DEMOKRASI KONSUMEN
Salah satu isu hangat dalam dua bulan terakhir ini krisis finansial global dan pemilihan umum di Amerika Serikat. Lalu apa menariknya kedua hal tersebut? Banyak hal yang menarik di sini. Untuk krisis finansial global, kita perlu menjadi risk manager. Artinya kita harus mampu mengatur resiko. Apapun profesi kita dan tidak terbatas pada posisi manajerial atau yang terkait dengan divisi keuangan saja. Karena pada dasarnya manusia bersikap sebagai risk aversion atau menghindari resiko, sudah saatnya kita mengubah sudut pandang kita terhadap resiko tersebut. Bukannya dihindari, atau yang lebih ekstrim sebagai risk taker, tetapi resiko perlu dikelola dengan bijak.
Isu hangat kedua adalah mengenai pemilihan umum di Amerika Serikat. Di negara adidaya ini muncul fenomena kesetaraan dan pemimpin muda. Ya siapa lagi kalau bukan Barrack Obama. Figur Obama merupakan representasi dari kaum minoritas kulit hitam disana. Seandainya terpilih, dipastikan Obama akan menjadi presiden pertama berkulit hitam. Obama juga mewakili generasi muda di Amerika Serikat. Inilah kemudian banyak didengungkan oleh praktisi politik di tanah air sebagai pembelajaran bagi bangsa kita. Sudah saatnya generasi muda memiliki akses dan kesempatan untuk memimpin bangsa ini.
Lalu apa hubungannya dengan marketing? Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas kedua isu tersebut secara mendalam. Saya juga tidak akan melibatkan diri saya dalam pandangan pro dan kontra seputar fenomena pemimpin muda. Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengetengahkan pelajaran yang dapat dipetik dari dua fenomena global tersebut. Dan tentu saja dalam kacamata strategy.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan salah satu negara paling demokratis di muka bumi ini. Menurut salah satu presenter berita di televise, Indonesia menduduki posisi ketiga didunia dalam hal demokrasi tersebut. Saya yakin diantara kita, pembaca budiman khususnya memahami tentang demokrasi. Banyak indikator yang diguanakan untuk mengukur tingkat demokrasi suatu negara. Setidaknya dalam hal kebebasan dalam menggunakan haknya.
Dalam hal ini kita dapat berbangga diri sebagai negara paling demokrasi. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dalam hal kebebasan. Khususnya dalam kebebasan menyuarakan pilihannya. Inilah yang banyak dipuji oleh negara kita atas pencapaian dalam demokrasi. Tetapi apakah kita pernah memikirkan ada di posisi ke berapa negara kita dalam hal demokrasi konsumen ?
Meskipun saya sendiri belum menemukan survey yang secara khusus mengkaji hal ini, tetapi saya yakin bahwa Anda akan skeptis bahwa konsumen di Indonesia telah mengalami demokrasi. Konsumen kita memang belum sepenuhnya merasakan demokrasi. Banyak kasus yang bisa saya angkat dalam tulisan ini. Salah satu kerabat saya pernah di rawat di rumah sakit dan pihak dokter merekomendasikan untuk melakukan foto untuk menentukan diagnosis medis yang perlu diberikan. Keluarga kerabat saya pun menyetujuinya. Namun, apa hasilnya ? Saya kira Anda telah mempunyai jawabannya. Pihak dokter menyarankan foto dengan alat yang berbeda. Secara keseluruhan, foto dilakukan tiga kali dengan tiga alat yang berbeda. Aneh memang, mengapa dokter tidak menyarankan untuk menggunakan alat yang terakhir untuk memastikan keluhan kerabat saya.
Keluarga kerabat saya pun mengeluhkan tindakan dokter di rumah sakit tersebut yang terlalu komersial. Sebagai konsumen, kerabat saya perlu memperoleh perawatan medis dengan baik. Dalam pemasaran, hal inilah yang dinamakan nilai. Artinya, selisih manfaat yang diperoleh konsumen dengan biaya yang dikeluarkan konsumen. Dalam kasus ini, kerabat saya mengeluarkan biaya yang lebih besar daripada semestinya untuk memperoleh perawatan medis yang baik. Akibatnya haknya sebagai konsumen
Sudah saatnya perusahaan memprioritaskan suara pelanggan. Dalam industri apapun, perusahaan semestinya melihat konsumen sebagai partner mereka bukan sebagai sumber dana yang dapat dieksploitasi sesuai dengan kehendaknya. Bahkan dalam industri medis sekalipun, dimana tingkat resiko yang dipersepsikan dan kredinbilitas yang diberikan begitu tingginya. Kuncinya adalah menjaga etika bisnis.
Dengan tidak memanfaatkan ketidaktahuan konsumen, perusahaan harus memberikan kesempatan konsumen untuk berdemokrasi. Sudah saatnya konsumen kita mampu merasakan demokrasi dengan menggunakan haknya sebagai konsumen.
2 comments:
Bagus juga ide demokrasi konsumen. Tapi bukannya sudah banyak perusahaan yang punya divisi customer care ya?jadi tempatnya konsumen curhat...
Trus bukannya juga sudah ada undang-undang perlindungan konsumen?
mungkin masih banyak juga perusahaan yang belum punya customer care ya?
hari genehhh...
Semuanya emang tergantung sama pengusaha / owner perusahaan sih...
Nampak "Customer is a king" kalah saing sama "Money is Everyhing"..
Menyedihkan..Tapi itu memang masih terjadi di Indonesia ya....
Post a Comment