Mar 31, 2008

Film Nasional, Buble atau Sustainable


Jika kita mau sedikit mengamati perkembangan perfilman Indonesia saat ini tentu kita harus angkat topi dan memberikan kredit plustersendiri. Bagaimana tidak, hampir setiap beberapa bulan bahkan bulan film-film karya anak negeri ini menjadi raja di rumahnya sendiri, jutaan penonton dan selalu penuhnya kursi-kursi di bioskop-bioskop seantero negeri memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa film nasional sudah menjadi raja di negeri sendiri. Terkahir yang paling fenomenal tentunya Ayat- Ayat Cinta yang sampai saat ini kabarnya sudah mencetak 3 juta penonton lebih di Bioskop-bioskop se Indonesia, ini baru angka pengunjung resmi, yang menonton bajakannya saya yakin bisa lebih banyak lagi. Says sendiri sampai dua minggu lebih sedikit malas untuk mencoba menonton film ini karena selalu harus mengantri dengan antrian yang selalu seperti ular ngantri beras, panjannnng sekali antriannya.

Jujur saja ide menulis artikel ini karena kemarin saya kaget luar biasa, seperti biasa setiap hari sabtu saya memberikan diri saya kesempatan untuk menikmati film-film bioskop, yah sekedar mengistirahatkan pikiran yang sudah 5 hari njelimet dengan pekerjaan dan pekerjaan. Seperti biasa juga sebelum pergi menonton ke bioskop favorit, saya menyempatkan diri untuk membuka internet dan website bioskop tersebut untuk mengecek kira-kira film apa yang akan saya tonton dan saat itu saya benabenar kaget, dari tujuh studio yang ada, enam studio menampilkan film karya anak bangsa, oh my God, mungkin ini Cuma reakasi saya saja yang berlebihan dan ketidaktahuan saya mungkin, namun ini baru pertama kalinya di bioskop kesayangan saya tersebut yang memiliki tujuh studio tersebut menayangkan enam film nasional secara bersamaan dan hanya satu film asing, dan ternyara ini tidak jauh dengan studion-studio lainnya di lokasi yang berbeda. Singkat cerita saya tidak jadi nonton ha....ha bukan tidak cinta dengan produk dan karya anak negeri tapi masalahnya saya memang kurang berselerah menonton film-film tersebut, yah katakanlah bukan segmen saya deh beres.

Mengapa film karya anak negeri saat ini sangat di gandrungi? Dalam perspectif marketing saya melihat ada beberapa alasan yang membuat film-film tersebut kemudian bisa merajai industri perfilman Indonesia. Pertama, kemampuan dalam membaca market insight dan menyesuaikan produk perfliman dengan segmen marketnya. Seperti halnya sinetron yang mengerti sekali bagaimana marketnya, film-film nasional saat ini cukup mempu membaca needs and want masyarakat Indonesia saat ini dan menterjemahkannya lewat film-film yang mereka sukai. Maka munculnya film-film dengan tema-tema komedi dan cinta yang dikemas dengan pendekatan sehari-hari yang ceritanya ringan dan mudah dimengerti, menampilakn artis-artis yang memang mewakili segmen market yang tepat dan dikomunikasikan dengan pendekatan yang sesuai dengan segmen market tersebut.

Segmen market pada dasarnya merupakan hal yang sangat basic yang harus bisa dimengerti oleh pebisnis pada saat ingin menjual produknya, apapun itu bisnisnya. Bayangkan saja jika kita mengetahui kepada siapa produk yang kita miliki untuk di jual, ha...ha kalo bukan karena beruntung, saya jamin produk tersebut tidak akan laku dipasaran, bukan karena tidak ada yang membutuhkannya tapi disebabkan di yang empunya produk tidak mengetahui untuk siapa produk tersebut dijual sehingga bisa jadi produk tersebut disampai atau tidak terdengar di telinga segmen yang memerlukannya. Begitupun juga film nasioanal saat ini, mereka pintar membaca segmen market yang ada, selain cukup besar untuk digarap, behavior dari segmen market yang ada juga secara cermat mampu diterjemahkan ke dalam produk film yang tepat sehingga segemen tersebut merasa bahwa iniah produk yang sesuai dengan gaya dan kehidupan gua and that’s why i nedd to see this movie.

Kedua the produk it self, sudah dibahas cukup singkat di atas bahwa pada akhirnya produk yang bagus pasti dicari orang apalagi produk tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapan dari si pencari dan dikomunikasi dengan tepat. Film nasioanl saat ini merupakan contoh produk yang bagus dan menyasar serta di komunikasi dengan bagus pula. Tema-tema film yang diangkat sedikit banyak memiliki differensiasi yang cukup unik yang tidak bisa didapatkan oleh film-film keluaran asing. Quikie Xpress, Jelangkang, Kuntilanak, Ayat-Ayat Cinta, Arisan jelas sekali mengangkat unsur budaya atau kehidupan orang Indonesia pada umumnya dan ini tentu hal cukup sulit didapatkan dari film-film keluaran luar negeri.

Apa jadinya jika produknya tidak diminati namun si pembuat film tetap ingin karyanya di pasarkan dengan alasan idealismen? Dua kemungkina saja, buang-buang duit atau berharaplah pertolongan Tuhan. Saya tidak bilang tidak akan ada yang menonton tentunya, pasti ada saja segmen market penikmat idealismen, namun di sini kita juga sedang melakukan penjualan dan salah satu syarat dalam melakukan penjualan adalah pasarnya cukup besar untuk digarap sehingga produk yang kita keluarkan tidak merugi tentunya. Yah sebenarnya repot jika memperdebatkan masalah idealisme ini Cuma mari kita sederhanakan sajahlah, tetapkan saja dulu tujuannya, memenuhi kubutuhan pasar dan meningalkan idealisme atau penuhi idealisme dengan mengorbankan kebutuhan pasar? Bagus kalo bisa dua-duanya Cuma khan jarang-jarang neh yang beginian.

Ketiga komunikasi. Setuju atau tidak setuju dan benar atau tidak benar, tiga juta lebih penoton film Ayat-Ayat Cinta menonton film tersebut mungkin karena “omongan”. Publikasi dan promosi yang dilakukan baik itu lewat-media-media eletronik, cetak, event-event dan word of mouth baik disengaja atau tidak memberikan peran yang sangat besar terhadap lakuknya dan meladaknya film tersebut. Rasanya mustahil tanpa komunikasi film ini dapat menjadi demikian, saya pikir kekuatan komunikasilah yang meledakannya selain tentunya produknya itu sendiri. Jika diperhatikan bentuk-bentuk komunikasi yang dilakukan pihak produser film akhir-akhir ini cukup kreatif dan inovatif sehingga film-film yang tadinya biasa menjadi sangat luar biasa. Yang paling berhasil tentunya word of mouth yang diciptakan dalam promosi film-film yang ditanyangkan, mulai dari aktris atau aktor yang kesurupan dan melihat mahluk halus, kursi bisokop tertentu yang harus dikosongkan, perjuangan produsernya untuk film tersebut bisa tanyang dan sebagainya yang di susun sedemikian rupa sehingga menjadi konsumsi masyarakat. Belum lagi dukungan pihak pertelevisian lewat acara-acara infotaiment atupun liputan khusus terhadap film tersebut.

Ok ketiga hal diatas mungkin secara umum saja mewakili rahasian sukses perfilman Indonesia saat ini, tentu banyak lagi variabel pendukung suksesnya film-film nasional saat ini, yang justru menarik untuk dibahas kemudian adalah pertanyaan yang sangat penting bagi kita seorang marketer, apakah kisah sukses perfilman saat ini akan continue atau hanya sukses sesaat?

Sebagai seorang pemasar, pertanyaan buble atau sustainable ini merupakan pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab, selain karena memang belum terjadi, dinamika dan perkembangan pasar dan pesaing selain kondisi perusahaan sendiri tentunya menjadi PR yang harus terus menerus dikerjakan untuk memastikan pertumbuhan perusahaan yang kontinue. Kembali lagi ke perfilman nasional, saya sendiri terus terang kurang bisa memprediksi bagaimana masa depannya karena tidak berkecimpung di dalam industri ini namun menurut saya diperlukan sebuah terobosan kreatif dan inovatif secara terus menurus untuk terus menggali ide-ide film maupun teknis perfilman yang disuguhkan ke masyarakat.

Budaya ikut-ikutan seperti menjamurnya film-film bertemahkan mahluk halus menurut saya malah akan merusak perfilman Indonesia itu sendiri, mencari kesempatan lewat tema-tema film yang sebelumnya laku keras sering kali dilakoni oleh insan perfilman Indonesia, jika sudah begini tentu differensiasi produknya tidak akan unik lagi sehingga dengan demikian akan membuat pasar menjadi jemuh dan beralih mencara alternatif lain, yah syukur0syukur beralih ke film Indonesia lainnya jika beralihnya ke film-film produksi negara lain khan tentu sangat disayangkan. Seperti halnya sinetron bertemah religi yang dua tahunan kemarin meledak ndak karu karuan, sekarang sudah berkurang signifikan penayangannya. Mungkin faktor-faktor differensasi dan positioning yang uniklah yang membuat Ayat-Ayat Cinta menjadi demikian hebatnya sampai lebih dari tiga juta orang yang menontonnya, film yang cukup berani mengangkat tema yang sedikit berbeda dari trand film saat ini yang lebih banyak di isi oleh film cinta komedi dan mahluk halus, terlepas dari kontroversinya tetap saja kita harus ancungkan dua jempol untuk film ini. Inilah contoh tepat untuk produk yang tepat, dijual ke segmen yang tepat. Memiliki positionig dan differensiasi yang tepat dan dikomunikasi secara tepat pulah, hasilnya? Yah anda sendiri bisa menilai dan membacanya di koran-koran, sampai-sampai presiden dan wakil presiden merasa perlu untuk menonton film tersebut, gile bener.

Bicara apa di atas barusan? Dalam perspective perusahaan diperlukan creative destrution untuk membreak situasi yang comport yang terjadi di dalam sebuah perusahaan sehingga komponen-komponen di dalam perusahaan akan di drive untuk selalu kreatif dan inovatif dalam segala hal dan tidak cepat puas untuk selalu memcoba lebih baik lagi dalam menciptakan dan melayani kebutuhan pasar. Rasa puas merupakan musuh yang sangat berbahaya di dalam sebuah perusahaan karena rasa puas akan membuat proses kreatif dan inovatif akan terlupakan dan tidak menjadi urgensi tersendiri, dalam jangka pendek mungkin tidak akan bengaruh yang berarti bagi perusahaan, namun percayalah, menurut saya semua perusahaan yang gagal di arena perang bisnis pada mulanya pasti berawal dari kurangnya proses kreatif dan inovatif yang dilakukannya dalam semua hal diperusahaan tersebut.

Tugas siapa ini? Jika bicara film tentunya ini menjadi tugas isan-isan film baik itu sutradara, badan perfilman, atris dan aktornya dan semua yang terlibt untuk melakukan creative destruction terhadap film-film yang ditanyangkan maupun teknik-teknik dan cara-cara penayangannya. Jika di dalam perusahaan, yah jika tidak semua orang, bentuklah agen pelaku creative destrution ini yang pekerjaannya terus menerus melakukan proses kreatif dan inovatif bagi perusahaan, terlepas hasil yang dibuat belum terpakai oleh perusahaan namun biarkanlah team ini terus-menerus berkerja karena bisa jadi lewat team inilah masa depan perusahaan anda mungkin kelak ditentukan. Nah sudahkah anda menonton Ayat-Ayat Cinta? Ha.....ha kok ga nyambung yah.

No comments: