Hari Senin (29/11/10) yang lalu, saya berkesempatan melakukan pendampingan ke beberapa UKM Bordir Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Ada 3 UKM yang saya kunjungi dan sempat bertukar pikiran dengan pemiliknya, dan ketiganya memiliki permasalahan bisnis yang berbeda. UKM pertama, memilki keunggulan volume produksi yang besaar, sekitar 300 kodi per bulan, tapi sebagian dijual tanpa merek ke pedagang perantara. Skema penjualan seperti itu akan meminimalkan margin keuntungan produsen, dan lebih besar untuk pedagang. Tapi, produsen menganggap hal itu tidak jadi masalah, dengan alasan berbagi rejeki. Bagi saya pribadi, sebuah alasan tersebut tidaklah salah, tapi mungkin kurang tepat.
UKM bordir kedua yang saya kunjungi, memilki konsep ekslusif untuk produk bordir yang dihasilkannya. Selain memproduksi bordir, pengusaha ini memilki butik di salah satu pusat perbelanjaan di kota Taskmalaya untuk menjual produknya. Melihat bentuk, tampilan dan harga produk, memang menyasar ke kalangan menengah ke atas. UKM terakhir yang saya kunjungi juga memiliki toko sebagai showroom produk bordirnya. Dari hasil ngobrol, ternyata keberadaan toko tidak terlalu berperan dalam penjualan produknya, karena sebagian besar penjualan berupa pesanan dari luar kota.
Penjualan vs Branding
Ketiga UKM Bordir yang saya kunjungi memiliki masalah yang serupa, yaitu minimnya pemahaman tentang branding atau merek. Semuanya sudah memiliki merek, tapi masih memandangnya sekadar label belaka, bukan sebagai bagian dari strategi pemasaran. Kegiatan branding memang dikenal sebagai sumber biaya (cost center) bukan sumber laba (profit center,) sehingga keberadaannya kurang diindahkan oleh pengusaha UKM.
Dengan kondisi UKM yang masih terbatas secara modal, jumlah produksi dan SDM, manakah yang lebih tepat, lebi banyak melakukan aktivitas penjualan ataukah membangun merek? Komprominya ialah lakukan penjualan secara eceran untuk membangun merek dan mulailah menjual ke pasar B2B untuk mendapatkan penjualan yang lebih besar. Kedua aktivitas ini idealnya dilaksanakan secara beriringan, bukan untuk saling mengalahkan. Pasar bisnis ke bisnis, lebih menghasilkan volume penjualan besar tapi dengan keuntungan tipis. Sementara, penjualan eceran akan memberikan keuntungan yang lebih besar serta memungkinkan pembangunan merek produk.
Branding sebagai investasi jangka panjang.
Membangun brand adalah sebuah proses, perlu waktu dan biasanya melalui enam tahap sebelum memungkinkan terjadinya penjualan berkesinambungan:
1. Tahap pengenalan (aware)
2. Tahap mengerti benefit atau positioning (understand)
3. Tahap meyakinkan bahwa produk lebih baik dari pesaing (preference)
4. Tahap membangkitkan semangat mencoba, membeli secepatnya (convince)
5. Tahap terciptanya penjualan (action/selling)
6. Tahap pembelian kembali (repeat)
Jika pengusaha UKM memandang secara jangka pendek, tentu saja branding bukan pilihan yang populer. Tapi, kalau saja bisa memikirkan jangka panjang, pengusaha UKM akan mendapatkan banyak keuntungan dari aktivitas branding. Jadi, aktivitas berbasis penjualan dan kegiatan untuk branding, sebaiknya bisa berjalan beriringan dan saling menguatkan.
Bagaimana menurut Anda?
(Sumber Gambar: www.gemssty.com)
No comments:
Post a Comment