“Menyakiti” Hati Pelanggan =
Menurunkan Selling Sendiri
Menurunkan Selling Sendiri
Sumpah serapah tidak berhenti saya ucapkan dalam hati sepanjang perjalanan pulang dari BSM liburan panjang kemarin. Saya tidak habis pikir kenapa di akhir tahun seperti ini saya bertubi-tubi dihadapkan pada kekesalan terhadap kualitas service dari toko-toko yang saya kunjungi. Belum habis ‘emosi’ saya karena mendapat pelayanan yang sangat buruk dari salah satu supermarket di daerah Rancabolang yang baru kali itu saya sambangi (padahal brand supermarket tersebut sudah menjadi langganan keluarga saya sejak dulu). Sampai rumah saya wanti-wanti seluruh keluarga untuk tidak berbelanja di tempat tersebut. Berbelanja telur, saya celingak-celinguk mencari petugas di depan timbangan (nggak mungkin toh saya yang nimbang sendiri!). Sumpah saya tidak melihat para karyawan supermarket itu dalam keadaan sibuk. Mata saya tertuju pada sesorang yang saya yakin merupakan store manager on duty, merasa saya perhatikan, dia pun meminta seorang satpam untuk melayani saya, for your information, dia ‘menyuruh’nya hanya dengan isyarat kepala. What??!! Satpam disuruh nimbang telur??! Benar saja, setelah menimbang telur dan menempelkan label harga, tanpa melihat muka saya sedikit pun sang satpam ngeloyor pergi tanpa memberikan telur tersebut pada saya. Eergh..mau marah juga gimana, wong dia Cuma satpam. Sampai di kasir, saya dilayani oleh seorang kasir, mencari uang di dompet sekian detik, ketika hendak membayar saya malah dicuekin karena si kasir cantik itu asik ngobrol dengan karyawan lain. Eeeuuurgghh…!! Saya tegur kasir tersebut dengan sedikit berteriak “Mba!! Saya mau bayar!!”. “Oh, iya!”, that’s it! Cuma itu yang keluar dari mulutnya yang sedari tadi ‘berkicau’ dengan ‘burung’ tetangga! Mau complain ke managernya? Saya mungkin bukan orang pintar, tapi melihat sikap managernya tadi, buang-buang waktu rasanya!
Belum kelar nih! Malam harinya sepulang dari rumah Kakak, saya terpikir mampir ke salah satu restoran pizza brand terkenal yang ada di BSM untuk membeli ‘oleh-oleh’ buat Mama di rumah. Lagi-lagi saya mendapat pelayanan buruk. Setelah sabar menunggu hampir 30 menit (dari waktu 17 menit yang dijanjikan kasirnya!), saya pun berinisiatif menanyakan ke bagian pengambilan pizza, “Atas nama Mba belum ada, mungkin sebentar lagi!’, jawab petugasnya. “OK!” batin saya mencoba bersabar. Tapi kesabaran saya ‘habis’ saat pembeli yang baru memesan 10 menit lalu sudah mendapatkan pesanannya! Dengan menahan kesal (saya paling tidak suka marah-marah ke orang lain) saya menanyakan kembali ke kasir yang melayani saya tadi. Setelah mengecek ke bagian pengambilan, dia pun mengambil pizza di urutan paling bawah dan memberikannya pada saya dengan muka tanpa penyesalan berkata “Lupa nggak kepanggil Mba, maaf!” dan langsung ngeloyor pergi! Aaaaarrgggghhhhh…..!!!!! Kalau bukan karena adik saya langsung memegang tangan dan menenangkan emosi saya, rasanya pengen ngamuk-ngamuk saat itu juga!
Well, ini bukan hanya masalah kekecewaan pelanggan atas kualitas service yang diberikan para brand besar tersebut, bukan juga hanya sebatas kesalahan “manusiawi” para karyawan, tapi pernahkah mereka atau para pemilik perusahaan berpikir bahwa rentetan hal tersebut bisa menimbulkan efek yang cukup luar biasa pada perusahaannya?
- Experience
- Perception
- WOM
- Image
- Selling
Ah saya sih yakin orang-orang yang baca tulisan ini nggak akan pusing dengan telusuran saya di atas kan! Heheee! Tapi sok atuh saya coba jelaskan dengan “kasus” saya di depan ya. Saat saya mendapatkan pengalaman buruk melalui pelayanan yang sangat “nggak banget deh lo!”, kepercayaan saya terhadap brand-brand besar yang padahal adalah langganan saya selama ini langsung turun beberapa puluh derajat, entah karena kekesalan yang sangat besar atau karena sebagai makhluk social yang tidak ingin orang lain merasakan hal yang sama (hehee..kayanya yang pertama deh alesanannya) saya pasti cerita-cerita donk, curhat-curhat, wanti-wanti ke teman-teman dan keluarga saya. Walaupun saya tidak mengeluarkan titah “Jangan belanja disana ya!” tapi cerita yang saya berikan otomatis akan membentuk image tersendiri bagi mereka mengenai toko-toko tersebut (apalagi mereka tahu persis saya bukan orang yang gampang emosian, jadi kalau saya complain itu artinya memang keterlaluan). Mending kalau image yang terbentuk bagus, lha ini kan kan image buruk donk! Jadilah selain saya, mereka juga jadi nggak mau belanja di toko-toko yang saya ceritakan tadi. Berkuranglah pelanggan dan target market potensialnya, ujung-ujungnya? Penjualan bisa menurun lah! Gitu lhooo..!
Sayang yah, sebab nila setitik rusak susu sebelanga. Brand-brand besar dan terpercaya seperti itu ternyata masih saja mengecewakan pelanggannya justru bukan dari factor-faktor yang unpredictable, tapi dari sesuatu yang sangat bisa diusahakan tidak terjadi. Mungkin si satpam, kasir atau karyawan tadi tidak pernah terpikir bahwa hasil dari “kelakuan” mereka dapat berpengaruh sangat besar terhadap keberadaan perusahaan tempat mereka bekerja. Mungkin disini tugas para manager dan pimpinanlah untuk selalu mengingatkanb “efek” tersebut kepada para karyawannya, terutama yang berada di “barisan depan” perusahaan, yang berhubungan langsung dengan konsumen.
Well, saya yakin juga kok kamu-kamu mampu membuat “model” lain yang mungkin lebih ok dari pengalaman saya di atas. Yah anggap deh ini curcol (curhat colongan) saya di awal tahun, heheee! Semoga curcol selanjutnya yang bagus-bagus ya!
No comments:
Post a Comment