Belanja dan Hedonisme
Bukan Salah Bunda Mengandung
“hoyong jalan-jalan ka mol!” (pengen jalan-jalan ke mall!), celoteh ponakan saya yang baru saja datang dari Gunung Puntang dua minggu lalu. Belum sempat saya menjawab, terdengar komentar ibunya, “Entong ah, rek naon? Marahal diditu mah, jang nu beunghar!” (Jangan ah, mau apa? Disana pada mahal, buat orang kaya!). Hahaaa…saya hanya bisa tertawa kecil mendengar percakapan tersebut. Bukan karena tingkah mereka lucu, tapi karena menyadari dua hal. Pertama, anak berumur lima tahun yang tingggal di desa sudah tahu tentang mall. Kedua, sepupu saya (ibu anak tersebut) yang sudah beberapa kali saya ajak ke mall ternyata mempunyai persepsi sendiri tentang mall, bahwa mall itu produknya mahal, dan karena mahal itu artinya hanya orang kaya yang bisa berbelanja disana. Hhmm…menarik juga! Jika saya pikirkan lagi, memang ada benarnya juga pendapat sepupu saya tersebut. Mall, bagaimanapun juga berbeda dengan pasar-pasar tradisional seperti Pasar Baru atau Kosambi, bahkan juga tidak bisa disamakan dengan Departemen Store seperti Matahari atau Yogya apalagi Ramayana.
Saya jadi teringat komentar seorang teman saya yang merupakan aktivis anti kapitalis akut ketika saya ajak berbelanja ke BIP (saya sebut akut karena idealisme “anti kapitalisme”-nya itu benar-benar mendarah daging). Dia berkata “Sorry, gw bukan kaum hedonis!”. Dia merasa bahwa orang yang berbelanja ke mall adalah hedonis dan perilaku berbelanja di mall adalah perilaku hedon. Lagi-lagi saya juga saat itu hanya bisa tersenyum, tidak bisa menyalahkannya juga untuk idealimenya tersebut. Image mewah, ekslusif, mahal, dan prestisius memang melekat sangat kuat di mall. Mungkin itu sebabnya label “hedonis” jadi ikut melekat ke orang-orang yang suka berbelanja di mall karena terlihat sangat ‘duniawi’ sekali. Yah, “bukan salah bunda mengandung” kan?
Saya sendiri sebagai pengkonsumsi fasilitas mall tidak terlalu keberatan dengan istilah hedonis tersebut karena sesungguhnya motif-motif hedonis memang berperan juga dalam pertimbangan keputusan berbelanja. Bahkan jika kita mau lebih menggali lagi, istilah konsumsi hedonis ini berarti si konsumen memang menginginkan dan mementingkan pengalaman yang menyenangkan, fantasi, hiburan, dan stimulasi sensoris saat melakukan pembelian maupun saat menggunakan pruduk atau jasa yang dibelinya.
Tidak bisa kita pungkiri kan bahwa semua hal tersebut saat ini hanya bisa kita dapatkan jika berbelanja di mall. Saat ini, masyarakat kita cenderung lebih “manja” dan sesuai dengan karakteristik orang Asia, kita senang dilayani dengan semaksimal mungkin. Hal-hal inilah yang membuat kita, terutama kalangan menengah ke atas, tidak pernah merasa bahwa berbelanja di mall merupakan hal yang berlebihan. Buktinya saja saat pertama kali Bandung Indah Plaza (sekarang Plaza Bandung Indah) beberapa belas tahun yang lalu, sebagai mall pertama dan satu-satunya di Bandung saat itu, antusiasme dan respon masyarakat Bandung sangat positif. Hingga saat ini pun jumlah pengunjung dan pembelanja disana cukup ramai.
Situasi seperti ini ternyata teramati juga oleh para pengusaha di Indonesia. Sikap hedon masyarakat Bandung dimanfaatkan dengan berlomba-lomba membangun mall-mall lain yang bisa memenuhi ekspektasi kaum hedonis. Bisa kita lihat saat ini banyak sekali bermunculan mall-mall di Bandung mulai dari skala menengah hingga untuk kalangan atas. Semakin kuat tingkat hedonisme di masyarakat, semakin tinggi juga kualitas mall yang dibuat oleh para pengusaha tersebut. Kita bisa lihat Paris Van Java, Istana Plaza, Cihampelas Walk, dan mall-mall baru yang lain.
Namun melihat semua fenomena tersebut, saya malah jadi tertarik membahas mengenai sebenarnya apa sih yang menyebabkan masyarakat kita termotivasi untuk berbelanja hedonis seperti itu. Menurut ahli pemasaran, ada beberapa motif yang membuat orang ingin berkunjung ke sebuah perbelanjaan:
1. Adventure Shopping
Dengan menjamurnya toko-toko baju yang ada, terkadang kita merasa bosan dengan konsep toko dan produk yang cenderung sama. Hal ini menyebabkan kita mencari tempat belanja yang dapat memberikan kita suasana berpetualang, menstimulasi atau merasakan berada di suatu dunia lain yang belum pernah kita dapatkan sebelumnya saat berbelanja. Saya pernah bela-belain pergi jauh-jauh ke Kampung Cina untuk berbelanja hanya karena saya mendengar bahwa suasana dan dekorasi di sana sangat berbeda, beragam dan khas sekali. Terdengar gila jika kaum lelaki yang menilainya, namun kaum perempuan yang lebih banyak kaum hedonisnya tentu dapat memahami motivasi saya tersebut J.
2. Social Shopping
Saya termasuk orang yang tidak terlalu suka berbelanja melalui web site, bukan karena ribet atau gaptek (gagap teknologi), tapi lebih karena saya merasa bahwa jual-beli yang terjadi tidak menarik, monoton, dan sepi. Saya lebih suka berbelanja ke tempat yang dapat memberikan saya suasana yang menunjang terjadinya sosialisasi dan interaksi dengan pihak lain, baik itu konsumen lain maupun penjualnya. Contoh, saya tahu jika berbelanja di Factory Outlet, saya bisa bertanya langsung mengenai model baju yang saya inginkan ke SPG yang bertugas atau bahkan bertukar opini dengan pengunjung lain, maka dari itu saya memutuskan berbelanja ke Rumah Mode. Inilah yang disebut dengan faktor Social Shopping dalam motivasi Hedonis. Selain itu, faktor ini juga didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan suasana kebersamaan dengan keluarga atau teman atau sahabat. Saya memutuskan untuk berbelanja makanan di Warung Lela karena disana saya mendapatkan suasana yang nyaman untuk dinikmati bersama keluarga besar saya.
3. Gratification Shopping
Pernah merasa stress berat dan ingin melampiaskannya dengan berbelanja? Saya yakin sekarang ini perilaku seperti itu bukan saja dominasi kaum perempuan, tapi juga kaum pria. Dengan atau tanpa kita sadari seringkali dalam suatu suasana tertentu, entah itu gembira karena presentasi kita di hadapan jajaran direksi berjalan dengan sukses atau stress karena dikejar deadline pekerjaan yang tidak kunjung selesai, kita berkeinginan untuk melampiaskannya dengan berkunjung ke suatu mall atau butik untu berbelanja apa saja yang bisa menyenagkan hati. Gratification Shopping lah yang menjadi faktor motivasi berbelanja tersebut.
4. Idea Shopping
Apakah kamu pernah disebut “Trend Setter”? atau kamu termasuk orang yang mengikuti trend?. Motivasi yang mendorong kita berbelanja ke suatu tempat hanya untuk mengetahui trend apa yang sedang berkembang, model baju seperti apa yang sedang in, atau produk apa yang baru saja keluar, disebut dengan faktor Idea Shopping. Saya yakin hampir semua dari kita pernah memiliki motivasi seperti ini, well...saya sih sering! Heheee!
5. Role Shopping
Teman saya pernah terheran-heran saat melihat seorang pria membeli boneka babi warna pink berukuran sangat besar. Menurutnya itu aneh. Bagi saya itu bukan hal yang aneh, mungkin saja kan dia membeli boneka itu bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk pacarnya. Saya selalu merasa bersemangat setiap kali berkeinginan untuk membelikan Mama atau adik saya sesuatu. Motivasi inilah yang kemudian disebut sebagai role shopping. Harapan bahwa orang yang kita belikan barang tersebut akan merasa senang memberikan motivasi tersendiri dalam dirikita saat berbelanja.
6. Value Shopping
Nah kalau untuk faktor yang satu ini Mama saya juaranya (well, saya pikir semua ibu-ibu juga pasti sama). Melakukan pembelanjaan karena suatu barang kebetulan sedang dalam program diskon atau promosi hadiah memang cenderung disukai oleh siapapun. Tawar-menawar yang bisa dilakukan juga terkadang menjadi faktor pendorong kita dalam melakukan pembelian. Hal inilah yang disebut dengan value shopping. Mama saya selalu berbelanja bulanan di Griya karena dia tahu bahwa disana dia bisa menemukan produk-produk yang sedang didiskon.
Motivasi-motivasi hedonis di atas dapat menjadi masukan bagi para pengusaha yang tertarik untuk membuka sebuah tempat belanja untuk membuat tempatnya dapat mengakomodasi keinginan kaum hedonis. Begitu pun dengan pemilik tempat belanja yang sudah ada, dengan mengetahui motivasi-motivasi tersebut, perbaikan dan kesesuaian mungkin perlu segera dilakukan jika ingin kaum hedonis tersebut tetap loyal dengan brand atau tempat yang dimiliki. Buat kita kaum hedonis (ngakunya), semoga saja mereka semua dapat memenuhi ekspektasi kita sehingga kita makin termotivasi untuk berbelanja.
No comments:
Post a Comment