Sep 4, 2013

Aceh, Uda Gembul dan Going Global

Beberapa hari lalu saya dipercayakan Kemenkominfo memberi bimbingan pengarahan untuk para pemuda di Aceh dalam memanfaatkan Teknologi Informasi. Dalam acara tersebut salah seorang peserta bercerita tentang kondisi bahwa di Aceh tidak memiliki resources besar seperti di Jakarta atau Bandung, jadi bagaimana mungkin untuk bisa mampu bersaing.

Opini saya secara pribadi, di Indonesia apalagi di Aceh, tidak mungkin tidak ada resources yang dapat diperdayakan. Lihat saja dari sisi potensi untuk menjadi destinasi pariwisata kelas dunia. Aceh tidak perlu repot-repot membuat gedung berdesain mewah seperti yang dilakukan Singapura atau mendatangkan franchise mainan anak kelas dunia seperti di Malaysia, karena alam telah memberikan produk yang paling mewah, paling menarik, paling indah yang dapat menjadi potensi yang jauh lebih besar dibandingkan buatan manusia lainnya. Sebut saja di Aceh, terumbu karang yang luar biasa indah di area Iboih, Pulau Weh (45 menit dari Banda Aceh) atau hasil alam kopinya yang luar biasa terkenal.

Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia bukannya tidak mempunyai produk. Tetapi sebagian besar masyarakat kita tidak mengetahui bagaimana untuk mengemasnya. Mungkin kepikir untuk menjual, tapi untuk memenangkan persaingan pada saat menjual, kemasan adalah kuncinya.

Kemasan yang saya maksud di sini tidak hanya termasuk kemasan yang sifatnya fisik seperti jika menjual menjual sebuah produk makanan atau barang, tetapi juga kemasan dalam berkomunikasi. Contohnya saja apabila ingin menjual produk kopi Aceh atau pariwisata Aceh melalui media Online dengan pasar yang tidak hanya masyarakat lokal tapi juga mancanegara, dibutuhkan kemasan website yang bagus, user friendly, menarik, komunikatif dan push to action. Hal inilah yang menjadi kunci untuk pada akhirnya bisa me-monetize berbagai produk berkualitas yang kita miliki.

Sebelum saya pergi ke Aceh, sebenarnya saya sudah lama ingin menulis tentang topic ini. Ide awalnya karena saya melihat sebuah produk rendang yang dikemas sangat unik sekali bernama Rendang Gaul Uda Gembul. Rendang ini saya temukan di Food Court Yogya Supermarket di dekat alun-alun Bandung. Pada saat saya melihat produk ini saya jadi teringat rendang Uni Farah, yaitu “rendang gaul” juga yang sudah lebih dulu populer. Rendang gaul yang saya maksud di sini adalah rending yang mampu untuk menaik kelaskan persepsinya, dari sekedar menu di rumah makan Padang, menjadi sebuah produk retail yang siap untuk dijual bahkan hingga kelas mancanegara.

Lihat saja, bahkan bukan saja produk alam Indonesia yang mendunia, tapi rendang yang adalah buatan orang Indonesia adalah makanan terenak nomor 1 di dunia (versi CNN). Jadi sepertinya kita harus mengurangi kebiasaan kita untuk selalu mempersalahkan Negara kita karena ga punya apa-apa., padahal kitanya ajah yang sering kali ga bisa ngejualnya, karena kita tak mampu mengemas produk-produk dan potensi yang kita miliki menjadi barang jualan kelas dunia.

Rendang Uni Farah dan Rendang Gaul Uda Gembul ini harus menjadi contoh dan inspirasi kita dalam mengembangkan ide untuk menaik kelaskan produk lokal untuk dapat siap bersaing di pasar global. Berikut adalah beberapa tips dari saya terkait mempersiapkan “kemasan” itu sendiri, yuk bareng-bareng kita implementasikan dalam pengembangan produk kita masing-masing :

1. Pelajari Ilmu membangun brand
Jualan cara konvensional adalah buka lapak, berharap orang lewat terus beli karena ga ada pilihan lain. Bisa jadi kalo ngobrol nya sama kakek kita yang jual tembakau atau alat kamar mandi di tahun 1950an strategi ini berhasil. kenapa? Karena dulu belum ada pesaing.

Tapi kalo sekarang cuma mau buka lapak terus kipas-kipas, siap-siap aja harus over kontrak sewa tempat, karena susah cari pembeli. Sekarang ini konsumen jauh lebih kompleks, ya karena itu… banyak pesaing! Dan untuk bisa unggul dari pesaing, ga bisa hanya mempelajari ilmu jualan, tapi juga mempelajari ilmu bagaimana membangun sebuah brand.

Cara rendang gaul Uda Gembul dan Uni Farah membuat konsep kemasan mereka, membangun sistem distribusi, dll adalah salah satu komponen dalam membangun brand. Berbagai aktivitas yang telah direncanakan untuk membangun suatu persepsi tertentu dalam benak konsumen adalah aktivitas membangun brand, yang pada akhirnya memberikan suatu alasan yang kuat agar konsumen mau membeli produk kita.

Dibandingkan dengan kasus Aceh tadi, contoh di bidang pariwisata, cara Malaysia mengkomunikasikan Pulau Langkawi mereka ke dunia adalah aktivitas branding, cara Starbucks mengkonsepkan jualan kopi mereka adalah aktivitas branding. Dengan mempelajari ilmu branding, kita bisa keluar dari persaingan sekedar menjual komoditas, tapi menjual sebuah janji dan mendeliver janji tersebut menjadi sebuah customer satisfaction.

2. Pelajari ceruk pasar yang ada dan fokus untuk menggarapnya!
Palugada adalah konsep bisnis jangka pendek,. Ga ada suatu bisnis yang bisa unggul di semua hal. Pilihan untuk mau melayani pasar yang mana juga harus menjadi bagian dari strategi tersebut. Hal ini penting dan ada hubungannya sama kemasan, karena saat kita menyusun konsep kemasan seperti apa, harus berdasar pada kepada siapa kita menjual.

Saat Indonesia sibuk mempopulerkan Bangka Belitung ke masyarakat dalam negeri, Malaysia sibuk mempopulerkan Langkawi ke turis-turis mancanegara. Kemasan yang dipersiapkan Malaysia dalam mempopulerkan Langkawi pun dipersiapkan sesuai dengan pasar yang dibidik. Baik iklan televisi, situs hingga acara televise di stasiun TV mancanegara dibuat untuk mempopulerkan destinasi berkelas dari Malaysia tersebut.

Untuk kasus rendang gaul Uda Gembul, terlihat jelas bahwa segmentasi dari pasar yang ingin dibidik adalah dewasa muda, karena desain yang ditampilkan pun fresh, jenaka dan modern, namun dengan adanya unsur lokal yang tetap kuat. Hal ini masuk akal, mengingat segmen usia ini cenderung mau untuk spare uang lebih untuk membeli rendang (bisa jadi dengan harga yang lebih mahal sedikit), untuk ga repot-repot ke rumah makan Padang atau sekedar membeli karena produk ini unik. Sedangkan bisa jadi segmen usia di atasnya berpikir dua kali untuk beli rendang di mall.

3. Serahkan pada ahlinya
Dalam proses membuat “kemasan” tersebut, baik komunikasi ataupun kemasan fisik ataupun kemasan layanan (servis), harus mencapai kualitas yang tinggi. Dan bisa jadi Anda sebagai pemiliki bisnis tidak memiliki seluruh kompetensi tersebut. Anda pengusaha batik, pasti Anda jago membuat batik, tapi apa Anda jago membuat kemasan? Atau membuat website, atau membuat video profile?

Saran saya jangan pelit-pelit menggelontorkan dana untuk membuat sebuah visualisasi tentang produk Anda, yang akan menaikkan harga jual produk Anda bahkan 300%! Jangan sampai Anda tidak mau bayar fotografer 500ribu tapi mengambil resiko produk Anda yang aslinya bagus banget, karena difoto dari kamera HP Anda jadinya terlihat tidak menarik, yang ada harusnya ada 100 orang tertarik membeli, tinggal 5 orang yang membeli karena semata-mata foto Anda sama sekali tidak menarik.

Permasalahan bisnis lokal yang kalah bersaing, menurut saya salah satu factor terbesarnya adalah hal ini, yaitu ketidakmampuan mengemas produk. Beberapa barang fesyen dari Korea yang banyak tersebar di internet, bisa jadi lebih rendah kualitasnya dibandingkan produk Indonesia yang juga sama-sama dijual di internet. Tapi karena produk mereka dipakai oleh model berkulit putih berwajah cantik berbadan oke, produk mereka terlihat jauh lebih bagus, dan akan mengundang penjualan jauh lebih besar.

Yok, cek komunikasi produk kita, kemasannya dari A sampai Z, tidak hanya kemasan fisik tapi juga kemasan produk kita dari awal bertemu mata dengan konsumen sampai point of purchase, bahkan sampai konsumen menikmati fungsi produk tersebut, make sure sesuai dengan ekspektasi mereka. Sehingga akan terjadi Buy More dan Buy Recommendation!

Popular Post:

Private Label, Lampu Kuning Pemilik Brand
The Power of Free Marketing Ala Google
Aku, Mama, Starbucks dan Pisang Sunpride
Starbucks Catering, Ngejer Setoran?

Creasionbrand I Creative Sales & Brand Partner

1 comment:

Unknown said...

Nice post, ijin reshare ya :)