkan mereka menganggap bahwa dia adalah pelanggan biasa, karena dengan begitu mereka akan bertindak sejujur-jujurnya dan tidak akan berpura-pura bersikap baik terhadap pelanggan. Dari situ manajemen dapat menilai sendiri apakah sebagai “pelanggan” dia terpuaskan atau tidak dengan layanan dan produk perusahaannya sendiri.

3. Lost Customer Analysis
Metode yang satu ini hanya bisa dilakukan oleh perusahaan yang memang memiliki data base para pelanggannya. Data base tersebut bisa didapat dengan berbagai cara, bisa dari guest book, member card, kartu garansi, dll. Yang pasti, data-data yang dimiliki oleh perusahaan tersebut lah yang akan dijadikan alat dan sumber untuk mengetahui sejauhmana aktivitas pembelian pelanggan terhadap produk atau jasa perusahaan. Jadi begini, sekarang ini kan banyak perusahaan yang mempunya system teknologi yang memungkinkan perusahaan untuk mempunyai draft atau data si pelanggan A melakukan transaksi kapan saja. Dari situ kita bisa lihat pelanggan mana saja kah yang telah terlalu lama tidak melakukan transaksi di perusahaan kita. Langkah selanjutnya yaitu menghubungi pelanggan tersebut (lebih efektif dan efisien dengan cara menelepon) dan menanyakan alasan mengapa mereka berhenti atau telah lama tidak bertransaksi di perusahaan kita. Dari jawaban-jawabannya itu kita bisa menjadikannya sebagai evaluasi untuk menindaklanjuti dan memperbaiki diri denagn harapan pelanggan yang telah “hilang” tersebut akan “kembali” dan mencegah terjadinya “Kehilangan” pelanggan yang masih ada di kemudian hari.

4. Survei Kepuasan Pelanggan
Nah kalau yang ini memang metode yang agak take cost, tapi metode ini juga yang memang paling valid dan paling legal. Kenapa? Karena survey memiliki target area dan responden yang spesifik dan sesuai dengan target market perusahaan untuk produk atau jasanya. Apalagi biasanya suvei dianggap valid dan mewakili jika memiliki minimal 100 responden. Dengan survey, perusahaan memang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (karena kuantiti responden dan cakupan area yang luas), tapi perusahaan juga akan bisa mendapat banyak sekali informasi yang ingin diketahui mengenai konsumennya. Dan karena survey ini berhadapan langsung dengan pelanggannya, maka data yang didapatpun hampir bisa dipastikan akurat (well, yeah…diluar kenyataan bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini ya! Hehee!;p). Percayalah bukan suatu kesia-sia-an melakukan survey kepuasan pelanggan yang memakan biaya tidak sedikit ini, karena walaupun kita bisa berdalih bahwa tiga metode lain di atas bisa mewakili, tapi data yang didapat melalui survey jauh lebih dipercaya oleh pihak luar. Apalagi jika survey dilakukan dan dikeluarkan hasilnya oleh biro riset terkenal seperti AC Nielsen. Whiiii…selain untuk kegunaan memperbaiki kinerja perusahaan, jika hasilnya bagus malah bisa mendongkrak nilai saham perusahaan di pasar segala lho!

Usaha memuaskan pelanggan memang harus terus dipantau dan diukur dengan kontinyu, karena sekarang ekspektasi pelanggan pun terus berkembang hari demi hari. Hanya perusahaan yang mampu memuaskan pelanggannya yang mampu bertahan di pertempuran bisnis sekarang ini. Bisnis, marketing dan sebagainya, tidak boleh melalaikan hal ini sedikitpun. Dan saya, memulai kembali pemahaman mengenai marketing dari poin ini!

Pengikut yang Disukai Pasar

Agak sulit memang menciptakan suatu produk atau jasa yang memang sama sekali belum ada di pasaran. Apa yang tidak ada sekarang ini? Jika pun mau, yang bisa kita lakukan adalah memodivfkasi produk atau jasa yang sudah ada menjadi sesuatu yang berbeda, yang mempunyai value tersendiri yang berbeda dibandingkan produk atau jasa yang telah ada tersebut. Tidak perlu takut disebut pengikut, toh memang kenyataannya kita tidak selalu bisa menjadi pioneer kan? Well, bukan tidak bisa mungkin ya bahasanya, tapi belum bisa! Hehee! Lagipula apa yang salah dengan menjadi follower?

Banyak yang berpikir menjadi follower adalah sebuah tindakan “memalukan”. Lho, dilihat dari sisi mana ya? Dimana-mana sudah hukum alam dimana ada gula disitu ada semut. Apa semut yang baru mencium ada gula lalu jadi malu dengan semut yang datang lebih dulu terus mengurungkan niat untuk datang dan menikmati manisnya gula tersebut? Rugi amat! Memang dinilai tidak kreatif sih itu pasti. Tapi kata siapa akh menjadi follower atau pengikut pasar tidak bisa kreatif? Justru kita bisa jauh lebih kreatif disbanding pioneer. Kenapa? Karena pengikut pasar dapat melihat atau mengawasi kemudian menganalisa terlebih dahulu.

Menjadi follower bukan berarti jadi pembajak lho ya! Yah walaupun Indonesia memang terkenal dengan barang bajakannya (owhh...malu saya!), tapi barang bajakan sama sekali berbeda dengan produk follower. Produk bajakan sih jelas-jelas meniru “plek-plek” tapi produk follower tidak begitu. Disiniiii nih, unsur “kreatif” menjadi pengikut pasar (follower) dibuktikan! Hehee!;p

Kreatifitas ini bisa dilihat dari strategi mana yang dijalankan atau dipilih oleh perusahaan yang menjadi pengikut pasar atau follower tersebut. Dari buku pemasaran strategic yang say abaca, secara garis besar terdapat empat strategi pengikut pasar yang bisa dipilih oleh perusahaan :

1. Imitation
Strategi ini, seperti namanya, memang meng-imitasi produk atau jasa yang sama namun dengan harga yang lebih murah. Cukup jelas lah yah, jadi si produk atau jasanya tuh sama persis…kelihatannya! Kenapa ‘kelihatannya’ ya karena pasti ada sisi tertentu yang berbeda. Tidak mungkin lah meniru sama persis! Kita bisa lihat contoh Starbuck vs Ngopi Doeloe. Secara produk, mereka sama-sama menjual kopi dan ambience menjadi life style bagi target marketnya. Sama-sama kopi kan kalau dilihat sih, tapi jelasss…rasanya berbeda! Ambience? Sama-sama menawarkan tempat yang santai dan cozy untuk konsumen berleha-leha, kongkow dengan sahabat atau pacar, plus dilengkapi fasilitas hot spot. Namun sebagai imitator, Ngopi Doeloe menawarkan harga yang jauh lebih murah dari Starbuck. Hal ini bisa dilakukan karena biaya produksi dan operasional yang dikeluarkan juga jauh lebih rendah, terlihat dari bahan baku produk dan promo yang diberikan ataupun branding yang dilakukan.. Di strategi ini tidak ada biaya riset atau pengembangan dan pemasaran yang tinggi. Disitulah makanya mereka bisa memberikan harga yang lebih rendah.

2. Adding Features
Kalau strategi ini arti harfiahnya kan menambah fitur, nah pengertiannya ya berarti perusahaan pengikut pasar membuat produk atau jasa yang sama dengan pioneer tapi memiliki kelebihan tersendiri yang akhirnya justru menjadi differensiasi antar produk tersebut dengan competitor. Contoh yang bisa kita ambil adalah Sony Erricson. Dia mengeluarkan produk HP yang mungkin secara tampilan atau fitur terlihat sama dengan HP yang diproduksi oleh brand lain. Namun dengan kreatifnya dia menambahkan fitur unik yang memang tidak dimiliki HP keluaran manapun, yaitu fitur bahasa Sunda atau Jawa! Terlihat lucu? Ya benar! Tapi tetap saja dia jadi memiliki nilai tambah dimata target marketnya. Di tengah isu pelestarian budaya Indonesia, dia jeli untuk mendiferensiasikan diri dengan yang lain.

3. Stripping Down
Nah strategi stripping down ini justru bertentangan dengan strategi di atas, disini justru pengikut pasar mengurangi atau menghilangkan beberapa fitur sehingga secara tampilan terlihat lebih sederhana dan secara cost menjadi lebih murah. Namun walaupun mengurangi fitur, bukan berarti kedua produk atau jasa itu menjadi terlihat berbeda, hanya “daleman”nya saja kok yang beda! Contohnya yaitu Blackberry vs Nexian. Kalau kita lihat secara sekilas, dua-duanya memiliki kesamaan bentuk dan fasilitas, namun jelas kita ketahui bahwa Nexian tidak memiliki fitur Messaging sesame pengguna seperti BBM (BlackBerry Message) seperti yang dipunyai Blackberry. Dari fitur-fitur lain juga banyak yang tidak dimiliki oleh Nexian. Namun apakah ini menjadikan Nexian tidak laku di pasaran? Hmmm…lihat saja sendiri seringkali stocknya kosong di toko karena habis disikat konsumen.

4. Flankin
Lain lagi dengan strategi yang satu ini. Flankin merupakan strategi yang berfokus untuk mengembangkan produk atau jasa yang lebih mengena dan dapat diterima oleh segmen pasar yang lebih kecil (kecil disini bisa berarti jumlah segmen). Uniknya, caranya bisa dengan menggunakan strategi no dua taupun no tiga (adding features atau stripping down). Sedikit membingungkan memang, lalu bedanya dimana? Bedanya hanya di segmen yang menjadi focus. Meng-grap komunitas biasanya menjadi pilihan strategi ini. Bisa dilihat dari hobi, pekerjaan, usia, bahkan sampai status, dll. Contohnya Esia. Di tengah pertempuran sengit dengan sesama CDMA, dia mengeluarkan produk Esia Hidayah. Strategi ini diambil untuk meng-grap komunitas muslim yang notabene merupakan jumlah mayoritas di Indonesia.

Semua strategi pengikut pasar di atas menjadi bukti bahwa menjadi pengikut atau follower bukan sesuatu yang harus dihindari, bahkan banyak yang justru jauh lebih sukses dibandingkan pioneer-nya kan?

Cara Menangani Komplain = Kategori Perusahaan

Hal yang paling mempengaruhi keputusan pembelian atau bahkan loyalitas pelanggan terhadap sebuah produk atau jasa bukan saja hanya tergantung pada kualitas produk atau jasa tersebut, tapi juga dari sisi service atau pelayanan yang perusahaan berikan pada pelanggan. Yeah, saya yakin kamu semua juga mengetahui dengan pasti hal ini, tapi percayalah, tidak semua perusahan mengerti dengan benar seberapa pentingnya memberikan kepuasan pelanggan dari berbagai sisi terutama dari sisi kualitas produk atau jasa dan service perusahaan kepada pelanggannya.

Perusahaan kebanyakan lebih focus pada kualitas produk; bagaimana produknya bisa sesuai dengan ekspektasi pelanggan, bagaimana bisa terus berinovasi, dan lain-lain, tapi seringkali mereka “mengabaikan” service atau pelayanan sebelum, saat ataupun sesudah pelanggan melakukan pembelian. Padahal percaya atau tidak complain mengenai service peringkatnya jauh lebih tinggi dari produk atau jasa itu sendiri.

Saya dan pasangan pernah mengunjungi sebuah tempat makan yang memang sudah cukup terkenal di Bandung. Nama dan lamanya tempat makan itu berdiri membuat kami tidak memiliki keraguan sedikit pun untuk makan disana. Kami pun duduk, memilih menu makanan dan minuman, kemudian memanggil server. Dia pun mempersilakan kami menunggu pesanan datang. Semua masih berjalan dengan baik sampai saat itu. Sepuluh menit…dua puluh menit…setengah jam dan hampir satu jam, pesanan kami belum kunjung datang! Huuff…! Saya pun coba menanyakan ke server yang berjaga dan dia berkata bahwa pesanan kami sedang dibuat. Selama itu hanya untuk membuat nasi gudeg dan nasi goreng?! At least minuman kami dulu lah sampai ke meja kami! Ok, let say dapur penuh oleh pesanan, tapi untuk tempat makan sebesar itu masa iya sih hanya punya beberapa koki? Bukankah skala restaurant harus sebanding dengan sumber daya dan fasilitas yang dimiliki oleh karyawan dalam hal ini koki? Saat makanan datang pun tidak selesai kekecewaan yang kami terima karena rasanya tidak memuaskan. Saat membayar tagihan, saya pun menyampaikan keluhan saya pada karyawannya, dan bukannya minta maaf, mereka malah beralasan macam-macam pada saya. Hiiiiihhh!! Nggak lagi-lagi deh saya makan di restaurant itu!

Saya tidak tahu apakah complain saya tersebut disampaikan pada managernya tau tidak, atau kalaupun disampaikan, apakah mereka berusaha memperbaiki kekuarang tersebut atau tidak. Bagi saya sudah cukup apa yang saya alami malam itu membuat saya tidak mau lagi makan disana dan bahkan sampai memberi tahu teman-teman saya untuk tidak mengunjungi tempat makan tersebut. (Hehee… you know bad things always be a great words of mouth!;p)

Well, disini sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah, saat perusahaan mengalami hal seperti itu, dikomplain oleh pelanggannya mengenai kualitas produk/ jasa dan atau service yang diterima saat pembelian, maka sesungguhnya perusahaan mempunyai beberapa pilihan yang bisa mereka pilih. Perusahaan bisa memilih akan ada dalam kategori perusahaan seperti apa dalam menghadapi complain pelanggan? Menurut Ben & Dale Midgley dalam bukunya Rethinking Customers in Selling, ada beberapa kategori yang bisa dipilih :

1. Perusahaan yang “kurang dari cukup”
Perusahaan dalam kategori ini menganggap complain pelanggan adalah angin lalu. Mereka tidak akan peduli dan menganggap bahwa semua itu tidak akan ada pengaruhnya bagi usaha mereka. Jadi saat kita menyampaikankomplain yang ada mereka iya-iya saja atau bahkan malah meengeluarkan berbagai macam alasan untuk membela diri. Boro-boro ditanggapi, didengar saja sudah untung! Hehee! Mau jadi apa ya perusahaan kategori begini di jaman selarang ini. Percayalah, mereka akan ditinggalkan oleh pelanggan dan perlahan-lahan “hancur”. Yah, itu sih memang “menghancurkan” diri sendiri ya sebenarnya.

2. Perusahaan yang “cukup”
Kalau perusahaan kategori ini, agak lumayan lah, walau tetap nggak bagus-bagus amat. Hehee! Jadi perusahaan tidak akan menanggapi kompalin kita kalau kita tidak ngotot menyampaikan komplainnya langsung ke manager operasional atau siapalah yang memiliki kewenangan tinggi dalam perusahaan tersebut. Kalau cuma complain sama pelayan atau customer service sih kemungkinannya kecil sekali untuk ditanggapi. Ke manager sekalipun, complain kita baru akan ditindaklanjuti dengan perbaikan jika kita rajin mengancam akan menyebarkannya di radio atau mengirim surat pembaca di Koran. Itu sekalipun belum tentu karena mereka lebih berpikir bahwa mungkin masalah ini tidak terlalu berdampak signifikan bagi si pelanggan itu sendiri.

3. Perusahaan yang “bagus”
Nah kalau yang ini memang akan mendengarkan dan menanggapi segala macam complain yang pelanggan sampaikan pada mereka dengan sangat baik. Tapi bicara tentang tidak lanjut atas complain tersebut? Nanti dulu! Heheee, aneh lagi ya!;p Iya, bagi perusahaan dengan kategori ini, tindak lanjut akan dilakukan jika mereka melihat situasinya memang perlu lebih dari sekedar kata “maaf” pada pelanggan tersebut. Jika masih bisa “diselesaikan” dengan misalnya mengganti makanan yang kita complain ada rambutnya, atau memberikan garansi lebih pada produk yang dibeli, maka mereka merasa itu cukup. Kecuali jika memang signifikan pengaruhnya, baru mereka tindak lanjuti. Prinsip kategori ini adalah pada dasarnya pelanggan hanya ingin diengar dan diperhatikan saja. Hmmm..!

4. Perusahan yang “sangat bagus”
Perusahaan model begini nih baru te-o-pe! Perusahaan tidak hanya selalu mendengarkan dan menanggapi setiap kompain, tapi juga langsung menindaklanjuti solusinya dengan segera. Tidak peduli sebesar atau sekecil apa complain yang pelanggan sampaikan, memperbaiki dan memberikan kepuasan pada pelanggan tersebut adalah hal yang selalu mereka junjung tinggi. Complainer diperlakukan dengan sangat baik oleh para karyawannya. Whiiiii…bagus banget kan! Perusahaan kategori ini justru menganggap setiap komplainm adalah feedback penting yang harus mereka perhatikan sebagai pembelajaran bagi seluruh karyawan dan perbaikan bagi usaha tersebut agar menjadi lebih baik lagi. Mereka sangat menyadari bahwa kepuasan pelanggan sangat penting bagi perkembangan perusahaan dan dapat mencegah word of mouth negative yang mudah sekali menyebar dan menghancurkan sebuha bisnis. Yeah, sayangnya di Indonesia, bahkan diseluruh duni sekalipun, perusahaan dengan kategori seperti ini masih sedikit sekali jumlahnya.

Nah, sekarang tinggal tentukan deh, perusahaan kamu mau berada di kategori yang mana? Atau bahkan kamu sudah bisa menilai bahwa perusahaan kamu sekarang ini masuk kategori mana? Heheee…u choose!

Kendalikan Mutu Jasa, Pelanggan pun di Tangan Anda!

Dulu, (dan mungkin masih sampai sekarang) orang-orang seringkali menganggap bahwa servis, jasa atau apapun istilahnya adalah sesuatu yang cenderung “abstrak”. Maksudnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan jasa terlalu “kabur” untuk dilihat, dinilai, diukur, dikendalikan, dan sebagainya. Benarkah? Tentu saja tidak kan! Segala sesuatu itu pasti ada jalan untuk mengukurnya, untuk menilainya, bahkan untuk mengendalikannya.

Saya mau cerita dulu ya! Saya dan teman-teman di kantor termasuk orang-orang yang sering sekali menggunakan taksi saat akan bertemu dengan klien atau keluar kantor untuk urusan apapun. Bisa tebak brand taksi apa yang menjadi favorite kami? Hehee…tidak perlu saya sebutkan mungkin ya, kita sebut saja taksi A ! Yang jelas, brand taksi A tersebut adalah pilihan pertama yang ada di benak kami setiap butuh taksi. Bukannya kami tidak tahu brand taksi yang lainnya, tapi karena kami sangat puas saat menggunakan taksi A. Mutu atau kualitas jasa yang mereka berikan sangat maksimal dan tidak tersaingi oleh brand taksi lain.

Salah satu rekan kerja saya malah bela-belain jadi waiting list menunggu armada taksi A yang seringkali penuh itu. Dia jadi anti dengan brand taksi lain bukan tanpa sebab. Dia merasakan sendiri kualitas atau mutu jasa yang diberikan brand taksi lain tidak memuaskannya dan malah seringkali membuatnya sebal. Saya pernah berbincang dengan supir taksi A tersebut dalam sebuah perjalanan. Saya mengajaknya berbincang mengenai per-taksi-an (hehee, bahasa yang lebih resminya apa ya?) di Bandung pada khususnya (yah, saya kan tinggal di Bandung jadi kalau bahas kota lain takut sotoy, lagian juga nanti Pak Supirnya tidak tahu apa2, terus mau ngobrol apa donk?;p). Beruntung saya mendapatkan Bapak supir yang cukup cerdas.

Beliau bercerita bahwa kesuksesan brand taksinya dalam memberikan kepuasan pada para penumpang salah satunya karena kualitas dan mutu pelayanan yang seluruh jajaran berikan. Wih, tanpa bermaksud mengecilkan profesinya, dalam hati saya sangat surprise beliau memiliki wawasan dan gaya berkomunikasi yang oke. Katanya, di perusahaannya, kualitas dan mutu pelayanan diciptakan dan dikendalikan dengan cukup ketat. “Di taksi yang lama juga memang ada peraturan atau standarnya Bu, tapi nggak ada pengawasan atau penindakan kalau melanggar. Nah di tempat yang sekarang (Taksi A) mah sebelumnya dapat training dulu cara buka pintu, cara ngobrol sama penumpang, bahkan sampai nyari rumah di kompleks gitu ada taktiknya. Pengawasannya ketat, kalau melanggar pasti dapat sangsi, makanya dari supirnya juga takut untuk melanggar. Hehee! Tapi jadinya bagus kan yah Bu!”. Ck…ck...ck…saya mendapatkan dua kekaguman pada saat itu. Kagum pada supir taksi tersebut dan juga pada perusahaan Taksi A.

Dari situ kita bisa lihat bahwa sesungguhnya, perusahaan jasa sekalipun dapat sangat mudah menciptakan dan mengendalikan kualitas atau mutunya. Dilihat-lihat lagi, sesungguhnya Taksi A memang telah berhasil menerapkan tiga langkah mengendalikan mutu perusahaan jasa seperti yang disampaikan oleh Kottler dan Keller seperti ini :

1. Berinvestasi dalam prosedur perekrutan dan pelatihan yang baik
Memiliki karyawan yang hebat sangat ditentukan oleh rangkaian proses yang berkesinambungan. Dimulai dari awal perekrutan, training awal hingga dinilai telah menjadi ahli, training atau pelatihan harus tetap dilakukan. Jadi jangan pernah berpikir manajer tidak memerlukan pelatihan lagi, karena bisnis berkembang sangat cepat. Tidak ada waktu untuk merasa puas, karena siapa yang mau mengembangkan dirinya berarti telah menghentikan perkembangan perusahaannya. Perekrutan yang tepat merupakan langkah mutlak yang harus dilakukan perusahaan, karena kita harus memastikan calon karyawan itu memiliki potensi untuk terus berkembang. Jadi bukan berarti fresh graduate tidak usah diterima, tapi justru harus kita ketahui apakah mereka memiliki kemampuan dan potensi untuk menjadi karyawan yang kompeten atau professional atau tidak. Pelatihan yang baik juga seharusnya akan membentuk karyawan menjadi individu yang kompeten dan profesional seperti yang diharapkan oleh perusahaan. Sebagai catatan akhir, harus dilakukan berkelanjutan ya pelatihannya.

2. Menetapkan standar proses pelaksanaan jasa di seluruh organisasi tersebut
Familiarnya sih istilahnya menetapkan SOP (Standard Operasional Procedur) ya! Iya, konsumen kan hanya tahu kalau misalnya mereka pesan jasa photography untuk Pre-Wed, mereka tinggal daftar, dapat konsep dari photographer, foto-foto, terima hasil, beres deh! Tapi sesungguhnya kan dalam perusahaan photograpy itu ada rangkaian proses untuk menghasilkan layanan yang memusakan tersebut. Tim harus berdiskusi menentukan tema foto, lokasi, kostum, gaya, dsb, lanjut survey ke lapangan, pemotretan, memilih foto-foto yang ok, meng-edit foto, baru memberikan hasil kepada konsumen tersebut. Semua rangkaian proses itu harus sudah ditentukan secara tertulis agar semua photographer dan timnya melakukan hal yang sama hingga hasil yang didapatkan juga sama baiknya. Intinya, semua proses harus memiliki standarisasi yang harus dipatuhi oleh seluruh elemen dalam perusahaan.

3. Memantau kepuasan pelanggan
Memberikan kepuasan pelanggan sudah menjadi tujuan utama setiap jenis bisnis apapun, termasuk perusahaan yang bergerak di bidang produk, jadi apalagi di bidang jasa bukan? Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengetahui dan sampai memantau kepuasan pelanggan? Hampir disemua perusahaan, kepuasan pelanggan seringkali dipantau dengan cara penerimaan keluhan dan saran atau kritik (bisa berupa kotak saran ataupun hotline center), bisa juga dengan melakukan riset kepuasan pelanggan langsung (ini sih jika memang punya budget lumayan!). Sebenarnya masih banyak cara yang bisa dikembangkan untuk bisa memantau kepuasan pelanggan, namun ya memang cara-cara di atas yang lebih familiar. Pada dasarnya, mengetahui kepuasan pelanggan dapat memberikan gambaran pada kita sejauh mana kita mampu menjadi perusahaan yang baik. Mengetahui apa yang bisa memberikan kepuasan tentu juga dapat menjadi dasar perusahaan untuk semakin memperbaikin diri dan mengembangkan perusahaannya.

Jadi, siapa bilang tidak mungkin mengendalikan kualitas atau mutu perusahaan? Memang tidak mudah, tapi tidak ada hal yang menjadi terlalu sulit ataupun terlalu mudah dalam dunia bisnis bukan? Heheee! Ya ini masalah pilihan mungkin ya! Seperti cerita saya di awal tadi, jika brand-brand taksi lain ingin bisa seperti taksi A tersebut, ya kejar donk kualitas dan mutu yang sama. Ya nggak? =)

Tak Ada Komunikasi Tanpa Seleksi

Pasti kita semua menjumpai atau dibombardir oleh ratusan bahkan ribuan iklan setiap harinya, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali (lebih parah kalau mimpi kita juga ada iklannya! Hehee!). Pertanyaannya adalah, seberapa banyak iklan yang masih bisa kita ingat di penguhujung hari? Sepuluh? Lima? Satu? Atau bahkan tidak ada sama sekali? Hehee…taruhan ya, kalaupun ingat banyak, belum tentu kita ingat betul pesan yang dikomunikasikan oleh iklan tersebut!

Ever wonder why para agency atau advertiser itu harus menyisihkan waktu khusus untuk memikirkan dan mendiskusikan bahkan sampai berdebat saat merumuskan komunikasi yang akan disampaikan kepada target? Bukan alasan sesuai keinginan klien atau agar memenangkan pariwara award semata tentunya (yah walaupun kadang jadi pertimbangan juga! Hehee!), tapi lebih pada pemikiran komunikasi seperti apakah yang tepat bagi target market dan komunikasi macam apakah yang dapat berkesan hingga diingat oleh target market dalam waktu yang panjang? Percayalah itu bukan hal yang mudah untuk dipecahkan!

Ini bukan karena para agency atau advertiser itu yang oon atau kurang ahli dalam “berkomunikasi”, tapi berbagai faktor jelas mempengaruhi proses komunikasi antara iklan atau pesan yang kita sampaikan dengan target market. Terlebih lagi menurut Kotler dan Keller, dalam proses komunikasi yang dilakukan, terjadi beberapa seleksi yang cukup selektif di komunikan kita, diantaranya adalah :

1. Perhatian yang selektif (selective attention)
Seperti yang tadi sempat saya sebut di awal, setiap orang dibanjiri ribuan iklan baik dengan atau tanpa mereka sadari, dari yang memang “niat” beriklan atau hanya sekedar “mejeng” begitu saja. Bisa bayangkan betapa “ramainya” pesan-pesan itu berebut berlomba untuk dapat menarik perhatian audiens? Saking “ramainya”, hanya pesan-pesan yang dianggap berbeda, unik, nyeleneh atau menyentuh yang “mau” audiens perhatikan.

Jangan lupa, media, penempatan atau space pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi itu sendiri juga sangat berperan penting dalam menarik perhatian audiens. Lihat saja, memangnya kita bisa “santay” dan nyaman saat membaca iklan di rubric advertising yang penuh dengan iklan yang saling berlomba menjadi menonjol? Hal ini disebabkan karena audiens melalui proses perhatian yang selektif itu dalam dirinya. Mereka akan sangat selektif dalam menentukan pesan mana yan menarik perhatian mereka di tengah berbagai komunikasi yang mereka dera. Ini artinya, komunikatorlah yang harus pintar dalam menarik perhatian mereka!

2. Penyimpangan selektif (selective distortion)
Ok, komunikasi berjalan baik di awal, pesan menarik perhatian dan dapat diterima oleh audiens, lalu apakah semuanya sudah pasti berjalan lancar? Belum tentu!n Heheee, masih ada proses seleksi lain, bos! Selayaknya manusia yang memiliki “fitrah” mengikuti apa yang diyakininya, maka hal tersebut juga berlaku saat mereka menjalani proses komunikasi. Mereka cenderung bahkan hampir selalu menggunakan keyakinannya dalam mendengarkan pesan yang disampaikan pada mereka. Simple-nya begini deh, keterbatasan manusia dalam menangkap pesan atau makna yang terkandung dalam komunikasi seringkali membuat mereka “semau gw”. Eh, tidak cukup simple untuk menjelaskan ya?

Jadi gini, dalam diri manusia pasti adaaaa saja sisi ‘lebay’ dan ‘bloon’-nya. Iya kan? (Saya sih enggak! Hehee!). Saat mereka menerima satu pesan, mereka belum tentu menangkap sepenuhnya makna yang sesungguhnya. Hal ini membuat mereka seringkali jadi menambahkan pesan atau makna tersebut sesuai keyakinan mereka, dan justru sering juga melupakan atau mengurangi pesan atau makna yang sebenarnya ada dalam pesan yang mereka terima. Mending kalau yang ditambahkan itu yang bagus dan yang dikurangi itu yang jelek, lha kalau sebaliknya? Cilaka dua belas!=D Makanya disini tugas komunikator untuk membuat dan menyampaikan pesan yang simple namun jelas hingga maknanya diterima secara penuh oleh audiens.

3. Ingatan selective (selective retention)
Jangan berharap audiens akan mengingat dalam waktu yang panjang pesan yang kita sampaikan pada mereka sekalipun 2 tahapan seleksi di atas sudah terlewati dengan mulus. Manusia memang mempunyai jutaan sel pengingat dalam otaknya, tapi mengharapkan ada pesan yang kita sampaikan diantara jutaan pesan yang masuk nampak memerlukan usaha yang lebih kuat lagi. Bayangkan lagi, iklan atau komunikasi kita itu mampu tidak mengalahkan tugas-tugas yang diberikan bos mereka di kantor dan harus selesai malam itu juga, mengalahkan kata-kata cinta dari kekasih mereka yang selalu berputar dan terngiang-ngiang, sedangkan pesan kita??

Heheee…jangan pesimis dulu ah! Rumusnya ada di sikap awal audiens dalam menerima pesan kita kok! Jadi kalau di awal mereka menangkap pesan kita dengan positif, belum lagi argument-argumen pendukungnya terus berulang dalam benak mereka, maka saya sih bisa bilang mereka akan menerima dan mengingat pesan tersebut dalam benak dan ingatannya. Eits, tapi bukan berarti kalau sikap awalnya negative dan kemudian menolak pesan yang kita sampaikan, maka pesan tersebut akan hilang dan percuma begitu saja. Percaya atau tidak, mereka akan teta[ menyimpan pesan tersebut diingatannya dalam waktu yang lama, cuma nggak “nongol” saja kali ya! Heheee! Nah kalau untuk yang satu ini sih komunikator memang harus berjuang hebat dan pasrah. Berjuang agar pesanpositif didapat, dan pasrah karena hal ini sangat tergantung dari individu setiap audiens.

Proses ini tidak hanya berlaku dalam proses komunikasi iklan terhadap target marketnya, tapi juga berlaku dalam seluruh proses komunikasi yang kita lakukan. Maka dari itu, sebelum melakukan proses komuniukasi, ada baiknya kita menyiapkan pesan yang mampu melewati proses seleksi di atas dengan mulussss.

Pintu darurat menghadapi perang harga

Kondisi perekonomian yang kiat tidak menentu banyak mempengaruhi pola pemasaran suatu produk. Hal perekonomian tersebut cukup signifikan dalam mempengaruhi daya beli para konsumen. Apa dampak dari menurunnya daya beli tersebut? Tentu saja preferensi konsumen terhadap produk dengan harga murah lebih tinggi dibandingkan dengan produk dengan kualitas tinggi. Kecenderungan pergeseran ini tidak hanya terjadi pada segmen konsumen menengah hingga menengah bawah, tetapi juga pada konsumen menengah atas.

Di awal abad 21, sebelum terjadinya krisis global, produk dengan kualitas tinggi, mewah dan premium menjadi tonggak perusahaan mengeruk keuntungan. Tetapi dalam kondisi perekonomian dunia yang sedang bergejolak, harga menjadi salah satu elemen pertimbangan yang kuat dalam keputusan pembelian konsumen.

Apa yang harus kita lakukan sekarang dalam menghadapi kondisi tersebut? Apakah brand yang selama ini dibangun dan menawarkan value yang begitu tinggi bagi konsumen harus kita korbankan demi menyelamatkan angka penjualan? Bagaimana dengan para customer yang lambat laun berpindah karena tidak mampu lagi membeli produk kita? Atau bahkan begitu banyak penawaran produk lain yang memiliki harga yang lebih rendah. Kondisi demikian menuntut kita untuk melakukan langkah strategis, untuk tetap survive dengan melakukan penjualan.

Opsi strategi pertama yang paling mudah untuk dilakukan adalah menurunkan harga! Hal ini merupakan langkah yang paling menggiurkan untuk dilakukan para pelaku bisnis. Tetapi apakah ini yang terbaik? Anda perlu mempertimbangkan mengenai value dari brand Anda yang akan jatuh begitu Anda tergiur untuk menurunkan harga. Sudah siapkah Anda untuk kehilangan begitu saja dampak pembangunan brand yang selama ini telah Anda lakukan? Sepertinya dampak buruk dari penurunan harga ini tidak hanya pada brand Anda dalam jangka panjang, tetapi juga pada profit Anda dalam jangka pendek.

Pikirkan kembali dan pertimbangkan opsi kedua, yaitu bertahan. Banyak pelaku bisnis juga yang melakukan hal ini, yaitu bertahan dan berharap kondisi akan semakin baik. Rasanya boleh-boleh saja Anda berharap, tetapi pelajari dan cermati kembali perilaku perekonomian dalam beberapa tahun terakhir dan pikirkanlah apakah kondisi akan kembali stabil? Salah satu kutipan favorit saya sekarang adalah Dinamic is the new static; kutipan ini menggambar bahwa kini masa telah berubah, di mana kondisi perekonomian yang stabil sekarang ini adalah perubahan yang terus-menerus, dapat diartikan bahwa akan sangat sulit lagi menemukan suatu kondisi stabil seperti era perekenomian terdahulu. Perkembangan dunia informasi menjadi salah satu sumber dinamisme dunia, dan Anda selayaknya tidak membohongi diri sendiri bahwa semuanya akan kembali tenang seperti dulu.

Lalu strategi apalagi yang bisa kita lakukan? Pintu darurat menghadapi hal ini adalah penciptaan Fighting Brand. Tentu Anda pernah mendengarnya, yaitu mengeluarkan produk dengan brand lain yang menggarap pasar/segmentasi di bawah segmen produk Anda sendiri. Strategi ini menjawab kebutuhan perusahaan untuk tetap memiliki pendapatan yang signifikan dari kebutuhan para konsumen yaitu produk dengan harga yang lebih murah, tetapi di sisi lain juga menyelamatkan brand utama Anda. Pada awalnya strategi fighting brand sering digunakan berbagai perusahaan untuk menambah pendapatan mereka atau untuk memerangi pesaing yang menggarap segmen yang lebih rendah. Tetapi dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu seperti sekarang ini fighting brand juga dapat digunakan sebagai pintu darurat Anda menghasilkan penjualan dalam jangka pendek. Fighting brand Anda dapat menjadi alternative konsumen Anda membeli produk dengan harga yang lebih murah, tetapi Anda tetap mendapatkan keuntungan tersebut, dibandingkan konsumen Anda membeli dari pesaing Anda. Dan melalui kondisi perekonomian yang tidak menentu, konsumen bisa memiliki fluktuasi daya beli, di mana di saat daya beli mereka kembali normal, mereka dapat kembali mencari produk Anda karena brand produk utama Anda tetap terjaga.

Tetapi jangan terjebak dengan fenomena yang ditimbulkan dengan adanya fighting brand. Salah satu hal yang dapat menjadi dampak buruk dan perlu Anda perhatikan adalah dampak Kanibalisasi antara produk fighting brand Anda dengan produk utama Anda.

KANIBALISASI
Produk fighting brand Anda harus dapat dipastikan memiliki value, diferensiasi dan fitur yang berbeda dari produk utama Anda. Apabila produk fighting brand Anda memiliki difrensiasi dan fitur yang serupa, bias-bisa memakan produk utama Anda, karena produk fighting brand memiliki harga yang lebih rendah.

Hal serupa dialami oleh Kodak di tahun 1994. Pada periode sebelumnya Kodak merupakan market leader di bidang penjualan film foto dengan merk Gold Plus film. Di periode tersebut Fuji berhasil mengambil market share Kodak dengan menjual produk mereka Fujicolor Super G Film dengan harga 20% lebih rendah. Hal ini memancing Kodak untuk menggunakan strategi fighting brand dan mengeluarkan produk dengan merk Funtime yang dijual dengan harga sama dengan Fujicolor super G Film. Untuk menghindari kanibalisasi antar produk, Funtime diproduksi menggunakan formula bahan baku yang berbeda dari Gold Plus film sehingga secara signifikan memiliki perbedaan dari segi kualitas produk. Tetapi hal yang menjadi kesalahan strategi tersebut adalah perbedaan yang perusahaan rasa telah signifikan tidak dapat dirasakan oleh konsumen. Konsumen tidak mampu membedakan secara signifikan perbedaan kualitas dari Gold Plus Film dengan Funtime. Dampaknya adalah penjualan Funtime memakan lebih banyak konsumen Gold Plus film sendiri dibandingkan konsumen Fuji. Pelajaran berharga dari kasus ini adalah perusahaan harus menyeimbangkan antara low price dengan low perceived quality dan memastikan konsumen mengetahui hal tersebut dengan baik.

Contoh lainnya mengenai strategi Fighting brand adalah yang dilakukan oleh P&G pada produk kategori popok di tahun 1980an. P&G pada saat itu memiliki 2 merk di kategori popok yaitu Pampers sebagai market leader, dan di urutan ke-3 merk Luvs. Tetapi dengan pertumbuhan private label di dalam industri popok kian bertumbuh hingga menguasai market share sebanyak 20%, hampir tidak masuk akal memelihara 2 brand sekaligus. Hal ini berkaitan dengan investasi besar yang harus ditanamkan dalam memelihara 2 brand dengan perceived quality yang juga serupa, karena menggarap segmen yang sama. Maka P&G memutuskan untuk mengatur kembali strategi brand mereka dengan menurunkan segmen Luvs, dan memposisikannya sebagai fighting brand dari Pampers. Strategi tersebut dilakukan dengan turut menurunkan harga Luvs hingga 16%. Sejalan dengan antisipasi kanibalisasi antar produk, P&G mengurangi value dari brand Luvs dengan memangkas investasi R&D yang sebelumnya dilakukan. Berbeda jauh dengan Pampers yang diposisikan memiliki perceived quality lebih baik, R&D menjadi focus utama pengembangan brand. Pemotongan biaya juga dilakukan dari segi advertising dan promotions; melalui berbagai perbedaan yang signifikan dalam aktivitas pembangunan brand mempengaruhi perceived quality yang diterima oleh konsumen. Berbeda dengan kasus Kodak yang gagal mengantisipasi kanibalisasi, produk Luvs dan Pampers menggarap segmen yang sama sekali berbeda.

Bisnis Unpolular yang Menggiurkan

Banyak dari teman-teman saya yang memutuskan untuk berbisnis membuka suatu usaha. Macam-macam jenis usaha yang mereka geluti, mulai dari bisnis distro, aksesories perempuan, out bond, sampai catering. Senang sekali rasanya melihat mereka begitu semangat, tekun dan ulet dalam mengembangkan bisnisnya. Banyak dari mereka yang sukses tapi banyak juga yang terpaksa harus gulung tikar dan menghentikan bisnisnya. Sayang ya! Tapi itulah bisnis! Kemauan dan minat saja tidak cukup untuk membekali amunisi kita dalam “berperang” di dunia bisnis. Ada banyak hal yang harus kita pikirkan bahkan sebelum kita memutuskan bisnis apa yang akan kita geluti.

Memang menyenangkan melihat bisnis popular yang bisa begitu mudah dan banyak menghasilkan keuntungan, tapi apakah bisnis seperti itu worthed untuk kita masuki? Salah-salah jika kita tidak “kuat”, maka belum apa-apa kita akan terlibas oleh para pebisnis yang sudah eksis atau bahkan telah merajai bisnis tersebut terlebih dahulu.

Saya pernah membaca sebuah ulasan mengenai bisnis-bisnis unpopular yang justru menjadi bisnis yang sangat menjanjikan bagi para pelakunya. Ada dua orang yang berkolaborasi membangun bisnis sejenis Emergency 911 di Indonesia. Jadi bisnis mereka merupakan jasa layanan pertolongan pertama selama 24 jam sehari atau 7 hari seminggu. Duo sekawan ini sangat jeli melihat situasi di Indonesia yang sangat minim akan layanan kesehatan yang tanggap dan tepat. Mereka menilai bahwa ini bisa jadi peluang bagi mereka untuk membuka bisnis seperti Emergenmcy 911 dan menjadi yang pertama di Indonesia. Tidak perlu malu untuk mengadopsi secara penuh bisnis di negara lain jika memang benar-benar kita nilai Indonesia mempunyai pasar yang kebetulan belum tergarap oleh pebisnis lain. Hasilnya? Jelas mereka menuai keberhasilan sedikit demi sedikit hingga khirnya kini mereka mempunyai jumlah member yang sangat banyak, bahkan di luar ekspektasi mereka berdua.

Apa yang bisa kita ambil dari cerita sukses dua orang tersebut?

1. Lihat peluang
Bisnis yang telah terbukti menuai sukses di pasaran memang terlihat lebih bersinar dimata pebisnis pemula manapun, tapi jangan pernah membutakan mata dari situasi yang ada di sekitar kita. Peluang bisnis ada dimana saja. Kesulitan kita mendapatkan suatu produk atau layanan jasa bisa menjadi peluang yang besar untuk kita masuki. Seperti cerita bisnis emergency medic di atas yang diilhami karena para pendirinya memiliki pengalaman buruk tentang pelayanan kesehatan di Indonesia. Mereka lalu berpikir bahwa itu berarti tidak ada instansi atau perusahaan manapun yang menyediakan layanan kesehatan sesigap dan secepat yang mereka harapkan. Disini terlihat bahwa kejadian yang mereka alami justru membuat mereka dapat melihat peluang bisnis yang justru belum “terlihat” oleh pebisnis lain.

2. Ciptakan Kebutuhan
Mendirikan bisnis yang unpopular atau bahkan baru sama sekali bukanlah hal yang mudah memang. Meyakinkan target market bahwa mereka memang membutuhkan produk atau jasa yang kita miliki tentu lebih sulit daripada “merayu” orang pada bisnis yang memang orang sudah tahu. Disinilah kita harus mulai ”menciptakan kebutuhan” pada target market. Sesungguhnaya mereka kan memang butruh lho, tapi disini mungkin mereka tidak “aware” atau tidak sadar mereka butuh. Strategy komunikasi yang tepat dan mengena langsung ke target market menjadi kunci utama mereka akhirnya sadar bahwa mereka memang memerlukan produk atau jasa kita.

3. Fokus
Setelah target market merasa butuh, langkah selanjutnya adalah focus. Fokus disini harus diterapkan dari berbagai sisi. Pertama, focus pada kategori bisnis yang kita “ciptakan” tersebut. Jangan mentang-mentang berhasil menciptakan kebutuhan A, lalu kita langsung memciptakan kebutuhan yang lain sehingga yang A tidak terlalu maksimal.! Kedua, fokus pada target market yang sesuai untuk produk atau jasa yang kita miliki. Kalau memang cocoknya untuk kalangan menengah-bawah, cobalah untuk tidak dulu iseng-iseng meng-grap menengah-atas. Buat target market merasa bahwa produk atau jasa kita memang special buat mereka dan mereka terperhatikan dengan maksimal pula. Ketiga, focus pada inovasi. Inovasi disini maksudnya adalah bagaimana kita semaksimal mungkin terus membuat produk atau jasa kita dapat memberikan kepuasan yang maksimal juga kepada target market kita. Sebagai produk atau jasa “baru”, maka pasti akan sangat dibutuhkan berbagai macam penyempurnaan. Make a perfect products or service!

Tidak mudah kan memiliki sebuah bisnis apalagi bisnis yang unpopular atau “baru”, tapi kalau memang kita tekun dan niat untuk membangun bisnis itu, kesuksesan sudah di depan mata. Kebanggan dan prestise tersendiri juga kan kalau kita dianggap pioneer di kategori bisnis tersebut? Heheee! However, business is so complicated but fun to be find out!

Aug 10, 2009

Competitive Advantage? Do you have it?

Posisi manapun Anda dalam sebuah organisasi bisnis, menuntut Anda untuk selalu memberikan ide/aksi untuk mengembangkan perusahaan. Terlebih jika Anda berada dalam posisi Top Management atau pemilik bisnis itu sendiri. Bisa jadi setiap harinya Anda terjebak dalam rutinitas; memikirkan kinerja tim Anda yang semakin menurun atau pusing memikirkan perputaran uang Anda. Itulah mengapa dalam sebuah organisasi bisnis dibutuhkan adanya pembagian fokus kerja, agar setiap fungsi yang wajib dijalankan, dapat berjalan dengan baik.

Bagaimana dengan perusahaan kecil? Extra effort yang Anda butuhkan! Sesibuk-sibuknya Anda dalam menjalankan bisnis Anda, jangan lupa untuk selalu mengambil langkah maju. Hal ini sangat penting untuk memastikan bisnis Anda selalu berkembang. Apa bedanya kita orang yang memiliki pengalaman dan fasilitas untuk maju, dibandingkan dengan penjual Mie Arang yang sering saya makan dari saya kecil? Karena kita punya kesempatan dan pemikiran untuk maju, sedangkan mereka belum. Dari waktu kecil saya sering ke sana, hingga sekarang kios mereka memiliki bentuk yang sama percis; menu merekapun demikian, dan jumlah porsi yang mereka masak pun sama; walaupun seringkali baru jam 6 sore saja mereka sudah tutup karena habis, padahal masih banyak tamu yang ingin makan. Saya rasa Anda cukup dapat berfikir bukan untuk tidak menjejakan kaki di tempat yang sama selama bertahun-tahun, atau bahkan berpuluh-puluh tahun?!

Extra effort yang Anda butuhkan adalah dengan sesering mungkin kembali memikirkan apa advantage yang Anda miliki? Di tengah persaingan yang ganas dalam memperebutkan market bersama para competitor, advantage diperlukan untuk unggul dibandingkan pesaing. Advantage sebuah bisnis beragam dan pada dasarnya dikategorikan menjadi 2 jenis :

A. Comparative advantage
Merupakan keunggulan-keunggulan yang kita miliki tanpa memerlukan extra effort, atau bahasa alami nya “sudah ada dari sono nya”. Seperti misalnya Telkomsel memiliki jaringan yang begitu luas dibandingkan dengan pesaingnya, hal ini merupakan comparative advantage dari Telkomsel. Tentu saja demikian, karena jaringan Telkomsel bergabung bersama dengan Telkom yang memiliki jaringan skala nasional.

Contoh lainnya adalah Haagen Dazs, sebuah merk es krim asal New York yang sudah membuka market nya di Indonesia melalui Franchisor dari HongKong dan Jepang. Berbicara mengenai pemasarannya di Indonesia, Haagen Dazs merupakan kategori es krim dengan produk yang sangat unggul. Bagaimana tidak? Dalam filosofi produk mereka, bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan es krim mereka merupakan bahan-bahan terbaik dari seluruh dunia. Hal ini bagi pemasaran produk Haagen Dasz di Indonesia menjadi comparative advantage, karena “udah dari sono nya produknya bagus”, dan hal ini menjadikan rasa dari produk Haagen Dazs ini unggul dibandingkan produk merk lainnya.

B. Competitive advantage
Competitive advantage berbeda dengan comparative. Apabila comparative adalah advantage yang “sudah ada dari sono nya”, competitive advantage adalah advantage yang kita ciptakan sendiri. Hal ini diperlukan, karena di tengah perkembangan dunia sekarang ini, siapa saja bisa menjadi pesaing kita dan memiliki comparative advantage yang sama atau bahkan lebih unggul. Competitive advantage ini juga dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan customer yang sebenarnya, karena pada konteksnya, tidak semua customer ternyata membutuhkan comparative advantage yang kita miliki. Contohnya saja dari kasus Haagen Dazs tadi, apakah masyarakat Indonesia membutuhkan rasa yang enak untuk sebuah es krim? Jawabannya tidak kan, hanya segmen market tertentu saja yang masuk ke dalam penggarapan comparative advantage mereka; sedangkan sebagian besar masyarakat Indonesia memilih es krim yang murah, walaupun rasanya tidak seenak Haagen Dazs (bisa jadi nyoba aja belum yah..)

Competitive advantage ini adalah yang harus dicari, dibangun dan dikomunikasikan kepada customer. Tentunya dalam menentukan apa competitive advantage bisnis Anda, tidak bisa sembarangan, harus sesuai baik dengan customer yang Anda layani maupun dengan kapabilitas Anda sendiri.

3 Steps to found and decide what is your competitive advantage.

1. Do market research!
Mengetahui apa yang diinginkan customer menjadi informasi mutlak yang harus dimiliki untuk kemudian dijadikan materi pertimbangan mengenai competivite advantage Anda. Market research yang dilakukan kepada para customer kita dapat menjawab pertanyaan kita mengenai apa yang customer inginkan, apa yang customer butuhkan dan apa yang customer ekspektasikan.

Selain mengetahui tentang customer, penting juga dalam market research untuk mengobservasi Competitor. Untuk mengetahui comparative dan competitive advantage apa saja yang competitor miliki. Tentunya kita harus berbeda atau bahkan lebih unggul dari yang mereka miliki.

Begitu pula dengan perlunya mencari tahu kondisi market dari sisi industri. Competitive advantage yang kita tentukan perlu dicari tahu apakah memungkinkan dilaksanakan dalan industri terkait, atau bahkan terdapat elemen-elemen penghambat yang berpengaruh.

Contoh dari hal tersebut adalah pada saat sebuah perusahaan Forex Trading ingin menciptakan competitive advantage mereka melalui pengadaan kantor cabang yang tersebar luas di Indonesia. Hal ini tidak dapat dilakukan karena adanya kondisi industri yang tidak memungkinkan, yaitu berupa peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa sebuah perusahaan Forex Trading tidak diberkenankan membuka cabang lebih dari 5 cabang. Hal-hal seperti ini tentu dapat menggagalkan ide competitive advantage Anda.

2. Study your internal advantage
Mau sehebat apapun ide Anda, kalau tidak memiliki kapasitas melakukannya tentu tidak akan terwujud. Maka yang penting Anda lakukan adalah melakukan studi ke internal perusahaan Anda sendiri bagaimana kondisi di dalamnya, dari segi kompetensi produk, proses atau bahan SDM yang Anda miliki. Cukup banyak mereka yang menentukan competitive advantage justru dari keunggulan yang mereka sadari mereka miliki di internal bisnis mereka.

3. Check the advantage lifetime
Setelah Anda menemukannya, langkah terakhir yang perlu Anda ricek adalah perihal lifetime yang dimiliki oleh advantage tersebut. Pastikan lifetime yang dimiliki cukup lama, sehingga effort Anda untuk membangun diferensiasi dan mengkomunikasikannya kepada customer tidak menjadi sia-sia. Competitive advantage yang Anda bangun selayaknya menjadi ciri khas, diferensiasi dan tercemin dalam positioning yang Anda komunikasikan.

Penetration through Network

Menurut Anda melalui apakah cara paling ampuh kita memperkenalkan atau membuat para target market mau mencoba produk kita? beberapa dekade terakhir, TVC menjadi salah senjata yang cukup ampuh digunakan untuk memperkenalkan produk, tetapi apakah melalui media yang bernilai sangat tinggi tersebut para target market mau mencoba menggunakan produk atau bahkan loyal terhadap produk kita?

Seperti kita ketahui media yang kita pilih memiliki fungsi dan impact yang berbeda-beda. Tetapi ada satu cara untuk meng”grab” market dengan biaya yang tidak besar, tetapi dapat digunakan oleh setiap produk. Cara inilah yang selalu menjadi agenda kerja kami untuk mengembangkan brand-brand klien kami, walaupun dengan budget yang terbatas.

Cara tersebut kita sebut saja dengan Penetration through Network. Cara ini dilakukan dengan memanfaatkan network yang sudah ada. Definisi network yang dimaksud disini tidaklah kompleks, tidak seperti network bisnis ataupun jaringan sistem IT di sebuah kantor yang rumit. Network ada di sekeliling kita dan selalu ada di setiap aspek kehidupan manusia. Itulah mengapa strategi Penetration through Network dapat digunakan di setiap jenis produk dengan segmentasi mana saja. Latar belakang pemikiran ini berdasar pada prinsip bahwa tidak ada manusia yang hidup sendirian, di mana setiap individu pasti memiliki lingkungan dan intinya adalah bagaimana cara kita memanfaatkan situasi tersebut.

Agar anda lebih terbayang dengan apa yang dimaksud dengan Penetration through Network, saya akan bercerita sedikit mengenai strategi yang sama yang digunakan oleh IBM di masa awal persaingannya dengan raja teknologi dan kualitas : Apple. Pada saat itu, IBM melihat bahwa prospek India dan kualitas Sumber Daya (terutama manusia) yang ada di sana sangat tinggi, terutama dalam hal teknologi. Pada akhirnya IBM memberikan support banyak perangkat hardware kepada berbagai perusahaan besar di India untuk mendukung kegiatan operasional dan bisnis mereka.

Hal ini disambut baik oleh para pelaku bisnis di India, karena pada saat itu India merupakan Negara yang cenderung miskin dan teknologi menjadi perangkat yang sangat mahal. Program support dari IBM inilah yang menciptakan suatu keterikatan yang tinggi baik karena faktor telah mengalami produk atau “rasa terima kasih”. Pada masa itu para pekerja profesional dari India sering bekerja di berbagai Negara, termasuk di Amerika; dan ketergantungan mereka terhadap IBM begitu tinggi (atau karena tidak dapat mengoperasikan yang lainnya) sehingga tempat dimana mereka bekerja harus menyesuaikan perangkat yang dapat mereka operasikan, yaitu IBM.

Contoh kasus tersebut merupakan salah satu strategi Penetration through Network yang dilakukan secara global, melibatkan Negara tertentu. Penetration through Network tidak hanya dapat dimanfaatkan dalam skala luas, tetapi juga pada produk/bisnis skala lokal sekalipun. Sebut saja beberapa pemain baru provider yang masuk ke pasar melalui strategi Penetration through Network. Salah satunya adalah Axis yang menggarap network para umat muslim. Melalui produknya, Axis berharap dapat mempengaruhi jaringan tersebut untuk lebih “mengirit” dalam berkomunikasi satu sama lain.

Strategi Penetration through Network tidak hanya dilakukan oleh pemain baru, tetapi juga pemain lama seperti Esia di kategori CDMA. Esia dapat dikatakan merupakan provider yang paling “rajin” memanfaatkan jaringan yang sudah terbentuk di masyarakat. Di antaranya adalah Esia Slank yang dipersembahkan khusus kepada para Slankers. Dengan menggunakan Esia Slankers ini, selain konsumen mendapatkah Special Content dari Slank, juga dapat menghemat biaya dalam berkomunikasi antar sesama Slankers. Selain jaringan yang dibentuk oleh grup rock Slank, Esia juga memanfaatkan jaringan umat muslim seperti Axis.

Tidak hanya mereka, tentunya Anda juga dapat dan harus memanfaatkan jaringan sebagai salah satu peluang Anda melakukan penetrasi pasar, tetapi jangan salah langkah atau bahkan salah sasaran dalam membidik jaringan yang tepat. Berikut beberapa hal penting yang perlu diperhatikan mengenai penerapan strategi Penetration through Network :

1. Hubungkan jaringan dengan produk
Jangan sampai nih Anda asal saja dalam menjalankan strategi ini. Yang terpenting adalah ciptakan hubungan antara jaringan tersebut dengan produk. Jangan sampai network yang Anda bidik bukan target market Anda atau bahkan tidak bisa mengkonsumsi produk Anda. Misalkan salah satu langkah yang dilakukan oleh Sunlight dan Surf yang masuk ke jaringan para ibu-ibu rumah tangga.

2. Mulailah dari jaringan terdekat Anda/konsumen Anda
Penjelasan sebelumnya berhubungan dengan poin ini. Anda dapat menghubungkan produk dengan network hanya apabila network yang Anda bidik adalah konsumen Anda atau network yang bisa menjadi konsumen Anda (memiliki peluang untuk diarahkan ke kebutuhan akan produk). Akan jauh lebih mudah untuk memulainya dari konsumen Anda sendiri. Contoh lainnya adalah acara Festival Jajanan Bango yang beberapa tahun belakangan ini diadakan secara rutin. Acara ini semata-mata bukan hanya untuk end customer saja (para pembeli di Festival Jajanan Bango), tapi juga dengan memanfaatkan jaringan penjual makanan pinggir jalan, yang merupakan potential customer.

3. Internet adalah surga network
Kategori jaringan berdasarkan medianya terdiri dari 2, yaitu konvensional (offline) dan modern (online). Kategori modern atau online dengan media internet merupakan sebuah network yang sangat besar dan potensial, keunggulannya dibandingkan network offline adalah persebaran berita yang sangat cepat dan tidak adanya batasan wilayah, sifat jaringan ini adalah global dan cepat. Tetapi jangan terjebak dengan segala keunggulannya termasuk biaya yang murah, Anda harus tetap memastikan jaringan di dunia online ini adalah target market Anda dan dapat dikorelasikan dengan produk. Masalahnya di Indonesia banyak produk-produk yang belum relevan untuk dikorelasikan dengan target market di dunia online. Sebut saja produk-produk yang ditujukan untuk menengah ke bawah atau kelompok usia di atas 40 tahun. Di Indonesia pengguna internet masih sangat terbatas didominasi oleh golongan ekonomi menengah dan menengah atas serta kategori usia 40 tahun ke bawah.

4. Ciptakan program yang mengikat
Program yang Anda ciptakan untuk jaringan yang Anda garap selayaknya memiliki impact keterikatan yang tinggi. Sebut saja MLM, MLM adalah sebuah contoh pemasaran yang sukses dengan menggunakan strategi Penetration through Network. Aktivitas yang sangat mengikat terlihat dengan jelas, hal ini sangat diperlukan untuk menjaga eksistensi produk pada jaringan tersebut. Hal ini juga menjadi antisipasi adanya produk pesaing yang masuk ke network tersebut.

5. Pastikan ada benefitnya
Hal ini sangatlah mendasar, tetapi seringkali dalam menyusun konsep sebuah program kita seringkali melupakannya. Jangan sampai fokus program Anda hanya pada produk Anda sendiri, ingatlah bahwa customer adalah poros bisnis Anda, sehingga sudah selayaknya kepentingan mereka menjadi yang paling utama. Sama halnya pada saat Anda menciptakan program untuk menggarap network, pastikan Anda menetapkan sebuah atau beberapa benefit bagi mereka jika mereka mau mengikuti program Anda. Jangan sampai Anda main tebak-tebakan dalam hal ini. Sangat perlu diadakan terlebih dahulu preliminary research dengan mengumpulkan beberapa target market untuk dijadikan responden dan digali mengenai insight dan ketertarikan mereka mengikuti program. Aktivitas In-Depth Interview atau FGD ini perlu diadakan untuk menemukan temuan-temuan baru yang bisa melengkapi/menyempurnakan program Anda.

6. Lakukan dengan konsisten
Jangan lakukan hanya sekali saja! Aktivitas dalam menggarap sebuah network harus dilakukan secara konsisten dalam waktu yang lama. Hal ini dengan tujuan menanamkan image/keterikatan tertentu; dimana tujuan ini tidak akan tercapai hanya dalam 1 kali aktivitas.

7. Network tidak sama dengan komunitas!
Setiap komunitas merupakan bagian dari sebuah network. Tetapi sebuah network belum tentu berupa sebuah komunitas. Hal ini perlu Anda pahami agar tidak terjebak dalam pola pemikiran yang sempit. Seperti contoh sebelumnya Festival Jajanan Bango yang diadakan oleh Kecap Bango menarget penggarapan pada “network pelaku industri kuliner” yang tidak hanya terdiri dari komunitas penjual makanan tetapi juga seluruh konsumen penjual makanan tersebut. Sehingga dapat digaris bawahi bahwa network yang dimanfaatkan oleh Kecap Bango tidak hanya sebatas sebuah komunitas saja.

Nah.. semoga strategi Penetration through Network dapat menjadi sebuah strategi baru yang membantu Anda tidak saja dalam aktivitas pemasaran, tetapi juga tentu saja menciptakan loyal customers bagi produk Anda.

Corporate Culture Penting atau Tidak Penting

Budaya Perusahaan…Apa menariknya membicarakan tentang itu ya? Mungkin lebih asyik membahas budaya barat, budaya tradisional Indonesia, atau budaya-budaya lain yang terdengar lebih menyenangkan! Heheee…budaya perusahaan memang bukan sesuatu yang ayik untuk dibicarakan. Pemimpin atau jajaran manajemen perusahaan lebih sering menganggap itu adalah hal sepele, di lain pihak, karyawan juga sering mengangap itu adalah hal yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Hhmmm…

Kemarin saya sempat mengobrol-ngobrol santai dengan salah seorang teman saya. Dia berkeluh kesah tentang rekan kerjanya satu timnya yang tidak juga bisa membuat tim mereka dinilai bagus oleh pimpinan mereka. Hasil kerja mereka dinilai tidak optimal bahkan sampai etos kerja mereka pun dianggap tidak bisa menyamai tim yang lain. Sebal? Jelas! Dia merasa telah melakukan yang terbaik, tapi temannya tidak. Ia juga sempat mengatakan bahwa kadang dia merasa tidak sanggup mengikuti pola kerja perusahaannya yang sangat ketat terhadap target dan bekerja dengan sangat cepat. Sampai-sampai kadang dia harus lembur hampir setiap hari untuk mengerjakan deadline tugas yang (padahal) baru masuk hari itu! Ditambah lagi rekan satu tim yang dia bilang “lelet banget!. For your information, teman saya itu bekerja di perusahaan advertising yang sedang berkembang di Jakarta.

Lain lagi dengan teman saya yang berkerja di sebuah instansi. Dia selalu bercerita bahwa dia sangat menikmati pekerjaannya. Bagaimana tidak, kerjaannya sedikit banget katanya! Seringnya dia hanya bekerja sampai waktu istirahat, setelah itu dia hanya bermain-main games di computer, buka face book, nulis blog, ngerumpi, dll, hanya untuk membunuh waktu sampai jam pulang tiba. Setiap dinas keluar kota dia selalu mendapat uang jalan dari kantornya yang paling hanya habis ¼ nya saja untuk perjalanan itu! Sisanya ya milik dia sepenuhnya. (*Dunia memang tidak adil…! Heheee!;p).

No-no…ini bukan membanding-bandingkan maksudnya, tapi dari dua cerita itu saja kita bisa lihat bahwa tiap perusahaan ataupun instansi pemerintahan memiliki pola kerja, etos kerja, standarisasi kerja atau apalah itu namanya, yang tentu berbeda-beda. Jangankan membandingkan perusahaan swasta dengan departemen negara, antar perusahaan swasta sekalipun pasti memiliki perbedaan itu. Sebagai professional (dan supaya terlihat intelek! Heeee!;p) kita sering menyebutnya dengan budaya perusahaan atau corporate culture kalau bahasa gayanya sih!=)

Nah, dari dua cerita di atas sebenarnya terlihat jelas kan kalau budaya perusahaan memegang peranan penting dalam perkembangan karyawan apalagi perusahaan itu sendiri. Kenapa? Karena saya bisa melihat dengan jelas perbedaan ouput teman-teman saya tersebut. Teman yang pertama mengalami perkembangan kemampuan dan pengetahuan yang luar bisa meningkat selama bekerja (walaupun dia bilang “mana ampun dah kantor gw!”), sementara teman yang kedua cenderung statis, ya gitu-gitu saja kemampuan dan pengetahuannya, tidak ada perkembangan yang signifikan (padahal dia bilang kantornya sangat menyenangkan!). Mau tahu apa efeknya? Bagi karyawan, itu membentuk value diri mereka secara personal, dan bagi perusahaan itu sebuah amunisi yang sangat berharga untuk dapat berkembang dan mencapai visi misi perusahaan.

Maka dari itu, jangan pernah menganggap budaya perusahaan sebagai hal sepele, karena itu sangat erat kaitannya dengan citra perusahaan juga, bahkan itu juga menjadi salah satua lasan turn over karyawan di sebuah perusahaan. Sebagai karyawan, yang perlu dilakukan hanyalan memahami dengan baik budaya perusahaan yang telah terbentuk, atau jika dirasa perlu, tunjukan budaya baru yang dinilai lebih baik bagi karyawan itu sendiri dan bagi perusahaan. Sebagai perusahaan, yang perlu dilakukan tentunya membentuk budaya perusahaan yang baik dan sesuai dengan visi dan misi serta jenis bisnis yang digeluti, kalau sudah terbentuk, coba evaluasi apakah budaya perusahaan itu baik bagi perusahaan dan apakah karyawan telah mampu menjalankan budaya itu atau belum.

Untuk itu kita harus paham budaya perusahaan macam apa saja yang bisa diterapkan di perusahaan kita sendiri. Deal dan Kennedy mengatakan bahwa budaya perusahaan ditentukan berdasarkan feedback speed (seberapa cepat feedback didapatkan) dan degree of risk (seberapa tinggi resiko yang bisa didapatkan). Dari situ mereka berdua menyimpulkan bahwa ada empat bentuk budaya perusahaan yang bisa diterapkan oleh perusahaan :

1. Tough-Guy Macho Culture
Budaya perusahaan yang ini, sesuai namanya,, merupakan budaya perusahaan dengan feedback dan reward yang cepat dan tentu saja memiliki resiko yang tinggi. Biasanya budaya seperti ini ditandai dengan tingkat stress yang tinggi yang memungkinkan munculnya peningkatan atau penurunan reward yang didapatkan oleh karyawan maupun perusahaan. Selain itu, ciri yang lain adalah karyawan cenderung focus pada saat ini (tidak terlalu memusingkan besok atau nanti), akibatnya individualisme lebih mendominasi dibandingkan kerja tim. Sangat mudah melihat budaya perusahaan seperti ini, lihat saja perusahaan yang bergerak di bidang advertising, futures, dan semacamnya.

2. Work-Hard, Play-Hard Culture
Hampir mirip-mirip dengan Tough-Guy Macho Culture, budaya perusahaan bentuk ini juga memiliki tingkat kecepatan feedback dan reward yang tinggi, hanya saja, dari sisi degree of risk, ini memiliki resiko yang rendah. Kita bisa melihatnya dari tingkat stress yang cukup tinggi yang disebabkan oleh jumlah pekerjaan yang cukup banyak. Maka dari itu karyawannya pun bekerja dengan fokus dalam kecepatan tinggi, yang tentunya membutuhkan energy yang jauh lebih tinggi lagi untuk itu. Sales, tempat makan (kafe, restoran, dll), dan perusahaan elektronik atau otomotif bisa dijadikan contoh perusahaan yang seringkali menerapkan budaya perusahaan jenis ini.

3. Process Culture
Kalau bentuk budaya perusahaan yang ini berbeda dengan dua bentuk di atas. Kali ini feedback dan reward yang didapatkan cenderung lambat, berjalan pelan. Berbanding lurus dengan hal tersebut, resiko yang didapatkan juga cenderung rendah. Ciri-cirinya yaitu tingkat stress yang secara umum rendah, tapi situasi ini tidak selalu disebabkan oleh karyawan atau beban pekerjaan yang sedikit, bisa juga terbentuk dari politik internal dan system yang tidak tepat. Dari sisi karyawan, mereka cenderung focus dalam detail dan proses yang sangat baik dalam bekerja. Bisa kita lihat bahwa perusahaan-perusahaan seperti bank, perusahaan asuransi dan periusahaan yang bergerak di bidang public service menerapkan budaya perusahaan jenis ini.

4. Bet-Your-Company Culture
Nah, yang ini beda lagi. Budaya perusahaan jenis ini memiliki feedback dan reward yang cenderung lambat namun memiliki resiko yang tinggi. Aneh juga ya? Tapi mungkin kita bisa lihat ciri-ciri budaya perusahaan ini. Tingkat stress cukup tinggi disebabkan tingkat resiko yang cukup tinggi itu tadi dan sebelum mengetahui apakah apa yang mereka kerjakan memberikan hasil yang baik atau tidak. Karyawannya juga cenderung focus pada long term, dimana mereka bekerja dengan persiapan dan perencanaan yang baik. Perusahaan farmasi, produsen pesawat terbang, dll, bisa dijadikan contoh perusahaan yang menerapkan budaya perusahaan ini.

Well, sekarang tinggal kita lihat lagi ke dalam, bentuk budaya perusahaan apa yang kita terapkan dan jenis mana yang sesungguhnya tepat kita terapkan dalam perusahaan. Sekali lagi jangan pernah menganggap bahwa budaya perusahaan tidak punya peran yang signifikan dalam membentuk karyawan dan mengembangkan perusahaan, karena jika perusahaan tidak sesuai denagn bisnis yang dijalani atau tidak mampu diikuti, maka akan menghambat perusahaan disadari maupun tidak. Sok, budaya perusahaan mana yang akan kamu terapkan untuk perusahaan kamu?

Competitive Forces

Saya yakin setiap orang punya mimpinya masing-masing. Saya pun punya mimpi, mimpi yang sedang saya usahakan untuk jadi kenyataan. Sejak dulu saya sangat menyukai dunia anak-anak, dan sejak itu saya mempunyai mimpi untuk membuka sebuah sekolah bagi anak-anak (entah itu Play Group atau TK). Mimpi jangka panjang memang, dan Mama saya setuju sekali dengan mimpi saya yang ini. Tapi saya juga punya mimpi jangka pendek, saya ingin dalam setahun atau dua tahun ini saya bisa memiliki bisnis fashion. Saya sangat menyukai pakaian yang keren (definisi keren sangat luas dibandingkan bagus), saya menyukai perhiasan atau aksesories yang lucu, terkadang saya greget sendiri jika melihat orang berdandan tidak pantas, bawaannya ingin make over saja! Hihiii.

Berlatar belakang kecintaan saya pada dunia fashion dan perempuan, saya berencana membuka sebuah butik bersama teman saya yang senang membuat aksesories. Kali ini mimpi saya tersebut tidak mendapat sambutan yang terlalu baik dari Mama. Mau tahu apa alasannya? “Toko baju mah sekarang kaya jamur! Dimana-mana ada toko baju! Persaingannya terlalu ketat!”, itu jawabannya. Hhmmm…persaingan ya…

Kompetisi, bagaimanapun juga tidak hanya saya hadapi di dunia bisnis yang ingin saya geluti tersebut, tapi di semua sisi kehidupan bukan?. Saat sekolah kita berkompetisi untuk jadi juara kelas, saat kuliah saya berkompetisi untuk bisa lulus paling cepat diantara teman-teman saya yang lain, saat kerja apalagi! Saya berkompetisi dengan karyawan lainnya untuk semakin mengembangkan diri dan bersikap professional. Jadi jika kita berbicara mengenai kompetisi, ya dimana-mana juga ada kompetisi mah! Apalagi di dunia bisnis! Jangan kan jualan baju, yang memang kebutuhan sekunder paling primer, jualan kain kafan saja pasti ada kompetitornya! (heee...contohnya jauh banget ya?;p).

Kompetisi jangan dipandang sebagai momok yang menghambat kita dalam bergerak. Justru seharusnya kompetisi menjadi motivasi tersendiri bagi kita untuk terus maju, lebih maju dari kompetitior kita. Kita pasti bisa kok menhadapi kompetisi seketat apapun, asaaaalll…kita tahu cara menangani kompetisi tersebut. Untuk itu, kita tentu harus tahu membuat analisis mengenai nilai industry yang akan kita geluti. Salah satu caranya yaitu dengan mengidentifikasi kekuatan kompetitif yang sangat fundamental. Bingung, sebaiknya kita lihat saja 5 fundamental competitive force dari Michael Potter.

1. Entry of competitors.
Kita harus lihat, semudah atau sesulit apakah bagi para pemain baru untuk memulai kompetisi, dimana banyak barrier yang tentu telah eksis di indutri tersebut. Sebagai “pemula” saya tentu akan dihadapkan pada para pemain lama atau bahkan pemimpin pasar untuk bersaing. Disini saya harus menganalisa apakah mudah bagi saya untuk ‘masuk’ ke industry fashion dan berkompetisi dengan butik-butik lain yang telah cukup kuat posisinya? Setelah berhasil ‘masuk’ pun saya masih harus berusaha untuk melewati rintangan-rintangan yang pasti ada saat saya ingin mengembangkan bisnis tersebut.

2. Threat of substitutes.
Hal lain yang harus kita lihat adalah semudah apakah product atau jasa yang kita miliki dapat disubtitusi oleh yang lain? Atau bahkan semurah apakah kita mampu menawarkan produk atau jasa tersebut ke pasar? Semakin sulit produk atau jasa kita digantikan oleh yang lain, kompetisi yang kita hadapi juga semakin mudah. Terang saja, pasar hanya mempunyai sedikit preferensi untuk produk atau jasa yang kita tawarkan bukan? Apalagi jika kita bisa memberikan harga yang lebih murah dibandingkan competitor, kompetisinya akan lebih mudah bagi kita.

3. Bargaining power of buyers.
Jangan lupakan posisi pembeli! Kita harus menganalisa juga seberapa kuat posisi target market yang kita bidik. Hal ini jelas berkaitan erat dengan apakah mereka dapat bekerja sama dalam menggunakan product atau jasa kita dalam kuantiti yang besar atau jangka waktu yang panjang. Bukankah merebut pembeli sebanyak mungkin adalah inti dari kompetisi yang sesungguhnya? =) Jadi ya mau tidak mau kita harus pintar-pintar merebut hati mereka. Kesuksesan mendapatkan pembeli sebanyak mungkin mencerminkan kesuksesan kita dalam memenangkan kompetisi.

4. Bargaining power of suppliers.
Tidak cukup hanya pembeli donk ah…kita juga harus perhatikan seberapa kuatnya posisi penjual, apakah dia mampu menjual produk atau jasa kita dengan maksimal atau tidak. Kita juga harus menghitung seberapa banyak supplier potensial yang eksis sekarang ini. Kalaupun hanya sedikit, apakah cukup mampu ‘berperang’ di pasar? Atau mungkin justru kita mereapkan system monopoli? Yah apapun system yang diambil, disini keterampilan kita sebagai bisnisman untuk dapat memberikan penawaran yang menarik harus diasah sedemikian rupa agar menguntungkan kedua belah pihak (yah syukur-syukur kalau bisa menguntungkan kita lebih banyak ya! Hihiii!;p).

5. Rivalry among the existing players.
Kompetisi ya pasti ada competitor-nya lah! Coba untuk menganalisa apakah kompetisi dengan para pemain lama yang sudah eksis di industry yang sama itu berlangsung ketat atau tidak. Amati dengan seksama apakah yang terjadi adalah hanya satu-dua pemain yang sangat dominan atau ternyata semuanya sama saja dilihat dari sisi kekuatan maupun size perusahaan yang kita miliki. Biasanya sih memanga da satu-dua perusahaan yang sudah menjadi pemimpin pasar ya, tapi memang tidak menutup kemungkinan tidak ada pemimpin pasar di suatu industry tertentu (wah, peluang bagus nih kalu ada yang begini!;p). Nilai juga diri sendiri apakah cukup mampu untuk bersaing dengan pemain-pemain lama tersebut ya!

Selain lima hal di atas, biasanya ditambahkan juga point:

6. Government.
Pemerintah bagaimanapun juga mempunyai kekuatan dan kekuasaan penuh untuk menentukan kompetisi seperti apa yang harus atau boleh dilaksanakan di Indonesia. Biasanya pemerintah akan menjaga agar industry bisnis dapat berjalan dengan lancar bagi semua pihak.
Kekuatan kompetitif yang fundamental ini pada akhirnya akan membantu kita dalam menentukan langkah atau program seperti apa yang tepat untuk kita lakukan dalam bisnis yang kita geluti. Dengan memahaminya secara baik, kita pasti dapat berkompetisi dengan perusahaan manapun dengan baik pula. Tinggal kitanya, siap tidak untuk itu?=)

Understanding Of Creativity

Begitu banyak orang yang putus asa karena merasa diri mereka tidak kreatif. Sebenarnya bukan salah diri mereka juga untuk menjadi tidak kreatif. Pasalnya sistem di Indonesia lah yang terkadang menjadikan seseorang tidak kreatif. Salah satu pengalaman saya dalam mengamati sebuah kelas pengembangan diri untuk mereka yang berusia 30 tahun ke atas bisa memperkuat pernyataan tersebut. Trainer meminta mereka untuk menggambar pemandangan dalam waktu 1 menit. Selama 1 menit seluruh peserta antusias dan menggambar sesuai dengan imajinasi mereka. Lalu apa yang terjadi? Setelah 1 menit usia, beberapa di antaranya diminta untuk menceritakan gambar mereka. Dapat Anda tebak kan, bahwa seluruhnya! Bukan hanya sebagian besar ya, tapi seluruhnya menggambar 2 buah gunung dengan jalan di tengah nya, hamparan sawah di kanan dan kiri dan matahari di bagian atasnya (kalau mereka tidak menyadari usia mereka sudah 30 tahun tentu akan menambahkan senyuman di matahari tersebut).

Fakta tersebut menunjukkan bahwa sejak usia TK, kreativitas kita dibunuh. Anak-anak TK yang tidak menggambar gunung dan sawah dianggap berbeda dan berbeda di sekolah umum kita dikategorikan negatif. Semakin besar, SD, SMP lalu SMU, seluruh siswa berlomba-lomba untuk semakin sama dengan gurunya; menjawab pertanyaan sama percis dengan yang diajarkan. Hal ini kontras sekali dengan sistem pengajaran di Jepang, di mana bagi mereka yang bisa menjawab sama percis dengan gurunya mendapat nilai B, sedangkan mereka yang bisa menemukan teori baru dan lebih pintar dari gurunya baru bisa mendapatkan nilai A.

Tapi di usia kita yang sekarang, rasanya sudah tidak ada gunanya mendedam dengan sistem pengajaran di Indonesia, terlebih guru TK Anda, karena yang terpenting sekarang adalah kita mencari solusi agar menjadi lebih kreatif lagi. Kreativitas bukan merupakan sesuatu yang sulit, dan tidak ada ceritanya orang tidak dilahirkan menjadi kreatif, seperti kalimat pembelaan yang sering kita lontarkan kalau udah mentok “Gua emang ga kreatif dari sononya!” yang ada hanyalah kita tidak mau lebih berusaha lagi untuk berpikir keluar dari kotak/pola yang sudah terbentuk.

Kaitannya dengan bisnis, kreativitas adalah kunci inovasi dalam bisnis. Kreativitas adalah cikal bakal terbangunnya sebuah bisnis, dan jalan keluar kebuntuan persaingan Anda dengan competitor. Siapa yang lebih dulu berinovasi, dialah yang akan dilirik oleh customer, dan bisa jadi hasil inovasi tersebut menurunkan popularitas atau bahkan mematikan bisnis pesaingnya. Jadi Anda sebaiknya berfikir dua kali untuk memilih tidak menjadi pengusaha yang kreatif. Untuk menemukan ide yang baru Anda tidak perlu menciptakan sesuatu yang hebat! Karena tidak ada yang baru di bawah langit ini, yang ada hanyalah kemampuan kita untuk menggabungkan 2 hal yang sudah ada sebelumnya. Seperti kata rekan kerja saya yang hobi sekali mengiang-ngiangkan kata-kata Melly Goeslaw, “Saya tidak pernah menciptakan lagu, saya hanya merangkai kata-kata yang sudah pernah ada sebelumnya".

Sebut saja sebuah ide yang brilian yang baru saja dilaunch oleh Walt Disney. Perusahaan yang telah fokus merambah dunia perfilman tersebut melaunch penjualan film mereka dalam sebuah Memory Card. Di mana pola pemikiran yang terpaku pada penjualan film dalam sebuah VCD atau DVD dipecahkan menjadi sebuah ide baru. Memory Card yang dirilis pertama di Jepang ini juga memiliki fungsi untuk menghindari pembajakan dengan teknologi anti copy. Menurut Anda apakah ini sesuatu yang baru? Sesuatu yang Anda pikir tidak mungkin tercetus dalam benak Anda? Padahal idenya sangat simple, karena film bukan hal yang baru di dunia ini, dan tentu saja Memory Card sudah sering beredar di kehidupan kita. Fakta ini memperkuat bahwa ide baru hanya berasal dari gabungan 2 hal yang sebelumnya telah ada.

Tips pebisnis agar selalu kreatif :

1. Buka internet.
Rasanya tips pertama saya ini terdengar konyol. Karena jaman skarang siapa yang ga buka internet. Eits.. jangan terjebak dalam pola pikir tersebut. Terlalu banyak pebisnis yang saya temui dan mereka tidak mampu membuka email. Gap habit antara pebisnis era masa kini dan era sebelumnya ada pada internet. Sangat disayangkan jika walaupun usia Anda sudah tidak muda lagi, tapi Anda membatasi perkembangan diri Anda, terutama dalam hal penggunaan teknologi. Karena Anda tidak dapat membayangkan apa yang sebenarnya ada di dunia online.
Berbagai inspirasi yang Anda butuhkan untuk mendapatkan ide-ide baru, semuanya ada dan gratis di internet.

2. Ciptakan relasi dan jaringan yang seluas-luasnya
Internet memang ampuh, tetapi ada yang lebih memberikan inspirasi lagi, yaitu aktivitas bertemu dan berkomunikasi dengan orang lain. Jangan batasi kenalan/teman Anda, karena Anda akan mendapatkan lebih banyak lagi ide baru bukan hanya dari rekan-rekan bisnis Anda sendiri, tapi juga orang-orang dari lingkungan, status sosial dan ekonomi yang berbeda dari Anda. Di sanalah Anda akan menemukan sudut pandang baru dan informasi yang belum pernah Anda dengar sebelumnya.

3. Lanjutkan hingga yang ke-10!
Berapa banyak ide/pemikiran yang Anda keluarkan dalam sebuah problem? Mungkin Anda akan berhenti maksimal di opsi ke-3. Dalam mencari solusi/pemikiran baru terhadap suatu permasalahan, seringkali kita mudah menyerah, dan berhenti berpikir pada solusi pertama yang kita pikirkan. Kita merasa bahwa solusi tersebut sudah yang terbaik. Padahal apabila Anda mau meluangkan lebih banyak lagi untuk kembali memikirkannya Anda akan menemukan berbagai opsi lain untuk permasalahan tersebut, dan bisa jadi ide no. 7 Anda lebih baik dari yang no. 1

4. Do something out of the box
Terkadang hal yang membuat Anda tidak mampu berpikir lagi, bukanlah otak Anda yang sudah maksimal, tetapi kejenuhan yang Anda alami. Pernahkah Anda merasa bahwa berpikir di malam hari rasanya sudah seperti jalan buntu, tetapi pada saat Anda bangun di pagi harinya ternyata solusi permasalahan yang semalam Anda pikirkan semudah itu untuk dipecahkan. Otak Anda bukan mesin (bahkan mesin saja butuh diistirahatkan). Jadi lakukanlah hal-hal yang di luar rutinitas Anda untuk tetap menjaga otak Anda menjadi fresh dan mudah berpikir. Lakukan hal yang sebelumnya belum pernah Anda lakukan, dan Anda akan menemukan inspirasi yang baru untuk mendukung lahirnya ide-ide baru Anda.

5. Stay in logic!
Kreativitas yang liar memang menghasilkan hal-hal yang brilian, tetapi harus ada yang memagarinya, yaitu logika. Anda harus kembali mengingat bahwa Anda berada dalam dunia bisnis, bukan dunia seni. Aturan dunia bisnis hanya satu, if doesn’t sell it’s not creative. Dalam dunia bisnis begitu banyak pertimbangan, dan hal-hal tersebutlah yang akan menilai ide Anda, apakah sudah relevan dengan market?

Jadi jangan terburu-buru menyerah, menilai diri Anda tidak kreatif, karena semua orang bisa menciptakan ide yang brilian, jika usaha Anda sudah mengarah ke sana, tinggal tunggu waktunya saja.

Recovery vs Media Massa

Sudah berapa lama dari kejadian Bom Kuningan? 2 minggu lebih ya? Apa yang sudah kita, means pemerintah dan saya dan kamu sebagai warga negara Indonesia lakukan menghadapi terror tersebut? Pemerintah sibuuuk mencari siapa pelaku bom bunuh diri itu dan membongkar seluruh jaringannya. Masyarakat sibuuk mengutuk dan berkomentar sejak Bom meledak sampai sekarang. Pertanyaan saya adalah, apakah ada yang peduli dengan pemulihan nama baik Indonesia di mata public? Ingat ya, bukan hanya public luar negeri saja yang harus “diyakinkan” mengenai keamanan Indonesia, bahkan public dalam negeri juga justru menjadi target yang harus diperhatikan dalam pemulihan nama baik tersebut.

Saya sangat sepakat dengan pernyataan Menteri Pariwisata kita. Beliau memprediksikan bahwa industi pariwisata di Indonesia pasti akan menurun cukup signifikan. Kalau pariwisata saja akan ‘terganggu’, apalagi diunia bisnis dan perekonomian coba?! Penurunannya bisa lebih signifikan dari pariwiasata. Beliau mengatakan bahwa karena media massa yang menyebarkan berita tentang Bom ini ke seluruh pelosok dunia, maka media massa juga lah yang harus memperbaiki nama baik Indonesia! Hihiiii…kedengarannya sekilas seperti “mengambing hitamkan” media massa ya! Tapi beliau sangat benar!

Lihat saja, hanya 5 menit setelah bom meledak, saya yang berada di Bandung langsung mengetahuinya lewat breaking news di salah satu TV swasta nasional, dan tidak tanggung-tanggung, saya yang kebetulan sedang terbaring sakit (dimana artinya TV menjadi teman setia seharian itu), disajikan berita mengenai Bom seharian itu tanpa henti. Bahkan program infotainment pun bertopikkan bom kuningan selama beberapa hari! See?? Media massa menjadi “orang pertama” yang ‘bertanggung jawab’ atas penyebaran informasi mengenai bom di hotel Ritz Carlton dan JW. Marriot tersebut. Itu artinya media massa juga lah yang ‘bertanggung jawab’ memberikan informasi mengenai pemulihan nama baik Indonesia di mata dunia internasional maupun di warga negara Indonesia sendiri. Bukan bermaksud nyambung-naymbungin sih kalau saya bilang ini juga berlaku kalau-kalau perusahaan atau bisnis kamu mengalami krisis dan dipublikasikan dengan manisnya oleh banyak media.;p

Tapi jangan lupa, penggunaan media massa tidak semudaha tau sesimple yang dibayangkan lho, sekarang ini kita harus memperhatikan beberapa hal.

1. Gunakan semua media
Jangan pernah membatasi media massa hanya berupa TV, Radio, Koran, Majalah, Tabloid, dsj saja. Jangan salah, saat ini internet juga menjadi bagian dari media massa yang harus diperhatikan. Malah harus lebih diperhatikan karena pertukaran informasi di Internet berlangsung hanya dalam hitungan detik! Kalau kamu punya Facebook, kamu pasti lihat di hari Jumat itu status orang-orang hampir semuanya membicarakan mengenai bom tersebut. Gunakan seluruh media informasi di internet, baik itu portal-portal resmi maupun jejaring-jejaring social semacam Face Book, Twitter, My Space, atau bahkan sampai You Tube sekalipun. Apalagi bisnis sekarang ini pergerakannya cukup kencang juga di seluruh macam media. Contoh penggunaan media massa yang luas adalah kasusnya Prita Mulyasari vs RS. Omni!

2. Rangkul Bukan Perintah
Yang menjadi kesalahan berikutnya biasanya pemerintah selaku “pemegang kekuasaan” cenderung berpikir untuk memberikan perintah kepada media massa untuk memuat berita-berita baik mengenai Indonesia. Heyyy…ini bukan orde baru bapak-bapak ibu-ibu. Yang harus dilakukan sekarang ini adalah merangkul media massa agar mereka mau menayangkan berita-berita baik yang bisa memulihkan nama baik Indonesia. Layaknya “anjing galak” (hehee..istilahnya terlalu sadis ya?;p), media massa bisa malah balik menyerang jika tidak didekati dengan baik. Itu pemerintah, tapi pengusaha sekalipun kadang berlaku seperti itu jika merasa punya pengaruh yang cukup kuat dalam perekonomian kita (apalagi jika anaknya si pejabat A, saudaranya menteri A, dll). Ah, sudah tidak musim yang begituan sih sekarang!

3. Talk Less Do More
Sementara itu, jangan hanya focus pada pemberitaan di media massa donk ah! Justru berbanding lurus dengan pemberitaan di media massa, penuntasan kasus bom kuningan tersebut harus terus dilakukan dengan serius dan program-program pemulihan nama baik harus benar-benar dilakukan dengan lebih serius lagi. Jadi pemberitaan dan kenyataan harus berjalan beriringan, bahkan action harus lebih banyak daripada talk! Ingat, masyarakat sekarang tidak mudah “dibohongi” lho, jadi percuma media massa meneriakkan keamanan Indonesia jika dimana2 masih terjadi bom lagi atau pengamanan tidak diperketat atau Polisi terlihat lambat mengungkap kasus ini. Sama halnya dengan bisnis kamu, sesegera mungkin buat program-program atau langkah-langkah yang dapat meyakinkan lagi konsumen mengenai produk atau jasa perusahaan kamu. Mizone bisa jadi contoh yang bagus dalam memulihkan ‘nama baik’nya setelah diterpa issue mengandung zat berbahaya.

Masih banyak pasti hal-hal yang harus dilakukan dalam penggunaan media massa sebagai media recovery, apapun itu, kita sebagai penguasaha harus mampu memahami secara benar karakteristik media massa dan target market kita agar tujuan recovery tersebut dapat tercapai. Satu lagi, jangan jadikan media satu-satunya “kambing hitam” dalam pemulihan bisnis Anda! Siapapun juga pasti tidak mau lah disalahkan, makanya kita “minta” secara smooth saja okhay!=)

Jul 21, 2009

Salah kaprahnya Branding!

Di kalangan pebisnis, terutama bisnis yang masih tergolong konvensional, seringkali pemahaman mengenai proses pembangunan brand masih lemah. Selain kurangnya awareness mereka terhadap pentingnya pembangunan sebuah brand, mereka seringkali juga “salah kaprah” terhadap peran brand dalam perjalanan bisnis mereka. Hal inilah yang seringkali menghambat perkembangan perusahaan konvensional untuk memenangkan market, terutama menghadapi persaingan dengan para bisnis raksasa dari luar negeri yang sudah menjadikan brand sebagai ujung tombak penjualan produk mereka.

Tengok saja kiprah Unilever dan P&G yang selalu memegang pangsa pasar dominan dari kategori produk-produk mereka, sejak awal masa kemerdekaan mereka tidak pernah lepas dari program-program pembangunan brand. Mulai dari pemasangan poster-poster, iklan radio hingga iklan TV yang kini menjadi media paling berpengaruh di Indonesia, para raksasa bisnis tersebut tidak pernah berhenti membangun brand mereka.












sumber gambar:
herik.multiply.com/photos/album/11/iklan_jaman_dulu

forum.kafegaul.com/showthread.php

Lalu di sisi yang lain, para produsen lokal “megap-megap” menghadapi para raksasa bisnis ini. Memang begitu banyak faktor yang membuat para pemain lokal/nasional ini tidak mampu mengalahkan kiprah para perusahaan internasional. Salah satunya adalah permodalan, sistem distribusi yang kuat dan strategi marketing modern mereka, yaitu dengan mengedepankan pembangunan brand.

Terbukti bahwa tidak hanya brand internasional saja yang bisa sukses dari hasil jerih payah mereka membangun brand, tetapi brand lokal pun demikian. Sebut saja Cap Bintang Toedjoe dan Nyonya Meneer. Apa sebenarnya langkah pembangunan brand yang penting dan apa saja salah kaprah nya proses branding, silakan baca ulasannya berikut ini.

Di mana peran brand dalam perkembangan bisnis Anda?


Dalam “mendeliver” produk Anda kepada customer, dapat dilakukan 2 cara yaitu Push dan Pull. Aktivitas yang selama ini menjadi fokus bisnis konvensional hanya pada aktivitas Push, di mana biasanya para pemilik bisnis “mendorong” produk mereka kepada para konsumen. Contohnya adalah aktivitas mendistribusikan produk ke sebanyak mungkin toko-toko atau menciptakan sebanyak mungkin tenaga penjual untuk “menjajakan” produk Anda.

Tetapi di luar dari hal-hal tersebut, seringkali perusahaan konvensional tidak memikirkan langkah Pull yang melengkapi kekurangan langkah Push, yaitu langkah untuk “menggarap” para konsumen itu sendiri.

Kondisi pasar sekarang ini penuh dengan persaingan antar para pemain bisnis, hal inilah yang menjadi pemicu pengembangan strategi Pull, dimana produsen langsung memberikan informasi dan berkomunikasi kepada para konsumen, sehingga keputusan pembelian ada di tangan mereka sendiri (tidak lagi di tangan tenaga penjual seperti masa konvensional dulu).

Aktivitas yang memberi efek Pull, di mana konsumen sendirilah yang mencari produk adalah aktivitas pembangunan brand, di mana konsumen tidak hanya mengetahui, tetapi juga mengenal dengan baik, atau bahkan mencintai brand tersebut.

Berikut merupakan salah kaprah yang seringkali terjadi dalam pemahaman sebuah konsep pembangunan brand :

Brand adalah merk dagang
Salah satu aktivitas rutin yang sering saya lakukan adalah dengan mendamping para Brand Associate kami untuk melakukan perkenalan corporate kepada para calon klien. Berbagai karakter orang yang kami temui, dari mulai para staff, manager, profesional hingga pemilik bisnisnya sendiri. Begitu banyak kesalahan persepsi yang mereka miliki mengenai sebuah brand. Dan hampir sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa brand adalah merk dagang.

Brand yang berasal dari bahasa Inggris, memang kalau diterjemahkan adalah merk. Tetapi pengertian brand bukanlah sekedar merk/nama sebuah produk, melainkan sekumpulan nilai yang melekat pada produk tersebut.

Brand dibentuk dari begitu banyak elemen yang ada, seperti persepsi konsumen terhadap produk, keindahan desain packaging nya, wangi/rasa produknya, pelayan yang menjualnya, dll. Brand terlalu kompleks untuk disebut sebagai sebuah merk dagang.

“Ah.. kita mah belum perlu yang seperti ini… Hanya perusahaan besar yah kayaknya yang perlu gini-gini.”
Persepsi bahwa brand hanya perlu dibangun oleh perusahaan besar merupakan kesalahan terbesar ke-2. Karena perusahaan kecil bisa besar, dikarenakan adanya usaha untuk membesarkan sebuah brand. Singkat kata coba tanyakan hal ini kepada diri Anda sendiri : “Apa yang membuat Anda menilai sebuah produk/perusahaan adalah sesuatu yang besar?” Yup! Jawabannya adalah keterkenalannya. Kalau produk/perusahaan tersebut terkenal, pasti Anda akan memiliki persepsi bahwa produk/perusahaan tersebut lebih besar dibanding pesaingnya yang bahkan belum pernah kedengaran namanya. Jadi apakah Anda masih berpikir-pikir untuk membangun brand Anda mulai dari sekarang?

“wah kita udah terkenal nih mbak, ga perlu dibranding lagi!”
Branding adalah sebuah proses, bukan sebuah tujuan. Jadi seperti nya tidak ada kata berhenti untuk melakukan proses branding. Apakah Anda pernah melihat Unilever menghentikan aktivitas branding mereka? Tahapan aktivitas pembangunan brand dapat dilihat di bagan di bawah ini, di mana tahap pembangunan setelah brand tersebut mature/sukses adalah dengan memaintain/mempertahankan eksistensi brand tersebut, serta melakukan inovasi agar para konsumennya tetap loyal dan tidak meninggalkan brand tersebut.












“Kita mah jualnya ke distributor, nga ke konsumen langsung, jadi kayaknya ga perlu branding deh!”

Banyak orang yang beranggapan bahwa pembangunan brand hanya diperlukan oleh industri B2C saja. Hal ini tidaklah benar, karena industri B2B juga membutuhkannya. Salah satu contohnya adalah kasus Intel, walaupun Intel merupakan bisnis B2B, Intel terus melakukan aktivitas pembangunan brand. Hanya saja strategi pembangunan brandnya yang berbeda antara B2B dan B2C, di mana untuk B2B tidak hanya 1 jalur saja yang digunakan, tetapi dengan strategi multi-phase. Butuh tidaknya pembangunan brand tidak ditentukan dari apakah perusahaan tersebut B2B atau B2C, tetapi selama masih ada pesaing, butuh dilakukan aktivitas pembangunan brand, agar mempengaruhi konsumen untuk lebih memilih produk kita.

Tidak adanya pesaing juga tidak dapat diartikan dalam posisi aman, karena di tengah pertumbuhan bisnis yang kian “liar”, pesaing bisa muncul kapan saja, dan bisa saja saat itu Anda sudah terlambat membangun brand. Jadi bisa Anda simpulkan sendiri kan kapan Anda perlu mulai membangun brand Anda!

“Oh.. branding tuh yang kayak masang-masang iklan itu yahhh..”

Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa branding adalah advertising, atau branding adalah pasang iklan. Salah kaprah ini begitu besar, sehingga membuat para pelaku bisnis begitu saja melupakan pentingnya pembangunan brand. Branding tidak sama dengan memasang iklan. Memasang iklan adalah salah satu cara membangun brand, jadi tidak selalu aktivitas membangun brand itu adalah memasang iklan. Aktivitas lain seperti brand activation atau event juga merupakan aktivitas pembangunan brand, atau mengadakan talkshow dengan para konsumen, membuka account Facebook untuk produk kita, mencantumkan nama perusahaan kita menjadi signature di email kita, memakai kaos berlogo toko kita atau membujuk tetangga untuk membeli produk kita juga adalah aktivitas branding.

Jadi dalam melakukan aktivitas branding, jangan asal melakukan, atau asal pasang iklan karena orang marketing majalahnya udah nelponin terus. Buatlah sebuah perencanaan aktivitas sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan tentu saja sesuaikan dengan karakteristik produk dan budget Anda.

“wah kita ga ada dananya nih buat yang seperti ini”

Begitu banyak asumsi bahwa kegiatan branding adalah kegiatan yang butuh banyak biaya. Hal ini adalah salah. Program pembangunan brand dapat disesuaikan dengan berapapun budget yang Anda miliki. Sekalipun Anda tidak memiliki budget, Anda tetap bisa memanfaatkan source yang Anda miliki sendiri untuk memulai melakukan aktivitas pembangunan brand. Contohnya adalah WOM, aktivitas word of mouth tidak butuh biaya. Yang terpenting bukan biayanya, tetapi perencanaannya dan pelaksanaannya. Tentu saja besarnya biaya akan berimpact pada sejauh mana aktivitas Anda memberi dampak. Misalnya saja pemilihan media televisi dikatakan memakan biaya yang sangat besar, tetapi juga efeknya pun tidak main-main. Jadi Anda bisa menetapkan skala yang ingin Anda capai seperti apa, begitu pula alokasi pembiayaannya.

Sekarang ini strategi pembagunan brand melalui internet merupakan solusi bagi Anda yang memiliki pembiayaan terbatas. Bagi Anda yang sekarang ini telah melakukan berbagai aktivitas offline juga perlu melakukan aktivitas pembangunan brand di dunia online. Karena internet merupakan sebuah dimensi baru kehidupan manusia. Itulah mengapa di beberapa tahun terakhir ini, kami selalu menjadikan online strategies bagi klien-klien kami sebagai prioritas aktivitas pembangunan brand.

Semoga setelah membaca beberapa penjelasan di atas, Anda tidak lagi salah kaprah ya mengenai pentingnya pembangunan brand! Dan seperti 3 Mul yang sering diomongin orang :
  • Mulailah dari hal kecil (tidak perlu aktivitas berbudget besar jika kondisi keuangan Anda belum mampu)
  • Mulai dari sekarang
  • dan Mulailah dari diri sendiri (dari brand Anda tentunya!)