Dec 13, 2010

Merek di Era New Wave: Tunjukkan Siapa Anda Sesungguhnya

Awalnya, merek (brand) digunakan untuk membedakan sebuah produk diantara produk lain yang sejenis. Dengan menggunakan merek, sebuah produk akan keluar dari kategori produk komoditas, yang harganya ditentukan oleh hukum pasar. Oleh karena itu, produk bermerek berkesempatan memasang harga di atas rata-rata harga pasar.

Tahun 1955, di Harvard Business Review tayang sebuah artikel bertajuk “The Product and The Brand” tulisan Burleigh Gardner dan Sidney Levy, yang semakin memperjelas perbedaan antara merek dengan produk. Konsep merek, mulai dirumuskan pada tahun 1980-an, termasuk bagaimana mengukur nilai sebuah merek (brand equity). Kemudian, istilah merek pun semakin populer di tahun 1990-an, dan menjadi bahasan utama dalam bidang pemasaran.

Dulu, sebuah merek cukup dengan nama yang unik, slogan nan indah, desain logo cantik atau jingle iklan populer. Manajemen merek pun ditujukan untuk meningkatkan nilai merek, dengan program pemasaran terpadu, promo, iklan ataupun program kehumasan. Saat itu, semua merek bekerja keras untuk meraih brand value, brand strength, top of mind, brand awareness dan brand loyalty, yang ujung-ujungnya akan melipatgandakan brand equity masing-masing.

Kini, Anda sebagai pemilik merek, sepertinya harus merubah paradigma tentang merek. Mungkin benar apa yang diungkapkan Hermawan Kartajaya, di era New Wave sekarang ini, “Merek adalah Karakter”. Ya, tidak cukup hanya membangun merek, tapi juga harus membangun karakter. Merek hanyalah selubung yang membungkus karakter sesungguhnya produk atau bisnis Anda. Karakter berkaitan dengan siapa Anda yang sebenarnya, dan bagaimana masyarakat melihat Anda apa adanya. Oleh karena itu, proses membangunan karakter ini, harus berlandaskan nilai-nilai kebaikan yang universal seperti kejujuran, saling menghormati, tanggung-jawab, prinsip keadilan, peduli satu sama lain, dan rasa kemanusiaan.

Dan satu hal lagi, bukan perusahaan raksasa saja yang harus membenahi karakter mereknya. Setiap pemilik merek semestinya melakukan hal yang sama, bahkan untuk level usaha kecil menengah (UKM). Di era informasi saat ini, konsumen memiliki pembanding yang sangat beragam atas layanan bisnis yang dia dapatkan. Jika merek Anda gagal memenuhi harapan konsumen, ada banyak pesaing bisnis yang akan menerima limpahan pelanggan Anda. Jadi, tanpa memiliki karakter merek yang kuat, jangan salahkan konsumen jika mereka tidak “jatuh cinta” dengan merek bisnis Anda.


1 comment:

Harwindra Yoga said...

Kalau ga salah, yang pernah saya baca (via Hermawan juga), yang ditulis tadi adalah era Marketing 1.0 dimana brand masih merajai. Siapa yang kuat di iklan ATL-BTL, akan menguasai penjualan.

But it's true. Brand harus punya karakter, yang juga harus terepresentasikan dalam komunikasi. Termasuk di social media.

Nah, belum masuk 2.0, dimana channel penjualan yang menjadi kuat, karena brand butuh channel untuk menjual/memasarkan produknya. Channel tumbuh dimana-mana, didominasi oleh modern trade (SPM-HPM-MM) yang semakin menggeser general trade. Yang memaksa general trade atau biasa kita sebut traditional trade untuk evolving (punya planogram-store site plan-cashier-barcode scan-etc).

Nah, sekarang sudah masuk 3.0. Semuanya (brand dan channel-retailer) berebut menarik perhatian konsumen-shopper dengan peningkatan service. Termasuk didalamnya kenyamanan belanja-traffic flow-dress ups-turun harga-etc.

Yang enak siapa? Ya kita. Konsumen.