Nov 9, 2008

It’s fine to be follower!
Well, I mean a success follower!



Tidak bisa dibantah lagi ya jika dunia industri dan bisnis di Indonesia sekarang ini berkembang dengan sangat pesat. Lihat saja, berapa banyak produk atau jasa yang bermunculan dengan perusahaan dan brand yang berbeda. Situasi seperti ini diakibatkan tingkat pendidikan yang semakin tinggi dari setiap individu pelaku bisnis dan tentu saja ketersediaan dana yang cukup besar untuk diaplikasikan dalam bisnis perusahaan. Sebagai business person baru yang hendak bermain dalam pasar, kita terkadang bingung juga memilih produk atau jasa apa yang akan kita ‘mainkan’. Menjadi brand pioneer nampaknya cukup terlambat bagi kita sekarang ini (yah walaupun bukan berarti tidak mungkin, karena kreativitas lah yang menentukan). Hal yang lebih sering dan lebih gampang kita lakukan ya menjadi follower ya! Terkesan tidak kreatif? Biar saja! Selain ‘godaan’ akan kesuksesan brand pioneer memang cukup kuat, menjadi follower sekarang ini bukanlah sesuatu hal yang memalukan lagi. Asalkan cara yang dilakukan benar dan legal, percayalah, tidak ada salahnya sama sekali menjadi follower.

Jika ingin menjadi follower, jadilah follower yang sukses. Kesuksesan disini jangan hanya dinilai mampu mengalahkan brand pioneer semata, mampu bersaing dan berdiri sejajar pun harus dinilai sebgai kesuksesan tersendiri bagi brand follower. Nah, untuk menjadi suskses, ada beberapa keyakinan dan cara yang bisa dilakukan untuk menandingi ataupun hanya sampai menyamai kesuksesan pioneer:

1. I’m different!
Biasanya ini adalah cara yang banyak digunakan para follower untuk merebut pasar pioneer-nya. Mendiferensiasikan diri dari brand produk atau jasa yang sudah ada diharapkan mampu menjadi nilai jual yang lebih kepada target market. Tentu saja seperti kita ketahui bersama, differensiasi bisa diterapkan dalam segi konten, konteks, atau infrastruktur. Penerapan di semua segi pastilah akan sangat membuat brand follower menjadi menonjol, tapi jika ternyata tidak mampu mendiferensiasikan diri di semua segi, salah satu segipun sudah cukup. Tidak masalah sama sekali jika harga yang ditawarkan brand kita sama atau mungkin lebih mahal dari brand pioneer, karena disini brand kita telah diposisikan berbeda. Namun memang untuk mampu secara kuat bersaing dengan brand pioneer, sebaiknya juga dianggarkan dana promosi yang cukup besar agar gaungnya terdengar cukup kencang di target market, baik ke target market yang telah tergarap oleh brand pioneer maupun target market yang masih belum tergarap dengan baik. Intinya disini, differensiasi menjadi core competency dalam persaingan dengan brand pioneer. Brand harus bisa ‘berbicara’ bahwa dirinya memang berbeda.

2. Siapa takut?
Nah cara yang ini jika dalam istilah saya sih ‘nekat’. Kenapa? Ya karena brand follower memutuskan untuk menantang brand pioneer dengan segalam macam kesamaan. Tidak ada diferensiasi disini, apa yang dimiliki brand pioneer ya dimiliki juga oleh brand follower. Terlihat seperti tidak kreatif? Belum tentu! Mungkin saja cara ini diterapkan untuk menggarap pasar yang sama dengan budget yang sama dengan brand pioneer. Menghindari cost ekstra pada prinsipnya lah! Diferensiasi kan pasti memerlukan cost ekstra. Disini brand follower memiliki pola pikir biarlah brand-nya diposisikan setara dengan brand pioneer, harga yang diterapkan pun biasanya mirip atau sedikit lebiih murah, kalaupun mau lebih mahal, pasti hanya sedikit sekali perbedaannya. Namun bukan berarti cukup sampai disitu, karena dengan cara seperti ini sudah pasti perusahaan memerlukan promosi yang cukup gencar untuk dapat mencuri perhatian dari target market dan kue pasar pioneernya.

3. Khusus Lebih Bagus
Cara yang satu ini lebih ‘pintar’ memilih posisi, harga, promosi, dan target market. Segmen yang yang ditembak lebih difokuskan ke segmen khusus yang dinilai lebih menguntungkan dan lebih prospektif bagi brand follower. Maka dari itu, perusahaan sudah pasti memposisikan dirinya berbeda dengan brand pioneer. Bukan hanya itu, brand ini juga berani mengambil keputusan untuk menetapkan harga yang lebih mahal. Eits, jangan salah, penetapan harga premium itu bukan berarti bahwa perusahaan habis-habisan dalam menantang pioneernya. Lihat budget promosinya, karena mereka hanya mengambil segmen khusus yang lebih terfokus, maka budget promosi dan komunikasinya pun otomatis menjadi lebih kecil. Cara ini merupakan cara yang ‘pintar’. Buat apa ‘serakah’ mengambil semua segmen atau target market jika kita dapat menemukan ceruk pasar yang lebih potensial, lebih prospektif dan lebih menguntungkan jika digarap dengan serius. Brand pioneer akan lebih sulit ‘berpikir’ ke arah situ karena sudah terlanjur berdiri dengan posisinya sejak awal. Disinilah brand follower bisa leluasa memilih.

4. Up is my class
Ini baru cara yang ‘wah’, karena brand follower terlihat lebih focus pada penetapan harga yang lebih mahal dibandingkan memikirkan perbedaan posisi atau semacamnya. Namun walaupun harga yang ditetapkan premium, perusahaan tetap memutuskan untuk menyamakan posisi dengan brand pioneer. Cara tersebut diambil dengan pertimbangan bahwa perusahaan melihat pasar atas relative lebih menjanjikan dibandingkan pasar tengah apalagi pasar bawah. Budget promosi yang dikeluarkan pun cenderung lebih sedikit saat pasar premium yang digarap. Jadi disini yang membedakan brand follower denagn brand pioneernya adalah dari segi harga yang menembak pasar yang lebih atas. Lagi-lagi sebagai follower kita bisa bebas meneliti dan mengambil pasar yang lebih menguntungkan dibandingkan brand pioneer yang lebih ‘sulit’ berpindah pasar dan merubah harga.

Sekarang sih tinggal pilihan masing-masing brand follower, cara yang mana yang dinilai lebih cocok untuk brand produka tau jasa yang dimilikinya. Saya cuma mau mengingatkan lagi, it’s fine to be follower! Well, i mean a success follower!

1 comment:

Anonymous said...

Yah jadi success follower boleh saja. Tapi bukannya it's better to be the first?hehehe....

Biar bagaimanapun jadi pioneer juga harus pintar memaintain brand, supaya ngga disalip sama yang baru.