Jun 22, 2011

DeMarketing, Ketika Marketing Menjadi "Evil"



Salah satu cara saya dan teman-teman untuk selalu ter-re-charge isi kepalanya adalah dengan seringkali bertemu dan berdiskusi dengan pendahulu-pendahulu kami di bidang pemasaran tapi kemarin adalah momen yang spesial karena saya bisa bertemu lagi dengan coach marketing saya pak Godo Tjahjono yang 1 tahun terakhir berada di Australia.

Yang menarik dari apa yang kami obrolkan kemarin adalah tren marketing yang berkembang di Indonesia saat ini, di mana seringkali para business owner, para pemasar atau pengelola merk seringkali terjebak dengan apa yang disebut dengan atribut. Hal-hal yang bercirikan kehebohan atau short-term hit activities seringkali sudah diartikan sebagai kegiatan pemasaran yang berhasil. Padahal jika mau dilihat lebih dalam aktivitas pemasaran terkait berbagai aspek yang menyeluruh hingga ke aspek keuangan, termasuk di dalamnya apakah merk yang kita kelola memiliki feasibility untuk sustain dalam jangka waktu yang lama.

Hal ini jadi mengingatkan saya akan beberapa pengalaman kami bertemu dengan beberapa klien ataupun calon klien yang sukanya hal-hal yang sifatnya instant. Namun jika memang bertemu dengan orang-orang yang suka dengan hal-hal instant, maaf saja bisa jadi mereka cenderung kecewa dengan kami, mengapa? karena cara saya dan tim bekerja adalah dengan proses melihat kembali ke belakang dan melihat kembali ke akar permasalahan yang ada dari masalah-masalah klien kami. Lucunya, seringkali ada saja yang tetap bersikeras untuk memberikan apa yang konsumen tidak butuhkan.

Bicara mengenai kebutuhan konsumen, salah satu hal menarik lainnya yang kemarin kita bahas adalah tentang apa yang disebut dengan deMarketing. Pak Godo menceritakan tren pemasaran yang ‘kapitalis’ di dunia sudah mulai diimbangi dengan deMarketing, atau dapat dilihat bahwa makna kata ‘de’ tersebut adalah ‘kebalikan’. Artinya apa?

Pemahaman ini bisa kita telusuri dari adanya pembagian segmentasi konsumen menjadi 3 berikut ini

Segmen Look at Me
(adalah segmen yang membeli produk dengan tujuan ‘lihatlah saya’ atau bisa dibilang untuk gengsi atau status sosial. Di dalam kondisi cara hidup sosial masyarakat Indonesia banyak yang berperilaku demikian, terlihat dari banyaknya konsumsi masyarakat terhadap produk luxury dengan cara kredit)

Segmen Feasible Achievemet
(adalah segmen yang memiliki ukuran keberhasilan atas dirinya sendiri dan tidak terlalu memperdulikan ‘aoa kata orang’. Segmen ini memiliki kepercayaan diri dan kepuasan terhadap dirinya sendiri, mereka hidup untuk diri mereka bukan untuk status sosial atau bahkan ketenaran)

Segmen Family Oriented 
(yaitu segmen yang menomorsatukan keluarga, di mana kehidupannya didedikasikan untuk keluarga, hubungan yang lebih baik antara suami-istri dan anak-anak mereka).

Nah lalu di mana deMarketing nya? Konsep deMarketing pada dasarnya berangkat dari adanya ‘ketidakadilan’ yang diciptakan dari proses Marketing. Marketing menjadi suatu proses yang bisa saya bilang dengan kata ‘evil’ atau ‘jahat’ jika sudah merugikan beberapa kelompok dan di satu sisi memberikan keuntungan yang sangat besar kepada kelompok lain.

Seperti cerita yang disampaikan Pak Godo kemarin sebagai contoh adalah tentang suatu bisnis karpet luxury yang diproduksi di Afrika, di mana dalam proses produksi tersebut melibatkan seorang anak yang harus bekerja di sebuah ruang penuh asap selama bertahun-tahun hingga tulang dan paru-parunya rusak. Namun di sisi lain, karpet tersebut dijual dengan yang sangat mahal di Amerika dan Eropa. Tapi apakah semua keuntungan tersebut dinikmati oleh si anak? Jawabannya tentu saja tidak.

Konsep deMarketing tersebut muncul dari adanya aktivitas-aktivitas bisnis yang tidak lagi memandang ‘nilai manusia’ sebagai salah satu aspek yang penting atau bahkan sebagai jalur mencari keuntungan semata, bisa dengan merugikan beberapa kelompok atau bahkan ‘membodohi’ konsumennya. Konsep deMarketing adalah saat sebuah aktivitas bisnis dan pemasaran tetap memegang nilai-nilai kemanusiaan dan kegiatan yang dilakukan oleh aktivitas pemasaran tersebut memberi value positif terhadap orang lain, bisa juga difokuskan pada konsumennya sehingga meng-empower para konsumennya (customer empowerment).

Contoh dari bentuk pemasaran yang secara riil menuju customer empowerment adalah contoh nya Air Asia, di mana jika dulu hanya segelintir orang yang bisa terbang, saat ini biaya penerbangan lebih terjangkau dan mendukung berbagai aktivitas bisnis lebih lancar, orang-orang dapat bertemu dengan keluarga mereka lebih lama (dibandingkan jika antar pulau masih harus dengan naik kapal seperti dulu karena biaya pesawat terbang begitu mahal), dll. Proses pemasaran yang cerdas ini bisa memberikan value positif kepada banyak orang.

Nah hubungannya dengan pembagian segmentasi di atas adalah adanya himbauan alangkah baiknya apabila para pemasar mulai berpikir untuk mengaitkan cara pemasaran mereka dengan lebih menariknya pada ‘cara komunikasi’ segmen yang kedua dan ketiga, di mana mulai sedikit demi sedikit membantu kondisi sosial masyarakat Indonesia menghindari ‘konsumsi terhadap suatu produk karena status sosial’. Profitabilitas bisnis tetap bisa didapatkan oleh perusahaan tanpa perlu merusak cara hidup masyarakat kita yang semakin hedonis dan menilai seseorang dari kemewahan.

Contoh dari komunikasi yang menghindari hal ini adalah Teh Sariwangi yang memunculkan manfaat kehangatan dalam keluarga (family oriented) atau iklan salah satu provider yang mendekatkan antar keluarga karena jasa mereka. Jangan sampai kita sebagai pemasar memberi sumbangsih terhadap pertumbuhan kapitalisme yang semakin menjadi-jadi, seperti headline-headline koran daerah yang seringkali menyebutkan bahwa seseorang bisa mencuri atau membunuh karena butuh uang untuk membeli HP, motor atau benda-benda lain yang berkaitan dengan kemewahan atau status sosial seseorang.

Cerita yang juga menginspirasi saya dari pak Godo kemarin adalah tentang salah satu aktivitas perpustakaan di sekitar wilayah tempat tinggalnya di Sydney, Australia yaitu bahwa beberapa waktu sekali terdapat sesi pertukaran mainan dan DVD antar anak-anak yang tinggal di wilayah tersebut. Misi dari kegiatan ini adalah sederhana, bahwa untuk mengurangi konsumsi terhadap suatu produk, jika bisa bertukar kenapa harus membeli baru?

Nah inilah yang dilakukan oleh orang bule yang selama ini kita nilai hidupnya lebih mewah dari kita, coba kita pikir untuk aplikasikan di lingkungan kita,jangan-jangan anak-anak kita sudah mulai tertular dengan materialistisnya kita menilai barang bukan dari manfaat tapi ‘gengsi’, jangan-jangan anak-anak kita tidak mau bertukar mainan karena selalu ingin yang baru dan yang baru selalu membuat mereka tampil lebih keren.. walah.. jangan sampai yah ke depannya bangsa kita semakin memiliki karakter seperti itu.

Yah.. diskusi yang menarik tersebut berakhir dengan suatu kesimpulan bahwa kita semua sebagai pelaku pemasaran memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak kecil dalam membentuk masyarakat kita sendiri. Mendalung keuntungan memang penting, namun tentu ada yang juga sama pentingnya yaitu bahwa kita harus selalu ingat bahwa esensi dari keuntungan itu harus dikembalikan lagi kepada kehidupan manusia semoga tulisan saya ini bisa menginspirasi banyak orang dan terima kasih kepada coach marketing saya pak Godo Tjahjono yang sudah mau rela-rela berbagi dan bahkan mentraktir kami see u and sukses selalu! God bless u!


Sumber Gambar: courses.unt.edu
http://socialmarketing.blogs.com

1 comment:

Travelonyet said...

wah terimakasih ilmunya