Budaya Perusahaan…Apa menariknya membicarakan tentang itu ya? Mungkin lebih asyik membahas budaya barat, budaya tradisional Indonesia, atau budaya-budaya lain yang terdengar lebih menyenangkan! Heheee…budaya perusahaan memang bukan sesuatu yang ayik untuk dibicarakan. Pemimpin atau jajaran manajemen perusahaan lebih sering menganggap itu adalah hal sepele, di lain pihak, karyawan juga sering mengangap itu adalah hal yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Hhmmm…
Kemarin saya sempat mengobrol-ngobrol santai dengan salah seorang teman saya. Dia berkeluh kesah tentang rekan kerjanya satu timnya yang tidak juga bisa membuat tim mereka dinilai bagus oleh pimpinan mereka. Hasil kerja mereka dinilai tidak optimal bahkan sampai etos kerja mereka pun dianggap tidak bisa menyamai tim yang lain. Sebal? Jelas! Dia merasa telah melakukan yang terbaik, tapi temannya tidak. Ia juga sempat mengatakan bahwa kadang dia merasa tidak sanggup mengikuti pola kerja perusahaannya yang sangat ketat terhadap target dan bekerja dengan sangat cepat. Sampai-sampai kadang dia harus lembur hampir setiap hari untuk mengerjakan deadline tugas yang (padahal) baru masuk hari itu! Ditambah lagi rekan satu tim yang dia bilang “lelet banget!. For your information, teman saya itu bekerja di perusahaan advertising yang sedang berkembang di Jakarta.
Lain lagi dengan teman saya yang berkerja di sebuah instansi. Dia selalu bercerita bahwa dia sangat menikmati pekerjaannya. Bagaimana tidak, kerjaannya sedikit banget katanya! Seringnya dia hanya bekerja sampai waktu istirahat, setelah itu dia hanya bermain-main games di computer, buka face book, nulis blog, ngerumpi, dll, hanya untuk membunuh waktu sampai jam pulang tiba. Setiap dinas keluar kota dia selalu mendapat uang jalan dari kantornya yang paling hanya habis ¼ nya saja untuk perjalanan itu! Sisanya ya milik dia sepenuhnya. (*Dunia memang tidak adil…! Heheee!;p).
No-no…ini bukan membanding-bandingkan maksudnya, tapi dari dua cerita itu saja kita bisa lihat bahwa tiap perusahaan ataupun instansi pemerintahan memiliki pola kerja, etos kerja, standarisasi kerja atau apalah itu namanya, yang tentu berbeda-beda. Jangankan membandingkan perusahaan swasta dengan departemen negara, antar perusahaan swasta sekalipun pasti memiliki perbedaan itu. Sebagai professional (dan supaya terlihat intelek! Heeee!;p) kita sering menyebutnya dengan budaya perusahaan atau corporate culture kalau bahasa gayanya sih!=)
Nah, dari dua cerita di atas sebenarnya terlihat jelas kan kalau budaya perusahaan memegang peranan penting dalam perkembangan karyawan apalagi perusahaan itu sendiri. Kenapa? Karena saya bisa melihat dengan jelas perbedaan ouput teman-teman saya tersebut. Teman yang pertama mengalami perkembangan kemampuan dan pengetahuan yang luar bisa meningkat selama bekerja (walaupun dia bilang “mana ampun dah kantor gw!”), sementara teman yang kedua cenderung statis, ya gitu-gitu saja kemampuan dan pengetahuannya, tidak ada perkembangan yang signifikan (padahal dia bilang kantornya sangat menyenangkan!). Mau tahu apa efeknya? Bagi karyawan, itu membentuk value diri mereka secara personal, dan bagi perusahaan itu sebuah amunisi yang sangat berharga untuk dapat berkembang dan mencapai visi misi perusahaan.
Maka dari itu, jangan pernah menganggap budaya perusahaan sebagai hal sepele, karena itu sangat erat kaitannya dengan citra perusahaan juga, bahkan itu juga menjadi salah satua lasan turn over karyawan di sebuah perusahaan. Sebagai karyawan, yang perlu dilakukan hanyalan memahami dengan baik budaya perusahaan yang telah terbentuk, atau jika dirasa perlu, tunjukan budaya baru yang dinilai lebih baik bagi karyawan itu sendiri dan bagi perusahaan. Sebagai perusahaan, yang perlu dilakukan tentunya membentuk budaya perusahaan yang baik dan sesuai dengan visi dan misi serta jenis bisnis yang digeluti, kalau sudah terbentuk, coba evaluasi apakah budaya perusahaan itu baik bagi perusahaan dan apakah karyawan telah mampu menjalankan budaya itu atau belum.
Untuk itu kita harus paham budaya perusahaan macam apa saja yang bisa diterapkan di perusahaan kita sendiri. Deal dan Kennedy mengatakan bahwa budaya perusahaan ditentukan berdasarkan feedback speed (seberapa cepat feedback didapatkan) dan degree of risk (seberapa tinggi resiko yang bisa didapatkan). Dari situ mereka berdua menyimpulkan bahwa ada empat bentuk budaya perusahaan yang bisa diterapkan oleh perusahaan :
1. Tough-Guy Macho Culture
Budaya perusahaan yang ini, sesuai namanya,, merupakan budaya perusahaan dengan feedback dan reward yang cepat dan tentu saja memiliki resiko yang tinggi. Biasanya budaya seperti ini ditandai dengan tingkat stress yang tinggi yang memungkinkan munculnya peningkatan atau penurunan reward yang didapatkan oleh karyawan maupun perusahaan. Selain itu, ciri yang lain adalah karyawan cenderung focus pada saat ini (tidak terlalu memusingkan besok atau nanti), akibatnya individualisme lebih mendominasi dibandingkan kerja tim. Sangat mudah melihat budaya perusahaan seperti ini, lihat saja perusahaan yang bergerak di bidang advertising, futures, dan semacamnya.
2. Work-Hard, Play-Hard Culture
Hampir mirip-mirip dengan Tough-Guy Macho Culture, budaya perusahaan bentuk ini juga memiliki tingkat kecepatan feedback dan reward yang tinggi, hanya saja, dari sisi degree of risk, ini memiliki resiko yang rendah. Kita bisa melihatnya dari tingkat stress yang cukup tinggi yang disebabkan oleh jumlah pekerjaan yang cukup banyak. Maka dari itu karyawannya pun bekerja dengan fokus dalam kecepatan tinggi, yang tentunya membutuhkan energy yang jauh lebih tinggi lagi untuk itu. Sales, tempat makan (kafe, restoran, dll), dan perusahaan elektronik atau otomotif bisa dijadikan contoh perusahaan yang seringkali menerapkan budaya perusahaan jenis ini.
3. Process Culture
Kalau bentuk budaya perusahaan yang ini berbeda dengan dua bentuk di atas. Kali ini feedback dan reward yang didapatkan cenderung lambat, berjalan pelan. Berbanding lurus dengan hal tersebut, resiko yang didapatkan juga cenderung rendah. Ciri-cirinya yaitu tingkat stress yang secara umum rendah, tapi situasi ini tidak selalu disebabkan oleh karyawan atau beban pekerjaan yang sedikit, bisa juga terbentuk dari politik internal dan system yang tidak tepat. Dari sisi karyawan, mereka cenderung focus dalam detail dan proses yang sangat baik dalam bekerja. Bisa kita lihat bahwa perusahaan-perusahaan seperti bank, perusahaan asuransi dan periusahaan yang bergerak di bidang public service menerapkan budaya perusahaan jenis ini.
4. Bet-Your-Company Culture
Nah, yang ini beda lagi. Budaya perusahaan jenis ini memiliki feedback dan reward yang cenderung lambat namun memiliki resiko yang tinggi. Aneh juga ya? Tapi mungkin kita bisa lihat ciri-ciri budaya perusahaan ini. Tingkat stress cukup tinggi disebabkan tingkat resiko yang cukup tinggi itu tadi dan sebelum mengetahui apakah apa yang mereka kerjakan memberikan hasil yang baik atau tidak. Karyawannya juga cenderung focus pada long term, dimana mereka bekerja dengan persiapan dan perencanaan yang baik. Perusahaan farmasi, produsen pesawat terbang, dll, bisa dijadikan contoh perusahaan yang menerapkan budaya perusahaan ini.
Well, sekarang tinggal kita lihat lagi ke dalam, bentuk budaya perusahaan apa yang kita terapkan dan jenis mana yang sesungguhnya tepat kita terapkan dalam perusahaan. Sekali lagi jangan pernah menganggap bahwa budaya perusahaan tidak punya peran yang signifikan dalam membentuk karyawan dan mengembangkan perusahaan, karena jika perusahaan tidak sesuai denagn bisnis yang dijalani atau tidak mampu diikuti, maka akan menghambat perusahaan disadari maupun tidak. Sok, budaya perusahaan mana yang akan kamu terapkan untuk perusahaan kamu?
Kemarin saya sempat mengobrol-ngobrol santai dengan salah seorang teman saya. Dia berkeluh kesah tentang rekan kerjanya satu timnya yang tidak juga bisa membuat tim mereka dinilai bagus oleh pimpinan mereka. Hasil kerja mereka dinilai tidak optimal bahkan sampai etos kerja mereka pun dianggap tidak bisa menyamai tim yang lain. Sebal? Jelas! Dia merasa telah melakukan yang terbaik, tapi temannya tidak. Ia juga sempat mengatakan bahwa kadang dia merasa tidak sanggup mengikuti pola kerja perusahaannya yang sangat ketat terhadap target dan bekerja dengan sangat cepat. Sampai-sampai kadang dia harus lembur hampir setiap hari untuk mengerjakan deadline tugas yang (padahal) baru masuk hari itu! Ditambah lagi rekan satu tim yang dia bilang “lelet banget!. For your information, teman saya itu bekerja di perusahaan advertising yang sedang berkembang di Jakarta.
Lain lagi dengan teman saya yang berkerja di sebuah instansi. Dia selalu bercerita bahwa dia sangat menikmati pekerjaannya. Bagaimana tidak, kerjaannya sedikit banget katanya! Seringnya dia hanya bekerja sampai waktu istirahat, setelah itu dia hanya bermain-main games di computer, buka face book, nulis blog, ngerumpi, dll, hanya untuk membunuh waktu sampai jam pulang tiba. Setiap dinas keluar kota dia selalu mendapat uang jalan dari kantornya yang paling hanya habis ¼ nya saja untuk perjalanan itu! Sisanya ya milik dia sepenuhnya. (*Dunia memang tidak adil…! Heheee!;p).
No-no…ini bukan membanding-bandingkan maksudnya, tapi dari dua cerita itu saja kita bisa lihat bahwa tiap perusahaan ataupun instansi pemerintahan memiliki pola kerja, etos kerja, standarisasi kerja atau apalah itu namanya, yang tentu berbeda-beda. Jangankan membandingkan perusahaan swasta dengan departemen negara, antar perusahaan swasta sekalipun pasti memiliki perbedaan itu. Sebagai professional (dan supaya terlihat intelek! Heeee!;p) kita sering menyebutnya dengan budaya perusahaan atau corporate culture kalau bahasa gayanya sih!=)
Nah, dari dua cerita di atas sebenarnya terlihat jelas kan kalau budaya perusahaan memegang peranan penting dalam perkembangan karyawan apalagi perusahaan itu sendiri. Kenapa? Karena saya bisa melihat dengan jelas perbedaan ouput teman-teman saya tersebut. Teman yang pertama mengalami perkembangan kemampuan dan pengetahuan yang luar bisa meningkat selama bekerja (walaupun dia bilang “mana ampun dah kantor gw!”), sementara teman yang kedua cenderung statis, ya gitu-gitu saja kemampuan dan pengetahuannya, tidak ada perkembangan yang signifikan (padahal dia bilang kantornya sangat menyenangkan!). Mau tahu apa efeknya? Bagi karyawan, itu membentuk value diri mereka secara personal, dan bagi perusahaan itu sebuah amunisi yang sangat berharga untuk dapat berkembang dan mencapai visi misi perusahaan.
Maka dari itu, jangan pernah menganggap budaya perusahaan sebagai hal sepele, karena itu sangat erat kaitannya dengan citra perusahaan juga, bahkan itu juga menjadi salah satua lasan turn over karyawan di sebuah perusahaan. Sebagai karyawan, yang perlu dilakukan hanyalan memahami dengan baik budaya perusahaan yang telah terbentuk, atau jika dirasa perlu, tunjukan budaya baru yang dinilai lebih baik bagi karyawan itu sendiri dan bagi perusahaan. Sebagai perusahaan, yang perlu dilakukan tentunya membentuk budaya perusahaan yang baik dan sesuai dengan visi dan misi serta jenis bisnis yang digeluti, kalau sudah terbentuk, coba evaluasi apakah budaya perusahaan itu baik bagi perusahaan dan apakah karyawan telah mampu menjalankan budaya itu atau belum.
Untuk itu kita harus paham budaya perusahaan macam apa saja yang bisa diterapkan di perusahaan kita sendiri. Deal dan Kennedy mengatakan bahwa budaya perusahaan ditentukan berdasarkan feedback speed (seberapa cepat feedback didapatkan) dan degree of risk (seberapa tinggi resiko yang bisa didapatkan). Dari situ mereka berdua menyimpulkan bahwa ada empat bentuk budaya perusahaan yang bisa diterapkan oleh perusahaan :
1. Tough-Guy Macho Culture
Budaya perusahaan yang ini, sesuai namanya,, merupakan budaya perusahaan dengan feedback dan reward yang cepat dan tentu saja memiliki resiko yang tinggi. Biasanya budaya seperti ini ditandai dengan tingkat stress yang tinggi yang memungkinkan munculnya peningkatan atau penurunan reward yang didapatkan oleh karyawan maupun perusahaan. Selain itu, ciri yang lain adalah karyawan cenderung focus pada saat ini (tidak terlalu memusingkan besok atau nanti), akibatnya individualisme lebih mendominasi dibandingkan kerja tim. Sangat mudah melihat budaya perusahaan seperti ini, lihat saja perusahaan yang bergerak di bidang advertising, futures, dan semacamnya.
2. Work-Hard, Play-Hard Culture
Hampir mirip-mirip dengan Tough-Guy Macho Culture, budaya perusahaan bentuk ini juga memiliki tingkat kecepatan feedback dan reward yang tinggi, hanya saja, dari sisi degree of risk, ini memiliki resiko yang rendah. Kita bisa melihatnya dari tingkat stress yang cukup tinggi yang disebabkan oleh jumlah pekerjaan yang cukup banyak. Maka dari itu karyawannya pun bekerja dengan fokus dalam kecepatan tinggi, yang tentunya membutuhkan energy yang jauh lebih tinggi lagi untuk itu. Sales, tempat makan (kafe, restoran, dll), dan perusahaan elektronik atau otomotif bisa dijadikan contoh perusahaan yang seringkali menerapkan budaya perusahaan jenis ini.
3. Process Culture
Kalau bentuk budaya perusahaan yang ini berbeda dengan dua bentuk di atas. Kali ini feedback dan reward yang didapatkan cenderung lambat, berjalan pelan. Berbanding lurus dengan hal tersebut, resiko yang didapatkan juga cenderung rendah. Ciri-cirinya yaitu tingkat stress yang secara umum rendah, tapi situasi ini tidak selalu disebabkan oleh karyawan atau beban pekerjaan yang sedikit, bisa juga terbentuk dari politik internal dan system yang tidak tepat. Dari sisi karyawan, mereka cenderung focus dalam detail dan proses yang sangat baik dalam bekerja. Bisa kita lihat bahwa perusahaan-perusahaan seperti bank, perusahaan asuransi dan periusahaan yang bergerak di bidang public service menerapkan budaya perusahaan jenis ini.
4. Bet-Your-Company Culture
Nah, yang ini beda lagi. Budaya perusahaan jenis ini memiliki feedback dan reward yang cenderung lambat namun memiliki resiko yang tinggi. Aneh juga ya? Tapi mungkin kita bisa lihat ciri-ciri budaya perusahaan ini. Tingkat stress cukup tinggi disebabkan tingkat resiko yang cukup tinggi itu tadi dan sebelum mengetahui apakah apa yang mereka kerjakan memberikan hasil yang baik atau tidak. Karyawannya juga cenderung focus pada long term, dimana mereka bekerja dengan persiapan dan perencanaan yang baik. Perusahaan farmasi, produsen pesawat terbang, dll, bisa dijadikan contoh perusahaan yang menerapkan budaya perusahaan ini.
Well, sekarang tinggal kita lihat lagi ke dalam, bentuk budaya perusahaan apa yang kita terapkan dan jenis mana yang sesungguhnya tepat kita terapkan dalam perusahaan. Sekali lagi jangan pernah menganggap bahwa budaya perusahaan tidak punya peran yang signifikan dalam membentuk karyawan dan mengembangkan perusahaan, karena jika perusahaan tidak sesuai denagn bisnis yang dijalani atau tidak mampu diikuti, maka akan menghambat perusahaan disadari maupun tidak. Sok, budaya perusahaan mana yang akan kamu terapkan untuk perusahaan kamu?
No comments:
Post a Comment