Baru-baru ini (sesuai dengan kebiasaan saya yang berulang-ulang) saya memperhatikan etalase di supermarket di berbagai lorong. Dari berbagai kategori produk, yang cair, yang padat, yang untuk bapak-bapak, untuk bayi, besar, kecil, dll. Semuanya memiliki apa yang disebut dengan varian.
Saya jadi ingat sekitar 10 tahun yang lalu atau kurang atau lebih, saya tidak ingat tepatnya. Produk-produk andalan jaman sekarang sudah ada sejak dulu, tapi packaging mereka masih lekat hingga sekarang, seperti pepsodent dengan warna merah dan putihnya; rinso dengan warna hijau dominannya; astor dengan warna merah coklatnya; dll. Produk yang saya makud adalah sebagian besar consumer goods atau makanan dan minuman. Seluruh packaging legendaris tersebut adalah satu-satunya jenis dari brand itu – pada masanya! Tapi sekarang… coba perhatikan 1 etalase saja, dari ujung ke ujung bisa jadi brand yang sama tapi dengan varian yang berbeda.
Kategori produk yang pada awalnya membutuhkan varian adalah kategori konsumsi perawatan tubuh, dikarenakan orang berbeda-beda, dari jenis rambutnya, kulitnya, dll. Shampo dan sabun memiliki berbagai varian. Setelahnya produk makanan dan minuman juga memiliki berbagai varian dikarenakan selera orang juga berbeda-beda. Tapi belakangan ini inovasi varian ini juga tidak dikenakan pada subjek manusia tetapi benda pun jadi super manja sekaran ini. Kalau dulu orang mencuci dengan diterjen saja rasanya sudah sangat cukup (dibandingka dengan sabun batangan) tapi rasanya sekarang si baju nga mau sekedar deterjen, makanya dalam 1 brand (seperti attack) ada banyak varian : dengan pelembut, menghilangkan bau apek hingga mempertahankan warna cemerlang. Inti produk deterjen apa sih? Dari ke-3 varian tersebut, intinya : membersihkan pakaian.
Tapi fenomena ini apa yang kita sebut dengan : kebutuhan-kebutuhan baru yang terus tercipta dengan adanya varian produk baru. Bayangkan saja (kalau kita mau membayang-bayangkan sebentar) bahwa sebenarnya sebelum varian deterjen dengan harum lavender, rasanya kebutuhan mencuci pakaian hanyalah bersih. Tapi sejak adanya varian wangi lavender, kok kayaknya baju bersih yang sudah di cuci tersebut bau yah… ga wangi! Jadilah ibu-ibu mencoba membeli deterjen wangi lavender (yang melalui iklannya sangat menggoda, walaupun ibu-ibu itu ga bisa mencium wanginya di depan televisi). Dan namanya juga inovasi produk, pasti lebih baik—setelah ibu-ibu mencoba, mereka jatuh hati lalu terus membeli deterjen dengan tambahan pewangi di dalamnya.
Penciptaan kebutuhan ini sangat banyak dimanfaatkan berbagai produsen untuk terus memperlebar pasar brand mereka. Dari yang memang menjadi inovasi kebutuhan pasar sampai yang dipaksain juga banyak. Sebut saja salah satu brand permen yang punya varian rasa awal : Mint dan Fruits, lalu di kembangkan lagi menjadi : Mint, Sparkling Mint, Fruits dan Tropical Fruits. Tapi ya namanya juga konsumen selalu ingin coba dan kalau memang lebih cocok dengan lidah mereka, mereka akan beli lagi.
Selain memperlebar pasar, penambahan varian ini bisa jadi sebagai strategi penguasaan pandangan konsumen di etalase supermarket. Di setiap varian, logo produk akan dominan dan memiliki keseragaman antar varian, hanya beda warnanya saja. Jadi produk dengan varian paling banyak akan nampak sangat mendominasi di etalase, dengan jejeran logo produk yang otomatis paling banyak pula.
Ada beberapa alasan pula mengapa brand tersebut membuat varian, salah satunya dikarenakan faktor persaingan dari kompetitor yang membuat varian, apabila brandnya tidak melakukan hal yang sama maka ia akan kalah, baik dari pengambilan pasar dari konsumen yang ingin coba rasa baru hingga kalahnya space of view konsumen di etalase. Jadi jangan heran kalau dalam 1 kategori produk brand yang 1 mengeluarkan varian A, tidak lama kemudian pesaingnya melakukan hal yang sama.
Satu pelajaran yang bisa kita ambil dari fenomena ini adalah bahwa inovasi adalah penting. Jangan beranggapan bahwa satu produk unggulan bisa menguasai konsumen selamanya, karena konsumen selalu haus akan hal baru dan hal yang dapat memecahkan berbagai permasalahan mereka. Dan inovasi produk adalah jalan keluarnya. Jadi, jangan sampai kecolongan pesaing!
Saya jadi ingat sekitar 10 tahun yang lalu atau kurang atau lebih, saya tidak ingat tepatnya. Produk-produk andalan jaman sekarang sudah ada sejak dulu, tapi packaging mereka masih lekat hingga sekarang, seperti pepsodent dengan warna merah dan putihnya; rinso dengan warna hijau dominannya; astor dengan warna merah coklatnya; dll. Produk yang saya makud adalah sebagian besar consumer goods atau makanan dan minuman. Seluruh packaging legendaris tersebut adalah satu-satunya jenis dari brand itu – pada masanya! Tapi sekarang… coba perhatikan 1 etalase saja, dari ujung ke ujung bisa jadi brand yang sama tapi dengan varian yang berbeda.
Kategori produk yang pada awalnya membutuhkan varian adalah kategori konsumsi perawatan tubuh, dikarenakan orang berbeda-beda, dari jenis rambutnya, kulitnya, dll. Shampo dan sabun memiliki berbagai varian. Setelahnya produk makanan dan minuman juga memiliki berbagai varian dikarenakan selera orang juga berbeda-beda. Tapi belakangan ini inovasi varian ini juga tidak dikenakan pada subjek manusia tetapi benda pun jadi super manja sekaran ini. Kalau dulu orang mencuci dengan diterjen saja rasanya sudah sangat cukup (dibandingka dengan sabun batangan) tapi rasanya sekarang si baju nga mau sekedar deterjen, makanya dalam 1 brand (seperti attack) ada banyak varian : dengan pelembut, menghilangkan bau apek hingga mempertahankan warna cemerlang. Inti produk deterjen apa sih? Dari ke-3 varian tersebut, intinya : membersihkan pakaian.
Tapi fenomena ini apa yang kita sebut dengan : kebutuhan-kebutuhan baru yang terus tercipta dengan adanya varian produk baru. Bayangkan saja (kalau kita mau membayang-bayangkan sebentar) bahwa sebenarnya sebelum varian deterjen dengan harum lavender, rasanya kebutuhan mencuci pakaian hanyalah bersih. Tapi sejak adanya varian wangi lavender, kok kayaknya baju bersih yang sudah di cuci tersebut bau yah… ga wangi! Jadilah ibu-ibu mencoba membeli deterjen wangi lavender (yang melalui iklannya sangat menggoda, walaupun ibu-ibu itu ga bisa mencium wanginya di depan televisi). Dan namanya juga inovasi produk, pasti lebih baik—setelah ibu-ibu mencoba, mereka jatuh hati lalu terus membeli deterjen dengan tambahan pewangi di dalamnya.
Penciptaan kebutuhan ini sangat banyak dimanfaatkan berbagai produsen untuk terus memperlebar pasar brand mereka. Dari yang memang menjadi inovasi kebutuhan pasar sampai yang dipaksain juga banyak. Sebut saja salah satu brand permen yang punya varian rasa awal : Mint dan Fruits, lalu di kembangkan lagi menjadi : Mint, Sparkling Mint, Fruits dan Tropical Fruits. Tapi ya namanya juga konsumen selalu ingin coba dan kalau memang lebih cocok dengan lidah mereka, mereka akan beli lagi.
Selain memperlebar pasar, penambahan varian ini bisa jadi sebagai strategi penguasaan pandangan konsumen di etalase supermarket. Di setiap varian, logo produk akan dominan dan memiliki keseragaman antar varian, hanya beda warnanya saja. Jadi produk dengan varian paling banyak akan nampak sangat mendominasi di etalase, dengan jejeran logo produk yang otomatis paling banyak pula.
Ada beberapa alasan pula mengapa brand tersebut membuat varian, salah satunya dikarenakan faktor persaingan dari kompetitor yang membuat varian, apabila brandnya tidak melakukan hal yang sama maka ia akan kalah, baik dari pengambilan pasar dari konsumen yang ingin coba rasa baru hingga kalahnya space of view konsumen di etalase. Jadi jangan heran kalau dalam 1 kategori produk brand yang 1 mengeluarkan varian A, tidak lama kemudian pesaingnya melakukan hal yang sama.
Satu pelajaran yang bisa kita ambil dari fenomena ini adalah bahwa inovasi adalah penting. Jangan beranggapan bahwa satu produk unggulan bisa menguasai konsumen selamanya, karena konsumen selalu haus akan hal baru dan hal yang dapat memecahkan berbagai permasalahan mereka. Dan inovasi produk adalah jalan keluarnya. Jadi, jangan sampai kecolongan pesaing!
No comments:
Post a Comment