Oct 24, 2011
500-366 DOM! Domino Pizza vs Pizza Hut
Jumlah penduduk yang banyak di Indonesia merupakan salah satu daya tarik para brand atau investor dari luar negeri untuk masuk. Sebut saja franchise brand-brand dari luar negeri banyak yang masuk ke Indonesia, terutama di kota-kota besar, baik dari industri fashion, makanan dan minuman retail, restoran, dll.
Tidak hanya jumlahnya yang banyak, karakteristik masyarakat Indonesia yang dimanfaatkan dengan baik oleh para brand dari luar negeri adalah sifat konsumtifnya. Tentu kita mengenal dengan baik kebiasaan masyarakat kita yang lebih suka beli dari pada membuat (terlihat dari berbagai produk kebutuhan rumah tangga, di Australia dan Amerika masih banyak mereka membuat sendiri perabot rumah tangga, tapi di Indonesia, beli donk kan ada yang murah gitu yah biasanya kalimatnya :D) dan juga masyarakat kita peduli sekali dengan yang namanya tren dan merk! Untuk menunjang gengsi atau status sosial.
Lucunya kemarin saat kami sedang mengerjakan proyek campaign kesehatan, ada data yang menarik sekali. Di Indonesia masyarakat lebih peduli dengan lifestyle dibandingkan dengan kesehatan. Data penderita kanker serviks terbesar adalah di Jawa Barat, dan masyarakat di sana lebih mementingkan ganti HP dan beli baju dibanding memikirkan tentang kesehatan mereka baik jangka panjang maupun pendek. Nah lho? Ini hal baik atau buruk ya, yang jelas di mata para pemilik brand dan dunia bisnis, hal ini didefinisikan sebagai peluang. Dilema yah!
Anyway memang benar bahwa banyak brand LN yang masuk ke Indonesia dan menjajal peruntungan mereka menggarap pasar di Indonesia. Karena kemarin ini saya baru saja makan Domino’s Pizza mari kita diskusi tentang brand-brand asal LN di industri restoran.
Saya jadi ingat tentang Burger King yang pernah gagal di Indonesia. Karena dulu waktu kecil kami cukup sering mengunjungi Burger King yang berlokasi di Plaza Indonesia. Saat itu Burger King masih mengusung konsep lama, dengan logo yang lama pula. Mengenai produk saya tidak banyak ingat. Lalu pada saat saya remaja Burger King lenyap! Mereka bangkrut gosipnya. Banyak orang pada saat itu bilang bahwa fast food di Indonesia tidak akan hidup kalau tidak dengan menu ayam!
Mana pada waktu itu didukung juga dengan tutupnya Subway yang juga merupakan franchise asal LN dengan konsep sandwich dan makanan sehatnya. Wah.. apa iya fast food tidak akan survive tanpa ayam goreng :D
Tapi ternyata teori tersebut tidak sepenuhnya betul at least sampai saat ini misalnya Burger King masih survive. Burger King tidak menyediakan ayam goreng, tapi dengan tampilan yang lebih menarik dan identitas yang baru. Saya tidak banyak meneliti tentang hal ini, bisa saja terjadi bahwa pasar yang dulu belum siap untuk Burger King, tapi pasar yang sekarang dengan dominasi pertumbuhan Gen Z yang semakin mengarah pada kehidupan lifestyle, Burger King mampu survive. Dan mengenai Subway sendiri, selain bisa jadi pasar saat itu belum siap, juga strategi Place yang mereka usung pada saat itu kurang tepat, dengan harga yang cukup tinggi, mereka buka di food court-food court. Tentu hal ini menurunkan image dan bisa jadi salah bidik target market juga.
Nah jadi gimana dengan Domino’s Pizza? Waktu mereka buka di Indonesia, pertama kali di Jakarta, saya tidak terlalu memikirkannya karena tahu bahwa di Jakarta kemungkinan akan survive, mengingat begitu banyak kebutuhan akan restoran dan di Jakarta pun sudah banyak restoran pizza yang survive selain Pizza Hut.
Tapi paling kaget waktu mereka buka di Bandung, langsung 2 outlet pula! Yang satu di PVJ dan yang satu di Dago. Sebenarnya Bandung ini punya karakter yang unik dan berbeda dibandingkan dengan Jakarta, itulah mengapa para pemain brand dari Jakarta saat masuk ke Bandung perlu mengetahui hal ini dengan baik. Orang Bandung cenderung mau “nyamperin” tempat-tempat makanan yang valuable, karena jarak di kota Bandung tidak terlalu jauh. Orang Bandung juga bukan orang yang price sensitive tapi mereka value sensitive. Jadi bukan berarti makanan mahal ga laku, tapi makanan mahal yang ga worth it bisa ga laku!
Jadi waktu Domino’s buka di Bandung saya langsung teringat dengan Papa Ron’s yang sudah menurun bisnisnnya (kalau tidak salah tinggal 1 outlet saja di pinggiran Bandung) kalah dibandingkan dengan Pizza Hut. Tentu dari sisi value yang ditawarkan, Pizza Hut unggul sekali!
Tapi beda sekali dengan apa yang ditawarkan oleh Domino’s. Rasanya Domino’s telah mampu menciptakan diferensiasi untuk melawan Pizza Hut, menjadi alternatif masyarakat mengkonsumsi pizza dengan harga yang lumayan.
Berikut adalah diferensiasi yang mereka miliki :
Content
Dari segi produk rasanya tidak terlalu banyak perbedaan dengan Pizza Hut, maksudnya dari segi rasa sama-sama enak. Dari segi harga pun mirip-mirip. Bahkan bisa dibilang Domino’s memiliki jumlah menu yang jauh lebih sedikit dibanding Pizza Hut. Karena konsep yang mereka tawarkan adalah kepraktisan, bukan dine-in habit atau restoran yang ditujukan untuk duduk dalam jangka waktu yang lama. Berkaitan dengan konsep ini maka produk yang ditawarkan pun berkisar pada pizza, pasta-pun hanya ada lasagna, dan dessert pun hanya 2 jenis saja.
Jenis yang tidak kita temukan di Pizza Hut adalah jenis dengan roti yang tipis, jadi di Domino’s ada 2 jenis, roti biasa dan roti tipis dengan harga yang lebih mahal karena isi pizza jadi lebih banyak.
Context
Yang menarik adalah konteksnya, cara mereka menjual. Domino’s come out dengan konsep serba praktis. Makan pizza praktis ajalah ga usah ribet! Seperti cara orang Amerika makan pizza. Di luar negeri, Domino’s adalah counter pizza pinggir jalan, di mana orang bisa mampir, spend time max 15 minutes untuk makan, atau bisa dibungkus makan di taman or di rumah untuk nonton. Pizza is simple. Begitu juga dengan konsep yang mereka bawa ke Indonesia. Mereka tidak menggunakan piring, jadi baik yang makan di tempat maupun yang di bungkus menggunakan kemasan karton.
Yang bagi saya paling unik dan dapat diekspos adalah mereka mengunggulkan ‘fresh’nya mereka, saat kita pesan, adonan dari roti pizza nya baru mereka buat, jadi kita bisa mengintip para petugasnya membuat adonan tersebut seperti di mie laiker, dengan tepung dan adonan yang dilempar-lempar. Pizza Hut tidak mengusung open kitchen, jadi kita tidak tahu apakah adonannya baru dibuat atau sudah lama. Tapi di Domino’s hal itu dijadikan nilai jual, diekspos dan bisa jadi daya tarik.
Infrastructure
Kemudian dari sisi pelayanan, mereka cukup mengekspos delivery service mereka, karena balik lagi ke konsep pemahaman bahwa Pizza adalah praktis, bisa di makan kapan saja, di kantor, di acara ulang tahun, di rumah, atau di mana saja.
Kepraktisan ini yang sama sekali tidak dianut oleh Pizza Hut, karena Pizza Hut mengusung konsep makan di restoran, bersama keluarga, teman, dll dalam waktu yang lama. Dan menurut saya Domino’s bisa come out dengan something new, dan hal ini jauh lebih baik dibandingkan head to head dengan raksasa seperti Pizza Hut (seperti yang dilakukan oleh Papa Ron’s Pizza).
Di gerai Domino’s juga tersedia wifi, dan bangunannya pun nyaman sangat cocok dengan konsep yang mereka usung.
So, pertanyaannya adalah apakah mereka akan survive? Jawabannya tentu bisa kita lihat di 2-3 tahun mendatang. Karena biasanya siklus industri restoran adalah di tahun ke-3, saat konsumen loyal harusnya sudah terbentuk. Di tahun pertama dan kedua adalah konsumen coba-coba, sedangkan tugas terberat adalah mengkonversi para konsumen coba-coba menjadi konsumen loyal.
Saya sih cukup optimis, mengapa? Karena saya lihat ada 2 hal yang mereka lakukan dengan baik :
Yang pertama adalah mereka thing global act local!
Dengan konsep mereka yang sangat LN mereka cukup lokal dalam berstrategi komunikasi. Salah satunya adalah dengan menggantungkan menu mereka di pintu-pintu perumahan, sama seperti yang pesaing mereka lakukan namun tentu hal ini tidak cukup, mereka harus move forward pada pengelolaan database konsumen saat ini. Mengenai hal ini saya belum lihat langkah mereka ke arah sana (mungkin saja mereka lakukan untuk database delivery mereka), namun untuk konsumen walk in store, tidak ada tanda-tanda pengelolaan database.
Berikutnya adalah tentang Efisiensi!
Dengan konsep kepraktisan yang diusung, mereka memiliki jumlah karyawan yang sangat sedikit. Waktu saya perhatikan kemarin, di counter mereka hanya ada 3 orang. 1 orang kasir, 1 orang pembuat pizza, 1 orang supervisor merangkap pemberi order. Dengan tidak adanya piring, tidak perlu dicuci, tidak perlu ada waiter yang mengantar (karena konsumen mengambil sendiri pesananannya) tentu akan menghemat biaya SDM yang sangat besar, dan bayangkan saja jika kita membandingkannya dengan Pizza Hut yang mengusung konsep pelayanan, begitu banyak SDM yang mereka gunakan. Dalam bisnis, efisiensi merupakan faktor yang signifikan dalam menjamin sustainability perusahaan.
Saya semakin tertarik untuk memperhatikan kancah persaingan mereka tentu banyak yang bisa kita pelajari dari sini, baik dari sisi penciptaan diferensiasi yang cermat dalam menghadapi pasar yang sudah dikuasai oleh pemain lama, dan tentu cara mereka mengambil hati generasi baru di masyarakat. So.... let’s have a pizza.
Creative Sales
sumber gambar (bob105.com & zonadiskon.com)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Ulasan yang menarik. Kebetulan saya kemarin baru saja melewati jalan arteri permata hijau, Jaksel. Di salah satu pusat perbelanjaan, ada gerai Domino Pizza, dan mereka melakukan aksi turun ke jalan, membawa poster seukuran A4 hanya untuk berdiri di lampu merah dan menunjukkan poster tersebut di pinggir jalan.
Yang menggelitik pemikiran saya adalah, dengan brand yang sebenarnya premium, apakah cara tersebut tidak men-"degradasi"kan merk nya, karena caranya yang agak, maaf, sedikit "kampungan"
Tapi entahlah.. At the end of the day, jika cara itu mendongkrak omzet dan profitabilitas serta sustainability perusahaan, why not ??
Lim Heru Harliman
Ngomongin ttng Restoran Pizza jadi inget. Paling ga dari awal tahun ini (kl ga salah) skg Pizza Hut berusaha memperkuat image pelayanannya. Yg suka makan di Pizza Hut pasti ngerasain gmn tau2 pelayannya sangat SKSD (sok kenal sok deket) dengan pernyataan2nya. Kayak, wah order kakak tepat sekali. Itu yg spesial hari ini. Atau ketika gigitan pertama kita makan, ga lama pelayannya dtng lg dan menanyakan bagaimana makanan hari ini. Apakah ada yg kurang dari rasanya?
Awalnya merasa sangat terganggu dgn pendekatan ini. Tp kemudian baru "Ngeh" kl ternyata mereka berusah untuk tetap memperkuat imagenya. Layanan dan kenyamanan :)
Lets see how it works in 2-3 years ;)
Post a Comment