Nov 16, 2008

DOUBLE JEOPARDY


Apa yang muncul di benak Anda ketika membaca judul diatas? Yup, saya bisa pastikan bahwa Anda mengatakan salah satu judul film. Tidak keliru memang, karena istilah Double Jeopardy (DJ) ini populer lewat salah satu yang digarap Bruce Beresford dan diperankan oleh Tommy Lee Jones, Benjamin Weir dan Ashley Judd. Tapi Anda keliru ketika menilai saya akan mendiskusikan film tersebut dalam tulisan ini. Sebaliknya saya akan membicarakan tentang merek.

Lalu apa kaitannya dengan film tersebut? Keterkaitannya terletak pada judul film tersebut ternyata juga terjadi dalam bisnis.Tidak percaya? Saya akan menguraikannya lebih dalam.Perhatikan kondisi berikut ini. Dari data riset ditunjukkan bahwa misalnya merek X memiliki pangsa pasar 6 %, jauh tertinggal dari market leader merek Y dengan pangsa pasar 55 %. Kemudian, dari data tersebut menunjukkan bahwa frekuensi pembelian ulang merek X jauh lebih rendah dari merek Y.

Dua kondisi diatas adalah fakta bahwa DJ dapat terjadi dalam bisnis. Merek X yang merupakan merek kecil mengalami “penderitaan” (jeopardy) dua kali. Penderitaan pertama merek X memiliki pangsa pasar yang kecil. Penderitaan yang kedua, merek X juga memiliki frekuensi pembelian ulang yang jauh lebih kecil dari brand market leader. Lalu, apa yang salah sehingga fenomena ini terjadi?

Tunggu dulu. Ada baiknya kita menelusuri segi historis munculnya istilah ini. Fenomena DJ ini pertama kali ditelaah oleh seorang pakar sosiologi dari Columbia University Stephen McPhee. McPhee melakukan pengkajian terhadap perilaku membaca komik strip di sebuah kota. Dari studinya, McPhee menemukan fakta yang unik. Komik yang lebih populer dibaca oleh banyak orang. Selain itu, merek yang populer juga lebih disukai oleh orang – orang di kota tersebut.

Atas dasar ini McPhee menemakan kondisi ini sebagai DJ. McPhee melihat adanya ketidakadilan yang dialami oleh komik yang kurang populer. Pertama, komik yang kurang populer itu dibaca oleh sedikit pembaca. Kedua, pembaca yang sedikit tersebut juga kurang menyukai komik tersebut. Akhirnya McPhee menyimpulkan hal ini sebagai fenomena sosial dalam sebuah masyarakat.

Selanjutnya, beberapa dasawarsa kemudian, Andrew Ehrenberg, seorang Profesor Marketing dari South Bank University London melakukan riset pada beragam kategori produk – produk konsumen (Fast Moving Consumer Goods – FMCG). Dari risetnya menunjukkan hal yang menarik. Ternyata fenomena DJ terjadi dalam konteks perilaku pembelian konsumen terhadap merek.

Ehrenberg kemudian melakukan ekstensifikasi riset nya dengan meneliti perilaku pembelian dan pemilihan merek oleh konsumen pada beragam kategori , mulai dari produk- produk industrial, pemilihan channel televisi, pemilihan saluran distribusi, pemilihan toko, preferensi terhadap restoran, dan beragam kategori produk lainnya. Kesimpulannya, fenomena DJ juga terlihat pada hampir semua kategori produk.

Lalu bagaimana DJ ini dapat terjadi? Saya akan menjelaskannya secara terstruktur. Pertama, komunikasi pemasaran dengan beragam bentuknya mulai dari advertising, hubungan masyarakat, sampai promosi penjualan pada akhirnya akan menentukan sikap dan preferensi konsumen terhadap suatu merek. Advertising misalnya, yang dikomunikasikan secara rutin akan mengubah persepsi konsumen terhadap merek.

Jika konsumen belum mengetahui sebuah merek, maka konsumen akan mengetahuinya. Jika konsumen telah mengetahui keberadaan merek tersebut, maka konsumen akan dibentuk sikapnya untuk secara positif mempersepsikan merek tersebut secara relatif dibanding pesaing. Konsumen juga akan “dirubah” sikapnya dengan lebih menyukai merek tersebut, sehingga terjadilah liking the brand. Demikian seterusnya. Begitulah mekanisme komunikasi pemasaran bekerja.

Selanjutnya ketika komunikasi pemasaran berperan sesuai fungsinya, disinilah proses DJ dimulai. Sudah menjadi fakta bahwa perusahaan kecil (dengan merek kecil) akan kesulitan finansial untuk membiayai aktivitas komunikasi pemasarannya. Dampaknya dengan anggaran komunikasi yang terbatas, secara otomatis konsumen akan lebih sedikit yang mengetahui keberadaan merek tersebut di pasar. Dampaknya sikap konsumen terhadap merek tersebut menjadi tidak favorable.

Sebaliknya terjadi pada perusahaan besar dengan portfolio merek yang diversified anggaran promosi dipastikan jauh lebih besar. Dampaknya konsumen akan menunjukkan sikap positif pada merek – merek besar karena konsumen senantiasa terinformasi dengan merek tersebut. Ketika melakukan pemilihan merek, otomatis merek besar tersebut akan mengungguli merek – merek kecil baik dari segi market share maupun brand preference.Inilah yang kemudian menentukan consumer choice for next purchase. Merek besar lagi – lagi akan mengungguli.

Kemudian bagaimana jika ini terjadi pada merek yang Anda kelola? Tentu saja Anda tidak perlu panic, karena ini merupakan regularity untuk semua industri. Anda juga tidak perlu secara radikal mengubah formulasi program komunikasi pemasaran Anda. Pertama – tama, Anda sebaiknya melakukan riset skala kecil untuk mengetahui persepsi, sikap dan choice konsumen terhadap merek Anda, apabila Anda tidak mengetahui market share merek Anda.

Selanjutnya, analisislah merek Anda. Apakah keunggulan merek ini? Seberapa besar familiaritas konsumen terhadap merek? Dan segmen konsumen manakah yang hendak Anda tuju? Setidaknya sederet pertanyaan tersebut dapat Anda sodorkan untuk menentukan posisi merek Anda di pasar. Ini berguna untuk memperjelas posisi Anda dan pesaing Anda.

Strategi yang Anda lakukan adalah menjadi pemain di area geografis. Jangan berharap bermain di level nasional, jika pada basis lokal saja masih rapuh. Oleh karena itu, Anda sebaiknya menggarap pasar lokal dan jadilah pemain besar di sana. Strategi promosinya juag disesuaikan dengan wilayah pemasaran Anda. Gunakan berbagai media kreatif dan efektif untuk memaksimalkan awareness konsumen. Dengan demikian efek DJ ini akan lebih kecil karena ada merek Anda justru akan menjadi pemain besar di pasar lokal.

2 comments:

anti said...

artikel anda menambah pengetahuan saya dalam marketing.
terima kasih

Anonymous said...

Kalau menurut saya sih cuma ada satu kata untuk masalah itu "DIFERENSIASI". Bagusin donk konten, konteks, dan infrastruktur produk atau jasa kamu...Semuanya pasti rebessss!!