Sep 27, 2011

Bad Boys = Pengusaha Sukses?



Masa sekolah seringkali menjadi masa favorit kebanyakan orang. Cinta monyet, bolos sekolah, dan berbagai kenakalan masa remaja/ dewasa lainnya menjadi salah satu momen yang seru dan ngga terlupakan. Di masa ini pula sering kita menemukan teman-teman yang akrab dengan masalah. Bukan hanya dengan orang lain tapi bahkan dengan dirinya sendiri. Kenakalan mereka ini pun seringkali kita artikan bahwa mereka adalah orang-orang yang masa depannya suram. Boro-boro belajar dan mengerjakan PR, kadang buku dalam tas pun cuma bawa satu. Sehari-harinya cuma bikin ribut suasana kelas, nge-geng, ngejailin orang, dan kelakuan nakal lainnya. Jadi ngga heran kalau nilai-nilai mereka di rapot hampir merah semua.

Tapi pernahkah kemudian Anda menemukan kembali teman-teman kita ini setelah sekian tahun terlewati, ternyata dalam kondisi yang terbalik dari apa yang dilakukannya di masa sekolah dulu? Pertanyaan standar yang biasa orang ajukan adalah, “Di mana (kerja) sekarang?”. Seringkali banyak yang keheranan saat mereka menjawab, “Gue punya usaha bikin sepatu.”; “Gue ngurusin cafe. Main  dong ke cafe gue. Gue kasih diskon deh!”; sebuah tawaran menarik sekaligus miris. Kenapa miris? Karena kita kayak ngga terima kondisi mereka yang ibaratnya jadi bos di perusahaan sendiri, sementara kita (meskipun) punya jabatan tinggi tapi tetap saja kerja di perusahaan orang. Prestigenya kalah dengan mereka yang punya usaha sendiri. Padahal kalau membanding-bandingkan dari nilai sekolah dulu, jelas kita lebih unggul. Tapi kok justru mereka bisa lebih maju dibandingkan kita??

Pertanyaan ini seringkali muncul seiring dengan kondisi kontradiktif yang ada. Idealnya, orang dengan nilai dan prestasi baik di sekolah punya gambaran masa depan lebih baik, dibandingkan dengan mereka yang terkenal karena kenakalannya. Mungkin dulu kita sangat percaya bahwa dengan kerja keras, semua hal mudah tercapai. Memang betul, kerja keras menjadi dasar dari apa yang kita lakukan. Tapi melihat mereka yang sukses dengan kenakalannya, kadang membuat kita merasa dicurangi; “Capek-capek belajar tapi masih aja kerja buat orang lain.”. Senada dengan yang dibilang Jaya Setiabudi di bukunya The Power of Kepepet; “Lebih baik kecil jadi bos daripada gede jadi kuli. Kuli, ngga kerja ngga dapat makan. Kalau bos, ngga kerja pun dapat makan.”.

Semakin maju zaman, semakin maju pula pemikiran kita. Kerja keras sebagai sebuah standar kerja kemudian melebur menjadi kerja cerdas. Sebuah pola kerja yang memadukan kemampuan fisik dengan kemampuan/ kepintaran seseorang dalam melihat peluang. Latar belakang pendidikan dan pengalaman menjadi penting dalam hal ini. Orang-orang seolah diingatkan kembali dengan apa yang bisa dilakukan dengan kemampuan yang dimilikinya, hingga semakin terbuka dengan berbagai hal baru. Orang-orang yang punya prestasi dan pengalaman mendapatkan tempatnya dengan pola kerja seperti ini.

Tapi kemudian hal ini kembali dipatahkan saat orang-orang yang tidak kita perhitungkan sebelumnya mulai terjun di kerasnya persaingan usaha. Bukan kerja keras dan kerja cerdas saja yang mereka bawa, lebih dari itu mereka menerapkan pola kerja kreatif. Pola inilah yang mendasari “anak-anak nakal” yang kita bahas sebelumnya.

Dengan pola kerja kreatif mereka ngga sekadar bisa melihat peluang, lebih dari itu mereka menciptakan peluang! Apalagi dengan tools dan media yang terus tumbuh seperti social media dan gadget, yang kini ibarat telah menjadi platform baru dalam dunia bisnis.

Fenomenanya bisa kita rasakan sendiri, saat akun twitter @infobdg atau yang sejenisnya kini menjadi sumber berita yang lebih dipercaya (berdasarkan jumlah followersnya) banyak orang Bandung atau oleh orang-orang yang punya ketertarikan dengan Bandung. Coba cek deh di twitter antara akun @infobdg dan @pikiran_rakyat! Perhatikan jumlah followersnya, Anda mungkin terkejut dengan temuan ini!

Kita juga bisa bercermin dari Ma Icih, yang notabene cuma keripik pedas, yang sebetulnya bukan barang baru di Bandung bahkan di Indonesia. Tapi sejak kemunculannya, keripik pedas-keripik pedas lainnya ibarat biji jagung menjadi pop corn, meletup-letup keluar dari wadahnya dengan berbagai label. Bukan cuma itu, cara jualan Ma Icih pun menjadi standar bagi keripik-keripik pengikutnya. Sebuah channel distribution yang keluar dari jalur mainstream, yang membuat produk menjadi lebih eksklusif karena dicari banyak orang.

Begitulah orang-orang yang bekerja dengan pola kerja kreatif. Mereka melihat lebih jauh sebuah peluang dengan menciptakan peluang itu sendiri. Pola pikir kreatif dan inovasi yang dilakukan orang-orang di belakangnya menjadikan brand mereka bukan sekadar dikenal tapi menjadi fenomena.
Mengapa kemudian saya katakan pola kerja kreatif ini dimiliki oleh “anak-anak nakal”? Berikut pelajaran yang ingin saya bagi bersama.

Risk-taker person
People said they were nuts. I said, “They have guts!”. Mereka bukan orang “gila” yang suka membuat kehebohan dan hal-hal diluar perkiraan, mereka punya nyali! Ya, nyali untuk mencoba! Banyak orang yang under estimate dengan kemampuan mereka dan menganggap yang mereka lakukan itu modal nekat, tanpa perhitungan. Tapi buat mereka, “Biar deh gue dibilang nekat dan tanpa perhitungan. Tapi gue ngga lebih buruk daripada orang yang ngga pernah mencoba karena kebanyakan berpikir.”. Banyak orang yang justru berilmu tinggi menghabiskan waktunya dengan berpikir, memikirkan segala kemungkinan yang ada. Memang baik, tapi kalau ngga jalan-jalan ya buat apa dipikirin! Sementara “anak-anak nakal” ngga peduli gagal.

The Power of Kepepet
Mengutip judul bukunya Jaya Setiabudi, “anak-anak nakal” ini, karena tanpa rencana jelas seringkali mengambil jalan dalam kondisi kepepet. Apakah buruk? Nyatanya tidak. Dalam buku The Power of Kepepet, penulis mengungkapkan kekuatan terpendam manusia yang didasarkan pada kondisi kepepet/ terdesak. Ingat saat kita mau menghadapi ujian sekolah? Entah kenapa kita bisa menerapkan SKS alias Sistem Kebut Semalam untuk menghadapi ujian tersebut. Otak mendadak encer menangkap materi yang dihapalkan, sampai-sampai ngantuk dan capek pun terkalahkan.

Bandingkan dengan kondisi biasa untuk belajar, malasnya bukan main! Begitupun dalam bisnis. Uang pinjaman bank yang digunakan sebagai modal menjadi motivasi lebih untuk bisa membayar angsurannya karena jika tidak dibayar barang kita yang menjadi agunan bisa raib. Beda kalau kita pakai uang pinjaman dari orang tua, keluarga, atau teman, karena toleransinya bisa begitu besar, hingga keadaan ini tidak menjadi motivasi tambahan untuk kita bekerja lebih baik. “Anak-anak nakal” ini memang tanpa rencana, tapi mereka menghadapinya.

Pergaulan/ Networking Luas
Ingat bagaimana “anak-anak nakal” seringnya nge-geng? Kedekatan mereka ini seringkali berada pada tahap saling support dalam banyak hal, termasuk bisnis. Mereka juga terbuka dengan orang baru alias tidak membatasi pergaulannya. Banyak orang yang langsung menaruh curiga pada orang baru. Pandangan/ persepsi ini kemudian seringkali disimpulkan sendiri sebagai hal yang tidak baik buat kita. Mau sukses? Eksis deh! Banyak teman bikin peluang makin terbuka lebar, karena pada dasarnya ngga ada kesuksesan yang bisa didapat karena usaha sendiri melainkan karena adanya dukungan orang-orang di sekitar kita.

Spirit of Freedom
Pada dasarnya setiap anak tidak ingin dikekang, tidak suka aturan, olah karena itu mereka selalu berusaha melepaskan diri dari hal tersebut saat aturan itu ada. Semangat kebebasan yang membuat pikiran mereka selalu lebih hidup dibandingkan dengan orang yang “terkotak-kotak” karena sebuah aturan. Hingga seringkali membuat orang-orang ini ibarat jalan ditempat, karena takut salah kalau keluar/ berbeda dari aturan yang ada.

Nah berdasarkan 4 hal ini pula kita bisa mengambil simpulan bahwa dengan membiasakan diri berpikir seperti “anak-anak nakal”, kita diajarkan untuk tidak takut dalam mengambil/ menetapkan langkah. Ngga perlu membebani pikiran terlalu besar dalam ketakutan, kekhawatiran, atau kesempurnaan. Karena semuanya semu dan ngga akan pernah jadi nyata sebelum kita mencoba dan melewatinya. Just do it! Kalau kata taglinenya Nike.

btw ga nyambung yah antara gambar sama  tulisan hehe.

creative sales copyright

1 comment:

Anonymous said...

Penjabaran yg cukup masuk akal.."sangat" bahkan...