Feb 27, 2014

Taktik, Content dan Media

Di setiap seminar yang kebetulan saya sebagai narasumbernya saya sering sekali bertanya "Apa yang anda lakukan untuk meningkatkan penjualan produk Anda?", pertanyaan paling klasik dalam dunia marketing tentunya dan tidak akan pernah dilekang jaman karena bisnis apapun, produk apapun dan dibelahan dunia manapun "jualan" adalah hal yang paling utama dalam dunia marketing.

Nah yang membuat suka geleng-geleng kepala adalah sebagian besar dari jawaban yang muncul ketika pertanyaan diatas saya tanyakan, kita lihat beberapa jawaban yang sering muncul:
  • Sebarin flyer lebih banyak
  • Pasang iklan di koran
  • Harus pake iklan TV biar banyak yang tahu
  • Buat seminar biar bisa diedukasi
  • Kerjasama dengan radio yang sama segmennya
hmm sekilas mungkin tidak ada yang salah yah dengan jawaban di atas? Tapi kalo anda berpikir hal yang sama tidak aneh promosi yang Anda lakukan kelak tidak efektif dan tidak memberikan impact apa-apa terhadap penjualan Anda mengapa? Karena kita tidak memahami antara Promotion Tactic dan Promotion Medium. Coba perhatikan lagi jawaban-jawaban di atas dan akan Anda temukan bahwa semua jawaban tersebut berfokus pada MEDIA APA, bukan Taktik & Content apa yang ditawarkan.

Berfokus pada media bukan hal yang salah tentu, namun jika kemudian kita melupakan Taktik dan Content yang justru jauh lebih penting dalam menggerakan konsumen untuk membeli produk kita ini yang salah. Menurut saya, media dibuat setelah kita mendevelop taktik yang ingin digunakan dan konten yang menunjang taktik tersebut sehingga terdeliver sesuai dengan tujuan kita ke konsumen melalui media yang tepat,

Sebagia contoh, ketika Anda ingin melaunching sebuah restaurant katakanlah, jika fokus Anda pada media apa dan membuat iklan seperti ini "Telah di Buka, Restaurant Seafood Terbesar di Bandung" kemudian digunakanlah billboard, radio, flyer dan semua media yang menghabiskan ratusan juga untuk melakukan promosi dan hasilnya? Loh kok sepi yah padahal promosi sudah jor jor an. Lah kalo terbesar terus kenapa? ---> Tidak Ada Alasan orang Untuk Datang (Reason to buy yang dikemas dengan taktik promosi yang tepat).


Feb 26, 2014

Telegram, Early Adopter dan Kunci Sukses

Siapa yang sudah install Telegram? Messenger berbasis mobile ini tiba-tiba saja jadi bahan obrolan di beberapa “tempat obrolan” di media Online. Kehadirannya yang pas banget berdekatan setelah berita Whatsapp dibeli oleh Facebook, membuat orang-orang ingin mencoba yang baru (entah karena image “Facebook” yang hobi buat spot iklan atau karena jenuh atau karena alasan lain).

UI yang mirip dengan Whatsapp yang menjadi keunggulan Whatsapp selama ini (sederhana) dipadukan dengan load yang lebih cepat (entah karena user nya masih sedikit yah..) dan multi sign in, artinya dengan 1 nomor HP sebagai ID Anda bisa gunakan di berbagai gadget yang berbeda di satu waktu yang sama. Selain itu solusi lainnya yang diungguli Telegram dibandingkan Whatsapp adalah dapat digunakan oleh para pengguna IPad.

Saya di sini tidak akan bahas tentang Telegram-nya, karena saya bukan buzzer nya juga ;)) tapi saya akan bahas apa kunci penting dari keberhasilan sebuah produk, dalam hal ini case Telegram menarik untuk dijadikan contoh.

Berhasil tidak berhasil kita belum tahu, karena baru sekali diluncurkan, namun bisa dibilang Telegram tanpa iklan berhasil untuk menarik sejumlah pengguna, bahkan jangan2 “grup” dari Whatsapp atau Line banyak yang coba hijrah ke Telegram. Kalo dalam waktu yang lama mereka puas dengan berbagai fitur yang ditawarkan, bisa jadi mereka akan selamanya meninggalkan grup di Messenger-messenger sebelumnya.

Beberapa waktu lalu saya mendengar sebuah sharing dari praktisi pengembang Start-Up (perusahaan-perusahaan pemula) yang pernah berkiprah di Asia maupun di Silicon Valley (Amerika). Mereka menyebutkan beberapa sebab mengapa produk-produk/bisnis-bisnis Start Up di bidang teknologi cenderung lebih mudah/cepat sukses yang dari Amerika, bukan dari Asia. Salah satu penyebab yang mereka ungkapkan adalah perihal ekosistem.


Feb 25, 2014

Bisnis Kuliner, Riset dan Ilmu Marketing

Fenomena menjamurkan bisnis skala kecil di bandung saat ini menyajikan sesuatu yang sangat menarik bagi diri saya khususnya bila dilihat dari sisi marketing. Mungkin hampir setiap minggu ada ajah bisnis baru yang muncul untuk akhirnya tenggelam bahkan hanya dalam hitungan 3 bulan setelah bisnisnya berjalan, yah entah ditutup karena ownernya menyadari ada yang salah dengan bisnisnya ataupun memang secara operasional sudah tidak kuat lagi menanggungnya.

Sangat sering sejak beberapa tahun ke belakang saya mendatangin tempat makan baru entah itu dengan konsep cafe maupun restauran baik secara pribadi sukarela maupun dalam kapasitas di undang sebagai bagian dari komunitas cerita perut yang kami miliki di bandung (www.ceritaperut.com) yang pada akhirnya tempat makan tersebut hilang di telan persaingan atau bahkan ditelan oleh masalah tempatnya sendiri. Satu pertanyaan kok bisa?

Nah tulisan kali ini saya ingin sedikit sharing mengapa kebanyakan bisnis kuliner yang pada awalnya sangat menjanjikan bagi ownernya dengan mimpi-mimpi akan berkembang besar dan sebagainya akhirnya malah menjadi mimpi buruk, menyebabkan kerugian yang tidak sedikit (bahkan salah satu sahabat saya sampai miliaran).

1. Alergi/ Anti atau Ga Ngerti Riset
Saya perhatikan sebagian besar penyebab banyaknya tempat makan yang gagal adalah karena gagal memahami pasar dengan betul, lebih edannya lagi kebanyak tempat mungkin hanya melakukan riset-risetan atau bahkan tidak melakukan riset sama sekali dan berdasarkan "feeling" dengan beraninya tempat-tempat ini berinvestasi dengan "ide"nya.

Sebagai contoh, kalo keluarga (kakek, nenek, bapak, ibu, teman dan sahabat) udah bilang makanannya enak, eh langsung ajah yakin bahwa makannnya enak padahal bisa jadi mereka bertanya pada orang yang "salah", yah iyalah keluarga, mana mungkin memberikan insight yang tepat apalagi secara konsep tempat dan produk bukan merekalah target market kita.

Lebih parah kebanyakan memutuskan berinvestasi karena feeling "sepertinya besar marketnya" SEPERTINYA. Feeling adalah salah satu contoh pengambilan keputusan bisnis yang sangat besar resikonya apalagi Anda bukan pebisnis yang sudah makan asam garam di dunia bisnis dan bisnis kuliner khususnya.

Jadi? Lakukan RISET, jika perlu bayar konsultan riset sehingga memberikan gambaran jelas mengenai bisnis yang akan Anda jalankan, lebih baik nambah 50-100 juta untuk mendapatkan gambaran yang clear mengenai bisnis Anda daripada mempertaruhkan uang ratusan atau miliaran tanpa arah yang jelas. Apa jadinya jika hasil riset ternyata mengatakan "STOP jangan BUKA BISNIS INI, RUGI", yah paling hebat Anda cuma rugi 50 juta buat bayar konsultan risetnya that's it.


Feb 24, 2014

3 Karakter Baru Konsumen dan Cara Berjualan

Perubahan tren media Internet secara langsung mendorong perubahan karakter konsumen. Terutama apabila konsumen Anda adalah kelompok akses Internet dan Media Sosialnya cukup intens.

Dari berbagai sumber, berikut adalah 3 temuan karakter baru konsumen yang dapat mempengaruhi cara Anda berjualan saat ini :

a. Efisien
Perubahan besar terjadi dulu saat generasi internet 1.0, di mana Email mendominasi berbagai kegiatan para pengguna internet. Kemudian masuk Social Messenger yang membentuk cara berkomunikasi yang sama sekali baru, lalu Social Media dan sekarang adalah Mobile Application.

Setiap harinya berpuluh-puluh hingga berates-ratus Mobile Application baru muncul di Marketplace Apps sistem operasi manapun. Sepertinya semua masalah kian akan diselesaikan oleh kehadiran Mobile Application. Dari soal keuangan, kesehatan, makanan, cinta, hiburan, apa saja you name it!

Dengan hadirnya berbagai solusi tersebut, para konsumen terlatih untuk mengkonsumsi bahkan memilih sesuatu yang paling efisien. Sesuatu yang dapat memberi mereka solusi terhadap permasalahan yang mereka alami. Bukan hanya solusi biasa, tapi solusi yang paling efisien, yang paling cepat, paling mudah paling praktis paling nyaman untuk mereka gunakan.

Begitu jengan dengan produk Anda, semakin banyaknya pilihan, kompetisi antar produk yang menawarkan fungsi yang sama, konsumen kian mencari yang paling efisien, yang dapat membantu mereka memenuhi kebutuhan.


Feb 14, 2014

Perubahan vs Comfort Zone

Perubahan, sebuah kalimat yang menjadi mantra penting dalam bisnis apapun, bahkan dalam banyak kesempatan selalu didengungkan "Jika Anda tidak berubah maka Anda akan mati". Artikel kali ini biarpun saya tidak terlalu suka menulisnya karena sepertinya jadi serius sekali hehe, saya coba sharing bagaimana saya mengikuti sebuah proses perubahan yang baru dilakukan 1 tahun lebih ke belakang.

Ceritanya begini (seperti dongeng ajah), melihat kompetisi yang semakin sengit dari lokal maupun international company serta perubahan behavior konsumen dalam melakukan konsumsi media, sang owner mulai memikirkan untuk melakukan perubahan yang sangat mendasar pada strategi bisnisnya, istilah yang digunakan adalah "ini kita kapal Titanic, bukan mau berganti arah secara slow namun langsung berbelok 90 derajat" Yah bayangkan kapal sebesar Titanic melakukan manuver yang sangat berbahaya ditengah lautan luas seperti itu.

Yah pilihan melakukan perubahan strategi ini merupakan pilihan yang sangat tepat menurut saya, memang seharusnya sudah 1-2 tahun sebelumnya pernah saya sounding bahwa pasar akan bergerak berbeda 5-10 tahun kemudian, jika saat ini perusahaan tidak melakukannya maka tinggal tunggu waktu perusahaan lain yang akan melakukannya dan memang sudah tapi untungnya masih terbatas pada kompetitor luar negeri yang secara regulasi bersifat ilegal.

Nah ada beberapa point penting sejauh yang saya lihat berkenaan dengan perubahan strategi yang dijalankan ini, coba yah saya share beberapa hal yang memang secara internal terjadi yang mungkin kelak bisa bermanfaat ketika kita melakukan perubahan di dalam perusahaan

1. Penolakan internal
Pesimis dan skeptis, yah inilah yang terjadi di awal-awal ketika perubahan digulirkan oleh perusahaan, "ngapain berubah, dengan begini ajah kita udah sukses kok", "Masih lamalah apa yang dikatakan bos tersebut, metode sekarang sudah yang terbaik" dan berbagai komentar yang intinya mempertanyakan mengapa kita harus berubah padahal kita no.1.

Mainin Burung Yuk

Nah ini salah satu game paling kurang kerjaan yang cukup mewabah beberapa minggu kebelakang ini Flappy Bird, saya bukan penggemar games apalagi dimainkan di handphone, rasanya sudah lama sekali tidak nge games di handphone tapi anehnya Flappy Bird ini setelah di install bawaannya terus untuk mainkan, terus, terus dan terus sampe akhirnya bosan sendiri haha.

Ceritanya gamesnya sih sederhana, seekor burung yang terbang melewati berbagai ukuran pipa, intinya jangan sampai nabrak, nah ini masalahnya ternyata tidak semudah yang dibicarakan karena menerbangkan burung ini ternyata butuh respon jempol yang konsisten dan konsentrasi haha yang hasilnya bisa ditebak begitu nabrak pengen coba lagi sampe score berapapun yang bisa dicapai.

Fenomena merebaknya Flappy Bird ini walaupun menurut saya tidak akan lama bertahannya dari sisi marketing sesuatu yang cukup menarik untuk dibahas, begitu banyak applikasi yang bisa di download di google play namun mengapa ada yang mendorong penggunaan yang cukup massive ada juga yang berakhir cuma untuk jadi pajangan di google play, bagaimana bisa dan mengapa? Ini 1 hal, hal lainnya yang juga menarik untuk dicermati adalah bagaimana spreading Flappy Bird ini bisa cepat sekali menjadi viral dan menjadi talk of the town, rasanya ga apdol kalo ga ngomongin ini di sosmed dsb.

Nah berangkat dari 2 hal di atas, saya ingin sedikit sharing dari perspektif saya tentunya bagaimana sebuah games seperti Flappy Bird ini bisa cepat sekali menyebar, dibicarakan dan dimainkan oleh banyak orang dan bagaimana hal ini bisa dimanfaatkan oleh brand?

1. Hebatnya sosmed

Feb 3, 2014

Teori Lama vs Media Digital

Mark Krenn, founder dari Coastal Creative Reprographics di Amerika sempat mengangkat isu ini di salah satu tulisannya. Pada bahasan tersebut sangat menarik sekali, bagaimana ia mengingatkan kita bahwa sejak tahun 1960, ilmu Marketing mengajarkan kita untuk fokus pada 4P : Product, Price, Place dan Promotion.

Kemudian di era 1990an disambung dengan C’s area dengan fokus kepada para konsumen. Sedangkan sekarang memasuki era Digital? Apakah semua teori tersebut masih relevan? Atau ada teori baru yang harus diterapkan? Berikut ada 3 poin yang menarik untuk dibahas, untuk menjawab hal tersebut.

1. Ciptakan pengalaman Offline dan Online
Experience merupakan salah satu bentuk output dari semua perancangan konsep marketing tersebut. Mau media tradisional atau digital, experience merupakan suatu hal yang penting. Experience itu sendiri tidak hanya berkutat hanya di level “konteks” tapi juga “konten” yaitu elemen-elemen experience yang melekat pada produk secara langsung.

Di buku yang lagi saya baca (The Power of Habit by Charles Duhigg) menceritakan bahwa jika kita mengira Starbucks jualan kopi, sebenarnya Starbucks tidak hanya jualan kopi. Seperti yang diungkapkan Howard Behar (the former president of Starbucks) : “We’re not in the coffee business serving people, We’re in the people business serving coffee.”