Beberapa waktu lalu sedang bersantai di rumah, saya turut mendengar percakapan yang sedang berlangsung di antara beberapa orang tetangga depan rumah saya. Entah berita benar atau gosip yang sedang beredar, namun mereka sedang membicarakan mengenai kebijakan baru Telkom yang menetapkan adanya mininum charge kepada setiap nomor termasuk biaya abodemen nya. Terlihat bahwa berita yang mereka bicarakan merupakan berita yang membuat mereka resah dan kesal.
Memotret sepak terjang Telkom akhir-akhir ini, terutama layanan telepon rumahnya, Telkom bisa jadi kalang kabut. Bagaimana tidak, jika sebuah rumah tidak memiliki sambungan telepon, biaya yang mereka keluarkan untuk mendapat sambungan telepon bisa jadi lebih murah membeli HP seharga 300ribu dan nomor CDMA dibanding menghubungi Telkom dan meminta pemasangan sambungan telepon yang bisa mencapai 400-500ribu termasuk biaya pemasangan dan kabel. Keuntungannya lagi HP bisa di bawa kemana-mana. Belum lagi Telkom harus menghadapi persaingan dengan produk-produk CDMA yang memang ditujukkan untuk menjadi telepon rumah seperti yang dikeluarkan oleh Esia yaitu Wifone.
Permasalahan yang dialami Telkom hampir serupa dengan permasalahan yang dialami badan usaha pemerintah lain seperti Kereta Api, Pos Indonesia, dll. Di mana di dalam kepercayaan diri mereka yang tinggi, mereka nyaris melupakan inovasi produk dan layanan masyarakat yang kini telah digempur dan dikuasai oleh pesaing mereka yang berasal dari swasta. Seperti kereta api misalnya, memang tidak seluruh jalur mereka mengalami kerugian karena memang belum adanya transportasi alternatif (namun sampai kapan belum ada? Jangan sampai lengah lagi) tetapi kekalahan telak harus diterima KAI di jalur Bandung-Jakarta yang pada akhirnya menutup operasi Kereta Parahyangan dan kini memfungsikan 1 jenis kereta saja yang dulunya disebut sebagai Argo Gede namun sekarang berubah nama menjadi Argo Parahyangan.
Kondisi ini tentu dikarenakan KAI kalah dalam persaingan dengan tranpsportasi alternatif yang lebih nyaman. Serupa dengan Pos Indonesia yang kini juga mendapat ancaman dari pesaing yang tidak main-main. Seperti jika sekarang kita mau mengirim barang, apa Top of mind kita untuk jasa pengiriman? Mungkin sebagian besar orang kini berpikir tentang Tiki atau JNE. Dengan brand image yang lebih positif, Tiki/JNE bisa mengambil hati masyarakat dengan rasa percaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan Pos indonesia, dan tentunya lokasi penerimaan barang yang begitu banyaknya karena mereka bekerja sama dengan banyak partner usaha menengah dan kecil sebagai spot penerimaan barang.
Kondisi terhimpit dalam persaingan janganlah sampai menimpa bisnis kita, hal tersebut tidak akan terjadi apabila kita terus memikirkan mengenai inovasi dan peningkatkan kepuasan konsumen. Beberapa usaha milik negara yang kini mengalami himpitan persaingan swasta, menjadi contoh kepercayaan diri yang terlalu kuat dan berpikir bahwa mereka akan tetap survive tanpa usaha lebih. Namun kondisi persaingan sekarang sudah tidak seperti dulu lagi. Setiap harinya merupakan peluang untuk tumbuhnya usaha baru yang lebih inovatif dan kompetitif, dan mereka tidak mungkin tinggal diam jika tidak ingin dilindas para pesaingnya.
Namun strategi yang dipilih pun bisa jadi lebih kompleks dibandingkan pihak swasta, karena usaha milik negara memiliki tujuan lain selain dari segi profitabilitas, yaitu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kecil. Hal ini lah yang tambah membuat saya bingung dari kebijakan Telkom yang saya dengar dari para tetangga saya tersebut. Bukannya pro kepada rakyat kecil, ini namanya pemerasan. Bayangkan saja, dulunya abodemen langganan berkisar antara 35-40rb, dan sekarang min charge yang dikenakan sekitar 75-80rb. Jadi apabila rumah tersebut hanya memakai telepon sekali-sekali saja, dia setiap bulannya harus membayar 75-80rb. Terbayang betapa memberatkannya bagi rakyat kecil?
Strategi yang mereka jalankan bisa jadi punya beberapa latar belakang, bisa jadi ini adalah pintu jalan keluar yang bisa menyelamatkan income perusahaan, di mana semakin tinggi biaya yang mereka tarik maka pendapatan mereka semakin besar. Atau mungkinkah mereka sedang melakukan segmentasi ulang dari konsumen mereka? Bahwa yang tidak mampu membayar di atas 80rb bukan segmentasi konsumen Telkom? Sehingga mereka bisa lebih fokus dalam penggarapan dan mendapatkan income yang lebih stabil, namun apabila ini dibalik strategi mereka, wah bukan lagi badan usaha milik negara yang menyajikan layanan bagi seluruh masyarakat donk jadinya! Atau kemungkinan lainnya bisa jadi mereka ingin menerapkan strategi ini untuk mempengaruhi psikologi para konsumen, di mana daripada mereka harus membayar 80rb tanpa dipakai, maka mereka akan semakin sering menggunakan telepon. Wah.. mungkin ga ya mereka benar berpikir seperti itu?
Yang jelas, tidak seperti itu yang saya dengar dari para tetangga. Yang ada segera setelah kebijakan tersebut diterapkan, mereka akan meminta Telkom untuk memutuskan layanan atau menjual nomor mereka ke orang lain. Yang ada Telkom akan mengalami kekurangan jumlah pelanggan nih...benar tidaknya kebijakan ini, mari kita lihat sepak terjang Telkom selanjutnya dalam upaya mereka menyelamatkan bisnsi dan mempertahankan para konsumennya lari ke layanan swasta lainnya.
No comments:
Post a Comment