Dec 9, 2008

RE-BRANDING
TIDAK = GANTI NAMA AJAH

Akhir-akhir ini, public dibuat gencar dengan berita peredaran kosmetik yang mengandung bahan kimia berbahaya. Sebenarnya ini bukanlah isu baru, beberapa waktu yang lalu juga isu kosmetik mercury sempat mencuat di permukaan, namun yang menghebohkan isu sekarang adalah kosmetik yang disinyalir mengandung bahan kimia berbahaya itu merupakan kosmetik kenamaan,yang punya banyak klinik di beberapa kota di Indonesia, brand ambassadornya saja seorang artis dan musisi terkenal yang punya banyak penggemar.

Kabarnya banyak juga artis-artis terkenal yang menggunakan kosmetik ini. Akibat disinyalir mengandung bahan kimia berbahaya, klinik-klinik dari kosmetik ini ditutup dan dilarang beroperasi lagi. Kontan saja berita ini sempat membuat heboh dan menjadi topic utama pembicaraan para wanita. Ketika diwawancara di salah satu infotainment, sang artis menyatakan bahwa selama melakukan perawatan dan menggunakan kosmetik tersebut, dia tidak merasakan efek yang berbahaya pada wajahnya, dan dia juga menyatakan cukup kaget mendengar kosmetiknya mengandung bahan kimia berbahaya. Hal ini jelas menjadi pelajaran bahwa untuk menjadi cantik kita harus hati-hati dan selektif, tidak asal pakai kosmetik saja. Dengan adanya isu ini, otomatis nama kosmetik tersebut menjadi tercemar. Bukan tidak mungkin jika para wanita di Indonesia jadi tidak percaya pada kosmetik yang terkenal dengan produk pemutihnya ini, sepertinya statement “cantik itu tidak harus putih” akan menjadi popular di kalangan wanita, apalagi jika produk pemutih banyak yang disinyalir tidak aman.

Nah, jika kosmetik tersebut ingin terus beredar di pasar, maka ia harus benar-benar melakukan perbaikan, yaitu bagaimana mengembalikan kepercayaan dari pelanggan terhadap kosmetik tersebut. Kita misalkan saja ia melakukan re-branding dengan merubah nama dan citra, redefinisi strategi dan positioning merek (Fandy Tjiptono, Pemasaran Strategik, tentang Branding Strategy). Menurut Fandy juga secara garis besar, motivasi perusahaan melakukan re-branding antara lain meliputi 7 hal berikut :
  1. Menyegarkan kembali atau memperbaiki citra merek.
  2. Memulihkan citra setelah terjadinya krisis atau skandal
  3. Bagian dari merger atau akuisisi
  4. Bagian dari de-merger atau spin-off
  5. Mengharmonisasikan merek di pasar internasional
  6. Merasionalisasi portfolio merek
  7. Mendukung arah strategic baru perusahaan.
Untuk kasus kosmetik ini, mungkin option yang dipilih adalah no.1 yaitu menyegarkan kembali atau memperbaiki citra merek dan memulihkan citra setelah terjadinya krisis atau skandal . Namun, perlu diketahui juga bahwa ada tiga criteria pokok yang wajib dipenuhi dalam setiap upaya re-branding (Fandy Tjiptono, Pemasaran Strategik, tentang Branding Strategy), yaitu :

Pertama.
Re-branding tidak dapat digunakan sekedar sebagai “kosmetik” untuk menutupi krisis reputasi, cacat produk/jasa, skandal, dan sejenisnya, tanpa dibarengi perubahan fundamental pada aspek kunci yang melandasi perlunya perubahan merek. Jadi jangan sampai dengan melakukan re-branding yang dilakukan hanya sekedar mengganti nama saja, kalau ternyata tidak juga melakukan perubahan pada kualitas produk, pelayanan, manajemen perusahaan, dan sebagainya maka bukan tidak mungkin jika suatu saat krisis reputasi akan terjadi lagi.

Kedua.
Nama baru yang dipilih harus diseleksi secara ketat lewat riset dan analisis insentif yang mencakup pula kajian mendalam terhadap global trademark dan ketersediaan URL (Uniform Resource Locators). Dalam hal ini, sebuah perusahaan yang melakukan re-branding dengan merubah nama produknya harus memperhatikan aspek-aspek dalam pemilihan nama. Seperti nama yang tidak dibuat hampir mirip dengan produk sebelumnya (yang terkena krisis reputasi), dan kalau bisa jangan hanya namanya saja yang baru tapi benar-benar segala sesuatunya harus baru, baik dari desain packaging, konteks produknya, brand ambassadornya, dan lain-lain.

Ketiga.
Jika suatu perusahaan merubah nama produknya dengan tujuan re-branding, maka sebaiknya nama baru tersebut haruslah inoffensive, singkat, gampang diingat, dan mudah diucapkan di semua Negara tempat perusahaan bersangkutan beroperasi (jika akan meluaskan pasarnya sampai ke luar negeri).

Bahkan menurut Amalia E. Maulana dalam artikelnya yang berjudul “Tantangan Rebranding” (dimuat dalam Bisnis Indonesia edisi 8 Juni 2008), suatu perusahaan dapat melakukan rebranding dengan atau tanpa repositioning. Repositioning itu berarti perubahan posisi di benak konsumen. Perusahaan yang melakukan rebranding bisa juga melakukan repositioning, ini sudah mengacu pada perubahan strategi pemasaran. Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa melakukan rebranding jangan hanya sekedar merubah nama saja, karena pada kenyataannya tidak semudah yang kita kira. Banyak aspek yang harus diperhatikan.

Bisa juga perusahaan melakukan repositioning tanpa rebranding. Jadi dia hanya merubah posisi di benak konsumen saja, tapi tanpa mengubah brand yang sudah terbentuk. Misalnya suatu produk yang terfokus pada satu target market menengah ke bawah, kemudian ingin menembak target market menengah atas. Maka ia melakukan repositioning dengan perbaikan dalam berbagai aspek, seperti peningkatan kulitas, program promosi yang sesuai dengan target menengah ke atas dan sebagainya.

Intinya, semua tergantung pada tujuan perushaan. Paling tidak banyak kasus yang bisa dijadikan contoh, jangan sampai rebranding yang dilakukan malah menjadi boomerang bagi perusahaan.

1 comment:

Anonymous said...

RE-Branding itu ribet dah kalo ga disiapin bener2, so perusahaan kalo u rebranding silakan pikirkan matang2 biar nggak kacau