Hal yang paling mempengaruhi keputusan pembelian atau bahkan loyalitas pelanggan terhadap sebuah produk atau jasa bukan saja hanya tergantung pada kualitas produk atau jasa tersebut, tapi juga dari sisi service atau pelayanan yang perusahaan berikan pada pelanggan. Yeah, saya yakin kamu semua juga mengetahui dengan pasti hal ini, tapi percayalah, tidak semua perusahan mengerti dengan benar seberapa pentingnya memberikan kepuasan pelanggan dari berbagai sisi terutama dari sisi kualitas produk atau jasa dan service perusahaan kepada pelanggannya.
Perusahaan kebanyakan lebih focus pada kualitas produk; bagaimana produknya bisa sesuai dengan ekspektasi pelanggan, bagaimana bisa terus berinovasi, dan lain-lain, tapi seringkali mereka “mengabaikan” service atau pelayanan sebelum, saat ataupun sesudah pelanggan melakukan pembelian. Padahal percaya atau tidak complain mengenai service peringkatnya jauh lebih tinggi dari produk atau jasa itu sendiri.
Saya dan pasangan pernah mengunjungi sebuah tempat makan yang memang sudah cukup terkenal di Bandung. Nama dan lamanya tempat makan itu berdiri membuat kami tidak memiliki keraguan sedikit pun untuk makan disana. Kami pun duduk, memilih menu makanan dan minuman, kemudian memanggil server. Dia pun mempersilakan kami menunggu pesanan datang. Semua masih berjalan dengan baik sampai saat itu. Sepuluh menit…dua puluh menit…setengah jam dan hampir satu jam, pesanan kami belum kunjung datang! Huuff…! Saya pun coba menanyakan ke server yang berjaga dan dia berkata bahwa pesanan kami sedang dibuat. Selama itu hanya untuk membuat nasi gudeg dan nasi goreng?! At least minuman kami dulu lah sampai ke meja kami! Ok, let say dapur penuh oleh pesanan, tapi untuk tempat makan sebesar itu masa iya sih hanya punya beberapa koki? Bukankah skala restaurant harus sebanding dengan sumber daya dan fasilitas yang dimiliki oleh karyawan dalam hal ini koki? Saat makanan datang pun tidak selesai kekecewaan yang kami terima karena rasanya tidak memuaskan. Saat membayar tagihan, saya pun menyampaikan keluhan saya pada karyawannya, dan bukannya minta maaf, mereka malah beralasan macam-macam pada saya. Hiiiiihhh!! Nggak lagi-lagi deh saya makan di restaurant itu!
Saya tidak tahu apakah complain saya tersebut disampaikan pada managernya tau tidak, atau kalaupun disampaikan, apakah mereka berusaha memperbaiki kekuarang tersebut atau tidak. Bagi saya sudah cukup apa yang saya alami malam itu membuat saya tidak mau lagi makan disana dan bahkan sampai memberi tahu teman-teman saya untuk tidak mengunjungi tempat makan tersebut. (Hehee… you know bad things always be a great words of mouth!;p)
Well, disini sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah, saat perusahaan mengalami hal seperti itu, dikomplain oleh pelanggannya mengenai kualitas produk/ jasa dan atau service yang diterima saat pembelian, maka sesungguhnya perusahaan mempunyai beberapa pilihan yang bisa mereka pilih. Perusahaan bisa memilih akan ada dalam kategori perusahaan seperti apa dalam menghadapi complain pelanggan? Menurut Ben & Dale Midgley dalam bukunya Rethinking Customers in Selling, ada beberapa kategori yang bisa dipilih :
1. Perusahaan yang “kurang dari cukup”
Perusahaan dalam kategori ini menganggap complain pelanggan adalah angin lalu. Mereka tidak akan peduli dan menganggap bahwa semua itu tidak akan ada pengaruhnya bagi usaha mereka. Jadi saat kita menyampaikankomplain yang ada mereka iya-iya saja atau bahkan malah meengeluarkan berbagai macam alasan untuk membela diri. Boro-boro ditanggapi, didengar saja sudah untung! Hehee! Mau jadi apa ya perusahaan kategori begini di jaman selarang ini. Percayalah, mereka akan ditinggalkan oleh pelanggan dan perlahan-lahan “hancur”. Yah, itu sih memang “menghancurkan” diri sendiri ya sebenarnya.
2. Perusahaan yang “cukup”
Kalau perusahaan kategori ini, agak lumayan lah, walau tetap nggak bagus-bagus amat. Hehee! Jadi perusahaan tidak akan menanggapi kompalin kita kalau kita tidak ngotot menyampaikan komplainnya langsung ke manager operasional atau siapalah yang memiliki kewenangan tinggi dalam perusahaan tersebut. Kalau cuma complain sama pelayan atau customer service sih kemungkinannya kecil sekali untuk ditanggapi. Ke manager sekalipun, complain kita baru akan ditindaklanjuti dengan perbaikan jika kita rajin mengancam akan menyebarkannya di radio atau mengirim surat pembaca di Koran. Itu sekalipun belum tentu karena mereka lebih berpikir bahwa mungkin masalah ini tidak terlalu berdampak signifikan bagi si pelanggan itu sendiri.
3. Perusahaan yang “bagus”
Nah kalau yang ini memang akan mendengarkan dan menanggapi segala macam complain yang pelanggan sampaikan pada mereka dengan sangat baik. Tapi bicara tentang tidak lanjut atas complain tersebut? Nanti dulu! Heheee, aneh lagi ya!;p Iya, bagi perusahaan dengan kategori ini, tindak lanjut akan dilakukan jika mereka melihat situasinya memang perlu lebih dari sekedar kata “maaf” pada pelanggan tersebut. Jika masih bisa “diselesaikan” dengan misalnya mengganti makanan yang kita complain ada rambutnya, atau memberikan garansi lebih pada produk yang dibeli, maka mereka merasa itu cukup. Kecuali jika memang signifikan pengaruhnya, baru mereka tindak lanjuti. Prinsip kategori ini adalah pada dasarnya pelanggan hanya ingin diengar dan diperhatikan saja. Hmmm..!
4. Perusahan yang “sangat bagus”
Perusahaan model begini nih baru te-o-pe! Perusahaan tidak hanya selalu mendengarkan dan menanggapi setiap kompain, tapi juga langsung menindaklanjuti solusinya dengan segera. Tidak peduli sebesar atau sekecil apa complain yang pelanggan sampaikan, memperbaiki dan memberikan kepuasan pada pelanggan tersebut adalah hal yang selalu mereka junjung tinggi. Complainer diperlakukan dengan sangat baik oleh para karyawannya. Whiiiii…bagus banget kan! Perusahaan kategori ini justru menganggap setiap komplainm adalah feedback penting yang harus mereka perhatikan sebagai pembelajaran bagi seluruh karyawan dan perbaikan bagi usaha tersebut agar menjadi lebih baik lagi. Mereka sangat menyadari bahwa kepuasan pelanggan sangat penting bagi perkembangan perusahaan dan dapat mencegah word of mouth negative yang mudah sekali menyebar dan menghancurkan sebuha bisnis. Yeah, sayangnya di Indonesia, bahkan diseluruh duni sekalipun, perusahaan dengan kategori seperti ini masih sedikit sekali jumlahnya.
Nah, sekarang tinggal tentukan deh, perusahaan kamu mau berada di kategori yang mana? Atau bahkan kamu sudah bisa menilai bahwa perusahaan kamu sekarang ini masuk kategori mana? Heheee…u choose!
Perusahaan kebanyakan lebih focus pada kualitas produk; bagaimana produknya bisa sesuai dengan ekspektasi pelanggan, bagaimana bisa terus berinovasi, dan lain-lain, tapi seringkali mereka “mengabaikan” service atau pelayanan sebelum, saat ataupun sesudah pelanggan melakukan pembelian. Padahal percaya atau tidak complain mengenai service peringkatnya jauh lebih tinggi dari produk atau jasa itu sendiri.
Saya dan pasangan pernah mengunjungi sebuah tempat makan yang memang sudah cukup terkenal di Bandung. Nama dan lamanya tempat makan itu berdiri membuat kami tidak memiliki keraguan sedikit pun untuk makan disana. Kami pun duduk, memilih menu makanan dan minuman, kemudian memanggil server. Dia pun mempersilakan kami menunggu pesanan datang. Semua masih berjalan dengan baik sampai saat itu. Sepuluh menit…dua puluh menit…setengah jam dan hampir satu jam, pesanan kami belum kunjung datang! Huuff…! Saya pun coba menanyakan ke server yang berjaga dan dia berkata bahwa pesanan kami sedang dibuat. Selama itu hanya untuk membuat nasi gudeg dan nasi goreng?! At least minuman kami dulu lah sampai ke meja kami! Ok, let say dapur penuh oleh pesanan, tapi untuk tempat makan sebesar itu masa iya sih hanya punya beberapa koki? Bukankah skala restaurant harus sebanding dengan sumber daya dan fasilitas yang dimiliki oleh karyawan dalam hal ini koki? Saat makanan datang pun tidak selesai kekecewaan yang kami terima karena rasanya tidak memuaskan. Saat membayar tagihan, saya pun menyampaikan keluhan saya pada karyawannya, dan bukannya minta maaf, mereka malah beralasan macam-macam pada saya. Hiiiiihhh!! Nggak lagi-lagi deh saya makan di restaurant itu!
Saya tidak tahu apakah complain saya tersebut disampaikan pada managernya tau tidak, atau kalaupun disampaikan, apakah mereka berusaha memperbaiki kekuarang tersebut atau tidak. Bagi saya sudah cukup apa yang saya alami malam itu membuat saya tidak mau lagi makan disana dan bahkan sampai memberi tahu teman-teman saya untuk tidak mengunjungi tempat makan tersebut. (Hehee… you know bad things always be a great words of mouth!;p)
Well, disini sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah, saat perusahaan mengalami hal seperti itu, dikomplain oleh pelanggannya mengenai kualitas produk/ jasa dan atau service yang diterima saat pembelian, maka sesungguhnya perusahaan mempunyai beberapa pilihan yang bisa mereka pilih. Perusahaan bisa memilih akan ada dalam kategori perusahaan seperti apa dalam menghadapi complain pelanggan? Menurut Ben & Dale Midgley dalam bukunya Rethinking Customers in Selling, ada beberapa kategori yang bisa dipilih :
1. Perusahaan yang “kurang dari cukup”
Perusahaan dalam kategori ini menganggap complain pelanggan adalah angin lalu. Mereka tidak akan peduli dan menganggap bahwa semua itu tidak akan ada pengaruhnya bagi usaha mereka. Jadi saat kita menyampaikankomplain yang ada mereka iya-iya saja atau bahkan malah meengeluarkan berbagai macam alasan untuk membela diri. Boro-boro ditanggapi, didengar saja sudah untung! Hehee! Mau jadi apa ya perusahaan kategori begini di jaman selarang ini. Percayalah, mereka akan ditinggalkan oleh pelanggan dan perlahan-lahan “hancur”. Yah, itu sih memang “menghancurkan” diri sendiri ya sebenarnya.
2. Perusahaan yang “cukup”
Kalau perusahaan kategori ini, agak lumayan lah, walau tetap nggak bagus-bagus amat. Hehee! Jadi perusahaan tidak akan menanggapi kompalin kita kalau kita tidak ngotot menyampaikan komplainnya langsung ke manager operasional atau siapalah yang memiliki kewenangan tinggi dalam perusahaan tersebut. Kalau cuma complain sama pelayan atau customer service sih kemungkinannya kecil sekali untuk ditanggapi. Ke manager sekalipun, complain kita baru akan ditindaklanjuti dengan perbaikan jika kita rajin mengancam akan menyebarkannya di radio atau mengirim surat pembaca di Koran. Itu sekalipun belum tentu karena mereka lebih berpikir bahwa mungkin masalah ini tidak terlalu berdampak signifikan bagi si pelanggan itu sendiri.
3. Perusahaan yang “bagus”
Nah kalau yang ini memang akan mendengarkan dan menanggapi segala macam complain yang pelanggan sampaikan pada mereka dengan sangat baik. Tapi bicara tentang tidak lanjut atas complain tersebut? Nanti dulu! Heheee, aneh lagi ya!;p Iya, bagi perusahaan dengan kategori ini, tindak lanjut akan dilakukan jika mereka melihat situasinya memang perlu lebih dari sekedar kata “maaf” pada pelanggan tersebut. Jika masih bisa “diselesaikan” dengan misalnya mengganti makanan yang kita complain ada rambutnya, atau memberikan garansi lebih pada produk yang dibeli, maka mereka merasa itu cukup. Kecuali jika memang signifikan pengaruhnya, baru mereka tindak lanjuti. Prinsip kategori ini adalah pada dasarnya pelanggan hanya ingin diengar dan diperhatikan saja. Hmmm..!
4. Perusahan yang “sangat bagus”
Perusahaan model begini nih baru te-o-pe! Perusahaan tidak hanya selalu mendengarkan dan menanggapi setiap kompain, tapi juga langsung menindaklanjuti solusinya dengan segera. Tidak peduli sebesar atau sekecil apa complain yang pelanggan sampaikan, memperbaiki dan memberikan kepuasan pada pelanggan tersebut adalah hal yang selalu mereka junjung tinggi. Complainer diperlakukan dengan sangat baik oleh para karyawannya. Whiiiii…bagus banget kan! Perusahaan kategori ini justru menganggap setiap komplainm adalah feedback penting yang harus mereka perhatikan sebagai pembelajaran bagi seluruh karyawan dan perbaikan bagi usaha tersebut agar menjadi lebih baik lagi. Mereka sangat menyadari bahwa kepuasan pelanggan sangat penting bagi perkembangan perusahaan dan dapat mencegah word of mouth negative yang mudah sekali menyebar dan menghancurkan sebuha bisnis. Yeah, sayangnya di Indonesia, bahkan diseluruh duni sekalipun, perusahaan dengan kategori seperti ini masih sedikit sekali jumlahnya.
Nah, sekarang tinggal tentukan deh, perusahaan kamu mau berada di kategori yang mana? Atau bahkan kamu sudah bisa menilai bahwa perusahaan kamu sekarang ini masuk kategori mana? Heheee…u choose!
1 comment:
Membaca artikel ini, saya jadi tersenyum. Mengapa? karena dalam artikel ini digambarkan teori nya saja. Pada prakteknya, konsep pelayanan yang baik sangat sulit dilakukan. Bila dapat dilakukan pun ternyata sering tidak secara konsisten. Saya sendiri tidak tahu bagaimana cara membuat konsistensi terhadap sesuatu hal...
salam,
Bolehngeblog
Post a Comment