Pasti kita semua menjumpai atau dibombardir oleh ratusan bahkan ribuan iklan setiap harinya, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali (lebih parah kalau mimpi kita juga ada iklannya! Hehee!). Pertanyaannya adalah, seberapa banyak iklan yang masih bisa kita ingat di penguhujung hari? Sepuluh? Lima? Satu? Atau bahkan tidak ada sama sekali? Hehee…taruhan ya, kalaupun ingat banyak, belum tentu kita ingat betul pesan yang dikomunikasikan oleh iklan tersebut!
Ever wonder why para agency atau advertiser itu harus menyisihkan waktu khusus untuk memikirkan dan mendiskusikan bahkan sampai berdebat saat merumuskan komunikasi yang akan disampaikan kepada target? Bukan alasan sesuai keinginan klien atau agar memenangkan pariwara award semata tentunya (yah walaupun kadang jadi pertimbangan juga! Hehee!), tapi lebih pada pemikiran komunikasi seperti apakah yang tepat bagi target market dan komunikasi macam apakah yang dapat berkesan hingga diingat oleh target market dalam waktu yang panjang? Percayalah itu bukan hal yang mudah untuk dipecahkan!
Ini bukan karena para agency atau advertiser itu yang oon atau kurang ahli dalam “berkomunikasi”, tapi berbagai faktor jelas mempengaruhi proses komunikasi antara iklan atau pesan yang kita sampaikan dengan target market. Terlebih lagi menurut Kotler dan Keller, dalam proses komunikasi yang dilakukan, terjadi beberapa seleksi yang cukup selektif di komunikan kita, diantaranya adalah :
1. Perhatian yang selektif (selective attention)
Seperti yang tadi sempat saya sebut di awal, setiap orang dibanjiri ribuan iklan baik dengan atau tanpa mereka sadari, dari yang memang “niat” beriklan atau hanya sekedar “mejeng” begitu saja. Bisa bayangkan betapa “ramainya” pesan-pesan itu berebut berlomba untuk dapat menarik perhatian audiens? Saking “ramainya”, hanya pesan-pesan yang dianggap berbeda, unik, nyeleneh atau menyentuh yang “mau” audiens perhatikan.
Jangan lupa, media, penempatan atau space pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi itu sendiri juga sangat berperan penting dalam menarik perhatian audiens. Lihat saja, memangnya kita bisa “santay” dan nyaman saat membaca iklan di rubric advertising yang penuh dengan iklan yang saling berlomba menjadi menonjol? Hal ini disebabkan karena audiens melalui proses perhatian yang selektif itu dalam dirinya. Mereka akan sangat selektif dalam menentukan pesan mana yan menarik perhatian mereka di tengah berbagai komunikasi yang mereka dera. Ini artinya, komunikatorlah yang harus pintar dalam menarik perhatian mereka!
2. Penyimpangan selektif (selective distortion)
Ok, komunikasi berjalan baik di awal, pesan menarik perhatian dan dapat diterima oleh audiens, lalu apakah semuanya sudah pasti berjalan lancar? Belum tentu!n Heheee, masih ada proses seleksi lain, bos! Selayaknya manusia yang memiliki “fitrah” mengikuti apa yang diyakininya, maka hal tersebut juga berlaku saat mereka menjalani proses komunikasi. Mereka cenderung bahkan hampir selalu menggunakan keyakinannya dalam mendengarkan pesan yang disampaikan pada mereka. Simple-nya begini deh, keterbatasan manusia dalam menangkap pesan atau makna yang terkandung dalam komunikasi seringkali membuat mereka “semau gw”. Eh, tidak cukup simple untuk menjelaskan ya?
Jadi gini, dalam diri manusia pasti adaaaa saja sisi ‘lebay’ dan ‘bloon’-nya. Iya kan? (Saya sih enggak! Hehee!). Saat mereka menerima satu pesan, mereka belum tentu menangkap sepenuhnya makna yang sesungguhnya. Hal ini membuat mereka seringkali jadi menambahkan pesan atau makna tersebut sesuai keyakinan mereka, dan justru sering juga melupakan atau mengurangi pesan atau makna yang sebenarnya ada dalam pesan yang mereka terima. Mending kalau yang ditambahkan itu yang bagus dan yang dikurangi itu yang jelek, lha kalau sebaliknya? Cilaka dua belas!=D Makanya disini tugas komunikator untuk membuat dan menyampaikan pesan yang simple namun jelas hingga maknanya diterima secara penuh oleh audiens.
3. Ingatan selective (selective retention)
Jangan berharap audiens akan mengingat dalam waktu yang panjang pesan yang kita sampaikan pada mereka sekalipun 2 tahapan seleksi di atas sudah terlewati dengan mulus. Manusia memang mempunyai jutaan sel pengingat dalam otaknya, tapi mengharapkan ada pesan yang kita sampaikan diantara jutaan pesan yang masuk nampak memerlukan usaha yang lebih kuat lagi. Bayangkan lagi, iklan atau komunikasi kita itu mampu tidak mengalahkan tugas-tugas yang diberikan bos mereka di kantor dan harus selesai malam itu juga, mengalahkan kata-kata cinta dari kekasih mereka yang selalu berputar dan terngiang-ngiang, sedangkan pesan kita??
Heheee…jangan pesimis dulu ah! Rumusnya ada di sikap awal audiens dalam menerima pesan kita kok! Jadi kalau di awal mereka menangkap pesan kita dengan positif, belum lagi argument-argumen pendukungnya terus berulang dalam benak mereka, maka saya sih bisa bilang mereka akan menerima dan mengingat pesan tersebut dalam benak dan ingatannya. Eits, tapi bukan berarti kalau sikap awalnya negative dan kemudian menolak pesan yang kita sampaikan, maka pesan tersebut akan hilang dan percuma begitu saja. Percaya atau tidak, mereka akan teta[ menyimpan pesan tersebut diingatannya dalam waktu yang lama, cuma nggak “nongol” saja kali ya! Heheee! Nah kalau untuk yang satu ini sih komunikator memang harus berjuang hebat dan pasrah. Berjuang agar pesanpositif didapat, dan pasrah karena hal ini sangat tergantung dari individu setiap audiens.
Proses ini tidak hanya berlaku dalam proses komunikasi iklan terhadap target marketnya, tapi juga berlaku dalam seluruh proses komunikasi yang kita lakukan. Maka dari itu, sebelum melakukan proses komuniukasi, ada baiknya kita menyiapkan pesan yang mampu melewati proses seleksi di atas dengan mulussss.
Ever wonder why para agency atau advertiser itu harus menyisihkan waktu khusus untuk memikirkan dan mendiskusikan bahkan sampai berdebat saat merumuskan komunikasi yang akan disampaikan kepada target? Bukan alasan sesuai keinginan klien atau agar memenangkan pariwara award semata tentunya (yah walaupun kadang jadi pertimbangan juga! Hehee!), tapi lebih pada pemikiran komunikasi seperti apakah yang tepat bagi target market dan komunikasi macam apakah yang dapat berkesan hingga diingat oleh target market dalam waktu yang panjang? Percayalah itu bukan hal yang mudah untuk dipecahkan!
Ini bukan karena para agency atau advertiser itu yang oon atau kurang ahli dalam “berkomunikasi”, tapi berbagai faktor jelas mempengaruhi proses komunikasi antara iklan atau pesan yang kita sampaikan dengan target market. Terlebih lagi menurut Kotler dan Keller, dalam proses komunikasi yang dilakukan, terjadi beberapa seleksi yang cukup selektif di komunikan kita, diantaranya adalah :
1. Perhatian yang selektif (selective attention)
Seperti yang tadi sempat saya sebut di awal, setiap orang dibanjiri ribuan iklan baik dengan atau tanpa mereka sadari, dari yang memang “niat” beriklan atau hanya sekedar “mejeng” begitu saja. Bisa bayangkan betapa “ramainya” pesan-pesan itu berebut berlomba untuk dapat menarik perhatian audiens? Saking “ramainya”, hanya pesan-pesan yang dianggap berbeda, unik, nyeleneh atau menyentuh yang “mau” audiens perhatikan.
Jangan lupa, media, penempatan atau space pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi itu sendiri juga sangat berperan penting dalam menarik perhatian audiens. Lihat saja, memangnya kita bisa “santay” dan nyaman saat membaca iklan di rubric advertising yang penuh dengan iklan yang saling berlomba menjadi menonjol? Hal ini disebabkan karena audiens melalui proses perhatian yang selektif itu dalam dirinya. Mereka akan sangat selektif dalam menentukan pesan mana yan menarik perhatian mereka di tengah berbagai komunikasi yang mereka dera. Ini artinya, komunikatorlah yang harus pintar dalam menarik perhatian mereka!
2. Penyimpangan selektif (selective distortion)
Ok, komunikasi berjalan baik di awal, pesan menarik perhatian dan dapat diterima oleh audiens, lalu apakah semuanya sudah pasti berjalan lancar? Belum tentu!n Heheee, masih ada proses seleksi lain, bos! Selayaknya manusia yang memiliki “fitrah” mengikuti apa yang diyakininya, maka hal tersebut juga berlaku saat mereka menjalani proses komunikasi. Mereka cenderung bahkan hampir selalu menggunakan keyakinannya dalam mendengarkan pesan yang disampaikan pada mereka. Simple-nya begini deh, keterbatasan manusia dalam menangkap pesan atau makna yang terkandung dalam komunikasi seringkali membuat mereka “semau gw”. Eh, tidak cukup simple untuk menjelaskan ya?
Jadi gini, dalam diri manusia pasti adaaaa saja sisi ‘lebay’ dan ‘bloon’-nya. Iya kan? (Saya sih enggak! Hehee!). Saat mereka menerima satu pesan, mereka belum tentu menangkap sepenuhnya makna yang sesungguhnya. Hal ini membuat mereka seringkali jadi menambahkan pesan atau makna tersebut sesuai keyakinan mereka, dan justru sering juga melupakan atau mengurangi pesan atau makna yang sebenarnya ada dalam pesan yang mereka terima. Mending kalau yang ditambahkan itu yang bagus dan yang dikurangi itu yang jelek, lha kalau sebaliknya? Cilaka dua belas!=D Makanya disini tugas komunikator untuk membuat dan menyampaikan pesan yang simple namun jelas hingga maknanya diterima secara penuh oleh audiens.
3. Ingatan selective (selective retention)
Jangan berharap audiens akan mengingat dalam waktu yang panjang pesan yang kita sampaikan pada mereka sekalipun 2 tahapan seleksi di atas sudah terlewati dengan mulus. Manusia memang mempunyai jutaan sel pengingat dalam otaknya, tapi mengharapkan ada pesan yang kita sampaikan diantara jutaan pesan yang masuk nampak memerlukan usaha yang lebih kuat lagi. Bayangkan lagi, iklan atau komunikasi kita itu mampu tidak mengalahkan tugas-tugas yang diberikan bos mereka di kantor dan harus selesai malam itu juga, mengalahkan kata-kata cinta dari kekasih mereka yang selalu berputar dan terngiang-ngiang, sedangkan pesan kita??
Heheee…jangan pesimis dulu ah! Rumusnya ada di sikap awal audiens dalam menerima pesan kita kok! Jadi kalau di awal mereka menangkap pesan kita dengan positif, belum lagi argument-argumen pendukungnya terus berulang dalam benak mereka, maka saya sih bisa bilang mereka akan menerima dan mengingat pesan tersebut dalam benak dan ingatannya. Eits, tapi bukan berarti kalau sikap awalnya negative dan kemudian menolak pesan yang kita sampaikan, maka pesan tersebut akan hilang dan percuma begitu saja. Percaya atau tidak, mereka akan teta[ menyimpan pesan tersebut diingatannya dalam waktu yang lama, cuma nggak “nongol” saja kali ya! Heheee! Nah kalau untuk yang satu ini sih komunikator memang harus berjuang hebat dan pasrah. Berjuang agar pesanpositif didapat, dan pasrah karena hal ini sangat tergantung dari individu setiap audiens.
Proses ini tidak hanya berlaku dalam proses komunikasi iklan terhadap target marketnya, tapi juga berlaku dalam seluruh proses komunikasi yang kita lakukan. Maka dari itu, sebelum melakukan proses komuniukasi, ada baiknya kita menyiapkan pesan yang mampu melewati proses seleksi di atas dengan mulussss.
No comments:
Post a Comment