Nov 24, 2008

TERNYATA KONSUMEN KITA BER-POLIGAMI


Silahkan percaya atau tidak. Anda silahkan memikirkannya. Tetapi saya berani mengatakan inilah faktanya. Meskipun poligami merupakan salah satu isu hangat dalam beberapa tahun terakhir ini, pengamatan terhadap perilaku konsumen yang poligami relatif kurang dikaji secara mendalam. Tentu saja maksud tulisan saya ini bukan membahas sikap saya sebagai pihak yang pro atau yang kontra. Saya tidak memiliki pretensi kearah tersebut.

Justru sebaliknya, saya akan membahas fenomena ini dari kacamata marketing, khususnya buyer behavior dan brand management. Tetapi percayalah, jangan berprasangka yang bukan – bukan dengan judul tulisan ini (he he he …). Well, saya akan buka tulisan ini dengan mengajukan pertanyaan kepada Anda? Apakah Anda orang yang setia ? Seberapa kesetiaan Anda? Jika Anda menemukan sesuatu yang lebih baik, menarik, atau bahkan ketika pilihan pertama Anda tidak ada , apa yang Anda lakukan? Yup, mungkin berganti pilihan atau pasti berganti?.

Kenapa saya berani berkesimpulan demikian?Anda mungkin akan berteriak keras bahwa jawaban saya tidak masuk akal. Anda mungkin akan beralibi bahwa Anda adalah orang yang setia dengan pasangan Anda. Anda juga memiliki kesetiaan yang besar terhadap apa yang Anda pasangN pilih. Tetapi, tentu saja hal tersebut tidak beralasan, karena yang saya bahas adalah perilaku Anda terhadap penggunaan merek bungan mengenai pasangan hidup anda he....he.

Begitulah profil konsumen kita. Itulah profil konsumen di Indonesia, Asia Tenggara, Eropa, dan bahkan dunia. Mengapa saya berani berpendapat demikian. Saya akan menjawabnya : ini adalah fakta!!!!!!!!!!. Inilah fakta yang diungkapkan oleh Marc Unles (Professor of Marketing dari University of New South Wales, Australia) dan partnernya. Kedua nya melakukan riset skala besar dengan mengkaji lusinan merek produk konsumen (FMCG – Fast Moving Consumer Goods) di lebih dari 50 negara.

Hasil yang cukup mengejutkan. Pasalnya loyalitas adalah kata – kata ajaib – disamping customer satisfaction - yang didengungkan baik oleh pakar dan praktisi pemasaran dalam satu dasawarsa terakhir. Secara umum, konsumen akan loyal terhadap satu merek dan akhirnya ini membuat banyak manajer pemasaran “tersihir” untuk menggarap program promosi yang akhirnya how to create customer loyalty.

Bagi Uncles dan kawan-kawan, fakta bahwa konsumen itu “poligami” tidak mengejutkan. Logikanya sederhana. Loyalitas akan terjadi ketika terdapat dua atau lebih pilihan. Jika pilihannya hanya satu bukan loyalitas namanya. Kondisi ini terjadi ketika pasar dimonopoli oleh satu brand. Dampaknya, konsumen hanya take it or leave it. Kondisi tersebut semakin tidak relevan ketika pasar menghadapi persaingan yang kian intensif, yang dicirikan banyaknya merek. Kini bukan zamannya bermain monopoli.

Terkait dengan riset Ehrenberg, mayoritas konsumen adalah polygamous (memilih banyak merek). Kondisi monogamous (setia pada satu merek) dan promiscuous (tidak loyal pada satu merekpun) justru sedikit. Mengapa kondisi ini dapat terjadi? Ini mungkin pertanyaan menggelitik di benak Anda. Betapa tidak Anda yang “bermazhab” loyalty is everything mungkin sudah broken heart. Anda mungkin memaki-maki saya dengan umpatan kekecewaan dan kekesalan. Tetapi untuk “mengobati” broken heart tersebut, saya akan menawarkan “madu” yang saya racik dengan tiga bahan baku pokok: psikologi, merek, dan distribusi. Aneh bukan? Anda mungkin berpikir jauh dan bergumam , “Hmm, pastinya obat herbal”. Ha ha ha …….

Agar lebih mudah memahaminya saya akan menjelaskannya secara terstruktur dimulai dari psikologi terlebih dahulu. Ini pastinya ngomongin konsumen. Lha wong temanya juga konsumen. Begini, konsumen itu akan membentuk skema brand portfolio dalam benaknya. Yes. Artinya ada sekumpulan merek yang terkumpul dalam pikiran konsumen. Merek – merek tersebut akan berurutan “berdiri” dan “mengantri” dalam otak konsumen. Merek yang berada diurutan pertama adalah merek yang dipersepsikan valueable. Wow !!! Betapa dahsyatnya persepsi bukan? Itulah mengapa “sesepuh” kita di bidang marketing sering kali ngomongin perception is everything.

Lalu, menanisme perspesi ini akan berdampak pada struktur pemilihan merek yang terbentuk dalam benak konsumen. Merek yang memiliki perceived value yang tinggi akan menempati posisi uatam dalam benak konsumen. Bagaimana membentuk perceived value yang tinggi? Ya, Anda harus rajin-rajin berkomunikasi dengan pelanggan Anda. Buatlah mereka mengenali merek Anda. Seperti kata pepatah: tak kenal maka tak sayang..Begitulah cara konsumen memilih merek.

Hal ini juga terkait dengan ramuan ketiga distribusi. Ketika produk sedang out of stock mau tidak mau dan percaya tidak percaya, loyalitas konsumen akan runtuh. Konteks ini berlaku untuk produk – produk FMCG. Anda dapat membayangkan, apakah Anda bersedia membeli sebuah sabun mandi atau pasta gigi ke toko lain ketika merek yang Anda “idolakan” tidak tersedia? Inilah mengapa para produsen produk FMCG begitu “bersikap manis” terhadap peritel. Gampang saja. Kalau sedikit saja produsen “bertingkah”, jangan dipajang produknya di rak.

Tiga hal tersebut ditambah faktor keempat, yaitu variety seeking behavior, membentuk skema loyalitas. Variety seeking behavior atawa perilaku mencoba-coba merek, memang sudah dari sononya kalau konsumen senang mencari model baru atau suasana baru. Jadi, perlu disadari loyalitas itu seperti apa mekanismenya. Tambahan lagi, ada jargon ngetop dalam industri FMCG yang belum saya bilang “your customers are my customers too”. Jadi waspadalah dalam memaknai loyalitas pelanggan, karena pelanggan kita senang berpoligami.

3 comments:

Anonymous said...

Tetap saja keberadaan program-program customer loyalty penting ditengah-tengah isu poligami. Setidaknya dengan program-program yang ada perusahaan dapat selalu menjadi pilihan utama konsumen. Hal ini juga belum mempertimbangkan segmen dari setiap market, untuk pasar dengan segmen sangat mewah katakanlah penggemar Motor Besar Harley, tidak gampang membuat loyalist-loyalistnya ber "poligami" karena ada ikatan emosial, cinta dan bahkan ikatan yang menjurus pada riligi tersendiri.

Yup kalo untuk FMCG rasanya penjelasan cukup mewakili, nice atikrl to read.

Anonymous said...

Sebagai konsumen rasa-rasanya emang nggak mungkin lagi sih untuk mempertahankan prinsip "Monogami"...Tap sebenernya perusahaan nggak perlu kuatir2 amat jg sih dgn situasi ini...Toh nggak akan mengurangi konsumsi konsumen terhadap produk perusahaannya. Pooligami itu biasanya kan dilakukan karna ada salah satu feature atau fasilitas produk perusahaan B nggak ada di perusahaan A,gitu juga sebaliknya. Mungkin kalo nggak mau ada poligami ya perusahaan harus memenuhi SEMUA yang diharapkan konsumen...Tapi saya rasa nampak terlalu 'naif' ya!

Anonymous said...

Memang habit orang dalam penggunaan merek itu beragam. Ada yang setia, ada yang doyannya gonta-ganti merek, bahkan ada yang tidak peduli pada merek sama sekali. Untuk yang gonta-ganti merek, mungkin ibaratnya seperti cari pasangan...cari terus sampai dapat yang cocok. Atau bisa juga orientasi konsumen ini adalah harga, jadi gonta-ganti merek karena mencari yang murah hehehe....
Biar bagaimanapun, tipe konsumen berbeda-beda. Kalau yang setia dan sudah cocok pada satu merek ya sudah, merek lain tidak bisa mengganggu gugat.
nah yang poligami ini yang doyannya gonta-ganti merek, karena sebetulnya setia pada penggunaan merek itu tergantung dari jenis produknya apa..(kalau menurut saya lho..)