Kondisi perekonomian yang kiat tidak menentu banyak mempengaruhi pola pemasaran suatu produk. Hal perekonomian tersebut cukup signifikan dalam mempengaruhi daya beli para konsumen. Apa dampak dari menurunnya daya beli tersebut? Tentu saja preferensi konsumen terhadap produk dengan harga murah lebih tinggi dibandingkan dengan produk dengan kualitas tinggi. Kecenderungan pergeseran ini tidak hanya terjadi pada segmen konsumen menengah hingga menengah bawah, tetapi juga pada konsumen menengah atas.
Di awal abad 21, sebelum terjadinya krisis global, produk dengan kualitas tinggi, mewah dan premium menjadi tonggak perusahaan mengeruk keuntungan. Tetapi dalam kondisi perekonomian dunia yang sedang bergejolak, harga menjadi salah satu elemen pertimbangan yang kuat dalam keputusan pembelian konsumen.
Apa yang harus kita lakukan sekarang dalam menghadapi kondisi tersebut? Apakah brand yang selama ini dibangun dan menawarkan value yang begitu tinggi bagi konsumen harus kita korbankan demi menyelamatkan angka penjualan? Bagaimana dengan para customer yang lambat laun berpindah karena tidak mampu lagi membeli produk kita? Atau bahkan begitu banyak penawaran produk lain yang memiliki harga yang lebih rendah. Kondisi demikian menuntut kita untuk melakukan langkah strategis, untuk tetap survive dengan melakukan penjualan.
Opsi strategi pertama yang paling mudah untuk dilakukan adalah menurunkan harga! Hal ini merupakan langkah yang paling menggiurkan untuk dilakukan para pelaku bisnis. Tetapi apakah ini yang terbaik? Anda perlu mempertimbangkan mengenai value dari brand Anda yang akan jatuh begitu Anda tergiur untuk menurunkan harga. Sudah siapkah Anda untuk kehilangan begitu saja dampak pembangunan brand yang selama ini telah Anda lakukan? Sepertinya dampak buruk dari penurunan harga ini tidak hanya pada brand Anda dalam jangka panjang, tetapi juga pada profit Anda dalam jangka pendek.
Pikirkan kembali dan pertimbangkan opsi kedua, yaitu bertahan. Banyak pelaku bisnis juga yang melakukan hal ini, yaitu bertahan dan berharap kondisi akan semakin baik. Rasanya boleh-boleh saja Anda berharap, tetapi pelajari dan cermati kembali perilaku perekonomian dalam beberapa tahun terakhir dan pikirkanlah apakah kondisi akan kembali stabil? Salah satu kutipan favorit saya sekarang adalah Dinamic is the new static; kutipan ini menggambar bahwa kini masa telah berubah, di mana kondisi perekonomian yang stabil sekarang ini adalah perubahan yang terus-menerus, dapat diartikan bahwa akan sangat sulit lagi menemukan suatu kondisi stabil seperti era perekenomian terdahulu. Perkembangan dunia informasi menjadi salah satu sumber dinamisme dunia, dan Anda selayaknya tidak membohongi diri sendiri bahwa semuanya akan kembali tenang seperti dulu.
Lalu strategi apalagi yang bisa kita lakukan? Pintu darurat menghadapi hal ini adalah penciptaan Fighting Brand. Tentu Anda pernah mendengarnya, yaitu mengeluarkan produk dengan brand lain yang menggarap pasar/segmentasi di bawah segmen produk Anda sendiri. Strategi ini menjawab kebutuhan perusahaan untuk tetap memiliki pendapatan yang signifikan dari kebutuhan para konsumen yaitu produk dengan harga yang lebih murah, tetapi di sisi lain juga menyelamatkan brand utama Anda. Pada awalnya strategi fighting brand sering digunakan berbagai perusahaan untuk menambah pendapatan mereka atau untuk memerangi pesaing yang menggarap segmen yang lebih rendah. Tetapi dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu seperti sekarang ini fighting brand juga dapat digunakan sebagai pintu darurat Anda menghasilkan penjualan dalam jangka pendek. Fighting brand Anda dapat menjadi alternative konsumen Anda membeli produk dengan harga yang lebih murah, tetapi Anda tetap mendapatkan keuntungan tersebut, dibandingkan konsumen Anda membeli dari pesaing Anda. Dan melalui kondisi perekonomian yang tidak menentu, konsumen bisa memiliki fluktuasi daya beli, di mana di saat daya beli mereka kembali normal, mereka dapat kembali mencari produk Anda karena brand produk utama Anda tetap terjaga.
Tetapi jangan terjebak dengan fenomena yang ditimbulkan dengan adanya fighting brand. Salah satu hal yang dapat menjadi dampak buruk dan perlu Anda perhatikan adalah dampak Kanibalisasi antara produk fighting brand Anda dengan produk utama Anda.
KANIBALISASI
Produk fighting brand Anda harus dapat dipastikan memiliki value, diferensiasi dan fitur yang berbeda dari produk utama Anda. Apabila produk fighting brand Anda memiliki difrensiasi dan fitur yang serupa, bias-bisa memakan produk utama Anda, karena produk fighting brand memiliki harga yang lebih rendah.
Hal serupa dialami oleh Kodak di tahun 1994. Pada periode sebelumnya Kodak merupakan market leader di bidang penjualan film foto dengan merk Gold Plus film. Di periode tersebut Fuji berhasil mengambil market share Kodak dengan menjual produk mereka Fujicolor Super G Film dengan harga 20% lebih rendah. Hal ini memancing Kodak untuk menggunakan strategi fighting brand dan mengeluarkan produk dengan merk Funtime yang dijual dengan harga sama dengan Fujicolor super G Film. Untuk menghindari kanibalisasi antar produk, Funtime diproduksi menggunakan formula bahan baku yang berbeda dari Gold Plus film sehingga secara signifikan memiliki perbedaan dari segi kualitas produk. Tetapi hal yang menjadi kesalahan strategi tersebut adalah perbedaan yang perusahaan rasa telah signifikan tidak dapat dirasakan oleh konsumen. Konsumen tidak mampu membedakan secara signifikan perbedaan kualitas dari Gold Plus Film dengan Funtime. Dampaknya adalah penjualan Funtime memakan lebih banyak konsumen Gold Plus film sendiri dibandingkan konsumen Fuji. Pelajaran berharga dari kasus ini adalah perusahaan harus menyeimbangkan antara low price dengan low perceived quality dan memastikan konsumen mengetahui hal tersebut dengan baik.
Contoh lainnya mengenai strategi Fighting brand adalah yang dilakukan oleh P&G pada produk kategori popok di tahun 1980an. P&G pada saat itu memiliki 2 merk di kategori popok yaitu Pampers sebagai market leader, dan di urutan ke-3 merk Luvs. Tetapi dengan pertumbuhan private label di dalam industri popok kian bertumbuh hingga menguasai market share sebanyak 20%, hampir tidak masuk akal memelihara 2 brand sekaligus. Hal ini berkaitan dengan investasi besar yang harus ditanamkan dalam memelihara 2 brand dengan perceived quality yang juga serupa, karena menggarap segmen yang sama. Maka P&G memutuskan untuk mengatur kembali strategi brand mereka dengan menurunkan segmen Luvs, dan memposisikannya sebagai fighting brand dari Pampers. Strategi tersebut dilakukan dengan turut menurunkan harga Luvs hingga 16%. Sejalan dengan antisipasi kanibalisasi antar produk, P&G mengurangi value dari brand Luvs dengan memangkas investasi R&D yang sebelumnya dilakukan. Berbeda jauh dengan Pampers yang diposisikan memiliki perceived quality lebih baik, R&D menjadi focus utama pengembangan brand. Pemotongan biaya juga dilakukan dari segi advertising dan promotions; melalui berbagai perbedaan yang signifikan dalam aktivitas pembangunan brand mempengaruhi perceived quality yang diterima oleh konsumen. Berbeda dengan kasus Kodak yang gagal mengantisipasi kanibalisasi, produk Luvs dan Pampers menggarap segmen yang sama sekali berbeda.
Di awal abad 21, sebelum terjadinya krisis global, produk dengan kualitas tinggi, mewah dan premium menjadi tonggak perusahaan mengeruk keuntungan. Tetapi dalam kondisi perekonomian dunia yang sedang bergejolak, harga menjadi salah satu elemen pertimbangan yang kuat dalam keputusan pembelian konsumen.
Apa yang harus kita lakukan sekarang dalam menghadapi kondisi tersebut? Apakah brand yang selama ini dibangun dan menawarkan value yang begitu tinggi bagi konsumen harus kita korbankan demi menyelamatkan angka penjualan? Bagaimana dengan para customer yang lambat laun berpindah karena tidak mampu lagi membeli produk kita? Atau bahkan begitu banyak penawaran produk lain yang memiliki harga yang lebih rendah. Kondisi demikian menuntut kita untuk melakukan langkah strategis, untuk tetap survive dengan melakukan penjualan.
Opsi strategi pertama yang paling mudah untuk dilakukan adalah menurunkan harga! Hal ini merupakan langkah yang paling menggiurkan untuk dilakukan para pelaku bisnis. Tetapi apakah ini yang terbaik? Anda perlu mempertimbangkan mengenai value dari brand Anda yang akan jatuh begitu Anda tergiur untuk menurunkan harga. Sudah siapkah Anda untuk kehilangan begitu saja dampak pembangunan brand yang selama ini telah Anda lakukan? Sepertinya dampak buruk dari penurunan harga ini tidak hanya pada brand Anda dalam jangka panjang, tetapi juga pada profit Anda dalam jangka pendek.
Pikirkan kembali dan pertimbangkan opsi kedua, yaitu bertahan. Banyak pelaku bisnis juga yang melakukan hal ini, yaitu bertahan dan berharap kondisi akan semakin baik. Rasanya boleh-boleh saja Anda berharap, tetapi pelajari dan cermati kembali perilaku perekonomian dalam beberapa tahun terakhir dan pikirkanlah apakah kondisi akan kembali stabil? Salah satu kutipan favorit saya sekarang adalah Dinamic is the new static; kutipan ini menggambar bahwa kini masa telah berubah, di mana kondisi perekonomian yang stabil sekarang ini adalah perubahan yang terus-menerus, dapat diartikan bahwa akan sangat sulit lagi menemukan suatu kondisi stabil seperti era perekenomian terdahulu. Perkembangan dunia informasi menjadi salah satu sumber dinamisme dunia, dan Anda selayaknya tidak membohongi diri sendiri bahwa semuanya akan kembali tenang seperti dulu.
Lalu strategi apalagi yang bisa kita lakukan? Pintu darurat menghadapi hal ini adalah penciptaan Fighting Brand. Tentu Anda pernah mendengarnya, yaitu mengeluarkan produk dengan brand lain yang menggarap pasar/segmentasi di bawah segmen produk Anda sendiri. Strategi ini menjawab kebutuhan perusahaan untuk tetap memiliki pendapatan yang signifikan dari kebutuhan para konsumen yaitu produk dengan harga yang lebih murah, tetapi di sisi lain juga menyelamatkan brand utama Anda. Pada awalnya strategi fighting brand sering digunakan berbagai perusahaan untuk menambah pendapatan mereka atau untuk memerangi pesaing yang menggarap segmen yang lebih rendah. Tetapi dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu seperti sekarang ini fighting brand juga dapat digunakan sebagai pintu darurat Anda menghasilkan penjualan dalam jangka pendek. Fighting brand Anda dapat menjadi alternative konsumen Anda membeli produk dengan harga yang lebih murah, tetapi Anda tetap mendapatkan keuntungan tersebut, dibandingkan konsumen Anda membeli dari pesaing Anda. Dan melalui kondisi perekonomian yang tidak menentu, konsumen bisa memiliki fluktuasi daya beli, di mana di saat daya beli mereka kembali normal, mereka dapat kembali mencari produk Anda karena brand produk utama Anda tetap terjaga.
Tetapi jangan terjebak dengan fenomena yang ditimbulkan dengan adanya fighting brand. Salah satu hal yang dapat menjadi dampak buruk dan perlu Anda perhatikan adalah dampak Kanibalisasi antara produk fighting brand Anda dengan produk utama Anda.
KANIBALISASI
Produk fighting brand Anda harus dapat dipastikan memiliki value, diferensiasi dan fitur yang berbeda dari produk utama Anda. Apabila produk fighting brand Anda memiliki difrensiasi dan fitur yang serupa, bias-bisa memakan produk utama Anda, karena produk fighting brand memiliki harga yang lebih rendah.
Hal serupa dialami oleh Kodak di tahun 1994. Pada periode sebelumnya Kodak merupakan market leader di bidang penjualan film foto dengan merk Gold Plus film. Di periode tersebut Fuji berhasil mengambil market share Kodak dengan menjual produk mereka Fujicolor Super G Film dengan harga 20% lebih rendah. Hal ini memancing Kodak untuk menggunakan strategi fighting brand dan mengeluarkan produk dengan merk Funtime yang dijual dengan harga sama dengan Fujicolor super G Film. Untuk menghindari kanibalisasi antar produk, Funtime diproduksi menggunakan formula bahan baku yang berbeda dari Gold Plus film sehingga secara signifikan memiliki perbedaan dari segi kualitas produk. Tetapi hal yang menjadi kesalahan strategi tersebut adalah perbedaan yang perusahaan rasa telah signifikan tidak dapat dirasakan oleh konsumen. Konsumen tidak mampu membedakan secara signifikan perbedaan kualitas dari Gold Plus Film dengan Funtime. Dampaknya adalah penjualan Funtime memakan lebih banyak konsumen Gold Plus film sendiri dibandingkan konsumen Fuji. Pelajaran berharga dari kasus ini adalah perusahaan harus menyeimbangkan antara low price dengan low perceived quality dan memastikan konsumen mengetahui hal tersebut dengan baik.
Contoh lainnya mengenai strategi Fighting brand adalah yang dilakukan oleh P&G pada produk kategori popok di tahun 1980an. P&G pada saat itu memiliki 2 merk di kategori popok yaitu Pampers sebagai market leader, dan di urutan ke-3 merk Luvs. Tetapi dengan pertumbuhan private label di dalam industri popok kian bertumbuh hingga menguasai market share sebanyak 20%, hampir tidak masuk akal memelihara 2 brand sekaligus. Hal ini berkaitan dengan investasi besar yang harus ditanamkan dalam memelihara 2 brand dengan perceived quality yang juga serupa, karena menggarap segmen yang sama. Maka P&G memutuskan untuk mengatur kembali strategi brand mereka dengan menurunkan segmen Luvs, dan memposisikannya sebagai fighting brand dari Pampers. Strategi tersebut dilakukan dengan turut menurunkan harga Luvs hingga 16%. Sejalan dengan antisipasi kanibalisasi antar produk, P&G mengurangi value dari brand Luvs dengan memangkas investasi R&D yang sebelumnya dilakukan. Berbeda jauh dengan Pampers yang diposisikan memiliki perceived quality lebih baik, R&D menjadi focus utama pengembangan brand. Pemotongan biaya juga dilakukan dari segi advertising dan promotions; melalui berbagai perbedaan yang signifikan dalam aktivitas pembangunan brand mempengaruhi perceived quality yang diterima oleh konsumen. Berbeda dengan kasus Kodak yang gagal mengantisipasi kanibalisasi, produk Luvs dan Pampers menggarap segmen yang sama sekali berbeda.
No comments:
Post a Comment