Pemasaran dan Penjualan
Kisah Klasik yang Tak Kunjung Berakhir
Featuring: Bondan VS Boris
Kisah Klasik yang Tak Kunjung Berakhir
Featuring: Bondan VS Boris
Fenomena klasik yang kerap kali terjadi di sebuah organisasi perusahaan biasanya memiliki dasar permasalahan yang mengakar. Sebelum melanjutkan pembahasan ini, lingkup perusahaan akan difokuskan pada perusahaan yang memiiki divisi pemasaran dan penjualan secara terpisah. Untuk perusahaan yang memiliki fungsi pemasaran yang masih merangkap dengan penjualan belum akan kita bahas disini.
Kisah klasik dalam sebuah korporat ini diperankan oleh dua tokoh utama. Tapi bukan si Bawang merah dan si Bawang Putih. Bukan pula Sang Rahwana dan Sri Rama . Dua tokoh yang berseteru dalam kisah klasik korporat ini bukan tentang si Jahat dan si Baik. Keduanya sama-sama memperjuangkan tujuan utama sebuah korporat, mencapai profit yang tinggi. Mereka adalah Bondan dan Boris.
Pagi itu, awan kelabu menggantung di atas langit rumah kost Bondan, staf penjual terbaik dari perusahaan Purified (nama samaran untuk sebuah produsen minyak goreng). Jarum pendek jam baru saja singgah di angka 6, mendung pula,bonus angin sepoi-sepoi, sungguh kondisi yang mendukung untuk tertidur pulas. Namun Bondan sudah meluncur dengan Kawasaki Ninjanya menuju kantor. Sssst…kabar burungnya Bondan akan di-promote untuk sales supervisor area Bandung.
Pada waktu yang sama, Boris, staf pemasar yang paling inovatif di Purified baru saja menyantap sarapan yang disediakan ibunya di meja makan yang berdiameter 3 meter. Ck..ck..ck meja makannya saja bisa dipakai main billiard. Lulusan pasca sarjana luar negeri ini adalah salah satu koleksi pria metropolis yang di-gandrung-i oleh staf-staf wanita di Purified .
Hari itu adalah jadwal rapat evaluasi kinerja periode 3 bulanan. Bondan telah menyiapkan bahan presentasi angka laporan penjualan 6 bulan yang lalu untuk dibandingkan dengan angka penjualan 3 bulan terakhir. Bagaimana dengan Boris? Seperti biasa Boris terlihat percaya diri karena telah siap dengan konsep pemasaran yang menurutnya sangat inovatif. Tibalah saat presentasi Bondan melaporkan penjualan yang meningkat selama 3 bulan terakhir. Sayang, persentasi peningkatannya menurun 5% dibandingkan dengan penjualan 3 bulan sebelumnya atau 6 bulan yang lalu. Penurunan itu pun langsung mendapat feedback dari Boris secara tajam. “Saya sudah memasang iklan dari 6 bulan yang lalu di televisi dan Koran lokal secara rutin Bondan. Kamu tahu kan aggaran yang sudah saya keluarkan! Kenapa kenaikkannya hanya seperti ini?” Boris menyerang Bondan tanpa tedeng aling-aling. Namun Bondan tetap tenang sembari mengeluarkan laporan riset product usage minyak Purified dan menyodorkannya ke Boris. Laporan riset tersebut dibuat berdasarkan hasil kunjungan Bondan ke agen-agen baik itu kelas menengah maupun kelas kecil. Untuk informasi Anda, Purified adalah produk minyak goreng yang ditujukan kepada konsumen dari kelas menengah sampai kelas menengah bawah. Enam bulan yang lalu Bondan sudah mencoba untuk merepresentasikan laporan riset tersebut kepada divisi pemasaran melalui Boris. Bondan tahu bahwa format laporan tersebut memang kurang memenuhi standar, oleh karenanya Bondan memberikan laporan tersebut kepada Boris dengan tujuan agar Boris mengolahnya dengan meneruskan data itu ke divisi riset. Namun Boris tidak menggubris laporan Bondan, bahkan tidak meminta opini dari divisi riset. Boris menganggap laporan Bondan tidak qualified.
Dalam kasus ini Bondan memang tidak membuat format laporan dalam standard yang baku dan kurang dapat dipahami dengan baik. Namun laporan Bondan yang berisi tentang range harga daya beli konsumen, alasan konsumen memilih Purified, dan tempat distribusi yang mudah dijangkau oleh konsumen Purified tersebut dibuat berdasarkan pengalamannya di lapangan. Boris, si pemasar yang katanya inovatif , saat itu sedang menyiapkan sebuah konsep komunikasi promosi tentang penguatan positioning image Purified di benak konsumennya. Boris pun akhirnya menjalankan strategi penempatan branding tools di pasar swalayan yang konsumennya berasal dari segmen menengah sampai dengan segmen menengah atas. Boris ingin menggeser positioning Purified untuk menempati benak konsumen di kategori menengah – menengah atas. Tujuannya tentu saja peningkatan harga, yang berujung pada kenaikkan profit. Aktivitas above the line pun dilakukan dengan tidak tanggung-tanggung. Rupanya, atasan si Boris sangat percaya pada lulusan luar negeri ini. Dikucurkannyalah dana yang sangat besar untuk mendukung inisiatif si Boris. Ternyata hasilnya sungguh di bawah ekspektasi. Ha..ha.. Hal ini menurut saya, disebabkan oleh kesalahannya sendiri, yang menetapkan ekspektasi berdasarkan asumsi sendiri tanpa meminta data analisa dari sang ujung tombak sebuah kerajaan korporat,…siapa lagi kalau bukan si Penjual.
Ilustrasi si Bondan dan Boris adalah cerminan kisah klasik yang mendera organisasi korporat dengan divisi pemasaran dan penjualan yang berdiri sendiri. Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disintegrasi keselarasan kinerja antara tokoh pemasar dan penjual :
1. Pola pikir
Faktor fundamental yang membedakan seorang pemasar dan penjual adalah kerangka berpikir atau pola berpikir mereka. Mari kita telaah pola pikir si Ujung Tombak Kerajaan Korporat. Seorang penjual adalah orang yang berinteraksi langsung dengan para calon pembeli, dan para pelanggan. Interaksi hubungan yang bersifat direct atau langsung ini menjadi sebuah manfaat positif bagi si penjual. Yakni penjual dapat langsung mencari needs terdalam dari konsumen. Selain itu penjual dapat mengetahui apakah manfaat yang dijual sebuah produk dapat sungguh-sungguh memenuhi needs pelanggan dengan tepat atau ternyata kurang dari ekspektasi si pengguna. Selain itu meskipun pada umumnya si penjual memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah dari si pemasar namun si penjual yang sering berinteraksi dengan pelanggan akan memiliki daya sensitivitas dan daya empati yang kuat dan oleh karenanya ia bisa dengan mudah menjalin hubungan pertemanan dengan siapa saja.
Si tokoh pemasar pada umumnya adalah individu yang memiliki daya analisa helicopter view Hal ini dikarenakan pemasar biasanya memiliki latarbelakang pendidikan yang lebih tinggi dari staf penjual. Pemasar harus terbiasa untuk memetakan kondisi lapangan atau dapat kita ilustrasikan sebagai sebuah medan perang dari Kerajaan Korporat. Tindakan pemasar dalam memetakan medan perang atau sebuah pasar dinamakan dengan strategi segmentasi. Sudut pandang helicopter view yang digunakan si pemasar tentunya akan menghasilkan pengamatan yang berbeda dengan pengamatan si penjual yang berhadapan frontal dengan para pelanggan dan pergerakan pesaing . Oleh karenanya diperlukan koordinasi kinerja antara divisi pemasaran dan penjualan . Pada prakteknya untuk menciptakan sinergi yang harmonis antara keduanya bukanlah hal yang mudah. Yahh …gampang-gampang susah. Dibutuhkan suatu kontinuitas dan komitmen dari keduanya.
2. Karakter
Sehubungan dengan latarbelakang yang berbeda dari keduanya tentunya mereka mempunyai jenis karakter yang berbeda. Hal ini juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang berbeda. Pada akhirnya karakter pun nantinya akan membedakan kerangka kerja dari mereka.
Kedua faktor perbedaan tersebut tentunya menimbulkan sebuah bahkan beberapa konflik. Menurut Hermawan Kartajaya konflik pemasaran dan penjualan terjadi di tiga area yakni : area eksekusi, area strategi, dan area organisasi.
Konflik eksekusi sering disebut dengan konflik lapangan. Konflik terjadi ketika penjual tidak memakai strategi pemasaran ketika menjual produknya. Dengan alasan dikarenakan target penjualan yang tinggi maka si penjual menembak segala jenis target konsumen. Para penjual pun menganut prinsip “yang penting laku, dan target terpenuhi”. Selain itu mereka cenderung meminta manajer pemasaran untuk memberi kemudahan dalam hal potongan harga . Dengan begitu, maka sia-sialah usaha tim pemasar dalam membangun merek .
Konflik yang kedua adalah konflik strategi. Konflik ini terjadi bila tim pemasar tidak mengacuhkan dari tim penjualan ketika menetapkan sebuah strategi. Dalam cerita di atas konflik strategi dimulai ketika si Boris tidak menggubris data yang diberikan oleh Bondan. Data lapangan yang dikumpulkan oleh Bondan adalah data yang sangat mendetail mengenai kondisi di lapangan. Seharusnya data tersebut diolah oleh Boris, dengan begitu akan tercipta sebuah sinergi antara konsep strategi pemasaran dengan strategi penjualan. Sinergi yang dihasilkan akan memberikan dampak positif bagi sebuah perusahaan, yakni tercapainya target penjualan dan terbentuknya brand image yang tepat di benak konsumen. Kondisi ini adalah kondisi ideal yang tidak bersifat stabil. Pada dasarnya ada banyak faktor yang mempengaruhi sebuah kondisi ideal. Oleh karenanya kondisi ini harus selalu terus dipelihara, dievaluasi dan dibutuhkan konsistensi dari pemasaran dan penjualan.
Konflik ketiga menurut pendapat Hermawan adalah konflik organisasi. Konflik ini terjadi ketika sumber daya di pemasaran dan penjualan sudah benar-benar tidak peduli terhadap sinkronisasi kinerja kedua divisi tersebut. Orang pemasaran hanya memikirkan pencapaiannya sendiri, yakni brand awareness, brand image, dan brand association yang tinggi. Begitupun dengan orang penjualan yang hanya akan mementingkan pencapaian targetnya sendiri. Misalnya dengan memberikan potongan habis-habisan yang mengakibatkan ter-dilusinya sebuah ekuitas merek.
Itulah tiga masalah utama menurut Hermawan yang seringkali eksis di sebuah perusahaan . Setelah kita mengevaluasi masalah mana yang benar-benar dominan, maka barulah bisa diformulasikan resepnya.
No comments:
Post a Comment