Jun 10, 2012

Sharing First Not Selling First


Beberapa waktu lalu saya menyempatkan hadir disebuah acara yang diselenggarakan oleh @akberbdg yang kebetulan mengundangan Handoko salah satu pakar advertising & branding sebagai pembicara. Beliau yang memulai profesinya di industri advertising sempat berbicara bahwa pada saat ini konsumen sudah mulai pintar karena bisa membaca dengan baik mengenai keberadaan sebuah brand, kini konsumen tidak bisa terus menerus disuapi oleh produk-produk advertising (one way communication) karena pola komunikasi tersebut sudah berubah menjadi interaksi (two way communication) dimana konsumen (community) menjadi bagian penting yang harus diperhatikan (community enggagement).

“Faktor terpenting yang harus diperhatikan saat ini adalah bagaimana mengcreate sebuah konten materi advertising (promosi) dan menyampaikannya dalam bentuk bentuk berita (story teller), selanjutnya kita implementasikan kedalam sebuah program yang melibatkan konsumen (community) menjadi bagian dari program tersebut”.
Keberadaan sebuah brand saat ini seharusnya tidak hanya terpaku pada mencreate dan mendeliver sebuah pesan (message) yang sifatnya satu arah, kita harus merubah stigma tersebut menjadi interaksi (sharring) dikarenakan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pola komunikasi dari konsumen sudah berubah “we are what we share”. Selain itu esensi utama dari membangun sebuah brand saat ini adalah bagaimana kita bisa merangkul komunitas kita (community enggagement), dimana salah satu upaya penerapa konsep tersebut adalah melalui kolaborasi (co-creation) yang merupakan sebuah pilar penting bagi eksistensi sebuah brand saat ini.

“konsep Sharing First No Selling First yang saya pahami disini adalah, bagaimana sebuah brand bisa berkontribusi berkolaborasi (co-creation) dengan konsumennya dengan menjadikan mereka bagian dari program yang kita develop (community engagement). Karena dengan kita melakukan kolaborasi tersebut maka dengan sendirinya akan memiliki impact terhadap penjualan (sales)”.

Masih ingat tulisan saya sebelumnya mengenai rahasia dibalik kesuksesan Peters Says Denim yang berhasil menjadikan nama PSD sebagai sebuah brand yang tidak hanya besar dalam skala lokal saja namun juga bagaimana PSD sukses menembus pasar international. Sebuah brand indie yang berhasil mengimplementasikan makna sebenarnya dari community engagement, bagaimana PSD berhasil melakukan kolaborasi (co-creation) dengan merangkul komunitas-komunitas yang notabene merupakan target market mereka, dan hasilnya komunitas tersebut berhasil bagian dari kesuksesan PSD dalam membangun sebuah brand dengan menjadi channel promosi dan distribusi.

Ngomongin kelebihan dan kekurangan saya memiliki pendapat bahwa konsep Sharing First No Selling First akan membutuhkan waktu khususnya jika kita langsung berbicara pada impactnya terhadap penjualan (sales), hal ini mungkin akan berbeda dengan program ataupun aktifitas yang memang secara langsung di set untuk boost performa penjualan (sales). Menariknya disatu sisi konsep Sharing First No Selling First ini walaupun membutuhkan waktu untuk berkembang namun akan lebih bernilai bagi konsumen (community) dan menjadikannya bertahan lebih lama karena sudah terjalin ikatan antara brand dengan konsumen (community enggagement). Lalu bagaimana dengan program yang memang di set langsung untuk performa penjualan? saya kira walau terkadang di satu sisi impact penjualan langsung terlihat namun bagiam penting lainnya dari community enggagement terlupakan. 

“Pilihannya adalah apakah ingin sebuah brand yang menghasilkan penjualan (sales) singkat, atau bukan hanya penjualan saja yang kita bicarakan disini namun juga mengenai pentingnya kolaborasi (co-creation) dalam upaya membangun community enggagement sebagai investasi jangka panjang (influence & advocacy). Sharing First Or Selling First - Which One You Are?”

Nah ngomongin mengenai kolaborasi (co-creation)? berikut ini 5 point penting yang coba saya kutip dari pembicara :

1. Skenario Komunikasi
Pembicara sempat mengundang Max seseorang dibalik kesuksesan Crooz sebuah brand indie di industri fashion, singkatnya salah satu upaya sukses membangun merk Crooz adalah melalui upaya kolaborasi (co-creation) dengan menyelenggarakan sebuah brand activation “Fashion Invation Tour 2011” yang juga kolaborasi dengan Macbeth. Crooz mengajak beberapa band-band indie lokal yang sudah memiliki root fans based cukup besar di beberapa Kota besar termasuk melakukan Endorsement kepada mereka. 
Max yang sempat share mengenai kerugian yang dideritanya dalam penyelenggaraan activation tersebut kini bisa merasakan hasil dari upaya kolaborasinya tersebut, karena  band-band indie dan fans yang merupakan target market menjadi bagian dari comunity dimana mereka secara tidak langsung menjadi bagian dari upaya promosi. Hampir sama dengan kisah PSD yang sempat saya bahas mengenai Endoresment kini komunitas yang dibangun menjadi bagian dari promosi dan channel distribusi. Upaya aktifasi “Fashion Invation Tour 2011” ini mungkin diumpamakan sebagai sebuah skenario komunikasi dalam membangun merk Crooz dengan secara langsung melibatkan komunitas yang merupakan target market.

2. Measurement
Kita harus bisa mengukur sesuatu hal yang kita kerjakan supaya kita bisa mengetahui sejuah mana upaya yang kita lakukan tersebut berhasil atau tidak, nah mungkin di sini yang ingin coba saya kutip adalah dalam menerapkan konsep Sharing First No Selling First kita harus bisa menetapkan ukuran (measurement) sejauh mana upaya kita dalam berkolaborasi (co-creation) dengan konsumen (community) dan sebesar apa impact mereka dalam membangun brand kita.

3. Enggagement
Setelah terbangun enggagement dengan konsumen (community) maka secara tidak langsung akan terbangun ikatan dimana konsumen menjadi bagian dari brand kita, secara tidak langsung mereka menjadi brand ambasador kita. Balik ngomongin kisah sukses PSD mengenai upaya endorsement beberapa band indie dan melibatkan konsumen (community) dalam aktifitas brand PSD, kini komunitas tersebut mampu berkembang menjadi mesin uang dengan menjadi dsitribution channel penjualan produk-produk PSD dan hebatnya hal ini berkembang hingga mancanegara salah satunya Singapura dan Amerika Utara.

4. Influence
Kekuatan sebuah community enggagement bisa menjadi sebuah pondasi upaya membangun sebuah brand, kenapa karena seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya ketika sudah terbangun community enggagement maka konsumen (community) akan menjadi bagian dari brand kita dimana mereka secara tidak langsung menjadi brand influencer.

5. Advocacy
Tahapan selanjutnya setelah influence adalah advocay dimana konsumen (community) tidak hanya menjadi brand influencer saja namun juga menjadi bagian dari berkembangnya sebuah brand dengan berkontribusi positif dalam memberikan ide, masukan, anjuran, atau apapun untuk perkembangan sebuah brand.


2 comments:

Michael said...

wah bahasa nya berat euy, rada susah dipahami kalo sama orang biasa/awam hehehe...

Anonymous said...

Oh iya hehe, nanti dibuat lebih sederhana yah. Thanks buat inputnya

rex.