Nov 24, 2008

Mengapa Sulit Sekali
Memuaskan Pelanggan?



“Untuk apa sih pren kita riset konsumen segala? Nyari tau needs, wants, sama expectation konsumen kaya yang lo bilang itu sebenernya biar kita bisa bikin produk atau jasa yang mereka suka ya? Trus?”. Pertanyaan salah seorang sahabat yang sering saya ‘cekoki’ dengan ilmu-ilmu yang saya dapat selama bekerja di bidang branding cukup membuat saya juga menelaah kembali apa inti dari semua itu. Kepuasan pelanggan kah pada akhirnya?

Bukankah memang pada saat kita dapat mengetahui apa yang dibutuhkan, diinginkan dan diharapkan oleh konsumen, kita jadi mengetahui celah-celah untuk memuaskan konsumen secara maksimal. Namun jawaban saya itu memunculkan ‘curhat colongan’ dari sahabat saya tersebut. “Ah, gw ngerasa udah maksimal banget ngusahain biar konsumen yang datang ke toko gw dapet kepuasan, tapi tetep aja nggak pernah cukup. Orang tuh emang nggak pernah ada puasnya tau pren! Susah!”.

Hmm…memang sih kalau dipikir-pikir usaha memuaskan pelanggan memang tidak hanya cukup dengan memberikan apa yang mereka inginkan atau butuhkan atau harapkan semata, kenyataannya tidak semudah itu ya. Selalu ada rintangan yang harus dianggap justru sebagai tantangan oleh setiap perusahaan dalam memuaskan pelanggannya. Mungkin disini ada baiknya jika perusahaan mengetahui tantangan apa saja yang mungkin mereka hadapi dalam usahanya memberikan kepuasan pelanggan. Tantangan tersebut bisa terlihat dari karakteristik konsumen itu sendiri.

Karakteristik konsumen yang bagaimana yang bisa menjadi rintangan atau tantangan bagi perusahaan? Di bawah ini beberapa diantaranya :

1. Plin Plan
“Pembeli adalah raja” memang merupakan ungkapan yang mutlak bagi dunia bisnis. Seperti raja, mereka harus dilayani dan dipenuhi keinginannya semaksimal mungkin. Namun di satu sisi, sebagai manusia, pelanggan juga pasti memiliki sifat yang dinamis dalam dirinya. Begitupun juga dengan apa yang menjadi wants, needs, dan expectation-nya. Dinamis, itu artinya semuanya terus berubah waktu demi waktu, bahkan lebih parah lagi ada banyak faktor yang mampu mempengaruhi perubahan tersebut. Apa yang pelanggan inginkan saat ini, belum tentu masih menarik perhatiannya esok hari. Itulah sebabnya mengapa cukup banyak industry yang booming hanya dalam waktu sesaat namun kemudian ditinggalkan pelanggannya.

Kita bisa lihat contoh industry minuman bubble tea (walaupun jenisnya tidak hanya tea saja, tapi ada juga juice dan coffee) beberapa tahun yang lalu yang begitu booming dikalangan menengah atas. Saat itu minuman dalam kemasan cup bubble tea seperti dapat memenuhi ekspektasi target market yang menginginkan minuman jenis berbeda dari yang selama ini ada. Konteks yang diberikan dengan cara menjual di counter-counter yang terdapat di mall-mall atau tempat-tempat yang sedikit ekslusif dan menggunakan system take away pun dirasa dapat memuaskan pelanggannya.

Namun sekarang tren berubah, target market berubah ekspektasi dari sekedar membeli minuman take away semata. Sekarang target market lebih prefer pada tempat minum yang memungkinkan mereka bisa minum sambil nongkrong, kongkow dengan teman-temannya di tempat tersebut. Itulah makanya tempat-tempat ngopi seperti Ngopi Doeloe, Starbuck, dan sebagainya menjadi tempat yang dituju oleh target market. Dulu system take away yang menawarkan kepraktisan memang diminati, tapi skarang tema life style lebih disukai oleh masyarakat Indonesia pada khususnya. Plin plan ya..tapi yah mau bagaimana lagi, kita juga begitu, bukan?

2. Penganut poligami
Demi menjaga loyalitas pelanggannya, biasanya perusahaan melakukan berbagi cara dan promo yang cukup agresif. Membuat sebuah komunitas atau system yang mengikat diharapkan mampu membuat pelanggan memutuskan untuk loyal terhadap satu jenis produk atau saja saja. Di jaman seperti ini? Rasa-rasanya itu adalah sebuah keinginan yang terlalu naïf. Lihat saja, begitu berkembangnya dunia bisnis di Indonesia sehingga mampu memunculkan berbagai macam brand-brand baru yang secara konten, konteks maupun infrastruktur mampu menjadi pesaing yang tangguh bagi brand lainnya. Berlomba-lomba mengedepankan keunggulan masing-masing menjadi salah satu cara untuk menarik perhatian konsumen.

Bagi konsumen, walaupun itu terkadang membingungan, namun lebih banyak memberikan keuntungan tersendiri. Kenapa? Karena konsumen jadi memiliki banyak pilihan dan alternative yang terbaik bagi mereka. Loyalitas yang dimiliki terhadap satu produk atau jasa bisa dipastikan tidak akan sampai 100% lagi.

Kesetiaan bukan lagi jadi hal yang bisa diharapkan. Saya yakin banyak dari kamu yang memiliki lebih dari satu sim card dari operator seluler yang berbeda. Teman saya bisa memiliki empat buah handphone dengan merek yang berbeda (ada yang Nokia, Sony Ericsson, dan LG), isi sim card-nya pun berbeda-beda setiap HP (ada yang XL, M3, Esia, dan Flexy). Alasannya hanya satu, karena masing-masing brand memiliki keunggulan tersendiri yang tidak dimiliki olen brand lain. See?? Jangan perdebatkan paham poligami dalam dunia bisnis seperti kita memperdebatkan paham poligami dalam pernikahan.

3. Sosialis
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa generasi manusia yang sekarang ini memiliki kecerdasan dan intelegensi yang jauh lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya. Kemajuan pendidikan berimbas besar pada kemajuan teknologi. Hi Tech menjadi istilah yang selalu digunakan dalam menciptakan segala sesuatu yang menggunakan teknologi canggih.

Kita cenderung berpikir bahwa sesuatu yang menggunakan teknologi adalah hal yang modern dan dinilai akan sangat membantu konsumen dalam transaksi bisnis kita. Benarkah? Jangan pernah lupa bahwa manusia bagaimana pun juga merupakan makhluk social. Kecanggihan teknologi sekarang ini lebih mengesankan membuat manusia jadi pemalas dibandingkan maksud untuk mempermudah segala sesuatunya. Belum tentu semua konsumen sesuai dan tepat untuk diberikan teknologi secanggih itu. Selain alasan makhluk social, ke-ogah ribet-an juga biasanya membuat teknologi yang diciptakan menjadi tidak cocok dengan konsumen. Belum lagi jika ternyata teknologi yang diberikan malah merumitkan orang-orang yang gaptek. Heheee..

Di Indonsesia terutama yang menganut paham ketimuran, sisi sosialisasi langsung masih menjadi pilihan dan bahkan hal mutlak yang belum bisa ditawar dengan kecanggihan teknologi. E-Commerce sekarang memang sudah muncul, tapi kenapa lebih banyak orang yang berbelanja ke mall atau pasar? Karena interaksi yang bisa mereka dapatkan dengan penjual bahkan konsumen lain masih mereka butuhkan. Mereka merasa bahwa dengan melihat dan memilih atau mencoba langsung barang yang akan mereka beli, tawar-menawar jika memungkinkan, meminta pendapat teman, melihat pilihan konsumen lain sebagai referensi, masih menjadi sebuah kenikmatan luar biasa dibandingkan berbelanja on line. Kita manusia, orang Indonesia, beradat timur, kombinasi yang sangat logis untuk kebutuhan akan sosialisasi dan interaksi langsung dengan sesamanya.

4. Introvert
CRM (Customer Relationship Management) rasanya telah menjadi program wajib bagi setiap perusahaan dalam mempertahankan pelanggannya. Dari program CRM yang dilakukan, perusahaan juga bisa mengetahui secara lebih akurat mengenai apa yang menjadi wants, needs dan expectation konsumennya.

Disini tentunya dibutuhkan pendekatan yang lebih dalam lagi dengan konsumennya. Menjadikan konsumen sebagai sahabat baik menjadi salah satu cara yang dilakukan. Percayalah hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Sama seperti menemukan seorang sahabat yang sebenarnya, menjadikan konsumen sahabat perusahaan juga membutuhkan satu proses dan teknik yang tepat. Salah-salah, perusahaan bisa dianggap ‘sok akrab’ dan ‘mau tauuuuuuu ajah!’.

Di Indonesia lagi-lagi, hal-hal yang menjurus ke arah pendekatan personal masih memunculkan kecurigaan tersendiri dan menimbulkan kesan mengganggu privacy, terkesan tabu mungkin. Jadi harus bagaimana donk membangun hubungan yang dekat dengan mereka? Ya pintar-pintar lah mengambil hatinya. Sama seperti persahabatan, yang mereka perlukan hanyalah rasa percaya pada perusahaan. Itu yang harus dibangun di awal.

Memang cukup membingungkan bagi para pebisnis bukan? Namun ya itulah yang namanya tantangan. Sekarang hanya bagaimana cara perusahaan menghadapinya, sekuat dan sekreatif apa perusahaan mampu menyelesaikan tantangan-tantangan tersebut. Mampukah??


1 comment:

Anonymous said...

Namanya juga manusia, pasti sifatnya ga pernah puas...
Maka dari itu diperlukan sikap yang fokus dari perusahaan terhadap pelanggannya agar bisa memenuhi need, want, dan expectation pelanggan. Bukankah yang diinginkan perusahaan adalah pelanggan yang loyal?