Nov 8, 2009

Pengikut yang Disukai Pasar

Agak sulit memang menciptakan suatu produk atau jasa yang memang sama sekali belum ada di pasaran. Apa yang tidak ada sekarang ini? Jika pun mau, yang bisa kita lakukan adalah memodivfkasi produk atau jasa yang sudah ada menjadi sesuatu yang berbeda, yang mempunyai value tersendiri yang berbeda dibandingkan produk atau jasa yang telah ada tersebut. Tidak perlu takut disebut pengikut, toh memang kenyataannya kita tidak selalu bisa menjadi pioneer kan? Well, bukan tidak bisa mungkin ya bahasanya, tapi belum bisa! Hehee! Lagipula apa yang salah dengan menjadi follower?

Banyak yang berpikir menjadi follower adalah sebuah tindakan “memalukan”. Lho, dilihat dari sisi mana ya? Dimana-mana sudah hukum alam dimana ada gula disitu ada semut. Apa semut yang baru mencium ada gula lalu jadi malu dengan semut yang datang lebih dulu terus mengurungkan niat untuk datang dan menikmati manisnya gula tersebut? Rugi amat! Memang dinilai tidak kreatif sih itu pasti. Tapi kata siapa akh menjadi follower atau pengikut pasar tidak bisa kreatif? Justru kita bisa jauh lebih kreatif disbanding pioneer. Kenapa? Karena pengikut pasar dapat melihat atau mengawasi kemudian menganalisa terlebih dahulu.

Menjadi follower bukan berarti jadi pembajak lho ya! Yah walaupun Indonesia memang terkenal dengan barang bajakannya (owhh...malu saya!), tapi barang bajakan sama sekali berbeda dengan produk follower. Produk bajakan sih jelas-jelas meniru “plek-plek” tapi produk follower tidak begitu. Disiniiii nih, unsur “kreatif” menjadi pengikut pasar (follower) dibuktikan! Hehee!;p

Kreatifitas ini bisa dilihat dari strategi mana yang dijalankan atau dipilih oleh perusahaan yang menjadi pengikut pasar atau follower tersebut. Dari buku pemasaran strategic yang say abaca, secara garis besar terdapat empat strategi pengikut pasar yang bisa dipilih oleh perusahaan :

1. Imitation
Strategi ini, seperti namanya, memang meng-imitasi produk atau jasa yang sama namun dengan harga yang lebih murah. Cukup jelas lah yah, jadi si produk atau jasanya tuh sama persis…kelihatannya! Kenapa ‘kelihatannya’ ya karena pasti ada sisi tertentu yang berbeda. Tidak mungkin lah meniru sama persis! Kita bisa lihat contoh Starbuck vs Ngopi Doeloe. Secara produk, mereka sama-sama menjual kopi dan ambience menjadi life style bagi target marketnya. Sama-sama kopi kan kalau dilihat sih, tapi jelasss…rasanya berbeda! Ambience? Sama-sama menawarkan tempat yang santai dan cozy untuk konsumen berleha-leha, kongkow dengan sahabat atau pacar, plus dilengkapi fasilitas hot spot. Namun sebagai imitator, Ngopi Doeloe menawarkan harga yang jauh lebih murah dari Starbuck. Hal ini bisa dilakukan karena biaya produksi dan operasional yang dikeluarkan juga jauh lebih rendah, terlihat dari bahan baku produk dan promo yang diberikan ataupun branding yang dilakukan.. Di strategi ini tidak ada biaya riset atau pengembangan dan pemasaran yang tinggi. Disitulah makanya mereka bisa memberikan harga yang lebih rendah.

2. Adding Features
Kalau strategi ini arti harfiahnya kan menambah fitur, nah pengertiannya ya berarti perusahaan pengikut pasar membuat produk atau jasa yang sama dengan pioneer tapi memiliki kelebihan tersendiri yang akhirnya justru menjadi differensiasi antar produk tersebut dengan competitor. Contoh yang bisa kita ambil adalah Sony Erricson. Dia mengeluarkan produk HP yang mungkin secara tampilan atau fitur terlihat sama dengan HP yang diproduksi oleh brand lain. Namun dengan kreatifnya dia menambahkan fitur unik yang memang tidak dimiliki HP keluaran manapun, yaitu fitur bahasa Sunda atau Jawa! Terlihat lucu? Ya benar! Tapi tetap saja dia jadi memiliki nilai tambah dimata target marketnya. Di tengah isu pelestarian budaya Indonesia, dia jeli untuk mendiferensiasikan diri dengan yang lain.

3. Stripping Down
Nah strategi stripping down ini justru bertentangan dengan strategi di atas, disini justru pengikut pasar mengurangi atau menghilangkan beberapa fitur sehingga secara tampilan terlihat lebih sederhana dan secara cost menjadi lebih murah. Namun walaupun mengurangi fitur, bukan berarti kedua produk atau jasa itu menjadi terlihat berbeda, hanya “daleman”nya saja kok yang beda! Contohnya yaitu Blackberry vs Nexian. Kalau kita lihat secara sekilas, dua-duanya memiliki kesamaan bentuk dan fasilitas, namun jelas kita ketahui bahwa Nexian tidak memiliki fitur Messaging sesame pengguna seperti BBM (BlackBerry Message) seperti yang dipunyai Blackberry. Dari fitur-fitur lain juga banyak yang tidak dimiliki oleh Nexian. Namun apakah ini menjadikan Nexian tidak laku di pasaran? Hmmm…lihat saja sendiri seringkali stocknya kosong di toko karena habis disikat konsumen.

4. Flankin
Lain lagi dengan strategi yang satu ini. Flankin merupakan strategi yang berfokus untuk mengembangkan produk atau jasa yang lebih mengena dan dapat diterima oleh segmen pasar yang lebih kecil (kecil disini bisa berarti jumlah segmen). Uniknya, caranya bisa dengan menggunakan strategi no dua taupun no tiga (adding features atau stripping down). Sedikit membingungkan memang, lalu bedanya dimana? Bedanya hanya di segmen yang menjadi focus. Meng-grap komunitas biasanya menjadi pilihan strategi ini. Bisa dilihat dari hobi, pekerjaan, usia, bahkan sampai status, dll. Contohnya Esia. Di tengah pertempuran sengit dengan sesama CDMA, dia mengeluarkan produk Esia Hidayah. Strategi ini diambil untuk meng-grap komunitas muslim yang notabene merupakan jumlah mayoritas di Indonesia.

Semua strategi pengikut pasar di atas menjadi bukti bahwa menjadi pengikut atau follower bukan sesuatu yang harus dihindari, bahkan banyak yang justru jauh lebih sukses dibandingkan pioneer-nya kan?

No comments: